Analisis kebakaran hutan dan lahan gambut Provinsi Riau tahun 2014
|
|
- Susanti Liani Tanudjaja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Analisis kebakaran hutan dan lahan gambut Provinsi Riau tahun 2014 Prayoto Bidang Planologi Dinas Kehutanan Provinsi Riau, RINGKASAN:. Lahan gambut berfungsi seperti spons menyerap dan menyimpan air dalam jumlah besar, jika tidak mengalami gangguan lahan gambut mampu menyimpan air sebanyak m3/m3 gambut. Di dalamnya terdapat bahan organik yang terdekomposisi secara lambat. Dalam kondisi normal, gambut sangat sulit untuk terbakar. Namun Kanalisasi telah mengubah lahan gambut menjadi mudah terbakar dan kehilangan fungsi sebagai suplai air. Penanganan kebakaran gambut selama ini yang hanya terfokus pada pemadaman terbukti tidak berguna dan hanya menghabiskan anggaran negara serta tidak memberantas akar masalah. Untuk itu dilakukan kajian analisis kebakaran gambut Riau tahun 2014 dengan memanfaatkan satelit MODIS dan melakukan overlay terhadap Peta Tematik Digital (batas administrasi, kawasan hutan, perizinan kehutanan, hak guna usaha, sebaran gambut, citra landsat liputan 2013). Dengan diketahui akar masalah kebakaran gambut diharapkan dapat diambil kebijakan yang tepat sasaran dan ramah lingkungan dalam pengelolaan lahan gambut. Hasil overlay titik panas menunjukkan 49,65% kebakaran terjadi di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Kepulauan Meranti. 61,57% areal yang terbakar berada pada kawasan hutan, tahun 2014 gambut mendominasi kebakaran 92,43%. Hutan dan perluasan areal sawit mendominasi kebakaran lahan (67,67%), sehingga dapat disimpulkan perluasan sawit dengan mengeringkan gambut adalah sumber kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Makalah ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Provinsi Riau guna rehabilitasi lahan gambut sebagai sumber asap. Kata kunci: titik panas, overlay, kawasan hutan, gambut, hutan tanaman industi, vegetasi 1 PENDAHULUAN Lahan gambut tropis dunia seluas 40 juta ha dan 50% diantaranya terdapat di Indonesia (terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua) dan merupakan cadangan karbon yang sangat besar yang harus dijaga kelestariannya. Potensi lahan gambut Provinsi Riau Tahun 2002 seluas 4,03 juta ha. Kandungan karbon (C) di tanah gambut di Propinsi Riau Tahun 1990 sebesar ,45 juta ton C (75,62 % dari total Sumatera), sedangkan pada tahun 2002 : mengalami perubahan menjadi ,14 juta ton. Selama 12 Tahun ( ) mengalami penurunan kandungan karbon sebesar juta ton (13,31 %) atau 1,11 % per Tahun (Weatland, 2005). Lahan gambut berfungsi seperti spons menyerap dan menyimpan air dalam jumlah besar, jika tidak mengalami gangguan lahan gambut mampu menyimpan air sebanyak m3/m3 gambut. Di dalamnya terdapat bahan organik yang terdekomposisi secara lambat. Dalam kondisi normal, gambut sangat sulit untuk terbakar. Namun Kanalisasi telah mengubah lahan gambut menjadi mudah terbakar dan kehilangan fungsi sebagai suplai air. Bagai api dalam sekam, api bertahan hingga berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Pembakaran yang terjadipun tidak sempurna, sehingga menghasilkan emisi karbon yang tinggi. Hal ini diperparah dengan sulitnya memadamkan api yang membakar lahan gambut. Akses yang sulit menuju titik api mungkin bisa diatasi dengan melakukan pemadam melalui udara, tetapi masalah utamanya bukanlah akses, letak sumber api-lah yang menjadi masalah utama. Perlu kita ketahui bahwa pada saat terbakar, bukan hanya vegetasi yang tumbuh di atas lahan gambut yang terbakar, tetapi lahan gambutnya juga ikut terbakar. Api yang membakar bukan hanya dipermukaan tetapi juga berada di bawah permukaan. Hal inilah yang menyulitkan proses pemadaman, sehingga kebakaran lahan gambut bisa berlangsung hingga hitungan bulan. Kebakaran lahan gambut sepertinya sudah menjadi even rutin setiap musim kemarau, sehingga berprestasi sebagai negara pengekspor asap terbesar. Pencegahan lahan gambut terbakar hanya dapat dilakukan dengan mengembalikan fungsi gambut seperti semula. Kanal-kanal yang ada harus ditutup untuk meninggikan muka air tanah pada lahan gambut sehingga kandungan airnya tetap ada walau kemarau sekalipun. Sebagai langkah awal pengendalian kebakaran lahan gambut dilakukan memakai dukungan teknologi yang mampu memberikan informasi yang cepat, tepat dan akurat serta dapat melingkup areal yang luas. Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah cukup mampu memberikan kemudahan bagi stakeholder dalam memantau dan memperkirakan kejadian kebakaran yang telah atau sedang terjadi maupun perkiraan kejadian
