BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Pada setiap penelitian, diperlukan teori teori untuk mendukung dan mempermudah proses pengerjaan penelitian tersebut. Berikut adalah teori teori yang digunakan penulis dalam penelitian ini 2.1.1 Leadership Leadership atau kepemimpinan, menurut soekarso (2010), merupakan suatu proses pengaruh sosial, yaitu suatu kehidupan yang memengaruhi kehidupan lain, kekuatan yang mampu memengaruhi perilaku orang lain, di mana hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan yang ada. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses yang dilakukan oleh seorang individu yang memiliki kekuatan dan pengaruh yang kuat untuk memengaruhi individu individu lain untuk mendengarkan, memahami, mengikuti dan setuju untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan tujuan kelompok yang telah ditetapkan. Di dalam leadership, seperti yang dikatakan sebelumnya, memiliki beberapa tipe. Berikut adalah teori mengenai Transformational Leadership,yang merupakan salah satu variable yang digunakan penulis dalam penelitian ini. 2.1.1.1 Transformational Leadership Burns (1978) dan Bass (1985) dalam Yukl (2013) menyatakan bahwa transformational leadership adalah sebuah paradigma di mana seorang pemimpin (Leader) memengaruhi pengikut pengikutnya untuk berperilaku dan bekerja dan memiliki kinerja diatas atau melebihi dari apa yang diharapkan dengan cara membuat mereka lebih menyadari akan pentingnya nilai dari tujuan tujuan yang ada, memengaruhi mereka untuk mendahulukan kepentingan kelompok atau organisasi ketimbang kepentingan sendiri, dan dengan menunjukkan kebutuhan yang lebih tinggi Lalu Bass dalam Yukl (2013) menyatakan bahwa transformational leadership adalah suatu keadaan di mana para pengikut dari pemimpin transformational memiliki rasa kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat terhadap pemompin tersebut dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari apa yang diharapkan. Seorang pemimpin dengan gaya transformational mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan cara membuat
mereka lebih sadar akan pentingnya hasil hasil dari suatu pekerjaan, sehingga perlu untuk melakukan pekerjaan mereka lebih dari apa yang diharapkan. Bass&Rigio (2006) menyatakan bahwa Transformational Leadership adalah seorang pemimpin yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan rasa percaya diri pada seorang karyawan dan atau seluruh karyawan pada group atau organisasinya, membangkitkan rasa kesadaran dan ketertarikan didalam group, dan berusaha untuk menggerakan perhatian karyawan kepada pencapaian dan pengembangan yang baik. Selain itu, Transformational Leadership juga bertujuan untuk membawa perubahan yang lebih baik kedalam perusahaan, baik bagi pemimpin itu sendiri, maupun karyawannya. Perubahan yang dibawa oleh Transformational Leadership diasumsikan sebagai perubahan yang positif. Keberhasilan Transformational Leadership bergantung kepada kemampuan sang pemimpin dalam menyalurkan kemampuannya kepada pengikutnya, dan kemampuannya untuk memengaruhi pengikutnya. Hal ini membuat pemimpin dengan gaya transformational harus memiliki kemampuan yang melebihi pengikut atau karyawannya. Menurut Bass, pengikut atau karyawan yang memiliki gaya kepemimpinan Transformational Leadership, harus merasakan kepercayaan diri dan kepercayaan pada pemimpinnya, kekaguman, kesetiaan, dan rasa hormat kepada pemimpin mereka, sehingga mereka dapat mengerjakan pekerjaan mereka lebih baik dari apa yang diharapkan kepada mereka. Transformational Leadership itupun sendiri memiliki dimensi-dimensi yang mencirikan bahwa gaya kepemimpinan seorang pemimpin adalah kepemimpinan yang bergaya transformational. Berikut adalah dimensi dimensi dari transformational Leadership. 2.1.1.2 Dimensi Dimensi Transformational Leadership Bass dalam Robins dan Judge (2007.p.387) serta Bass dalam Rigio (2006) menyatakan bahwa terdapat 4 Karakter atau dimensi didalam transformational leadership. Kempat karakteristik ini nantinya akan menjadi dimensi yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini. Ke empat karakteristik ini adalah: (a) Idealized influence (Charisma) atau pengaruh idealisasi (Karisma): Pengaruh yang ideal berkaitan dengan reaksi bawahan terhadap pemimpin, di mana bawahan terpengaruh oleh pemimpin karena pemimpin memiliki sebuah karisma. Pemimpin diidentifikasi dengan dijadikan sebagai panutan, dipercaya, dihormati dan mempunyai visi dan misi yang jelas menurut persepsi bawahan dapat diwujudkan.
