BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

PENDAHULUAN Latar Belakang

POLA SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT DI PROVINSI RIAU ADI DZIKRULLOH

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 13 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK

Latar Belakang. Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. pada lanskap lahan gambut. Di lahan gambut, ini berarti bahwa semua drainase

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

Box 1 : Pernyataan Ketua Pusdalkarhutla terhadap kebakaran hutan dan lahan di riau Sebuah Pernyataan yang kontroversial.

LAPORAN HARIAN PUSDALOPS BNPB Selasa, 26 Mei 2009

Kabut Riau. Khasanah Alam dan Budaya Tropis Riau Penetapan Kawasan Rawan Bencana. Kebakaran Hutan dan Lahan di Riau : Penyebab, Dampak dan Solusi bagi

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 20 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK

PERAN KELOMPOKTANI DAN MASYARAKAT PEDULI API (MPA) DALAM MENGELOLA DAN MENCEGAH KEBAKARAN LAHAN DI KECAMATAN BUKIT BATU KABUPATEN BENGKALIS

9/1/2014. Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan?

BAB I PENDAHULUAN. daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar

Model Pengembangan Lahan Gambut Berkelanjutan 1

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 15 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IMPLEMENTASI PP 57/2016

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 14 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK

HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

PERATURAN BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR TAHUN 2013 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

LAPORAN PELAKSANAAN PATROLI TERPADU PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

LAPORAN PELAKSANAAN PATROLI TERPADU PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

LAPORAN PELAKSANAAN PATROLI TERPADU PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Analisis kebakaran hutan dan lahan gambut Provinsi Riau tahun 2014

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 12/Menhut-II/2009 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengantar Presiden RI pada Ratas Penanggulangan Asap, di Kanpres, tgl. 24 Juni 2014 Senin, 24 Juni 2013

PAPER KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

LAPORAN HARIAN PUSDALOPS BNPB Kamis, 28 Mei 2009

LAPORAN HARIAN PUSDALOPS BNPB Rabu, 25 Maret 2009

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pengamatan kebakaran dan penyebaran asapnya dari angkasa: Sebuah catatan kejadian kebakaran hutan/lahan di Sumatera Selatan tahun 2014

1. Jumlah update laporan hotspot tanggal 15 September 2016 adalah sebagai berikut : 1 Kalimantan Timur Katingan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Restorasi Gambut Harus Berpihak Kepada Ajas Manfaat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015

KONDISI UMUM PERUSAHAAN

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA ( B N P B )

LAPORAN HARIAN PUSDALOPS BNPB Senin, 31 Agustus 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAPORAN PELAKSANAAN PATROLI TERPADU PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN,

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

LAPORAN HARIAN PUSDALOPS BNPB Senin, 27 April 2009

Kebakaran di Konsesi APP/Sinar Mas Memperparah Kabut Asap Regional dan Mengancam Cagar Biosfir PBB yang Baru

LAPORAN PELAKSANAAN PATROLI TERPADU PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Pengelolaan Sawit di Lahan Gambut sesuai PermenLHK no 14, 15 dan 16/2017 di Lahan Gambut

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas mengenai kasus

LAPORAN HARIAN PUSDALOPS BNPB Minggu, 14 Juni 2009

LAPORAN HARIAN PUSDALOPS BNPB Minggu, 31 Mei 2009

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA ( B N P B )

Topik C3 Kebakaran hutan dan lahan gambut

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA ( B N P B )

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DAN ATAU HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAPORAN PELAKSANAAN PATROLI TERPADU PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Gambar 1. Peta Prakiraan Cuaca Hujan Mei 2018 (Sumber : Stasiun Klimatologi Karangploso Malang)

LAPORAN VERIFIKASI DUGAAN PELANGGARAN MORATORIUM APP DI PT. MUTIARA SABUK KHATULISTIWA TIM VERIFIKASI

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA ( B N P B )

Laporan Investigasi Jikalahari KEPALA BRG DIHADANG, PT RAPP LANJUT MERUSAK HUTAN ALAM DAN GAMBUT

ber Laporan investigatif dan analisa pengindraan jarak jauh di 29 konsesi HTI Riau Laporan Investigatif Eyes on the Forest Diterbitkan April 2018

Pemantauan Pembakaran Hutan dan Lahan di areal perkebunan PT Panca Surya Agrindo Oktober 2015