2 kebakaran pada waktu mendatang serta dapat mengetahui perubahan lingkungan yang terjadi akibat kebakaran selama kurun waktu tertentu. Pemerintah Provinsi Riau memanfaatkan data citra MODIS untuk memantau distribusi titik panas (hotspot) yang terjadi pada kabupaten/kota. Data titik panas dari citra MODIS dapat dijadikan sebagai indikasi kebakaran hutan/lahan, baik kebakaran tajuk (Crown fire), kebakaran permukaan (Surface fire) maupun kebakaran bawah (Ground fire). (Ratna Sari dalam Achmad Siddik Thoha, 2008). SIG merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengelola (input, manajemen, dan output) data spasial atau data yang bereferensi geografis. Setiap data yang merujuk lokasi di permukaan bumi dapat disebut sebagai data spasial bereferensi geografis. Misalnya data kepadatan penduduk suatu daerah, data jaringan atau saluran dan sebagainya. (Edy Prahasta, 2004). 2 METODOLOGI Inventarisasi kebakaran lahan gambut dimulai dari pengumpulan data digital peta tematik Provinsi Riau berupa Peta Administrasi Kabupaten/Kota, Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), Peta Perizinan Kehutanan, Peta Hak Guna Usaha Provinsi Riau, Peta Sebaran Gambut, Peta Citra Landsat Liputan 2013 dan data titik panas dari satelit MODIS Liputan Januari Maret Selanjutnya data titik panas dilakukan tumpang susun (overlay) dengan peta tematik Provinsi Riau memakai Software ArcView 3.3. Langkah-langkah analisis data titik panas yaitu : 1. Mengunduh data titik panas dari NASA di ata/firms/active-fire-data#tab-content-6 dalam format text (*.txt). 2. Mengunduh data citra landsat dari web site 3. Menggabungkan Band Citra Landsat dengan Software ArcGIS klik pada Data Management Tools Raster Composite Bands, lalu double klik pada Composite Bands. Dapat menggabungkan lebih dari 3 saluran. 4. Membuka data titik panas dengan Software ArcView dengan klik tombol add pada halaman Project seperti Gambar 1. Gambar 1. Membuka data titik panas 5. Klik tombol View>Add Event Theme untuk melihat letak titik panas pada peta. 6. Ubah data text menjadi Shapefile dengan klik Theme>Convert to Shapefile. 7. Buka Peta Administrasi Kabupaten/Kota, TGHK, RBI, Perizinan Kehutanan, Hak Guna Usaha dan Citra Landsat Liputan 2013 dengan klik View>Add Theme. 8. Menggabungkan Kolom titik Panas dengan Tabel masing-masing peta dengan Spatial Join dengan klik View>Geoprocessing Wizard, pilih Assign data by location lalu pilih Hotspot 2013 untuk kolom atas dan Batas administrasi untuk kolom bawah seperti Gambar 2. Lakukan langkah yang sama terhadap data tabel peta yang lain. Gambar 2. Menggabung kolom antar tabel 9. Buka data tabel hotspot 2014 format Dbf (*.Dbf) dengan Microsoft Excel2003. Lalu klik Pivot Table untuk menghitung titik panas berdasarkan Peta Administrasi Kabupaten/Kota, TGHK, RBI, Perizinan Kehutanan, Hak Guna Usaha dan Citra Landsat Liputan 2013 seperti gambar 3.
3 3.2 Potret kebakaran tahun Berdasarkan kabupaten/kota 2014 Kejadian kebakaran hutan dan lahan berdasarkan wilayah administrasi kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 2. Gambar 3. Menghitung titik panas berdasarkan tema 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kondisi wilayah Secara administrasi pemerintahan Provinsi Riau terdiri 10 (sepuluh belas) kabupaten yaitu kabupaten Pelalawan, Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Kepulauan Meranti, dan 2 (dua) kota yaitu Kota Pekanbaru dan Kota Dumai. Luas wilayah masing-masing kabupaten/ kota dapat dilihat pada Tabel 1 (Laporan Tahunan Dinas Kehutanan Provinsi Riau Tahun 2010). Tabel 1. Luas wilayah masing-masing Kabupaten/kota di Provinsi Riau Wilayah Ibukota Luas (Ha) % Luas Kabupaten Kampar Bangkinang ,14 12,18 Pelalawan Pangkalan Kerinci ,80 13,99 Kuantan Taluk Kuantan ,56 5,90 Singingi Rokan Hulu Pasir Pangarayan ,77 8,18 Rokan Hilir Bagan Siapi-Api ,57 10,10 Indragiri Hulu Rengat ,21 8,91 Indragiri Hilir Tembilahan ,94 15,14 Siak Siak Sri Indrapura ,77 9,18 Bengkalis Bengkalis ,70 9,13 Meranti Selat Panjang ,42 4,20 Kota Dumai Dumai ,27 2,29 Pekanbaru Pekanbaru ,86 0,79 Provinsi Riau Pekanbaru ,00 100,00 Tabel 2. Kejadian kebakaran berdasarkan wilayah adminitrasi Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota Kejadian Persentase (%) Rokan Hilir Bengkalis Pelalawan Kampar Rokan Hulu Dumai Siak Inhu Inhil Kuansing Meranti Pekanbaru ,65 34,20 8,89 0,26 0,08 7,4 18,8 0,6 8,64 0,02 15,45 0,01 Jumlah ,00 Kabupaten Bengkalis merupakan wilayah yang paling sering terbakar setiap tahun bersama Kabupaten Rokan Hilir. Namun Kondisi tahun 2014 agak berbeda mengingat konsentrasi titik panas berada di Pesisir Timur Provinsi Riau. Tetapi bila memperhitungkan luas wilayah maka titik api terpadat ada di Kabupaten Kepulauan Meranti. Ini terjadi karena wilayah Pulau dan Pesisir Provinsi Riau lebih dahulu memasuki musim kemarau pada Desember Berdasarkan perizinan kehutanan Sebagian besar wilayah Provinsi Riau oleh Kementerian Kehutanan telah diberikan perizinan untuk perkebunan dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI). Untuk areal perkebunan telah diberikan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sebanyak 163 unit seluas Ha, luas Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan adalah seluas Ha, namun luas areal perkebunan berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau tahun 2010 adalah seluas Ha, sehingga diperkirakan terdapat lebih dari 1 juta Hektar perkebunan tanpa izin dalam kawasan hutan. Sedangkan luas IUPHHK-HTI di Provinsi Riau berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Riau adalah sebanyak 61 unit seluas Ha, namun realisasi tanaman baru mencapai Ha.
