BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penutupan Lahan Penutupan lahan yang terdapat di Kalimantan Tengah terdiri atas 18 jenis penutupan lahan. Tabel 1 menyajikan penutupan lahan di Kalimantan Tengah. Penutupan area hutan paling dominan di Kalimantan Tengah adalah hutan primer sementara penutupan lahan area non hutan di Kalimantan Tengah didominasi oleh semak belukar. Tabel 1 Daftar penutupan lahan di Kalimantan Tengah No Penutupan Lahan Land Cover Kode 1 Semak belukar rawa Swamp shrubs SSH 2 Hutan gambut primer Undisturbed swamp forest USF 3 Hutan gambut sekunder Disturbed swamp forest DSF 4 Hutan primer Undisturbed forest UDF 5 Hutan sekunder Disturbed forest DIF 6 Hutan tanaman industri Timber plantation TPL 7 Kebun campuran Mixed tree crops MTC 8 Kebun karet Rubber plantation RPL 9 Kelapa sawit Oil palm plantation OPL 10 Mangrove Disturbed mangrove DIM 11 Rumput Grass GRS 12 Rumput rawa Swamp grass SGR 13 Semak belukar Shrub SCH 14 Sawah Rice field RCF 15 Lahan tegalan Dry cultivation land DCL 16 Pemukiman Settlements SET 17 Tambak Fish pond CFP 18 Pertambangan Mining MIN Perubahan luas tutupan lahan di Kalimantan Tengah tahun disajikan pada Tabel 2. Penurunan luas area terbesar di Kalimantan Tengah pada tahun dan adalah hutan primer sementara peningkatan luas area terbesar di Kalimantan Tengah pada tahun dan adalah perkebunan kelapa sawit.

2 16 No Tabel 2 Perubahan luas tutupan lahan di Kalimantan Tengah tahun Penutupan Lahan 2000 (ha) 2005 (ha) Selisih (ha) 2009 (ha) Selisih (ha) 1 Semak belukar rawa Hutan primer ( ) ( ) 3 Hutan gambut primer ( ) ( ) 4 Hutan sekunder ( ) Hutan gambut sekunder ( ) 6 Hutan tanaman industri (15.647) (15.158) 7 Kebun campuran Kebun karet (7.265) 9 Kelapa sawit Mangrove Rumput (71.470) Rumput rawa (51.425) Belukar (99.992) 14 Sawah (6.939) 15 Tambak Tegalan (56.053) 17 Pemukiman Tambang Total ( ) = mengalami penurunan Peta perubahan penutupan lahan Kalimantan Tengah pada tahun 2000 disajikan pada Gambar 3. Penutupan lahan di Kalimantan Tengah disimbolkan dengan warna yang berbeda berdasarkan jenis penutupan lahan.

3 17 Gambar 4 Peta penutupan lahan Kalimantan Tengah tahun 2000 Matriks perubahan penutupan lahan Kalimantan Tengah tahun disajikan pada Tabel 3. Nilai luasan penutupan lahan dan perubahan penutupan lahan di Kalimantan Tengah tahun disajikan pada Lampiran Tabel 3 Matriks perubahan penutupan lahan Kalimantan Tengah tahun SSH DIF DSF TPL MTC RPL OPL 2005 GRS SGR SCH RCF DCL SET MIN X5 SSH V V V - V - V V UDF - V - V - V V - - V - V V - - USF V - V V - V - - V DIF V V - V V - V - V V V - DSF V V V V TPL V V - - V V V MTC V V - RPL V GRS V V V - - V - V SGR V V V SCH V V V V V V V V - RCF V - - DCL V V V V - V - - Tabel 1 menunjukan penjelasan kode penutupan lahan

4 18 Matriks perubahan penutupan lahan Kalimantan Tengah tahun disajikan pada Tabel 4. Nilai luasan penutupan lahan dan perubahan penutupan lahan di Kalimantan Tengah tahun disajikan pada Lampiran Tabel 4 Matriks perubahan penutupan lahan Kalimantan Tengah tahun SSH DIF DSF TPL MTC RPL OPL 2009 SSH V - V - V - V V - - V UDF - V - V V - V V - V - - V V V USF V - V - - V V - V V - - DIF V V V V V - V - - V V - DSF V V - V - V V - - TPL V V - V MTC V RPL V GRS V SGR V SCH V V V V V V V RCF V V V - DCL V V V V MIN V Tabel 1 menunjukan penjelasan kode penutupan lahan GRS Gambar 4 menyajikan peta sebaran tanah mineral dan gambut di Kalimantan Tengah. Sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah didominasi oleh jenis tanah mineral. SGR SCH RCF CFP DCL SET MIN Gambar 5 Peta sebaran jenis tanah mineral dan gambut Kalimantan Tengah

5 Hotspot Gambar 5 menyajikan jumlah hotspot di Kalimantan Tengah tahun Jumlah hotspot tertinggi di Kalimantan Tengah terdapat pada tahun Jumlah hotspot Tahun Gambar 6 Jumlah hotspot di Kalimantan Tengah Tahun Peta sebaran hotspot tahun 2000, 2005, dan 2009 di Provinsi Kalimantan Tengah disajikan pada Gambar 6. Jumlah hotspot semakin meningkat seiring dengan perubahan periode tahun. Berdasarkan peta sebaran hotspot tahun 2000, 2005, dan 2009 Provinsi Kalimantan Tengah jumlah hotspot tertinggi terdapat pada tahun 2009 (7.405 titik). tahun 2000 tahun 2005 tahun 2009 Gambar 7 Peta sebaran hotspot di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009 Perbandingan jumlah hotspot di tanah mineral dan gambut Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009 disajikan pada Tabel 5. Akumulasi Jumlah hotspot tertinggi pada tahun 2000, 2005, dan 2009 terdapat pada jenis lahan gambut yang mencapai hotspot sementara jumlah hotspot di tanah mineral mencapai hotspot.