(b) Inspiration Motivation atau motivasi inspirasi: Pemimpin yang inspirational adalah seorang pemimpin yang bertindak dan menggerakan bawahan dengan cara memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan, di mana hal ini menunjukkan bahwa pemimpin harus mampu mengkomunikasikan ekspetasi yang tinggi kepada bawahannya, menggunakan simbol simbol untuk berfokus pada upaya bawahannya dan menyatakan tujuan tujuan penting secara sederhana (c) Intellectual Stimulation: pemimpin mendorong bawahan untuk lebih kreatif, serta mendorong bawahannya untuk menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang lebih rasional dalam pengambilan keputusan dan mampu untuk lebih cermat dalam menyelesaikan permasalahan yang ada (d) Individualized Consideration: pemimpin memberikan perhatian pribadi pada bawahannya, seperti memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh, mempertimbangkan kebutuhan dari bawahannya, serta melatih dan memberikan saran kepada bawahannya. Tipe pemimpin ini merupakan tipe pemimpin yang memperhatikan akan pengembangan dan kebutuhan karyawan yang memiliki prestasi baik Di dalam gaya kepemimpinan transformational, terdapat sebuah metode yang sering digunakan untuk mendorong karyawannya untuk mau berkerja lebih dari apa yang diharapkan, yaitu Employee Empowerment atau pemberdayaan karyawan. 2.1.2 Employee Empowerment Employee empowerment menurut Thomas dan Velthouse (2008) adalah pemberian keleluasan kepada individu untuk bertindak dan sekaligus bertanggung jawab atas tindakannya sesuai dengan tugas yang dimilikinya. Menurut Kriemadis & Papaioannou (2006) dalam Nida (2010) menyatakan bahwa Employee Empowerment bukan lah suatu proses simple yang bertujuan untuk membuat karyawan merasa baik dan nyaman, tapi merupakan kebutuhan organisasi yang membutuhkan perencanaan lebih, membutuhkan waktu serta membutuhkan manager yang telah terlatih untuk memperbedayakan sumber daya manusia, sehingga nantinya perusahaan akan memiliki keuntungan kompetisi dalam persaingan. Oleh karena itu, Employee Empowerment dapat diasimpulkan sebagai sebuah proses pemberian kekuasaan dan tanggung jawab lebih dari perusahaan kepada karyawan yang telah direncanakan terlebih dahulu.