4 Hal ini disebabkan banyaknya perambahan areal IUPHHK-HTI terutama wilayah utara Riau, bahkan PT. Arara Abadi distrik Riau utara realisasi tanaman hanya mencapai 50 %. Umumnya asal api pada areal IUPHHK-HTI yang terbakar adalah pembakaran lahan oleh masyarakat disekitar yang dibawa oleh angin seperti gambar 4. Gambar 4. Areal IUPHHK-HTI yang terbakar
5 Berdasarkan Perizinan dari Kementerian Kehutanan maka kejadian titik panas untuk Izin IUPHHK-HTI sebesar kejadian (41,26%), Pelepasan Perkebunan sebesar kejadian (17,14%,) dan Pencadangan Perkebunan sebesar kejadian (20,04%) sehingga areal berizin menyumbang (78,44%) kejadian titik panas. Adapun titik panas tahun 2014 dalam IUPHHK-HTI berdasarkan penutupan vegetasi dapat dilihat pada tabel Tabel 4. Kejadian titik panas areal IUPHHK-HTI Fungsi Hutan Kejadian (%) Akasia Bakau Belukar Hutan Sawit Karet Kelapa Minyak Sagu Sawah ,14 1 0, , , ,75 2 0,01 3 0, , , , ,26 Dari tabel diketahui titik panas pada areal IUPHHK-HTI paling banyak terjadi pada tanaman Akasia (17,14%) kejadian, diikuti hutan (11,23%) kejadian dan sawit (8,75%) kejadian. Data ini menunjukkan perambahan areal IUPHHK-HTI masih terus berlangsung dengan membakar hutan gambut yang merupakan Kawasan Lindung IUPHHK-HTI, hal ini sangat membahayakan tanaman pokok mengingat budidaya tanaman HTI lahan gambut dilakukan dengan mengeringkan gambut. Gambar 6. Titik Panas di Pelintung, Kota Dumai Gambar...menunjukkan titik panas dimulai pada areal perambahan masyarakat melalui jalan lintas Dumai Sungai Pakning yang akhirnya ikut membakar tanaman Akasia dan Kawasan Lindung IUPHHK-HTI. Karena itu perlu segera dilakukan penertiban perambahan lahan dalam areal IUPHHK-HTI. Areal HGU menyumbang kejadian titik panas (8,18%) hal disebabkan kondisi areal HGU di Provinsi Riau hampir seluruhya sudah ditanami kelapa sawit dan relatif lebih aman dari perambahan sehingga resiko kebakaran menjadi kecil Berdasarkan fungsi hutan Kawasan Hutan Tetap di Provinsi Riau berdasarkan Peta TGHK sesuai keputusan Menteri Kehutanan No. 173/KPTS-II/1986 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Luas Kawasan Hutan Tetap Provinsi Riau berdasarkan TGHK Fungsi Hutan Luas (%) Lindung Suaka Alam dan Hutan Wisata Produksi Produksi Terbatas , , , ,36 Jumlah ,61 5,3 12,3 37,16 45,23 Analisis data titik panas terdapat kejadian (61,57%) dalam kawasan hutan tetap, tapi bila dilihat perizinan yang ada terdapat kejadian (41,26%) dalam areal IUPHHK-HTI. Hal ini menunjukkan 2/3 titik panas pada hutan tetap terjadi pada IUPHHK-HTI. Sedangkan Kawasan Hutan Produksi yang tidak dibebani perizinan hanya mengalami (21,17%) kejadian titik panas. Areal Tanaman IUPHHK-HTI lebih terjaga karena ada usaha dari pemegang izin berupa patroli dan proses hukum di pengadilan, karena merupakan aset perusahaan dan berakibat para pembeli tanah lebih berhati-hati bila membeli tanah. Namun areal IUPHHK-HTI yang tidak ditanam menjadi areal perambahan yang diperjual-belikan masyarakat. Padahal areal IUPHHK-HTI tersebut ada yang tidak ditanami karena merupakan Kawasan Lindung dalam Tata Ruang HTI. Tingginya titik panas pada areal perizinan IUPHHK-HTI menjadi bukti keharusan untuk segera mencari solusi areal perambahan di konsesi HTI karena menjadi sumber titik api setiap tahun. Kawasan Hutan yang tidak dibebani perizinan merupakan areal open acces mengalami kejadian titik panas (38,43%). Kejadian titik panas berdasarkan fungsi hutan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kejadian titik panas berdasarkan fungsi hutan
6 Seminar International Inafor di IPB International Convention Center, Botani Square, Bogor 5-7 Desember 2011 Fungsi Hutan Lindung Suaka Alam dan Hutan Wisata Produksi Produksi Terbatas Areal Penggunaan Lain Hutan Produksi Konversi Jumlah Kejadian (%) 0,05 2,23 32,93 26,36 17,14 21,29 100, Berdasarkan kedalaman gambut Terdapat (92,43%) kejadian titik panas pada lahan gambut tahun 2014 dan hanya kejadian titik panas (7,57%) yang berada pada lahan mineral. Hal yang menarik adalah 66,11% titik panas berada pada kedalaman gambut lebih dari 4 m yaitu sebanyak kejadian. Kebakaran pada lahan gambut selalu berulang setiap tahun pada lokasi yang sama. Ini membuktikan belum dikuasainya teknologi budidaya lahan gambut terutama pada gambut dalam. Kejadian titik panas berdasarkan kedalaman gambut dapat dilihat pada Tabel Berdasarkan penutupan vegetasi Hasil analisis terhadap titik panas diketahui sumber kebakaran berasal dari kebun kelapa sawit masyarakat dan hutan gambut yang telah dikeringkan 67,67% kejadian titik panas. Areal yang sudah dirambah oleh masyarakat namun belum berhasil dijadikan kebun kelapa sawit menjadi sumber api setiap musim kemarau. Hal ini sangat wajar mengingat keterbatasan modal dan peralatan dalam pembukaan lahan. Penanaman yang tidak serentak akibat pemilikan lahan oleh banyak