Laporan Investigatif Eyes on the Forest Desember 2015

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

Pemantauan Pembakaran Hutan dan Lahan di Perkebunan Teso Indah Oktober 2015

LAPORAN HARIAN PUSDALOPS BNPB Sabtu, 21 Maret 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan berbagai

Pemantauan Pembakaran Hutan dan Lahan di konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Hutan Kayu Hutan Tanaman PT Artelindo Wiratama Oktober 2015

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN

Transkripsi:

5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna lahan, jaringan jalan atau akses menuju hutan, tipe tutupan lahan dan vegetasi, ketebalan gambut, dan tingkat kehijauan vegetasi (Adiningsih et al. 5, Hadi 5). Tipe tutupan lahan dan vegetasi mempengaruhi sebaran hotspot di Provinsi Riau. Hadi (6) dalam penelitiannya di Kabupaten Bengkalis, menyatakan hutan alam rawa mempunyai potensi kebakaran hutan yang tinggi. Adiningsih et al. (5) menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dicirikan oleh rendahnya respon para pemangku kepentingan terhadap risiko biofisik kebakaran hutan dan lahan padahal risiko tersebut dapat diprediksi. Kondisi ini dibuktikan dengan tingginya hotspot yang ditemukan oleh satelit di seluruh wilayah Indonesia, khususnya tahun 6. Jumlah Hotspot 9 8 7 6 5 4 3 7734 3538 75 9 Tahun Gambar 3 Sebaran hotspot tahun 9 di Provinsi Riau Jumlah hotspot yang ditemukan dalam kurun waktu lima tahun adalah 7.493 hotspot, yaitu: ) 57.856 hotspot pada tahun 6; ) 3.656 hotspot pada tahun 7; 3) 3.838 hotspot pada tahun 8; 4) 39.58 hotspot pada tahun 9; dan 5) 9.65 hotspot pada tahun (WWF ). Sementara berdasarkan penyebarannya, jumlah hotspot terbesar terdapat di Provinsi Kalimantan Barat dan Riau (LAPAN a).

6 Berdasarkan pantauan satelit NOAA-AVHR ditemukan.987 hotspot dalam kurun waktu tiga tahun (9) di Provinsi Riau (Lampiran ). Sebaran hotspot tertinggi pada tahun 9, yaitu 7.734 hotspot (Gambar ). Pada tahun terjadi penurunan hotspot yang signifikan, yaitu.75 hotspot. Sementara pada tahun terjadi kenaikan jumlah sebaran hotspot, yaitu 3.538. Gambar 4 Sebaran hotspot tahun 9 tiap kabupaten di Provinsi Riau Dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu 9, Kabupaten Rokan Hilir merupakan daerah dengan jumlah sebaran hotspot tertinggi, yaitu 3.657 hotspot (Gambar 3). Sebaran hotspot terendah terletak di Kota Dumai, yaitu hotspot. Rata-rata sebaran hotspot tahunan dalam kurun waktu 9 hingga adalah 4.39,67 hotspot. Akar permasalahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau 9% oleh aktivitas manusia, dan hanya % disebabkan oleh alam (WWF ). Aktivitas manusia yang menjadi penyebab utama adalah alih guna dan fungsi lahan dan kawasan hutan, khususnya perkebunan dan lahan pertanian. Menurut Dishutbun Riau (9), kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau diakibatkan oleh perilaku pembukaan lahan dengan cara pembakaran oleh pengusaha HTI dan perkebunan sawit. Berdasarkan hasil penelitian Jikalahari (9) pada tahun hingga 7 telah terjadi investasi besar-besaran pada usaha perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 7 luasan perkebunan kelapa sawit adalah,57,9 ha. Pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit berpengaruh pada berkurangnya