6 20 No Tabel 5 Hotspot pada tanah mineral dan gambut di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009 Kode Lahan Hotspot Min Gam Total Min Gam Total Min Gam Total 1 SSH UDF USF DIF DSF TPL MTC RPL OPL DIM GRS SGR SCH RCF CFP DCL SET MIN Total Min = Mineral, Gam = Gambut Rataan curah hujan (BMKG Pusat) dan hotspot per bulan pada tahun 2000 hingga tahun 2009 di Kalimantan Tengah disajikan pada Gambar 7. Peningkatan jumlah hotspot per bulan sejalan dengan penurunan jumlah curah hujan rataan per bulan begitu pula sebaliknya. Curah hujan (mm) 400,0 300,0 200,0 100,0 0,0 Curah Hujan (mm) Hotspot Jumlah hotspot Bulan Gambar 8 Rataan curah hujan dan hotspot per bulan tahun Kalimantan Tengah

7 Luas Area Terbakar Tabel 6 menyajikan pendugaan luas area terbakar di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, Luas area terbakar tertinggi di Kalimantan Tengah terdapat pada tahun Semak belukar rawa menghasilkan luas area terbakar terluas pada tahun Penutupan lahan semak belukar menghasilkan luas area terbakar terluas pada tahun 2005, sementara pada tahun 2009 penutupan lahan semak belukar rawa menghasilkan luas area terbakar terluas. Tabel 6 Pendugaan luas area terbakar di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009 No Penutupan Lahan Tahun 2000 (ha) Tahun 2005 (ha) Tahun 2009 (ha) 1 Semak belukar rawa Hutan primer Hutan gambut primer Hutan sekunder Hutan gambut sekunder Hutan tanaman industri Kebun campuran Kebun karet Kelapa sawit Mangrove Rumput Rumput rawa Semak belukar Sawah Tambak Tegalan Pemukiman Tambang Total Emisi Karbon Tabel 7 menyajikan pendugaan emisi karbon yang dihasilkan pada berbagai penutupan lahan di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, dan Nilai emisi karbon diperoleh dari penghitungan nilai biomassa terbakar dengan koefisien pembakaran dan nilai bahan bakar. Matriks perubahan emisi karbon pada tanah mineral tahun dan disajikan pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Matriks perubahan emisi karbon pada lahan gambut tahun dan disajikan pada Lampiran 6 dan Lampiran 7.

8 22 Tabel 7 Pendugaan emisi karbon di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009 Penutupan No Lahan 1 Semak belukar rawa 2 Hutan primer 3 Hutan gambut primer 4 Hutan sekunder 5 Hutan gambut sekunder 6 Hutan tanaman industri 7 Kebun campuran M (ton) M(C) (ton) Kebun karet Kelapa sawit Mangrove Rumput Rumput rawa 13 Semak belukar Sawah Tambak Tegalan Pemukiman Tambang M=Kehilangan biomassa, M(C)=Emisi karbon Tabel 8 menyajikan hasil perhitungan estimasi emisi CO 2 pada berbagai tipe penutupan lahan di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, dan Penghitungan nilai CO 2 dibedakan berdasarkan jenis tanah mineral dan gambut. Nilai CO 2 yang dihasilkan pada penutupan lahan berjenis tanah mineral lebih tinggi daripada nilai CO 2 yang dihasilkan dari penutupan lahan di lahan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun 2000, 2005, dan 2009.

9 23 Tabel 8 Pendugaan emisi CO 2 di Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009 Penutupan No Lahan 1 Semak belukar rawa 2000 (ton) 2005 (ton) 2009 (ton) mineral gambut mineral gambut mineral gambut Hutan primer Hutan gambut primer Hutan sekunder Hutan gambut sekunder Hutan tanaman industri Kebun campuran Kebun karet Kelapa sawit Mangrove Rumput Rumput rawa Semak belukar Sawah Tambak Tegalan Pemukiman Tambang l Tabel 9 menyajikan rekapitulasi estimasi emisi karbon yang dihasilkan pada tahun 2000, 2005, dan Nilai kehilangan biomassa mengalami peningkatan dari tahun 2000, 2005, dan Hal serupa terjadi pada nilai emisi karbon yang dihasilkan pada tahun 2000, 2005, dan Tabel 9 Rekapitulasi pendugaan emisi karbon Kalimantan Tengah tahun 2000, 2005, 2009 No Emisi Karbon Tahun 2000 Tahun 2005 Tahun M (ton) M(C) (ton)