orang ikut memperbarah kebakaran di lahan gambut, akibat kondisi masing-masing pemilik lahan berbeda-beda seperti telihat pada Gambar 6. Tabel 5. Kejadian titik panas berdasarkan kedalaman gambut Kedalaman gambut Lebih dari 4 m 0,5-1 m 1-2m 2-4m Kejadian (%) 66,11 0,84 24,76 0,72 92,43 Bila dilihat vegetasi yang terbakar pada gambut dalam, sawit (22,37%) kejadian titik panas, diikuti hutan (20,48%) kejadian titik panas dan hutan tanaman (15,76%) kejadian titik panas. Dengan demikian terlihat perluasan sawit dilahan gambut dalam sangat berbahaya karena telah berdampak pada tanaman pokok hutan tanaman. Kerawanan kebakaran pada areal gambut bertambah karena umumnya areal yang dibakar sudah dikeringkan dengan kanal seperti gambar 5. Gambar 6. Gambut dalam di Pelintung, Kota Dumai Sebagai contoh di daerah Pelintung Kota Dumai terdapat areal gambut yang sudah ditanami sejak tahun 2000, namun sampai sekarang belum berhasil. Ini disebabkan sebagian pemilik tanah masih membuka lahan dengan cara membakar, sehingga tanaman yang ada di sebelah batas tanah mereka selalu terbakar. Kejadian titik panas berdasarkan penutupan vegetasi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kejadian titik panas berdasarkan penutupan vegetasi Fungsi Hutan Akasia Belukar Hutan Sawit Bakau Karet Kelapa Minyak Sagu Sawah Gambar 5. Hasil overlay titik panas tahun 2010 dan gambut Kejadian (%) ,03 4,75 31,86 35,81 0,35 0,59 5,12 0,55 0,21 0,02
7 Dari Tabel 6 di atas, jelas terlihat bahwa kebun kelapa sawit masyarakat dan hutan gambut yang telah dikeringkan memiliki resiko tinggi kebakaran sebesar 35,81% dan 31,86%. Ini dapat dimaklumi karena sebagian besar perusahaan sudah menerapkan aturan Zero Burning pada pembukaan lahan. Apalagi terhadap tanaman yang sudah jadi tentu akan dijaga dengan baik karena merupakan aset dan sumber kehidupan bagi perusahaan. Umumnya areal perizinan yang terbakar adalah areal yang dirambah oleh masyarakat dan jumlahnya bervariasi ada yang seluruh areal dirambah, tetapi ada juga areal yang sedikit sekali dirambah oleh masyarakat. Areal izin yang dirambah ini selalu muncul sebagai areal perusahaan yang dibakar oleh media masssa dan LSM sehingga data yang disampaikan menjadi bias. Hasil overlay titik panas tahun 2014 dengan Perizinan di sekitar Kota Dumai dapat dilihat pada gambar 7. Gambar 7. Hasil overlay titik panas tahun Mitigasi kebakaran hutan dan lahan Kawasan hutan tetap Pada kawasan hutan yang belum dibebani perizinan perlu segera dilakukan inventarisasi terhadap kondisi lapangan meliputi penutupan vegetasi, perambahan hutan, sarana prasarana dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Selanjutnya dilakukaan pemanfaatan kawasan hutan berupa Hutan Tanaman Rakyat (HTR), ini dapat dilakukan mengingat umumnya para perambah hutan adalah masyarakat pendatang. Masyarakat lokal dapat diberdayakan untuk mengubah areal perambahan tersebut untuk dijadikan tanaman akasia bekerjasama dengan PT. Arara Abadi atau PT. Riau Andalan Pulp and Paper. Keberhasilan kegiatan HTR akan mengurangi 50% kebakaran, mengingat kawasan hutan menyumbang 61,57% kejadian kebakaran Areal non kawasan hutan Sumber kebakaran lahan pada areal non kawasan hutan sebagian besar merupakan areal yang tidak dapat dikuasai oleh pemegang izin pelepasan kawasan hutan. Dalam hal ini diperlukan kerjasama dengan perusahaan kelapa sawit guna mengubah areal yang dikuasai masyarakat menjadi kebun kelapa sawit, pembiayaan dapat diperoleh melalui pemberian kredit oleh bank. Selanjutnya apabila terdapat masyarakat yang tetap membakar lahan maka Badan Pertanahan Nasional dapat segera mengkatagorikan areal tersebut sebagai lahan terlantar sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Infrastruktur Umumnya kegiatan perambahan hutan melalui areal perusahaan perkebunan atau hutan tanaman industri. Untuk itu perlu dilakukan kerjasama Pemerintah dengan perusahaan guna menutup akses para perambah hutan. Terhadap kanal yang telah dibuat pada gambut dalam segera dilakukan penutupan karena membahayakan kondisi hidrologi gambut Aspek penatagunaan tanah Untuk areal perambahan yang berada dalam kawasan hutan dilakukan pencabutan surat tanah untuk memberi efek jera terhadap pelaku perambah hutan. Sedangkan pada areal di luar kawasan hutan dilakukan penertiban tanah terlantar yang merupakan sumber kebakaran. 4 KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan 1. Perambahan hutan dan lahan terlantar berupa semak belukar adalah sumber utama kebakaran pada lahan gambut dan bukan gambut. Disusul oleh perkembangan pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip konservasi dan dorongan ekonomi juga memperparah terjadinya kebakaran lahan dan hutan. 2. Hampir separuh titik panas terjadi pada wilayah bagian utara Provinsi Riau yang merupakan areal tujuan perambah hutan dengan kondisi lahan gambut.
