PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

MATERI DAN METODE. Materi

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Attacus atlas SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

PERFORMA REPRODUKSI IMAGO JANTAN ULAT SUTERA LIAR Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) WINDY ALVIANTI

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

Parameter yang Diamati:

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

BAHAN DAN METODA. Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar m dpl pada bulan

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah podzolik, latosol, hidromorfik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

I. PENDAHULUAN. Lampung memiliki keanekaragaman kupu-kupu yang cukup tinggi. Keanekaragaman kupu-kupu ini merupakan potensi sumber daya alam hayati

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil,

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl.,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

I. PENDAHULUAN. yang terletak pada posisi BT dan LS. Purbalingga

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr.

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

Transkripsi:

PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN SKRIPSI RADEN RUVITA DESIANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN RADEN RUVITA DESIANA. D14104023. 2008. Produktivitas dan Daya Tetas Telur Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Asal Purwakarta pada Berbagai Jenis Kandang Pengawinan. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Hotnida C. H. Siregar, MSi. Pembimbing Anggota : Dr. drh. Damiana Rita Ekastuti, MS. Attacus atlas adalah serangga nokturnal yang memiliki ukuran sayap terbesar di dunia pada fase imago. Umumnya serangga ini hidup di hutan tropis yang memiliki kondisi lingkungan tidak terlalu dingin atau kering. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan pengaruh jenis kandang pengawinan yang terbaik terhadap produktivitas dan daya tetas telur A. atlas. Jenis kandang pengawinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang kasa, plastik dan kardus. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah telur, persentase jumlah telur pada oviposisi hari pertama dan kedua, persentase akumulasi jumlah telur, waktu peletakan telur, rataan bobot telur, bobot telur pada oviposisi hari pertama dan kedua, waktu penetasan dan daya tetas telur. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis kandang berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap waktu peletakan telur dan bobot telur pada oviposisi hari pertama. Kandang kasa memiliki waktu oviposisi yang lebih cepat (2,33 hari) dibandingkan dengan kandang plastik (4,33 hari), tetapi kandang kardus memiliki waktu oviposisi (3,67 hari) yang sama dengan kandang kasa dan plastik. Kandang kasa memiliki rataan bobot telur oviposisi hari pertama yang lebih tinggi (6,63 mg) dibandingkan dengan kandang plastik (5,44 mg), tetapi kandang kardus memiliki bobot telur yang sama (5,94 mg) dengan kandang kasa dan plastik. Persentase jumlah telur pada oviposisi hari pertama sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh jenis kandang. Persentase jumlah telur pada kandang kasa lebih tinggi (75,38%) dibandingkan dengan kandang kardus (32,41%) dan plastik (26,48%), sedangkan persentase jumlah telur pada kandang plastik dengan kardus tidak berbeda nyata. Rataan jumlah telur per induk adalah 159,89 butir dengan rataan bobot telur sebesar 5,94 mg/ekor. Kandang kasa memiliki persentase jumlah telur pada oviposisi hari pertama (75,38%) lebih tinggi daripada kandang kardus dan plastik. Waktu yang dibutuhkan ngengat untuk meletakkan telurnya adalah selama 2-4 hari. Persentase daya tetas pada kandang kasa, plastik dan kardus berturut-turut adalah 52,68%; 3,96% dan 0%. Waktu inkubasi telur berkisar antara 7-9 hari. Telur lebih banyak menetas pada hari ke-8 pada kandang kasa yaitu sebesar 41,97%. Pemeliharaan ngengat di dalam kandang kasa lebih efisien karena jumlah telur yang dikeluarkan lebih banyak sampai hari kedua dan memiliki persentase daya tetas telur yang tinggi. Kata-kata kunci: Attacus atlas, kandang pengawinan, imago, produktivitas, daya tetas.