10 Pembahasan Menurut Hartanto (2006) penutupan lahan adalah jenis kenampakan yang terdapat di permukaan bumi sementara penggunaan lahan mengarah pada kegiatan manusia pada obyek tersebut. Berdasarkan pengolahan data citra satelit yang diperoleh, terdapat 18 jenis penutupan lahan di Kalimantan Tengah pada tahun Seiring dengan perubahan waktu konversi lahan menjadi bervariasi. Penutupan lahan dapat berubah menjadi penutupan lahan yang lain. Hal ini menyebabkan luasan dari penutupan lahan menjadi berkurang dan atau bertambah. Tahun hutan primer mengalami pengurangan terbesar yaitu (4%) ha, sedangkan area kelapa sawit mengalami kenaikan luas area yaitu ha (60%). Pada tahun , hutan primer mengalami konversi terbesar yaitu ha (10%), sedangkan perkebunan kelapa sawit mengalami kenaikan jumlah area yaitu ha (190%). Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi perubahan penutupan lahan dari hutan menjadi non hutan. Peningkatan luas area perkebunan didasari oleh alasan sosial ekonomi terkait dengan adanya kebijakan pemberian insentif terhadap sektor perkebunan sehingga menyebabkan luas perkebunan meningkat pesat (Syaufina 2008). Terdapat 12 jenis penutupan lahan yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dari tahun 2000 hingga tahun Perubahan penutupan lahan terbesar yaitu terjadi pada semak belukar menjadi kelapa sawit seluas ha pada tahun Hal yang sama terjadi pada perubahan luas penutupan semak belukar menjadi perkebunan kelapa sawit yang mencapai ha pada tahun Hal ini terjadi karena mudahnya penutupan semak belukar dibakar untuk penyiapan lahan kelapa sawit. Total pembakaran semak belukar menjadi lahan perkebunan kelapa sawit yaitu ha (40%) di tahun dan ha (31%) di tahun Semak belukar berada pada kawasan lahan kering yang ditumbuhi vegetasi alami heterogen dan homogen yang kerapatannya jarang hingga rapat. Kawasan tersebut didominasi vegetasi rendah (alami). Semak belukar di Indonesia biasanya berupa kawasan bekas hutan dan tidak menampakan bekas atau bercak tebangan (Standar Nasional Indonesia 2010).

11 25 Provinsi Kalimantan Tengah memiliki luas hutan sekitar hektar (Perda No: 8/2003) atau 64% dari luas seluruh Kalimantan Tengah. Penelitian ini menunjukan bahwa hutan primer merupakan area yang paling banyak dikonversi menjadi penutupan lahan lain. Penutupan hutan primer tersebut berubah menjadi pertambangan, kebun campuran, hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit, hutan sekunder, belukar, dan tegalan dalam jangka waktu 5 tahun. Pada tahun 2009 luas hutan primer berkurang hingga ha jika dibandingkan dengan luas hutan primer tahun Perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan luas sebesar ha. Hal ini terjadi akibat beberapa penggunaan lahan seperti semak belukar rawa, tegalan, semak belukar, rumput rawa, rumput, kebun rakyat, hutan tanaman industri, hutan sekunder, hutan primer, hutan rawa sekunder, dan hutan rawa primer dikonversi menjadi area kelapa sawit. Konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit saat ini marak dilakukan terutama di pulau Sumatra dan Kalimantan. Hal ini mengingat nilai ekonomi dari sawit yang tinggi di pasaran, sehingga terjadi kecenderungan kenaikan luas lahan kebun sawit (Syaufina 2008). Berdasarkan pengolahan data citra satelit area Kalimantan Tengah, diperoleh area dengan jenis tanah mineral yaitu ha dan area dengan jenis tanah gambut yaitu ha. Lahan gambut Kalimantan Tengah terdapat di pantai selatan Provinsi Kalimantan Tengah dimana Sungai Sebangau, Kahayan, Kapuas, Barito mengalir. Lahan gambut merupakan ekosistem yang unik, pada musim hujan gambut dapat berperan sebagai spons dengan menyerap kelebihan air hujan sehingga mencegah banjir. Sementara pada musim kemarau, gambut mengeluarkan air sehingga tidak terjadi kekeringan (Syaufina et al. 2009). Kejadian kebakaran hutan terjadi setiap tahun di Provinsi Kalimantan Tengah. Pendugaan kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat dihubungkan dengan sebaran titik rawan api (hotspot). Pendugaan titik api (hotspot) memiliki kekurangan yaitu dalam hal akurasi data. Oleh karena itu perlu dilakukan seleksi terhadap data hotspot, salah satunya adalah dengan memilih data hotspot yang memiliki nilai kepercayaan (confidence) tinggi. Ketidakakuratan data dapat diminimalisir melalui cara tersebut.