7 luasan hutan di Provinsi Riau. Praktek usaha sawit juga menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pengusaha/petani kelapa sawit melakukan pembakaran pada kegiatan pembukaan lahan (Jikalahari 9). Jikalahari (9) menyebutkan, sekitar.57.7 ha izin hutan tanaman industri berada pada kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya,.6. ha hutan tanaman industri berada dalam kawasan lindung dan 5.7 ha pada kawasan hutan produksi terbatas. Ketidaksesuaian perizinan ini terjadi karena adanya program pembangunan Provinsi Riau yang hanya mengedepankan nilai ekonomi semata. Luas HTI tahun 7 telah mencapai angka,935,67 ha. HTI di Provinsi Riau bertujuan untuk memenuhi kapasitas produksi industri pulp dan kertas. Kelas tanaman perusahaan berupa monokultur tanaman akasia. Kaitannya dalam besarnya tingkat sebaran hotspot dan kerawanan kabakaran hutan adalah adanya praktek pembukaan lahan dengan pembakaran di HTI di Provinsi Riau (Jikalahari 9). Faktor alam yang mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi Riau utamanya adalah iklim. Pada kurun waktu bulan Januari hingga Februari, unsur iklim yang menonjol dalam mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi Riau adalah arah angin dan curah hujan. Berdasarkan hasil laporan Bapedal Provinsi Riau (9), pada bulan Januari hingga Februari nilai curah hujan di Provinsi Riau rendah. Hal ini dikarenakan awan yang mempunyai kandungan air terbawa angin menuju daerah timur. Kondisi ini berakibat pada hari kering yang cukup panjang di Provinsi Riau. Pada beberapa kasus, sebaran dan jumlah hotspot yang ditemukan berbanding terbalik dengan curah hujan di suatu daerah pada waktu tertentu. Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, jumlah hotspot berkurang. Sebaliknya pada saat curah hujan rendah, jumlah hotspot yang ditemukan meningkat. Dapat disimpulkan bahwa sebaran hotspot dipengaruhi oleh curah hujan di suatu daerah dan pada waktu tertentu (Syaufina 8). 5.. Sebaran Hotspot Tahun 9 Tahun 9 merupakan periode jumlah sebaran hotspot tertinggi di Provinsi Riau dalam kurun waktu tiga tahun, 9. Sebaran hotspot yang

8 tinggi mempunyai potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang tinggi pula. Tingginya kebakaran hutan dan lahan pada tahun 9 terjadi karena adanya sulutan sumber api yang dilakukan oleh aktivitas manusia baik sengaja ataupun tidak disengaja (Jikalahari ). Kondisi alam hanya menjadi faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan daerah tersebut. Disebutkan dalam laporan Jikalahari (9) bahwa selama periode Januari-Februari 9 telah terjadi kebakaran hutan.53 ha, yaitu.45 ha pada bulan Januari dan 7 ha pada bulan Februari. Sepanjang tahun 9, jumlah hotspot yang ditemukan di Provinsi Riau sebanyak 7.734 hotspot. Jumlah hotspot yang tinggi ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (Jikalahari 9): ) adanya sulutan sumber api yang dilakukan oleh aktivitas manusia baik sengaja ataupun tidak disengaja, dan ) kondisi alam hanya menjadi faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan daerah tersebut. 5.. Sebaran Hotspot Tahun Jumlah sebaran hotspot pada tahun turun dikarenakan terdapat kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Riau (Pemprov Riau) melalui Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Riau (BNPB 9). Kebijakan yang diterapkan adalah (BNPB 9): ) koordinasi antara Satlak PB, Satkorlak PB, Manggala Agni Dinas Kehutanan, Kepolisian dan instansi/sektor dengan menyiagakan petugas untuk memantau perkembangan kondisi hotspot yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di masing-masing wilayahnya, dan ) pemadaman hotspot di wilayah Provinsi Riau. Berdasarkan areal konsesinya, pada tahun hotspot terdistribusi pada perkebunan kelapa sawit (%), konsesi hutan (39%), dan areal lainnya termasuk lahan masyarakat (4%) (Jikalahari ). Sebaran hotspot di perkebunan kelapa sawit disebabkan adanya aktivitas pembakaran yang dilakukan secara sengaja (Jikalahari ). Berdasarkan laporan WWF () kebakaran hutan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu; ) kebakaran di lahan peruntukan perkebunan kelapa sawit, dan ) kebakaran di kawasan hutan yang dikonversi baik secara legal atau illegal untuk menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Kebakaran terjadi karena adanya pembakaran pada saat pembukaan