8 3. Hutan produksi yang tidak dibebani perizinan (open acces) menyumbang 21,17% kejadian titik panas pada kawasan hutan ,43% titik panas terjadi pada lahan gambut yang sebagian besar berasal dari lahan gambut dalam. 5. Dari pengamatan citra landsat terlihat aktifitas konversi lahan gambut tetap berlanjut walaupun sudah ada Instruksi Presiden tentang moratorium gambut. 4.2 Saran 1. Permasalahan kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan multi sektor sehingga penanganannya perlu dilaksanakan secara komprehensif. 2. Inventarisasi kepemilikan lahan masyarakat, negara, dan perusahaan agar diketahui lahan terlantar sehingga dapat didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reformasi agraria dan program strategis Negara. 3. Pengembangan mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan bagi masyarakat sehingga mengurangi penggunaan api, misalnya pengalihan pertanian tanaman setahun menjadi perkebunan/agroforestry (dalam kemitraan dengan perusahaan). 4. Law enforcement secara tegas dan konsekuen terhadap para pelaku dan pihak yang menyebabkan terjadinya kebakaran, termasuk pencegahan timbulnya biaya transaksi (transaction cost) yang dapat menyebabkan semakin leluasanya pihak tertentu melakukan pembakaran. 5. Perlu dipikirkan adanya instrumen kebijakan berbasis ekonomi (economic-based policies) seperti, (a) memberikan insentif kepada sekelompok atau seseorang yang mampu menjaga kawasannya dari kebakaran dan memberikan disinsentif kepada yang tidak mampu menjaga kawasannya dari kebakaran, (b) menciptakan program-program yang dapat menghambat dilakukannya pembakaran hutan dan lahan dan menyebarluaskannya kepada masyarakat, seperti menggandengkan upaya pencegahan pembakaran dengan kredit usaha tani atau kredit ketahanan pangan. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, 2008, Medan Anonim, Laporan Tahunan Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Dinas Kehutanan Provinsi Riau, 2010, Pekanbaru Anonim, Riau Dalam Angka, Badan Pusat Statisitk Provinsi Riau, 2008, Pekanbaru Edy Prahasta, Sistem Informasi Geografis Tutorial ARCVIEW, CV Informatika, Bandung Mustara Hadi, Pemodelan Spasial Kerawanan Kebakaran Di Lahan Gambut (Studi Kasus Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau), Institut Pertanian Bogor, 2006, Bogor Muslim dan Susanto Kurniawan, Fakta Hutan Kebakaran , Jikalahari, 2008, Pekanbaru Solichin, Aplikasi ArcView GIS untuk Pengolahan Data Hotspot, South Sumatera Forest Management Project, 2006, Palembang Solichin, Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran, South Sumatera Forest Management Project, 2007, Palembang Pustaka Acep Akbar, Pengendalian Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat sebagai Suatu Upaya Pencegahan dan Pemadaman Dini Kebakaran, Balai Penelitian Kehutanan, 2007, Banjar Baru Achmad Siddik Thoha, Penggunaan Data Hotspot untuk Monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia,
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan (wildfire/forest fire) merupakan kondisi dimana keadaan api menjadi tidak terkontrol dalam vegetasi yang mudah terbakar di daerah pedesaan atau daerah
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi
PENDAHULUAN A. Tugas Pokok dan Fungsi Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 28 Tahun 2015 tentang rincian tugas, fungsi dan tata kerja Dinas Perkebunan Provinsi Riau, pada pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa
Lebih terperinciPenerimaan Riau Dari DBH Sektor Kehutanan
Penerimaan Riau Dari DBH Sektor Kehutanan Dengan diberlakukannya desentralisasi sejak era reformasi, maka terdapat beberapa penerimaan Negara yang dibagihasilkan ke daerah sesuai dengan Undang-undang No
Lebih terperinciIV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU
IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta
Lebih terperinciPenelitian Strategis Unggulan IPB
Penelitian Strategis Unggulan IPB PENGEMBANGAN KONSEP ALOKASI LAHAN UNTUK MENDUKUNG REFORMA AGRARIA DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI SPASIAL Oleh : Baba Barus Dyah Retno Panuju Diar Shiddiq Pusat Pengkajian
Lebih terperinciBoks 1 PELUANG DAN HAMBATAN INVESTASI DI PROPINSI RIAU. I. Latar Belakang
Boks 1 PELUANG DAN HAMBATAN INVESTASI DI PROPINSI RIAU I. Latar Belakang Penerapan otonomi daerah pada tahun 2001 telah membawa perubahan yang cukup berarti bagi kondisi ekonomi di Propinsi Riau. Penelitian
Lebih terperinciTitle : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009
Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan
Lebih terperinciDisampaikan pada Annual Forum EEP Indonesia 2012 di Provinsi Riau Pekanbaru, 30-31 Oktober 2012
Disampaikan pada Annual Forum EEP Indonesia 2012 di Provinsi Riau Pekanbaru, 30-31 Oktober 2012 Oleh : Drs. Z U L H E R, MS Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau TERWUJUDNYA KEBUN UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Lebih terperinciKEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT
KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri
Lebih terperinciIDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)
IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas
Lebih terperinciStudi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau)
A758 Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) Agita Setya Herwanda, Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan
Lebih terperinciKAWASAN PESISIR KAWASAN DARATAN. KAB. ROKAN HILIR 30 Pulau, 16 KEC, 183 KEL, Pddk, ,93 Ha
LUAS WILAYAH : 107.932,71 Km2 LUAS DARATAN 86.411,90 Km2 LAUTAN 21.478,81 Km2 GARIS PANTAI 2.078,15 Km2 KAWASAN DARATAN KAB. ROKAN HULU 16 KEC,153 KEL, 543.857 Pddk, 722.977,68 Ha KAB. KAMPAR 21 KEC,245
Lebih terperinciKEBIJAKAN DAN REALITA PERKEBUNAN DAN INDUSTRI KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU
KEBIJAKAN DAN REALITA PERKEBUNAN DAN INDUSTRI KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU Oleh : Ir. SRI AMBAR KUSUMAWATI, MSi Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Riau Disampaikan pada Acara Focus
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.
KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011
Lebih terperinciINDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN
INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika
Lebih terperinciRehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan
Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan Dr. Muhammad Syakir, MS Kepala Kongres Nasional VII Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI) dan Seminar Pengelolaan Lahan Sub-optimal Secara
Lebih terperinciKEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak
Lebih terperinciLaporan Investigatif Eyes on the Forest Desember 2015
Penebangan hutan alam gambut oleh PT. Muara Sungai Landak mengancam ekosistem dan habitat Orangutan Laporan Investigatif Eyes on the Forest Desember 2015 Eyes on the Forest (EoF) adalah koalisi LSM Lingkungan
Lebih terperinciTINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI RIAU PADA AGUSTUS 2012 SEBESAR 4,30 PERSEN
No 56/11/14/Tahun XIII, 5 November 2012 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI RIAU PADA AGUSTUS 2012 SEBESAR 4,30 PERSEN Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Riau sebesar 4,30 persen, yang berarti
Lebih terperinciPEMERINTAH DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU RIAU
1. Semangat pembangunan kehutanan adalah memperbaiki kondisi tapak hutan menjadi lebih baik. Masalah di tingkat tapak, perlu diberikan intervensi (regulasi dan anggaran) sehingga perbaikan kinerja senantiasa
Lebih terperinciREKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003
REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku
Lebih terperinciINISIATIF PROVINSI RIAU DALAM REDD+
INISIATIF PROVINSI RIAU DALAM REDD+ oleh SATUAN TUGAS REDD+ PROVINSI RIAU Disampaikan pada Workshop Pencehagan Korupsi Melalui Penilaian Resiko dalam REDD+ Pekanbaru, 22 Mei 2012 Sekali Layar Terkembang
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.
No.377, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN
Lebih terperinciLahan Gambut Indonesia
KARAKTERISTIK DAN KELAYAKAN EKONOMI EKOSISTEM GAMBUT UNTUK MENDUKUNG FUNGSI BUDIDAYA DAN LINDUNG Guru Besar Ekonomi Pedesaan http://almasdi.staff.unri.ac.id LPPM Universitas Riau Lahan Gambut Indonesia
Lebih terperinciCatatan Konflik Sumberdaya Alam di Riau Sepanjang Tahun 2011 Oleh : Romes Ip
Catatan Konflik Sumberdaya Alam di Riau Sepanjang Tahun 2 Oleh : Romes Ip I. Pendahuluan Setelah kebijakan berupa izin yang dikeluarkan pemerintah melalui Menteri Kehutanan terhadap perusahaan, Aspirasi
Lebih terperinciDampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra
Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra - Analisa titik deforestasi Riau, Sumatra- 16 Maret 2011 oleh Eyes on the Forest Diserahkan kepada : Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit
Lebih terperinciPERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU
PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU PEKANBARU, JULI 2010 Kawasan Hutan Provinsi Riau berdasarkan TGHK SK Menhut No. 173/Kpts-II/1986, 6 Juni 1986 No PERUNTUKAN LUAS (Ha) ( % ) 1. Hutan
Lebih terperinciMoratorium gambut diabaikan, dua kebun sawit grup Panca Eka menebangi hutan alam di Semenanjung Kampar, Riau
Moratorium gambut diabaikan, dua kebun sawit grup Panca Eka menebangi hutan alam di Semenanjung Kampar, Riau Laporan Investigatif Eyes on the Forest Januari 2016 Eyes on the Forest (EoF) adalah koalisi
Lebih terperinci4.1. Sejarah Berdirinya Pemerintah Provinsi Riau
54 BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN 4.1. Sejarah Berdirinya Pemerintah Provinsi Riau Provinsi Riau terbentuk berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957. Kemudian diundangkan dalam Undang-undang
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda
Lebih terperinciPEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN PADA LAHAN BASAH DIKECAMATAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN PADA LAHAN BASAH DIKECAMATAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Fonny Rianawati, Mufidah Asyári, Fatriani dan Asysyifa Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Jln.
Lebih terperinciDirektur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Jakarta, Maret 2016 KONDISI GAMBUT DI INDONESIA Selama 30 tahun lebih, pengelolaan lahan
Lebih terperinciPengecekan lapangan lokasi kebakaran foto dirilis di database online EoF
10 Juli 2013 Pengecekan lapangan lokasi kebakaran foto dirilis di database online EoF Warta EoF (PEKANBARU) Eyes on the hari ini menerbitkan foto-foto perjalanan verifikasi lapangan yang dilakukan pada
Lebih terperinciIII. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian
III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah di Indonesia sejak adanya otonomi daerah harus terintegrasi antar berbagai sektor. Pembangunan
Lebih terperinci24 Oktober 2015, desa Sei Ahass, Kapuas, Kalimantan Tengah: Anak sekolah dalam kabut asap. Rante/Greenpeace
24 Oktober 2015, desa Sei Ahass, Kapuas, Kalimantan Tengah: Anak sekolah dalam kabut asap. Rante/Greenpeace Publikasikan Peta, Hentikan Kebakaran, Selamatkan Hutan Transparansi sangat penting untuk mencegah
Lebih terperinciHASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)
No. 60/12/14/Th.XIV, 2 Desember 2013 HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP) RUMAH TANGGA PETANI GUREM TAHUN 2013 SEBANYAK 68,57 RIBU RUMAH TANGGA, TURUN 45,33 PERSEN DARI TAHUN 2003 Jumlah rumah tangga
Lebih terperinciDisajikan dalam Acara Pertemuan Tahunan EEP- Indonesia Tahun 2013, di Hotel Le Meridien Jakarta, 27 November 2013
EEP Indonesia Annual Forum 2013 MANFAAT IMPLEMENTASI DAN PELAKSANAAN PROYEK-PROYEK EEP INDONESIA DI PROPINSI RIAU (Kebijakan Potensi - Investasi Teknologi) Disajikan dalam Acara Pertemuan Tahunan EEP-
Lebih terperinciHasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 Provinsi Riau
No. 25/05/14/Th. XVIII, 24 Mei 2017 Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 Provinsi Riau Hasil pendaftaran usaha/perusahaan Sensus Ekonomi 2016 (SE2016) di Provinsi Riau tercatat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah masalah yang penting dalam perekonomian suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh suatu negara bertujuan untuk
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.
DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2015 DEFORESTASI INDONESIA TAHUN 2013-2014
Lebih terperinciber Laporan investigatif dan analisa pengindraan jarak jauh di 29 konsesi HTI Riau Laporan Investigatif Eyes on the Forest Diterbitkan April 2018
ber Perusahaan HTI beroperasi dalam kawasan hutan melalui legalisasi perubahan fungsi kawasan hutan Mengkaji dampak Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan
Lebih terperinciPOTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT 1 Oleh: Almasdi Syahza Peneliti dan Pengamat Ekonomi Pedesaan Lembaga Penelitian Universitas Riau
POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT 1 Oleh: Almasdi Syahza Peneliti dan Pengamat Ekonomi Pedesaan Lembaga Penelitian Universitas Riau A. Kemampuan Daya Dukung Wilayah (DDW) Terhadap Pengembangan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem
Lebih terperinciKeywords: Sistem Informasi Georafis, Pemetaan, Pabrik Sawit
SISTEM INFORMASI GIOGRAFIS PEMETAAN PABRIK SAWIT DI KABUPATEN INDRAGIRI HILIR R. Zulkarnain, Abdullah Program Studi Sistem Informasi, Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitasi Islam Indragiri (UNISI)
Lebih terperinciBAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. A. Deskripsi Provinsi. Raja Bawahan Johor di Pulau Penyengat. Wilayah tersebut kemudian menjadi
BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN A. Deskripsi Provinsi Riau Secara etimologi, kata Riau berasal dari bahasa Portugis, yaitu Rio, yang berarti sungai. Riau dirujukan hanya kepada wilayah yang dipertuan
Lebih terperinciPERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN
PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN Disampaikan pada Acara Monev Gerakan Nasioanal Penyelamatan SDA sektor Kehutanan dan Perkebunan Tanggal 10 Juni 2015 di Gorontalo DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN JENIS
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN
Lebih terperinciLAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI
Laporan ini berisi Kata Pengantar dan Ringkasan Eksekutif. Terjemahan lengkap laporan dalam Bahasa Indonesia akan diterbitkan pada waktunya. LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI Pendefinisian
Lebih terperinciPembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis
Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No.1 Vol. XV Institut Teknologi Nasional Januari Maret 2011 Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis M. ABDUL BASYID, DIAN SURADIANTO Jurusan Teknik Geodesi FTSP
Lebih terperinciHASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013
No. 35/07/14/Th.XV, 1 Juli 2014 HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013 RATA-RATA PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN DI RIAU TAHUN 2013 DARI
Lebih terperinci2017, No kelestarian keanekaragaman hayati, pengaturan air, sebagai penyimpan cadangan karbon, penghasil oksigen tetap terjaga; c. bahwa revisi
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.900, 2017 KEMEN-LHK. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Fasilitasi Pemerintah. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN BUPATI SIAK NOMOR : 06/IUPHHK/I/2003 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) HUTAN TANAMAN SELUAS 8.200 (DELAPAN RIBU DUA RATUS)
Lebih terperinciPemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut
SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).
3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di
Lebih terperinciAPP melaporkan perkembangan implementasi pengelolaan lahan gambut
APP melaporkan perkembangan implementasi pengelolaan lahan gambut Jakarta, 12 November 2015 Asia Pulp & Paper Group (APP) menyambut baik instruksi Presiden Indonesia untuk perbaikan pengelolaan lahan gambut,
Lebih terperinciIDENTIFIKASI PERKEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN LINDUNG TAMAN NASIONAL TESSO NILO DI KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU
IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN LINDUNG TAMAN NASIONAL TESSO NILO DI KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU Regi pernandes, Indarti Komala Dewi *), Woro Indriyati Rachmani
Lebih terperinciGAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Kampar terletak antara 1º 02' Lintang Utara dan 0º 20' Lintang
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Kabupaten Kampar 4.1.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kampar terletak antara 1º 02' Lintang Utara dan 0º 20' Lintang Selatan, 100º 23' - 101º40' Bujur Timur.
Lebih terperinciTERM OF REFERENCE KONGRES DAN LOKAKARYA JARINGAN MASYARAKAT GAMBUT RIAU PEKANBARU, MARET 2010
TERM OF REFERENCE KONGRES DAN LOKAKARYA JARINGAN MASYARAKAT GAMBUT RIAU PEKANBARU, 29 30 MARET 2010 I. Latar Belakang Propinsi Riau merupakan wilayah yang memiliki lahan gambut yang terluas disumatra 4,044
Lebih terperinciBAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA
BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang
PENDAHULUAN 7 Latar Belakang Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan, sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal. Tekanan yang
Lebih terperinciGUBERNUR RIAU. b. bahwa untuk meningkatkan kemampuan petani dalam penerapan pemupukan berimbang diperlukan subsidi pupuk;
GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 62 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI RIAU TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan
Lebih terperinciLaporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL...