12 26 Berdasarkan data hotspot tahun 2000, 2005, dan 2009 telah terjadi peningkatan jumlah hotspot. Jumlah hotspot tahun 2000 mencapai 1.745, hotspot (2005), dan hotspot (2009). Kenaikan jumlah hotspot ini diduga karena perubahan area hutan menjadi area tidak berhutan terutama pada tahun 2009 dimana sebagian besar area hutan sudah berubah menjadi area non hutan. Hal ini diindikasikan dengan menculnya titik-titik panas dan kebakaran yang terjadi di area non hutan. Berdasarkan penelitian Putra et al. (2008), luas area hutan terbakar berkorelasi positif dengan kenaikan jumlah hotspot pada tahun 1999 hingga 2002, namun hal ini tidak terjadi pada tahun 2003 hingga Kejadian ini mengindikasikan bahwa kebakaran hutan yang terjadi berasal dari area non hutan. Jumlah hotspot yang muncul dari tahun 2000 hingga 2009 mengalami fluktuasi. Jumlah hotspot mengalami kenaikan pada tahun 2002, 2004 dan Pada tahun 2002 hotspot mencapai , pada tahun 2004 hotspot mencapai dan pada tahun 2006 hotspot mencapai Kenaikan ini salah satunya disebabkan karena fenomena El-Nino pada tahun 2002, 2004, dan 2006 sehingga data sebaran hotspot yang terjadi pada tahun-tahun tersebut dapat menggambarkan fenomena El-Nino yang telah terjadi. Menurut Putra et al. (2008) kejadian El- Nino merupakan kejadian kekeringan yang terjadi pada tahun 1997, 2002, 2004, dan Fenomena El-Nino yang terjadi dapat menyebabkan kekeringan bahan bakar akibat menurunnya curah hujan. Curah hujan mempengaruhi kadar air bahan bakar. Semakin tinggi curah hujan maka kadar air bahan bakar akan meningkat yang mengakibatkan kejadian kebakaran menjadi sulit. Setiap penutupan lahan akan menghasilkan jumlah hotspot yang berbeda. Hal ini terkait dengan aktivitas yang dilakukan pada lahan tersebut. Menurut Arsyad (1989) perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kehidupannya baik materil mapun spiritual. Begitu juga dengan perubahan penggunaan lahan yang sebelumnya berupa hutan menjadi lahan yang digunakan untuk aktivitas lain. Jumlah hotspot tertinggi pada tahun 2000 berada pada area rumput rawa yaitu 380 titik, pada tahun 2005 jumlah hotspot tertinggi terdapat pada semak

13 27 belukar yaitu 758 titik hotspot, serta jumlah hotspot terbanyak pada tahun 2009 yaitu pada semak belukar rawa yaitu titik. Peningkatan jumlah hotspot umumnya terjadi pada area tidak berhutan. Pada tahun 2000, rumput rawa mencatat jumlah hotspot tertinggi yang disebabkan faktor konversi lahan. Salah satunya menjadi lahan pertanian sehingga menyebabkan rawa mengalami subsiden dan kekeringan yang tinggi. Kondisi ini akan memicu terjadinya kebakaran gambut dan gambut yang subsiden tidak dapat kembali ke bentuk awal. Hal ini didukung oleh kondisi bahan bakar berupa rumput yang mudah terbakar sehingga hotspot yang terdeteksi diasumsikan sebagai kejadian kebakaran hutan dan lahan. Lahan gambut yang mendominasi penutupan lahan rumput rawa juga dapat meningkatkan kejadian hotspot. Pada tahun 2005, semak belukar mencapai jumlah hotspot tertinggi karena diindikasikan ekosistem tersebut memiliki kondisi vegetasi yang mudah terbakar. Hal ini terkait dengan faktor perilaku kebakaran hutan yaitu bahan bakar. Semak belukar termasuk pada klasifikasi bahan bakar permukaan (surface fuels) dan atas (crown fuels) yang berada di antara tajuk tumbuhan tingkat bawah sampai tajuk tumbuhan tingkat tinggi. Bahan bakar ini terdiri dari cabang-cabang pohon, daun, semak belukar serta pohon mati yang masih berdiri (Brown dan Davis 1973 dalam Syaufina 1998). Rumput rawa tidak menghasilkan jumlah hotspot tertinggi pada tahun 2005 yang disebabkan karena penurunan luas penutupan rumput rawa pada tahun Sementara luas penutupan semak belukar mengalami kenaikan dari tahun 2000 hingga tahun Pada tahun 2009 terjadi pencapaian hotspot tertinggi di antara tahun 2000, 2005, dan 2009 yaitu pada semak belukar rawa. Hal ini disebabkan luas area semak belukar rawa semakin meningkat yaitu terjadi kenaikan mencapai ha (10%) di tahun Hal ini disebabkan karena perubahan penutupan lahan berupa hutan gambut primer ( ha), hutan gambut sekunder ( ha) dan rumput rawa ( ha) menjadi semak belukar rawa. Kondisi penutupan semak belukar rawa memungkinkan munculnya hotspot terkait semak belukar sebagai bahan bakar yang mudah terbakar dan lahan gambut yang mendominasi penutupan semak belukar rawa.