Didalam Empowerment, terdapat beberapa perspektif akan employee empowerment yang harus diperhatikan oleh perusahaan, karena perspektif perspektif ini akan memengaruhi employee empowerment yang digunakan oleh perusahaan. 2.1.2.1 Aspek-aspek Employee Empowerment Sedarmayanti (2009) menyatakan bahwa aspek-aspek employee empowerment adalah sebagai berikut: a. Kemampuan yang dimiliki oleh karyawan, termasuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap b. Penempatan karyawan yang disesuaikan antara kebutuhan dari tuntutan kerja dan posisi terhadap kemampuan yang dimiliki c. Pemberian kewenangan yang jelas dari atasan ke karyawan d. Pemberian tanggung jawab kepada karyawan e. Terdapat kepercayaan kepada karyawan f. Pemberian dukungan kepada karyawan g. Kepemimpinan yang baik h. Motivasi Selain perspektif-perspektif akan employee empowerment, terdapat model model employee empowerment yang harus diperhatikan oleh perusahaan ketika perusahaan memutuskan memberlakukan sistem employee empowerment. 2.1.2.2 Model Employee Empowerment Khan dan Chasanah (2008) memberikan model employee empowrment yang dapat dikembangkan lebih terperinci dalam sebuah organisasi. Model pemberdayaan tersebut yaitu: a. Desire atau keinginan, yaitu tahap di mana ada keinginan dari pihak manajemen untuk memberikan dan melibatkan pekerja dalam suatu pekerjaan. Contoh: memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memimpin dan mengambil keputusan dalam suatu pekerjaan. b. Trust atau kepercayaan adalah suatu tahap pembangunan kepercayaan antara pihak manajemen dengan karyawan, dengan cara memberikan kesempatan kepada karyawan, dan karyawan memenuhi kepercayaan dan harapan yang diberikan oleh management
c. Confident atau rasa percaya diri adalah tahap pembangunan rasa percaya diri pada karyawan, dengan cara memberikan reward kepada karyawan berprestasi atau dengan menghargai kemampuan yang dimiliki oleh karyawan d. Credibility adalah tahap pemberian penghargaan dan pengembangan lingkungan kerja yang sehat, sehingga terdapat peningkatan kinerja secara keseluruhan dalam suatu organisasi. Contoh: perusahaan memberikan rasa partneship bisnis yang strategis pada karyawan e. Accountibility adalah tahap penetapan konsistensi dan keterjelasan mengenai peran, standard, dan tahapan penilaian kinerja. Contoh: perusahaan memperjelas apa yang dibutuhkan oleh karyawan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, apabila karyawan tersebut mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaannya. f. Communication skills atau kemampuan berkomunikasi adalah ketersediaan komunikasi yang terbuka untuk menciptakan pemahaman antara karyawan dengan pihak manajemen. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya keterbukaan saran dan kritik akan kinerja Jika perusahaan telah memahami model-model empowerment, hal selanjutnya yang harus diperhatikan oleh perusahaan adalah karakteristik atau dimensi dalam empowerment. 2.1.2.3 Dimensi-dimensi Empowerment Thomas dan Velthouse (1990) dalam jurnal oleh Guangping Wang dan Peggy D.lee (2009) menyatakan bahwa terdapat 4 karakteristik atau dimensi yang mencirikan atau mengkarakteristikan employee empowerment, yaitu: a. Sense of meaning Karakteristik ini mengacu kepada seberapa besar kepekaan karyawan terhadap tujuan akan pekerjaan yang merupakan tanggung jawab mereka, serta seberapa besar mereka mampu memengaruhi hasil pekerjaan. Kemampuan karyawan untuk memengaruhi hasil pekerjaan merupakan suatu hal yang diberikan oleh manajer. b. Sense of competence Karakteristik ini mengacu kepada perasaan yang dimiliki oleh karyawan akan kemampuan diri dalam menyelesaikan pekerjaannya. Dalam pekerjaan atau tugas apapun yang diberikan oleh atasan, karyawan merasa yakin akan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugasnya.