ABSTRACT PRODUCTIVITY AND FECUNDITY OF WILD SILKMOTH EGG (Attacus atlas) FROM PURWAKARTA WITH DIFFERENT MATING CAGE Desiana, R. R., H. C. H. Siregar, and D. R. Ekastuti Attacus atlas is a nocturnal insect whose adult size is the largest moth in the world. This species especially lives in a tropical forest, hence it must be bred in an environment which should not be too cold or too dry. This research was conducted to investigate the effect of mating cage on adult s egg productivity and fecundity. Adult s mating cage which used in this research were made from gauze, plastic and cardboard. The variables observed were amount of eggs, percentage of amount eggs on the first and second day oviposition, percentage of egg accumulation, oviposition time, average egg weight, egg weight on the first and second day oviposition, hatching time and fecundity of eggs. The result showed that the mating cage significantly affected (P<0,05) the oviposition time and egg weight on the first day oviposition. The gauze cage was faster (2,33 days) than plastic cage (4,33 days) but cardboard cage (3,67 days) same with gauze and plastic cage in oviposition time. Egg weight on the first day oviposition in the gauze cage has heavier weight (6,63 mg) than plastic cage (5,44 mg) but same with cardboard (5,94 mg). The mating cage very significantly affected (P<0,01) in percentage of amount egg on the first oviposition, gauze cage was the highest percentage (75,38%). Amount of eggs, amount of eggs on the second day oviposition, percentage of egg accumulation, egg weight, and egg weight on the second oviposition were not significant. Based on the observation known that the oviposition time was about 2-4 days, average amount of egg was 159,89, average egg weight was 5,94 mg. Incubation time of egg was about 7-9 days and the highest egg fecundity was in the gauze cage. The result suggest that gauze cage was the most efficient because it given a lot of eggs until second day and has highest fecundity. Keywords: Attacus atlas, mating cage, adult, productivity, fecundity.

PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN RADEN RUVITA DESIANA D14104023 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN Oleh RADEN RUVITA DESIANA D14104023 Skripsi ini telah disetujui dan telah disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 6 Mei 2008 Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Ir. Hotnida C. H. Siregar, MSi. NIP. 131 881 141 Dr. drh. Damiana Rita Ekastuti, MS. NIP. 131 578 837 Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr NIP. 131 955 531

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Desember 1986 di Kota Bandung. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak R. Memet Ruchimat dan Ibu Handayani. Pendidikan formal Penulis diawali pada tahun 1991 di TK Semboja Sari Bogor dan dilanjutkan ke SD Negeri Polisi 1 Bogor. Pada tahun 1998 Penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 2 Bogor dan diselesaikan pada tahun 2001. Selanjutnya pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMU Negeri 4 Bogor. Tahun 2004 Penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS), Pangalengan, Bandung Selatan.

KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil aalamiin. Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Produktivitas dan Daya Tetas Telur Ngengat Sutera Liar (Attacus atlas) Asal Purwakarta pada Berbagai Jenis Kandang Pengawinan. Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertenian Bogor. Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian yang telah Penulis lakukan pada bulan Oktober November 2007 di Laboratorium Non-Ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan, IPB. Ide penelitian ini didapat setelah Penulis memelihara ulat sutera liar A. atlas selama kurang lebih satu bulan. Penulis terinspirasi karena melihat tingginya potensi ulat sutera liar ini untuk dikembangkan. Tingginya permintaan akan kokon A. atlas mendorong Penulis untuk melakukan upaya budidaya di dalam ruangan agar dapat memberikan informasi dasar tentang pemeliharaan imago dengan berbagai jenis kandang terhadap produktivitas dan daya tetas telur A. atlas. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna baik dari segi bentuk maupun isi. Harapan terbesar Penulis adalah skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, khususnya peternak-peternak ulat sutera liar (A. atlas). Bogor, Mei 2008 Penulis

DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... RIWAYAT HIDUP... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN Halaman i ii iii iv v vii viii ix Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 2 Tujuan... 3 TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)... 4 Siklus Hidup... 4 Morfologi... 6 Telur... 6 Larva... 6 Kokon dan Pupa... 7 Imago... 8 Pakan Alami Attacus atlas... 9 Daun Teh (Camelia sinensis)... 9 Tanaman Sirsak (Annona muricata)... 10 Tanaman Cengkeh (Syzygium aromaticum)... 10 Tanaman Ylang-ylang (Canangium odoratum)... 11 METODE Lokasi dan Waktu... 12 Materi... 12 Rancangan... 12 Perlakuan... 12 Model... 13 Peubah yang Diamati... 13 Analisis Data... 14 Prosedur Penelitian... 15 Tahap Persiapan... 15 Pengawinan Ngengat dan Pengambilan Data... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Pemeliharaan dan Kandang Pengawinan... 17 Jumlah Telur per Induk... 18 Waktu Peletakan Telur... 21 Bobot Telur... 22 Daya Tetas Telur... 24 KESIMPULAN DAN SARAN... 27 UCAPAN TERIMAKASIH... 28 DAFTAR PUSTAKA... 29 LAMPIRAN... 31