14 28 Hotspot yang terdapat di lahan mineral adalah titik sedangkan pada lahan gambut adalah titik pada tahun 2000, 2005, dan Jumlah titik hotspot yang terdapat di gambut lebih banyak daripada di tanah mineral disebabkan karena lahan gambut di Kalimantan Tengah memiliki kondisi yang lebih cepat mengalami kekeringan dan mudah terbakar. Lahan gambut merupakan ekosistem yang sensitif terhadap perubahan iklim. Dalam beberapa dekade terjadi perubahan lahan gambut yang intensif di Indonesia, Malaysia dan Thailand. Perubahan lahan gambut alami yang berupa hutan menjadi area pertanian dan perkebunan (karet dan kelapa sawit) mengakibatkan terganggunya fungsi ekosistem lahan gambut. Terlebih dengan adanya sifat gambut irreversible drying (pengeringan tak berbalik) dimana ketika gambut telah kering maka akan sulit membasahinya lagi (Syaufina et al. 2009). Di Indonesia, faktor iklim berperan dalam menentukan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, serta perilaku api, namun bukan merupakan penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Kejadian kebakaran pada tahun 1982, 1987, 1991, 1994, 1997/1998, dan 2002 menunjukan kejadian kebakaran yang berhubungan dengan kekeringan. Kondisi tersebut erat kaitannya dengan fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) (Anonymous 1998, Lee et al dalam Syaufina 2008). Fenomena El-Nino di perairan laut Indonesia adalah mendinginnya suhu permukaan laut di sekitar perairan Indonesia akibat tertariknya seluruh masa air hangat ke bagian tengah Samudra Pasifik. Hal ini mengakibatkan menurunnya produksi awan di wilayah Indonesia yang berpengaruh terhadap penurunan curah hujan. Data menunjukan terjadi peningkatan jumlah hotspot di lahan mineral dan gambut. Kenaikan yang signifikan pada jumlah hotspot di tanah mineral pada tahun 2005 disebabkan oleh peningkatan jumlah hotspot pada penutupan lahan semak belukar yang seluruhnya berjenis tanah mineral hingga mencapai 758 hotspot. Secara akumulasi, jenis penutupan lahan semak belukar menyumbang jumlah hotspot terbanyak setiap tahunnya pada lahan mineral. Hal ini disebabkan karena tersedianya bahan bakar semak belukar sehingga meningkatkan kejadian kebakaran. Kenaikan hotspot pada lahan gambut salah satunya disebabkan kontribusi hotspot dari lahan semak belukar rawa. Kondisi semak belukar yang

15 29 didominasi bahan bakar ditambah dengan lahan gambut yang mudah mengering dan terbakar menyebabkan penutupan lahan semak belukar rawa menyumbang hotspot tertinggi di lahan gambut akibat meningkatnya kejadian kebakaran. Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi tinggi dengan kejadian kebakaran hutan (Soares dan Sampaio 2000). Curah hujan didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh di permukaan tanah dan diukur sebagai tinggi air dalam satuan mm (milimeter) sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan atau perembesan ke dalam tanah (Hidayati 2001). Musim kebakaran hutan berhubungan dengan pola hujan, terutama dengan kekeringan. Puncak musim kebakaran terjadi pada musim kemarau. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban akan tinggi sehingga kejadian kebakaran akan sulit. Menurut Mackinno et al. (1997) dalam Putra et al. (2008) bulan basah ditandai dengan curah hujan > 200 mm/bulan, sedangkan bulan kering ditandai oleh curah hujan < 100 mm/bulan. Berdasarkan data curah hujan harian dari BMKG Pusat daerah Kalimantan Tengah Stasiun Palangkaraya dari tahun , bulan-bulan kering masuk pada bulan Juli hingga September. Jumlah rataan curah hujan bulan Juli yaitu 74,3 mm, pada bulan Agustus rataan curah hujan adalah 61,2 mm, dan pada bulan September rataan curah hujan adalah 56 mm. Puncak dari kenaikan hotspot yaitu pada bulan September dan sejalan dengan penurunan curah hujan paling rendah di bulan September. Kenaikan jumlah hotspot pada bulan Juli hingga September terjadi karena penurunan curah hujan pada periode bulan kering tersebut. Semakin tinggi curah hujan maka jumlah hotspot akan berkurang begitu pula sebaliknya sehingga sebaran titik hotspot berkorelasi positif dengan curah hujan di Provinsi Kalimantan Tengah tahun Estimasi data luas kebakaran hutan dan lahan menunjukan peningkatan pada tahun 2000, 2005, dan Kenaikan ini disebabkan oleh jumlah hotspot yang semakin bertambah dari tahun 2000, 2005, dan Estimasi luas area terbakar pada tahun 2000 didominasi oleh semak belukar rawa seluas ha. Estimasi luas area terbakar pada tahun 2005 didominasi oleh penutupan lahan semak belukar seluas ha. Estimasi luas area terbakar pada tahun 2009 didominasi oleh semak belukar rawa seluas ha. Jika dibandingkan dengan data