c. Sense of determination Karakteristik ini menyatakan karyawan memiliki perasaan bahwa mereka memiliki pilihan dalam mengambil keputusan dalam menyelesaikan pekerjaan mereka d. Sense of impact Karakteristik ini menyatakan bahwa seberapa jauh karyawan percaya bahwa mereka dapat memengaruhi sistem organisasi yang diberlakukan dalam organisasi tersebut Empowerment yang baik akan menciptakan rasa tanggung jawab kepada karyawan untuk dapat melakukan pekerjaan mereka, di mana hal ini juga dapat menyebabkan tumbuhnya rasa tanggung jawab untuk melakukan hal-hal lebih yang diluar tanggung jawab mereka, seperti membantu rekan kerja mereka yang belum menyelesaikan tugas mereka. Hal ini disebut juga Extra-role atau Organizational citizenship behaviour. 2.1.3 Organizational Citizenship Behaviour (OCB) Organizational Citizenship Behaviour atau disingkat menjadi OCB, menurut Nielsen (2012), adalah perilaku dari seorang individu melebihi ekspetasi yang ada, yang secara tidak langsung atau eksplisit dapat dikenali dalam suatu sistem kerja yang formal, dan secara agregrat mampu meningkatkan efektivitas fungsi organisasi. Sedangkan menurut Jerald Greenberg&Robert A. Baron, Organizational Citizenship Behaviour adalah sebuah perilaku tidak formal yang dilakukan oleh seseorang, di mana perilaku mereka melebihi harapan formal akan pengaruh mereka kepada kesejahteraan organisasi dan anggota organisasi tersebut. OCB secara umum adalah perilaku extrarole dari karyawan, di mana hal ini dimaksudkan untuk karyawan yang melakukan hal hal yang melebihi atau diluar tanggung jawabnya. OCB juga merupakan istilah yang digunakan yang merajuk pada perilaku yang dilakukan oleh karyawan, di mana karyawan tersebut mendahulukan kepentingan organisasi dan rekan kerjanya ketimbang kepentingan dirinya. Pada dasarnya, seorang karyawan memiliki extrarole karena mereka melihat terdapat kepuasan akan melakukan hal-hal tersebut, dan hal ini hanya mungkin terjadi apabila karyawan tersebut memiliki persepsi positif akan organisasi. Walaupun tidak ada imbalan baik yang diberikan secara langsung apabila karyawan melakukannya, akan tetapi, dengan melakukan extra-role, hal ini dapat memberikan tambahan nilai positif pada penilaian kinerja mereka
Didalam organizational citizenship behaviour, terdapat motif motif yang memacu karyawan untuk melakukan extra-role. Motif motif ini dapat digunakan oleh perusahaan untuk meningkatkat organizational citizenship behaviour di antara karyawannya. 2.1.3.1 Motif yang mendasari Organizational citizenship behaviour Menurut McClelland (Hardaningtyas, 2005), seorang manusia memiliki 3 tingkatan motif dalam melakukan OCB, yaitu: a. Motif berprestasi, di mana seseorang akan melakukan suatu hal dengan tujuan menunjukkan keistemewaan, pencari prestasi dalam tugas, kesempatan atau kompetisi b. Motif afilisasi, di mana seseorang akan berusaha untuk mewujudkan, memelihara, dan memperbaiki hubungan dengan orang lain. c. Motif kekuasaan, di mana motif ini mendorong seorang untuk mencari status dan situasa di mana mereka dapat mengontrol pekerjaan dan tindakan orang lain. Apabila perusahaan telah memiliki Organizational citizenship behaviour, terdapat manfaat-manfaat yang dapat dimiliki oleh perusahaan, di mana manfaat manfaat ini akan menguntungkan perusahaan. 2.1.3.2 Manfaat Organizational citizenship behaviour Menurut Hardaningtyas (2005), organizational citizenship behaviour memiliki manfaat bagi perusahaan, di mana manfaat tersebut dapat terdiri dari: a. Peningkatan produktivitas rekan kerja, b. Peningkatan produktivitas pada manajer c. Penghematan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi d. Membantu penghematan energi sumber daya untuk memelihara fungsi kelompok e. Merupakan sarana efektif untuk mengordinasi kegiatan kelompok kerja f. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan karyawan dengan kinerja terbaik g. Meningkatkan kestabilan kinerja organisasi h. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan Setelah mengetahui manfaat yang dapat dimiliki oleh perusahaan dari organizational citizehnship behaviour, terdapat dimensi dimensi didalamnya yang harus diperhatikan oleh perusahaan. 2.1.3.3 Dimensi Organizational citizenship behaviour