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Rataan Suhu dan Kelembaban pada Ruangan Pengawinan Ngengat dan Penetasan Telur... 17 2. Rataan Jumlah Telur per Induk pada Kandang Pengawinan... 18 3. Rataan Persentase Jumlah Telur Hari Oviposisi Pertama dan Kedua Serta Persentase Akumulasi Jumlah Telur... 20 4. Rataan Waktu Peletakan Telur... 21 5. Rataan Bobot Telur Oviposisi Hari Pertama, Kedua dan Bobot Total... 23

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Siklus Hidup Attacus atlas dari Telur sampai Imago (Awan, 2007)... 5 2. Kandang Pengawinan Ngengat Attacus atlas... 12 3. Tempat Penyimpanan Kokon Attacus atlas... 15 4. Grafik Jumlah Telur pada Oviposisi Hari Pertama Sampai Kelima... 19 5. Persentase Daya Tetas pada Kandang Kasa, Plastik dan Kardus... 24 6. Persentase Daya Tetas pada Hari Penetasan... 26

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Suhu dan Kelembaban Ruangan Selama Penelitian... 31 2. Rataan Kelembaban Harian Ruangan Selama Penelitian... 32 3. Analisis Ragam Jumlah Telur Total... 32 4. Analisis Ragam Persentase Jumlah Telur Oviposisi Hari Pertama... 32 5. Analisis Ragam Persentase Jumlah Telur Oviposisi Hari Kedua... 33 6. Analisis Ragam Akumulasi Telur Sampai Oviposisi Hari Kedua... 33 7. Analisis Ragam Waktu Peletakan Telur... 33 8. Analisis Ragam Bobot Telur Total... 33 9. Analisis Ragam Bobot Telur pada Oviposisi Hari Pertama... 34 10. Analisis Ragam Bobot Telur pada Oviposisi Hari Kedua... 34 11. Nilai Korelasi Daya Tetas dan Bobot Telur... 34 12. Nilai Korelasi Daya Tetas dan Jumlah Telur... 34

PENDAHULUAN Latar Belakang Alam tropis Indonesia sangat kaya akan sumber daya hayati, flora dan fauna. Salah satu sumber daya hayati fauna yang dimiliki adalah berbagai jenis ulat sutera liar. Pengembangan ulat sutera liar di Indonesia baru terbatas di sejumlah daerah antara lain Yogyakarta dan Jawa Barat dengan kapasitas produksi benang sutera alam yang masih terbatas. Kain sutera alam dari ulat sutera liar merupakan jenis kain yang banyak diminati masyarakat. Sutera alam ini memiliki banyak keistimewaan yaitu memiliki benang yang panjang, warna yang ekslusif dan bervariasi (Awan, 2007), lembut, tidak mudah kusut, tahan panas, tidak menimbulkan rasa gatal dan anti bakteri (Akai,1997 dalam Awan, 2007). Permintaan dunia akan kokon ulat sutera liar sangat tinggi dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu hewan asli Indonesia yang potensial untuk dibudidayakan adalah ulat sutera liar Attacus atlas. Serangga ini memiliki potensi yang besar dalam berbagai macam bidang industri. Kokon ulat sutera yang sudah diolah memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Hasil olahan dari kokon ulat sutera dapat dijadikan pakaian, barang kerajinan tangan, bahan pangan dan seni serta masih banyak lagi manfaat yang bisa diambil dari kokon ulat sutera liar ini. Prospek industri benang sutera dari kokon A. atlas sangat cerah, namun perkembangannya terbentur pada kendala kualitas dan teknologi. Indonesia masih sulit untuk memenuhi permintaan Jepang akan benang sutera alam ini, dalam satu bulan permintaan ekspor mencapai satu ton benang, namun Yogyakarta hanya mampu mengirim 20 kilogram (Kompas, 2002). Saat ini pemeliharaan ulat sutera A. atlas masih dilakukan di alam bebas dengan tingkat keberhasilan sampai menjadi kokon sangat rendah yaitu hanya sekitar 10% (Situmorang, 1996 dalam Awan, 2007). Hal ini kemungkinan disebabkan karena lingkungan yang tidak terkontrol seperti hujan, angin, panas, serangan predator dan faktor-faktor lainnya. Saat ini kokon diambil dari alam dan jika hal ini terus dilakukan, maka dikhawatirkan pada tahun-tahun yang akan datang akan terjadi kelangkaan bibit ulat sutera liar bahkan siklusnya dapat terhenti atau punah. Perkebunan teh di daerah Purwakarta merupakan salah satu tempat yang memiliki populasi ulat sutera A. atlas yang cukup banyak, tetapi A. atlas masih