16 30 jumlah hotspot, pada tahun 2000 penutupan lahan rumput rawa memiliki jumlah hotspot terbanyak namun pada luas area terbakar tahun 2000 semak belukar rawa memiliki luas terbakar tertinggi. Hal ini terjadi karena tumpang tindih (overlapping) hotpot pada lahan yang lebih sempit di penutupan lahan rumput rawa ( ha) sementara luas area semak belukar rawa lebih luas yaitu ha. Kondisi ini menyebabkan luasan area terbakar lebih banyak pada daerah yang lebih luas yaitu semak belukar rawa. Selain itu posisi hotspot pada rumput rawa cenderung berkumpul di satu wilayah yang menyebabkan luasan area terbakar menjadi berkurang. Sementara pada tahun 2005 dan 2009 peningkatan luas area terbakar sejalan dengan jumlah hotspot yang terdapat pada semak belukar dan semak belukar rawa. Berdasarkan pengolahan data dapat disimpulkan bahwa penutupan lahan rumput rawa mengalami persentase luas terbakar tertinggi di tahun 2000 yaitu 7,2%, sedangkan penutupan hutan primer mengalami kebakaran terendah (0,03%). Hal ini disebabkan hutan primer merupakan area hutan yang sulit terjadi kebakaran di dalamnya, sedangkan pada penutupan lahan rumput rawa diasumsikan terjadi kekeringan terkait dengan kondisi lahan gambut dan mudahnya terjadi kebakaran. Kondisi iklim mikro yang terdapat di dalam hutan menyebabkan bahan bakar menjadi tidak kering karena kelembaban terjaga. Hal ini mengakibatkan proses kebakaran sulit terjadi. Penutupan lahan rumput rawa menempati urutan pertama dalam persentase luasan terbakar yaitu 9,7% pada tahun 2005, sedangkan luasan terbakar yang paling sedikit ditempati oleh mangrove yaitu 0,3%. Penutupan lahan rumput rawa menempati urutan pertama dalam persentase luasan terbakar yaitu 13,6%, sedangkan luasan terbakar yang paling sedikit ditempati oleh mangrove yaitu 0,4% pada tahun Area mangrove mengalami presentase luas terbakar paling sedikit karena lokasinya yang dekat dengan badan air sehingga kebakaran kemungkinan sulit terjadi secara besar. Nilai presentase diperoleh dengan membandingkan luas area terbakar dengan luas keseluruhan area pada masing-masing penutupan lahan. Tingkat luasan dari area penutupan lahan mempengaruhi hal tersebut. Jika luas area terbakar semakin besar pada penutupan lahan yang sempit, hal ini akan menaikan

17 31 presentase terbakar. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat tingkat kerawanan terbakar pada setiap jenis penutupan lahan. Kebakaran hutan dan lahan lebih banyak terjadi pada tanah mineral daripada tanah gambut. Hal ini disebabkan sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah tertutupi oleh tanah mineral ( ha) dibandingkan dengan lahan gambut ( ha). Luas area terbakar merupakan gambaran dari banyaknya hotspot yang terdeteksi pada setiap penutupan lahan. Kecenderungan fluktuasi hotspot dengan luas area terbakar pada masing-masing penutupan lahan memiliki korelasi positif. Sehingga data sebaran hotspot dapat digunakan untuk memprediksi luas terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan matriks perubahan tutupan lahan, penggunaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit diindikasikan paling banyak terbakar. Hal ini dimungkinkan terkait dengan penyiapan lahan untuk perkebunan dengan metode pembakaran. Pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan dengan cara pembakaran dianggap sebagai metode yang murah dan cepat namun di sisi lain hal tersebut beresiko tinggi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan rekapitulasi emisi karbon pada tahun 2000, penutupan hutan gambut sekunder menghasilkan nilai emisi karbon tertinggi ton hal ini disebabkan karena luas area terbakar di hutan gambut sekunder menempati urutan kedua setelah luas area terbakar semak belukar rawa pada tahun Selanjutnya hal ini akan berpengaruh terhadap massa bahan bakar yang terbakar sebagai dasar penghitungan emisi karbon. Semak belukar rawa tidak menghasilkan emisi karbon tertinggi walaupun luas area terbakarnya terbesar disebabkan karena koefisien bahan bakarnya lebih rendah daripada nilai koefisien bahan bakar hutan gambut sekunder (Seiler and Crutzen 1980). Penutupan lahan semak belukar menghasilkan emisi karbon tertinggi mencapai ton pada tahun Hal ini disebabkan luas area terbakar semak belukar mencapai luas tertinggi paada tahun Luas penutupan semak belukar mencapai 14% dari provinsi Kalimantan Tengah. Selain itu nilai efisiensi pembakaran (pada Lampiran 1) yang mencapai 0,8 (Seiler and Crutzen 1980) menunjukkan bahwa semak belukar merupakan bahan bakar yang mudah terbakar. Semak belukar rawa menghasilkan emisi karbon tertinggi yaitu