DAFTAR ISI Isi Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... xiv I. PENDAHULUAN......1 1.1. Latar Belakang......1 1.2. Maksud dan Tujuan Studi......8 1.2.1. Maksud......8
Lebih terperinciGAMBARAN UMUM KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PROVINSI RIAU
IV. GAMBARAN UMUM KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PROVINSI RIAU 4.1. Kondisi Fisik Wilayah Provinsi Riau terdiri dari daratan dan perairan, dengan luas lebih kurang 329.867,61 km 2 sebesar 235.306 km 2 (71,33
Lebih terperinciTINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI RIAU PADA AGUSTUS 2014 SEBESAR 6,56 PERSEN
No. 59/11/14/Th. XV, 5 November 2014 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI RIAU PADA AGUSTUS 2014 SEBESAR 6,56 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Provinsi Riau pada Agustus 2014 mencapai 2.695.247 orang.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia dan sebaliknya, Provinsi Riau akan menjadi daerah yang tertinggal
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apabila dicermati kembali proses pemekaran Provinsi Riau menjadi Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau, ada dua perkiraan yang kontradiktif bahwa Provinsi Riau Kepulauan
Lebih terperinciB U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005
B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciPENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DEPUTI BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Jakarta, 12 Juni 2014 RUANG LINGKUP 1. KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA)
Lebih terperinciKONDISI FISIK BAB I 1.1. LUAS WILAYAH DAN BATAS WILAYAH
BAB I KONDISI FISIK 1.1. LUAS WILAYAH DAN BATAS WILAYAH Sebelum dilakukan pemekaran wilayah, Kabupaten Kampar merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki wilayah terluas di Provinsi Riau dengan luas mencapai
Lebih terperinciSatuan Kerja Kementerian Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi Riau
Satuan Kerja Kementerian Pekerjaan Umum 1. Kasatker SNVT Wilayah I Riau; 2. Kasatker SNVT Wilayah II Riau; 3. Para Kasatker, PPK dan Pokja di lingkungan BWWS III Riau. Pemerintah Provinsi Riau 1. Sekretaris
Lebih terperinciDUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA
DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA PEDOMAN TEKNIS PEMBINAAN USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan
Lebih terperinciBAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Malaka terletak antara Lintang Selatan Lintang Utara atau antara 100
BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Provinsi Riau terdiri dari daerah daratan dan perairan, dengan luas lebih kurang 8.915.016 Ha (89.150 Km2), Keberadaannya membentang dari lereng
Lebih terperinci1 TAHUN PELAKSANAAN INPRES 10/2011: Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
UNIT KERJA PRESIDEN BIDANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN (UKP4) 1 TAHUN PELAKSANAAN INPRES 10/2011: Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola pada Hutan Alam Primer dan Lahan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menhut-II/2011 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN BERBAGAI JENIS PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.
Lebih terperinciAnalisis Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
Analisis Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Tim Analisis: Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, MAgr. (IPB, Bogor) Nur Hidayati (Walhi Nasional) Zenzi Suhadi (Walhi
Lebih terperinciPERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR
PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR Materi ini disusun Dinas Kehutanan Propinsi Papua dalam rangka Rapat Kerja Teknis Badan Planologi Kehutanan Tahun
Lebih terperinciSetitik Harapan dari Ajamu
Setitik Harapan dari Ajamu Setitik Harapan dari Ajamu: Pelajaran tentang Sukses Pemanfaataan Gambut Dalam untuk Sawit Oleh: Suwardi, Gunawan Djajakirana, Darmawan dan Basuki Sumawinata Departemen Ilmu
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN BUPATI PELALAWAN NOMOR : 522.21/IUPHHKHT/XII/2003/015 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN KEPADA CV. ALAM LESTARI SELUAS
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH TAHUN 2014 YANG TELAH DITETAPKAN DILINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA SE PROVINSI RIAU
PERATURAN DAERAH TAHUN 2014 YANG TELAH DITETAPKAN DILINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA SE PROVINSI RIAU No Provinsi/Kabupaten/Kota No Judul Peraturan Daerah Ditetapkan 1. Provinsi Riau 1. Peraturan
Lebih terperinciSosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya
Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah
Lebih terperinciI. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang
I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan
Lebih terperinciKAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE
KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG BADAN RESTORASI GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG BADAN RESTORASI GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka percepatan pemulihan
Lebih terperinciKEPUTUSAN NOMOR 54 TAHUN 2015 TENTANG KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL,
BADAN INFORMASI GEOSPASIAL (BIG) Jl. Raya Jakarta-BogorKM. 46. Cibinong 69 Telepon. (0) 875 06-06. Faksimile. (0) 875 064 PO. Box. 46 CBI Website: http://www.big.go.id BADAN INFORMASI GEOSPASIAL KEPUTUSAN
Lebih terperinci9/1/2014. Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan?
9/1/2014 Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan? Satu Pelanggaran yang dirancang sebelum Forest Conservation Policy APP/SMG diluncurkan ke Publik SENARAI Pada 5 Februari 2013, Sinar Mas
Lebih terperinciKondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan
Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan
Lebih terperinciTINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI RIAU PADA AGUSTUS 2010 SEBESAR 8,72 PERSEN
TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI RIAU PADA AGUSTUS 2010 SEBESAR 8,72 PERSEN No.49/12/14/Th. XI, 1 Desember 2010 Jumlah angkatan kerja di Riau pada 2010 mencapai 2.377.494 orang atau bertambah 116.632 orang
Lebih terperinciPemantauan Pembakaran Hutan dan Lahan di Perkebunan PT Bertuah Aneka Yasa Oktober 2015
Pemantauan Pembakaran Hutan dan Lahan di Perkebunan PT Bertuah Aneka Yasa Oktober 2015 A. Penjelasan Izin PT Bertuah Aneka Yasa Kabupaten/Provinsi; Indragiri Hulu/Riau. Izin (luas); SK Bupati Indragiri
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 buah dan panjang garis pantai mencapai 104.000 km (Bakosurtanal,
Lebih terperinciLESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri
LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 01 I 11 April 2016 USAID LESTARI KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Bagi ilmuwan, kebakaran
Lebih terperinciKebakaran di Konsesi APP/Sinar Mas Memperparah Kabut Asap Regional dan Mengancam Cagar Biosfir PBB yang Baru
Siaran Pers Untuk segera dirilis 27 Juli 2009 Kebakaran di Konsesi APP/Sinar Mas Memperparah Kabut Asap Regional dan Mengancam Cagar Biosfir PBB yang Baru Pekanbaru Data satelit selama enam bulan perama
Lebih terperinciD4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.
D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi
Lebih terperinciRENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014
RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI...
Lebih terperinciSistem Informasi Restorasi Gambut
Sistem Informasi Restorasi Gambut Haris Gunawan Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut PERATURAN CLICK TO EDIT PRESIDEN MASTER NO. TITLE 1 TAHUN STYLE2016 875,701 Riau Jambi Sumatera
Lebih terperinciBAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent
BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup
Lebih terperinci