Menurut dalam Obamiro (2014), serta Jerald Greenberg&Robert A. Baron (2007), dan organ (1998) dalam vivin (2013), terdapat 5 kategori yang menjadi dimensi didalam Organizational Citizenship Behaviour, di mana 5 katagori tersebut adalah: a. Altruism, Di mana dalam dimensi ini percaya bahwa seorang karyawan akan dengan sukarela memberikan pertolongan pada rekan kerja mereka yang sedang mengalami kesulitan baik dalam pekerjaan atau diluar pekerjaan walaupun itu bukanlah tanggung jawabnya untuk melakukan pertolongan tersebu. Contoh: menolong rekan kerja yang mengalami kesulitan menyelesaikan pekerjaannya. b. Conscintiousness, di mana dimensi ini bermaksud kepada perilaku yang dilakukan oleh seorang karyawan, di mana karyawan tersebut berusaha menyelesaikan pekerjaannya melebihi dari apa yang diharapkan oleh perusahaan. Contoh: karyawan dengan sukarela datang lebih cepat jika diperlukan c. Sportmanship, di mana dalam dimensi ini menyatakan bahwa karyawan memiliki perilaku yang memberikan toleransi dalam keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan, keluhan, dan tidak membesar besarkan masalah.. Apabila terdapat seorang karyawan yang memiliki sikap sportmanship yang tinggi, maka hal ini dapat memberikan iklim atau suasana yang positif diantara karyawan, dan hal ini akan menyebabkan peningkatan sikap kerja dan peningkatan kerja sama tim diantara karyawan, sehingga tercipta lingkungan kerja yang nyaman. d. Courtessy, di mana dimensi menjelaskan seorang karyawan yang memiliki dimensi ini dipercaya bahwa karyawan tersebut merupakan orang yang menghargai orang lain dan memperhatikan orang lain, seperti membantu teman kerja, mencegah timbulnya masalah sehubung pekerjaanya dengan cara memberi konsultasi dan informasi serta menghargai kebutuhan mereka. Contoh: Tidak terpengaruh ketika di provokasi. e. Civic virtue, merupakan perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi (mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur-prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber sumber yang dimiliki oleh organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada karyawan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni. Contoh: berusaha untuk selalu memiliki informasi terbaru Luthans (2011) dalam Vivin (2013) menyatakan bahwa Organizational Citizenship Behaviour memiliki pengaruh kepada kinerja, baik pada kinerja karyawan, kinerja group maupun kinerja perusahaan.
2.1.4 Employee Perfomance Kinerja adalah suatu hasil pencapaian karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Kinerjaa karyawan mengacu pada prestasi seorang karyawan yang diukur berdasarkan standar dan kriteria penilaian yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Menurut Pabundu Tika (2008), kinerja adalah hasil fungsi pekerjaan atau kegiatan sesorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu.menurut Panggabean (2004), kinerja adalah kondisi dari sebuah kelompok di mana ada tujuan yang jelas dan tetap yang dirasakan menjadi penting dan terpadu dengan tujuan individu. Kinerja karyawan dapat meningkatkan perilaku organisasi yang positif. Karyawan akan merasa puas dan berkomitmen untuk bekerja jika perilaku organisasi positif dipraktekkan, tidak hanya karyawan yang puas tetapi juga dapat membimbing lingkungan yang positif yang dapat menciptakan organisasi yang lebih baik (Ramlall, 2008). Kinerja karyawan juga terkait dengan komitmen karyawan tanpa kinerja komitmen tidak berarti, tidak cukup hanya fokus pada titik mengembangkan kepuasan kerja karyawan karena jjika komitmen karyawan rendah maka kepuasan tidak menafsirkan menjadi kinerja (Zhang & Zheng, 2009). Dari beberapa pandangan ahli diatas, dapat disimpulkan kinerja karyawan adalah hasil atau prestasi yang dicapai oleh seorang karyawan dalam periode waktu tertentu sesuai dengan standar dan kriteria yang telah ditentukan oleh perusahaan. Dalam memahami kinerja karyawan, penting untuk mengetahui dan memahami faktor faktor yang dapat memengaruhi Kinerja karyawan. 2.1.4.1 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kinerja Karyawan Faktor-faktor yang memengaruhi kinerja menurut Amstrong dan Baron (1998) dalam Wibowo (2007), yaitu: 1. Personal factors atau faktor pribadi, ditentukan oleh tingkat tingkat keterampilan, kompetensi yang dimiliki, motivasi, dan komitmen seseorang. 2. Leadership factors atau faktor kepemimpinan, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan dukungan yang dilakukan oleh manajer dan team leader. 3. Team factors atau faktor tim, ditentukan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan sekerja.