18 32 mencapai ton pada tahun Penyebab utama yaitu karena luas area terbakar semak belukar rawa mencapai luasan tertinggi di tahun Kondisi semak belukar yang kaya dengan bahan bakar menyebabkan unsur karbon banyak teremisikan. Unsur karbon merupakan senyawa yang dominan dalam kebakaran hutan, karena hampir 45% materi kering tumbuhan adalah karbon (Hao et al. 1990). Kondisi tutupan lahan semak belukar rawa didominasi oleh lahan gambut. Menurut Agus et al. (2011), tanah gambut memiliki karakteristik yang lebih mudah terbakar dibandingkan dengan jenis tanah mineral. Lahan gambut merupakan lahan yang kaya dengan sisa tanaman dan terdekomposisi sebagian. Tanah gambut tropis mempunyai ketebalan 0,5 m hingga lebih dari 15 m, namun sebagian besar berada antara 2 8 m. Oleh karena itu penghitungan emisi karbon pada tanah gambut berbeda dengan jenis tanah mineral. Jenis perubahan lahan semak belukar menjadi perkebunan kelapa sawit menghasilkan emisi karbon tertinggi yaitu mencapai ton pada tahun Hal ini terkait dengan luas area yang terbakar di semak belukar dan mudahnya semak belukar untuk dibakar terkait dengan penyiapan lahan perkebunan kelapa sawit Sebagian besar unsur karbon yang teremisikan ke udara adalah dalam bentuk CO 2, sisanya berbentuk CO, hidrokarbon terutama CH 4, dan asap. Penghitungan emisi karbondioksida dibedakan berdasarkan tanah mineral dan gambut. Pada penutupan lahan yang berjenis tanah mineral, emisi karbondioksida (CO 2 ) dari semak belukar menempati urutan pertama berturut-turut dari tahun 2000, 2005, dan Emisi karbondioksida tertinggi pada penutupan lahan semak belukar di Kalimantan Tengah berada pada tahun 2005 ( ton). Dominasi emisi karbondioksida yang dihasilkan oleh semak belukar disebabkan karena faktor utama yaitu luas area terbakar semak belukar yang seluruhnya terdapat pada tanah mineral. Kemudian didukung dengan efisiensi pembakaran yang mencapai 0,8 (Seiler and Crutzen 1980). Sementara pada penutupan lahan gambut, jenis hutan gambut sekunder menempati urutan pertama emisi karbondioksida (CO 2 ) pada tahun 2000 dan Emisi karbondioksida tertinggi berasal dari penutupan hutan gambut sekunder pada tahun 2005 ( ton). Hal ini disebabkan area terbakar hutan gambut sekunder didominasi oleh lahan gambut. Kondisi hutan gambut sekunder

19 33 yang sudah mengalami intervensi menyebabkan hutan ini mudah mengalami kebakaran hal ini terkait dengan proses pengeringan gambut karena sudah berubah dari hutan gambut primer. Sedangkan pada tahun 2009 hutan gambut primer menghasilkan emisi karbondioksida (CO 2 ) tertinggi ( ton). Hal ini disebabkan karena luas area terbakar yang tinggi, koefisien bahan bakar dari hutan gambut primer adalah yang tertinggi yaitu 70 ton/ha (Seiler and Crutzen 1980). Tingginya koefisien bahan bakar disebabkan karena kandungan bahan organik pada lahan gambut primer yang melimpah. Kandungan bahan organik tersebut berperan dalam meningkatkan perilaku kebakaran yaitu bahan bakar. Faktor lain yang menyebabkan tingginya emisi karbondioksida (CO 2 ) pada hutan gambut primer adalah terjadinya pengeringan gambut karena pembukaan hutan gambut primer. Hal ini dapat menyurunkan muka air tanah pada lahan yang didrainase. Kondisi ini merubah suasana anaerob (jenuh air) menjadi aerob (tidak jenuh air) sehingga meningkatkan emisi CO 2. (Agus et al. 2011). Menurut Jauhiainen et al. (2001) dalam Rieley et al. (2008) emisi karbondioksida yang dihasilkan dari hutan gambut tidak terdrainase di Kalimantan Tengah adalah 38,9 ton CO 2 /ha/tahun, sementara emisi CO 2 yang dihasilkan dari hutan gambut sekunder di Kalimantan Tengah adalah 34 ton CO 2 /ha/tahun. Menurut Rumbang et al. (2009) rata-rata emisi CO 2 yang dilepas oleh lahan gambut Kalimantan Tengah berkisar antara 0,35-0,67 g CO 2 /m 2 /jam. Menurut Agus et al. (2011), tanah gambut memiliki perbedaan dengan tanah mineral yaitu dalam hal kandungan C organik, struktur, sebaran karbon dalam profil tanah dan tingkat kemudahan dalam terbakar. Secara alami lahan gambut merupakan penyerap CO 2 namun ketika lahan gambut dibuka maka lahan gambut dapat berubah menjadi sumber emisi gas karbon (CO 2 ) yang merupakan salah satu gas rumah kaca. Salah satu faktor yang dapat merubah fungsi gambut tersebut adalah kebakaran gambut. Proses kebakaran dapat meningkatkan emisi CO 2 karena terbakarnya salah satu atau gabungan dari biomasa tanaman, nekromasa dan lapisan gambut. Kebakaran ini terkait dengan alih guna lahan menjadi pertanian atau penggunaan lain. Namun pada pertanian tradisional, lapisan gambut sengaja dibakar agar mengurangi kemasaman tanah dan meningkatkan kesuburan tanah. Hal ini dapat meningkatkan emisi gas CO 2 dari lahan gambut (Agus et al. 2011).

Pendugaan Emisi CO 2 sebagai Gas Rumah Kaca akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Kalimantan Tengah, Tahun

Pendugaan Emisi CO 2 sebagai Gas Rumah Kaca akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Kalimantan Tengah, Tahun JURNAL Vol. 03 Desember SILVIKULTUR 2012 TROPIKA Pendugaan Emisi Gas CO 2 143 Vol. 03 No. 03 Desember 2012, Hal. 143 148 ISSN: 2086-8227 Pendugaan Emisi CO 2 sebagai Gas Rumah Kaca akibat Kebakaran Hutan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Nilai koefisien muatan biomasa (fuel load) dan efisiensi pembakaran (burning effieciency) menurut Seiler and Crutzen (1980)