dianggap sebagai hama tanaman. Menurut Pracaya (2005), larva A. atlas menyerang bermacam-macam tanaman, diantaranya kina, teh, dadap, mangga, jeruk, jambu, dan lain-lain. Kokon A. atlas banyak diambil dari alam oleh banyak orang karena potensi ekonomis dari ulat sutera A. atlas sangat besar. Kokon ulat sutera A. atlas lebih mahal dibandingkan dengan ulat sutera murbai (Bombyx mori). Harga kokon ulat sutera murbai (Bombyx mori) adalah Rp 20.000 per kilogram sedangkan ulat sutera A. Atlas adalah Rp 80.000 per kg. Jika sudah dijadikan benang, kokon A. atlas harganya bisa Rp 400.000 hingga Rp 1,25 juta per kg, tergantung dari kehalusan benang (Kompas, 2004). Salah satu cara untuk melestarikan ulat sutera A. atlas adalah dengan jalan budidaya. Awan (2007) telah berhasil membudidayakan A. atlas dengan pemberian pakan daun teh dan daun sirsak. Ulat sutera A. atlas termasuk serangga polyfagus dan terdapat 90 golongan tumbuhan dalam 48 famili yang bisa dimakan oleh larva A. atlas (Peigler, 1989). Dalam rangka budidaya A. atlas banyak informasi dasar yang diperlukan karena sampai saat ini hewan ini belum dibudidayakan (masih liar) dan berbagai informasi belum banyak didapatkan dari literatur. Penelitian ini merupakan penelitian untuk mencari informasi tentang produktivitas dan daya tetas telur ngengat sutera liar (A. atlas) khususnya yang berasal dari perkebunan teh di Purwakarta dan dalam penelitian ini akan dicobakan berbagai jenis kandang, diamati pengaruhnya terhadap produktivitas telur dan daya tetasnya. Perumusan Masalah Telur ulat sutera liar A. atlas dihasilkan oleh ngengat betina yang kawin maupun yang tidak kawin. Betina yang kawin akan menghasilkan telur yang fertil yang akan menetas menjadi larva, sedangkan telur yang tidak dibuahi oleh pejantan tidak akan menetas menjadi larva karena infertil. Proses pengawinan ngengat jantan dan betina di alam bebas merupakan ritual yang sulit karena jantan atau betina harus terbang jauh sampai sekitar dua kilometer untuk bertemu. Upaya pemeliharaan ngengat A. atlas dilakukan dengan cara dipelihara di dalam kandang agar memudahkan proses pengawinan. Hal ini dilakukan agar ngengat tidak banyak mengeluarkan energi untuk mencari pasangannya, dengan demikian energi lebih banyak digunakan dalam proses pengawinan untuk menghasilkan telur dengan produktivitas dan daya tetas yang tinggi.

Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi awal mengenai teknik pengawinan ngengat serta mengetahui pengaruh jenis kandang yang digunakan terhadap produktivitas dan daya tetas telur dari ulat sutera liar (Attacus atlas) yang berasal dari perkebunan teh di daerah Purwakarta.

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Ulat sutera liar (A. atlas) adalah salah satu serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di wilayah Asia Tenggara, Asia bagian Selatan dan Asia Timur (Peigler, 1989). Penyebaran A. atlas hampir diseluruh wilayah Indonesia diantaranya pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Awan, 2007). Warna sutera yang dihasilkan oleh ulat sutera liar A. atlas adalah coklat, seratnya lebih kuat dan memiliki daya tahan yang lebih lama (Wikipedia, 2007). Klasifikasi ulat sutera liar A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Super famili : Bombycoidea Famili : Saturniidae Sub famili : Saturniinae Genus : Attacus Spesies : Attacus atlas Ulat sutera A. atlas termasuk hewan polivoltin (memiliki lebih dari dua generasi per tahun) dan imago A. atlas dapat dijumpai selama 12 bulan dalam setahun (Peigler, 1989). Attacus atlas mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Menurut Kalshoven (1981) larva A. atlas merupakan ulat pemakan daun seperti daun sirsak, jeruk, dadap, alpokat, teh, cengkeh, mangga dan tanaman dikotil lainnya. Siklus Hidup Attacus atlas merupakan serangga Holometabola, yaitu serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Tahapan dari daur serangga yang mengalami metamorfosis sempurna adalah telur larva pupa imago (Pustekkom, 2005). Hasil penelitian Awan (2007) yang menjelaskan tentang siklus hidup ulat sutera A. atlas dengan pakan daun sirsak dapat dilihat pada Gambar 1.