9 lahan. Pembakaran dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat/petani kelapa sawit. Kebakaran hutan di area konsesi hutan terjadi karena aktivitas HTI dalam pembukaan lahan. Di Provinsi Riau terdapat HTI. Pada tahun 9 diidentifikasi terdapat perusahaan HTI telah melakukan pelanggaran terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau (WWF ). Praktek pembakaran dilakukan ketika perusahaan melakukan pembukaan lahan. Kebakaran di lahan masyarakat terjadi akibat praktek penyiapan lahan perkebunan kelapa sawit (Jikalahari ). 5..3 Sebaran Hotspot Tahun Pada tahun terjadi kenaikan sebaran hotspot menjadi 3.538 hotspot. Kenaikan jumlah hotspot tahun karena adanya hari kering yang lebih panjang dibandingkan dengan tahun (LAPAN ) (Lampiran ). Syaufina (8) menyampaikan bahwa kekeringan berhubungan erat dengan kejadian kebakaran hutan yang besar di beberapa tempat di bumi. Kekeringan menyebabkan kadar air vegetasi turun. Selanjutnya, kekurangan kadar air yang panjang dapat menyebabkan tanaman mati, kayu besar kehilangan kadar air dan potensi kebakaran menjadi tinggi. Jumlah sebaran hotspot yang tinggi berdampak pada tingginya tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Berdasarkan hasil penelitian LAPAN (), di Provinsi Riau mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya penanganan secara hukum terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. 5. Sebaran Hotspot Bulanan Berdasarkan Gambar 4a, sebaran hotspot tertinggi pada tahun 9 terjadi pada bulan Juli, yaitu sebanyak.395 hotspot. Sebaran terendah terjadi pada bulan Desember, yaitu sebanyak 5 hotspot. Rata-rata sebaran hotspot bulanan tahun 9 adalah sebanyak 644,5 hotspot. Sebaran hotspot terbanyak terjadi pada bulan Mei hingga Agustus yang diakibatkan oleh dua faktor, yaitu ) praktek pembakaran dalam proses pembersihan lahan, baik di lahan pertanian masyarakat maupun konsesi perkebunan, dan ) faktor lingkungan sebagai pendukung dalam

tingginya hotspot dan kebakaran hutan di Provinsi Riau. Kebakaran hutan pada terjadi karena praktek pembakaran di lahan hutan terlantar (eks HPH/HTI) untuk dijadikan lahan garapan/perkebunan (WWF ). Faktor ini didukung oleh curah hujan yang rendah pada bulan Mei hingga Agustus pada tahun 9 di Provinsi Riau (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran 3). (a) (b) (c) Gambar 5 Sebaran hotspot bulanan: (a) tahun 9; (b) tahun ; dan (c) tahun di Provinsi Riau

Berdasarkan sebaran hotspot bulanan pada tahun (Gambar 4b), dapat dilihat bahwa pada bulan Januari jumlah hotspot yang berhasil ditangkap oleh pantauan satelit sebanyak 93 hotspot. Jumlah sebaran hotspot mengalami kenaikan pada bulan Februari, yaitu 45 hotspot. Jumlah hotspot pada bulan Maret hingga bulan April cenderung menurun dari sebanyak 9 hotspot hingga 39 hotspot. Pada bulan Mei tahun jumlah hotspot mengalami kenaikan sebanyak 46 hotspot dan kembali turun menjadi 98 hotspot pada bulan Juni dan 79 hotspot pada bulan Juli. Kenaikan jumlah hotspot kembali terjadi, dari sebanyak hotspot pada bulan Agustus, 8 hotspot pada bulan September hingga titik maksimum sebanyak 554 hotspot pada bulan Oktober. Jumlah hotspot mengalami penurunan pada bulan Desember, yaitu menjadi 53 hotspot. Pada sekitar pertengahan Oktober, terjadi perubahan suhu yang ekstrem yang mencapai 35,6 o C (suhu rata-rata 3 34 o C). Meskipun didominasi oleh musim basah, ada beberapa hari tidak terjadi hujan. Pada situasi seperti itulah kebakaran lahan dan hutan terjadi. Intensitas kebakaran ini semakin tinggi karena dukungan suhu yang ekstrem (sangat panas) di siang hari. Jumlah sebaran hotspot di Provinsi Riau kembali meningkat menjadi 3.538 hotspot di tahun. Berdasarkan Gambar 4c, ditemukan 6 hotspot pada bulan Januari. Pada bulan Februari sebaran hotspot mengalami peningkatan menjadi 5 hotspot dan mengalami penurunan kembali menjadi 3 hotspot pada bulan Maret. Peningkatan jumlah hotspot diawali pada bulan April yaitu sebanyak hotspot, diikuti bulan Mei menjadi 397 hotspot. Sebaran hotspot kembali naik menjadi 383 hotspot pada bulan Juni. Selanjutnya, sebaran hotspot mencapai titik maksimum menjadi 78 hotspot pada bulan Juli. Tingginya peningkatan sebaran hotspot dipengaruhi oleh aktivitas pembakaran dan didukung oleh kondisi alam. Pada bulan Maret hingga Agustus, curah hujan di Provinsi Riau masuk dalam kategori rendah, yaitu 5 5 mm/bulan. Tingkat kekeringan pada bulan Maret hingga Agustus masuk dalam kategori sedang hingga tinggi. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya bulan kering yang panjang, sehingga tingkat kemudahan penyulutan api di Provinsi Riau ekstrem (LAPAN b, c, d, e, f ).