Lampiran 1 Nilai koefisien muatan biomasa (fuel load) dan efisiensi pembakaran (burning effieciency) menurut Seiler and Crutzen (1980) LAMPIRAN 38 Lampiran 1 Nilai koefisien muatan biomasa (fuel load) dan efisiensi pembakaran (burning effieciency) menurut Seiler and Crutzen (1980) Kode Penutupan Lahan Koefisien Bahan Bakar Efisiensi (ton/ha)

Lebih terperinci

Pendugaan Emisi Karbon (CO 2 ) akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Propinsi Riau Tahun

Pendugaan Emisi Karbon (CO 2 ) akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Propinsi Riau Tahun JURNAL 130 Bambang SILVIKULTUR Hero Saharjo TROPIKA et al. J.Silvikultur Tropika Vol. 04 No. 3 Desember 2013, Hal. 130 135 ISSN: 2086-8227 Pendugaan Emisi Karbon (CO 2 ) akibat Kebakaran Hutan dan Lahan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI CO2 SEBAGAI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE PENUTUPAN LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN

PENDUGAAN EMISI CO2 SEBAGAI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE PENUTUPAN LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN PENDUGAAN EMISI CO 2 SEBAGAI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE PENUTUPAN LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2000-2009 UMAR ATIK DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 06 No. 2, Agustus 2015, Hal 132-138 ISSN: 2086-8227 PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATERA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (CO 2 ) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATRA SELATAN TAHUN

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (CO 2 ) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATRA SELATAN TAHUN i PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (CO 2 ) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI SUMATRA SELATAN TAHUN 2000-2009 NURSYAMSI SYAM DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost

Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost Andree Ekadinata dan Sonya Dewi PENGENALAN METODE OPPORTUNITY COST DALAM MEKANISME PENGURANGAN EMISI DARI

Lebih terperinci

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35 36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kepadatan Titik Panas Berdasarkan data titik panas yang terpantau dari satelit NOAA-AVHRR dapat diketahui bahwa selama rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2011, pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Ruhyat Hardansyah, Maria C.L. Hutapea Subbidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Inventarisasi Daya Dukung dan daya Tampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan (wildfire/forest fire) merupakan kondisi dimana keadaan api menjadi tidak terkontrol dalam vegetasi yang mudah terbakar di daerah pedesaan atau daerah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (CO 2 ) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPETUTUPAN LAHAN DI PROVINSI RIAU TAHUN

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (CO 2 ) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPETUTUPAN LAHAN DI PROVINSI RIAU TAHUN i PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (CO 2 ) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PADA BERBAGAI TIPETUTUPAN LAHAN DI PROVINSI RIAU TAHUN 2000-2009 RENANDO MEIKO PUTRA DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

Pengelolaan lahan gambut

Pengelolaan lahan gambut Pengelolaan lahan gambut Kurniatun Hairiah Sifat dan potensi lahan gambut untuk pertanian Sumber: I.G.M. Subiksa, Fahmuddin Agus dan Wahyunto BBSLDP, Bogor Bacaan Sanchez P A, 1976. Properties and Management

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. Hal itu terjadi karena dampak dari kebakaran hutan tersebut bukan hanya dirasakan ole11 Indonesia saja

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN A Verifikasi Data Hotspot Verifikasi data hotspot dilakukan terhadap data hotspot Bulan Januari sampai Bulan Mei 2005 yang bersumber dari stasiun pengamat kebakaran JICA (Japan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang Latar Belakang PENDAHULUAN Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan, yang menghasilkan minyak nabati paling efisien yang produknya dapat digunakan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5460 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 180) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 1 Provinsi Kalimantan Timur 2014 REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari 1 I. PENDAHULUAN A. LatarBelakang Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari luas tersebut merupakan gambut subtropika dan sisanya merupakan gambut tropika (Page et al., 2008;

Lebih terperinci

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan No. Kelas 1 Hutan lahan kering primer dataran rendah 2 Hutan lahan kering primer pegunungan rendah 3 Hutan lahan kering sekunder dataran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 Hutan Tropika Dataran Rendah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di dalam Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dijelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

5. SIMPULAN DAN SARAN

5. SIMPULAN DAN SARAN 5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Citra ALOS PALSAR dapat digunakan untuk membangun model pendugaan biomassa di ekosistem transisi yang telah mengalami transformasi dari hutan sekunder menjadi sistem pertanian

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Timur Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Indonesia

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Indonesia Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Barat

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Barat Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Bali

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Bali Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Maluku

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Maluku Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di DKI Jakarta

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di DKI Jakarta Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Aceh

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Aceh Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Papua

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Papua Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Gorontalo

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Gorontalo Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Nusa Tenggara Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Nusa Tenggara Timur Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Utara

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Utara Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN 2016 Pembangunan Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional Bandar Lampung, 17 Mei 2016 DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang penting untuk kehidupan manusia karena hutan memiliki fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan. Fungsi lingkungan dari hutan salah

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER VII Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami iklim Junghuhn dan iklim Schmidt Ferguson. 2. Memahami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Program Skala Kecil ICCTF Tahun 2016 Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Mitigasi Berbasis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inventarisasi Inventarisasi adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumber daya alam untuk perencanaan pengelolaan sumber daya tersebut. Kegiatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kabupaten Tabalong merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Tanjung yang mempunyai

Lebih terperinci