4. System factors atau faktor sistem, ditentukan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas yang diberikan oleh organisasi. 5. Situational factors atau sistem faktor, ditentukan oleh tingginya tingkat tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal. Menurut Robert L. Mathis & Jhon H. Jackson et al.(2006), ada 3 faktor utama yang memengaruhi kinerja karyawan yaitu: 1. Kemampuan individual, mencakup bakat, minat, dan faktor kepribadian. Jika seorang karyawan mempunyai kinerja dan keterampilan yang baik maka karyawan tersebut akan menghasilkan hasil (output) yangt baik pula. 2. Usaha yang dicurahkan, meliputi etika kerja, kehadiran dan motivasinya. Tingkat usaha merupakan gambaran motivasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan hal ini berkaitan dengan perbedaan antar tingkat keterampilan dan tingkat upaya. Tingkat keterampilan adalah cermin dari apa yang dilakukan sedangkan tingkat upaya adalah cermin apa yang dilakukan. 3. Dukungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas untuk karyawan berupa pelatihan dan pengembangan, peralatan dan teknologi, manajemen dan rekan kerja. Setelah mengetahui faktor faktor yang dapat memengaruhi kinerja karyawan, perusahaan harus mengetahui proses dalam melakukan penilaian kinerja karyawan, karena tanpa mengetahui penilaian kinerja karyawan, perusahaan tidak dapat mengetahui apakah karyawan yang dimiliki sudah berkualitas atau belum. 2.1.4.2 Penilaian Kinerja Karyawan Menurut Hani Handoko (2003) penilaian kinerja adalah usaha untuk merencanakan dan mengontrol proses pengelolaan pekerjaan sehingga dapat dilaksanakan sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian kinerja merupakan proses pengevaluasian kinerja karyawan diwaktu yang lalu untuk memprediksi kinerja karyawan di masa yang akan datang. Ada beberapa kriteria penilaian kinerja, yaitu: 1. Penilaian berdasarkan hasil (result), penilaian yang didasarkan pada target dan ukuran spesifik yang dapat diukur. 2. Penilaian berdasarkan tingkah laku (behaviour), penilaian perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan.
3. Penilaian berdasaran pertimbangan (judgement), penilaian yang berdasarkan pada kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan, koordinasi, pengetahuan pekerjaan dan keterampilan, kreativitas, semangat kerja, kepribadian, keramahan, integritas pribadi serta kesadaran dalam menyelesaikan tugas. 2.1.4.3 Dimensi dimensi kinerja karyawan Menurut Robert L. Mathis & Jhon H. Jackson (2006) terdapat 3 faktor utama yang memengaruhi kinerja karyawan, yaitu: a. Kemampuan individual Kemampuan individu dari seorang karyawan akan menentukan output yang dihasilkan dari pekerjaan mereka. Apabila seseorang memiliki kemampuan yang baik, maka kinerja kerja mereka pun akan baik. Bakat, minat, dan faktor kepribadian termasuk dalam faktor ini b. Usaha yang dicurahkan Seberapa jauh seorang karyawan berusaha untuk menyelesaikan pekerjaannya akan menunjukkan tingkat motivasi karyawan tersebut, juga akan memengaruhi tingkat kualitas pekerjaan mereka. Faktor ini meliputi etika kerja, kehadiran, dan motivasi karyawan. c. Dukungan organisasional Fasilitas yang diberikan oleh perusahaan, seperti pelatihan dan pengembangan, peralatan dan teknologi, manajemen dan rekan kerja juga dapat menentukan apakah seorang karyawan dapat menunjukkan kinerja karyawan yang baik atau tidak. Berdasarkan teori teori yang telah ditulis oleh penulis, penulis telah membuat kerangka pemikiran yang menjadi dasar pemikiran dalam penelitian ini.