5.3 Sebaran Hotspot Tipe Tanah Gambut Hotspot tersebar pada dua tipe tanah, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Dalam kurun waktu tiga tahun, 9 terpantau.987 hotspot (Lampiran 4). Sejumlah 7.49 hotspot ditemukan pada tanah bergambut atau 55% sedangkan 5.838 atau 45% lainnya dijumpai pada tanah mineral (Gambar 5). Gambar 6 Persentase sebaran hotspot berdasarkan tipe tanah pada tahun 9 di Provinsi Riau ( lahan gambut; lahan non gambut) Syaufina (8) menyebutkan bahwa gambut merupakan bahan bakar yang baik dengan nilai kalor lebih besar daripada kayu yang dapat mencapai 7,7 KJ/g dengan kadar abu yang rendah (sekitar 3%). Tingginya sebaran hotspot di lahan gambut didukung oleh karakteristik gambut itu sendiri. Gambar 7 Sebaran hotspot berdasarkan jenis tanah di Provinsi Riau tahun 9 Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa distribusi hotspot pada gambut paling banyak terdapat pada bulan Juli, yaitu sebanyak.95 hotspot. Sedangkan pada bulan Desember sebaran hotspot mencapai titik minimum, yaitu sebanyak 56

hotspot. Hal ini disebabkan oleh panjangnya bulan kering yang terjadi. Dalam kurun waktu tiga tahun (9), bulan kering terjadi pada bulan Mei hingga Oktober. Panjangnya bulan kering berpengaruh terhadap jumlah sebaran hotspot di lahan gambut. Dengan demikian, terdapat hubungan antara panjang bulan kering dengan jumlah hotspot yang ditemukan di lahan gambut. Tingginya sebaran hotspot di lahan gambut di Provinsi Riau diawali pada tahun (Muslim dan Kurniawan 8). Pada tahun investasi terhadap perkebunan sawit meningkat secara signifikan di Provinsi Riau. Dengan demikian, pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan perkebunan kelapa sawit meningkat. Dengan kata lain, alih fungsi lahan gambut menjadi lahan perkebunan berakibat pada meningkatnya sebaran hotspot yang diikuti dengan meningkatnya potensi kebakaran lahan gambut. (a) (b) (c) Gambar 8 Sebaran hotspot pada lahan gambut: (a) tahun 9; (b) tahun ; dan (c) tahun di Provinsi Riau ( lahan gambut, lahan mineral, titik panas (hotspot)) Kebakaran pada lahan gambut ini selalu berulang setiap tahun pada lokasi yang sama (Gambar 7) (lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5), ini menunjukkan bahwa pengelolaan lahan gambut memiliki resiko yang besar terhadap kebakaran. Hal ini dikarenakan oleh pembuatan kanal-kanal sebagai drainase untuk pengeringan lahan gambut tersebut. Dengan demikian, penurunan muka air tanah pada kawasan bergambut berdampak pada kekeringan yang tinggi dan mudah terbakar baik disengaja maupun tidak. Tingginya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau dipacu dengan adanya kebijakan pemerintah provinsi dalam membuka ruang investasi baik HTI dan perkebunan kelapa sawit. Ruang investasi dibuka luas mulai pada tahun. Pada tahun 7, luas HTI telah mencapai angka.935.67 ha, 58% berupa lahan gambut (Jikalahari 9). Perkebunan sawit tahun 7 telah mencapai luasan.57.9 ha, 39% berupa lahan gambut (Jikalahari 9). E W S Skala :5. 4 Kilometers E W S Skala :5. 4 Kilometers E W S Skala :5. 4 Kilometers