2.2 Kerangka Teori Berdasarkan pembahasan diatas, maka kerangka teori penelitian ditunjukan oleh model gambar sebagai berikut: Transformational Leadership (X1): 1. idealized influences 2. inspiration motivation 3. Intellectual stimulation 4. Individualized consideration Employee Empowerment (X2): 1. Sense of meaning 2. Sense of competence 3. Sense of determination Organizational Citizenship Behaviour (Y): 1. Altruism 2. Conscintiousn ess 3. Sportmanship 4. Courtessy 5. Civic Virtue Kinerja Karyawan (Z): 1. Kemampuan Individu 2. Usaha yang dicurahkan 3. Dukungan organisational Sumber: Penulis (2014) Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, penulis menformulasikan hipotesis yang menjadi dasar pemikiran dalam penelitian ini. Berikut adalah hipotesis yang menjadi dasar pemikiran penulis. 2.3 Hipotesis Berikut adalah Hipotesis yang telah diformulasikan oleh peneliti. Hipotesis untuk T1: Ho: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Transformational leadership terhadap Organizational Citizenship Behaviour pada PT. Dalle Energy Construction Ha: Terdapat pengaruh yang signifikan antara Transformational Leadership terhadap Organizational Citizenship Behaviour pada PT. Dalle Energy Construction
Hipotesis untuk T2: Ho: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Employee Empowerment terhadap Organizational citizenship behaviour pada PT. Dalle Energy Construction Ha: Terdapat pengaruh yang signifikan antara Employee Empowerment terhadap Organizational Citizenship Behaviour pada PT. Dalle Energy Construction T3: Ho: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Transformational Leadership terhadap kinerja karyawan pada PT. Dalle Energy Construction Ha: Terdapat pengaruh yang signifikan antara Transformational Leadership terhadap kinerja karyawan pada PT Dalle Energy Construction T4: Ho: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Employee Empowement terhadap Organizational Citizenship Behaviour terhadap kinerja karyawan pada PT. Dalle Energy Construction Ha: Terdapat pengaruh yang signifikan antara Employee Empowerment terhadap kinerja karyawan pada PT. Dalle Energy Construction T5: Ho: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Organizational Citizenship Behaviour terhadap kinerja karyawan pada PT. Dalle Energy Construction Ha: Terdapat pengaruh yang signifikan antara Organizational Citizenship Behaviour terhadapa kinerja karyawan pada PT.Dalle Energy Construction T6: Ho: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Transformational leadership terhadap Organizational Citizenship Behaviour yang berdampak kepada kinerja karyawan PT. Dalle Energy Construction Ha: Terdapat pengaruh yang signifikan antara Transformational leadership dan Employee Empowerment terhadap Organizational Citizenship Behaviour yang berdampak kepada kinerja karyawan PT. Dalle Energy Construction T7: Ho: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Employee Empowerment terhadap Organizational Citizenship Behaviour yang berdampak kepada kinerja karyawan PT Dalle Energy Construction
Ha: Terdapat pengaruh yang signifikan antara Employee Empowerment terhadap Organizational Citizenship Behaviour yang berdampak kepada kinerja karyawan PT Dalle Energy Construction