Telur (10-12 hari) Instar I (5-8 hari) Imago Instar II (5-7 hari) Pupa (20-29 hari) Instar III (4-6 hari) Instar VI (10-12 hari) Instar IV (4-6 hari) Instar V (6-8 hari) Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas dari Telur sampai Imago (Modifikasi Awan, 2007)

Total waktu yang diperlukan A. atlas yang diberikan pakan daun sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu 64-88 hari. Stadium larva berlangsung dalam enam instar. Instar pertama berlangsung selama 5-8 hari, instar kedua selama 5-7 hari, instar ketiga sampai instar keempat selama 4-6 hari, instar kelima selama 6-8 hari dan instar keenam berlangsung selama 10-12 hari. Larva instar keenam membutuhkan waktu paling lama dibandingkan dengan instar lain yang berlangsung 10-12 hari. Hal ini disebabkan pada instar keenam akan memasuki stadium pupa yang secara morfologis dan fisiologis berbeda dengan stadium lainnya. Masa inkubasi telur A. atlas yaitu 10-12 hari, lama periode pupa adalah 20-29 hari, kemunculan imago betina dan jantan masing-masing adalah 27-29 hari dan 20-28 hari (Awan, 2007). Morfologi Telur Ukuran telur dari ngengat sutera liar A.atlas yaitu panjang 2,7 mm, lebar 2,3 mm dan tinggi 2,1 mm. Bentuk telur A. atlas adalah oval dan agak datar atau gepeng, bentuk khas yang dimiliki oleh semua famili Saturniidae (Peigler, 1989). Awan (2007) menyebutkan bahwa ciri-ciri telur A. atlas secara umum berwarna putih kehijauan dan dilindungi oleh suatu cairan berwarna kemerahan hingga coklat. Ngengat betina menghasilkan telur dengan jumlah ratusan yang diletakkan secara individu atau berkelompok yang terdiri atas 3-10 butir dengan masa inkubasi telur antara 7-13 hari (Adria dan Idris, 1997). Telur yang belum menetas dapat disimpan pada suhu ruang, tetapi suhu untuk penyimpanan telur tidak boleh kurang dari 15 o C (Butterfly Arc, 2003). Larva Stadium larva A. atlas dimulai dari instar satu hingga instar enam. Setiap pergantian masa instar ditandai dengan pergantian kulit (molting). Larva instar pertama dimulai saat larva menetas dari telur dan memiliki ciri-ciri kepala dan badan berwarna hitam dan seluruh tubuh berbulu kuning yang tumbuh tegak. Bulu pada bagian punggung berupa duri yang halus, warna coklat kehitaman (Nazar, 1990). Pada larva instar dua, kepala berwarna coklat tua, kaki berwarna hitam, badannya ditutupi oleh serbuk putih, bagian tubuh samping memiliki tanda berwarna oranye

atau jingga pada bagian metathorax di segmen 8-10, ciri ini akan ada sampai instar ketiga dan keempat. Instar keempat memiliki ciri-ciri kepala berwarna hijau kekuningan dan tubuhnya ditutupi oleh tepung putih. Instar lima dan enam memiliki ciri-ciri kepala yang berkilau warna hijau terang, tubuhnya berwarna hijau (Peigler, 1989), pada badannya terdapat tonjolan-tonjolan seperti bulu kasar yang jarang pada beberapa ruas abdomen (Nazar, 1990) dan segmen badan panjang bisa mencapai ± 15 cm (Pracaya, 2005). Pergantian kulit dilakukan pada saat pertumbuhan larva telah mencapai maksimal yang ditandai dengan larva tidak aktif makan dan lebih banyak diam. Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kutikula dinding tubuh, kepala, lapisanlapisan kutikula trahea, usus depan dan usus belakang yang dilakukan dalam bentuk potongan-potongan melalui anusnya (Borror, 1992). Larva akan berganti kulit beberapa kali pada saat-saat tertentu, ini dikarenakan larva bertambah besar sedangkan kulit larva yang lama mengeras dan tidak mungkin lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan larva selanjutnya sehingga perlu berganti kulit (Butterfly Arc, 2003). Kulit yang baru terbentuk tidak tertutup oleh tepung putih tetapi tepung putih ini akan semakin menebal dengan bertambahnya umur tiap instar (Awan, 2007). Kokon dan Pupa Larva instar enam akan membuat kokon sesuai dengan ukuran tubuhnya. Pembentukan kokon dimulai ketika larva instar enam mulai mengeluarkan cairan sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau pada daun yang akan digunakan untuk melekatkan kokon. Serat-serat yang terbentuk ini berfungsi untuk menguatkan daun agar tidak jatuh ketika daun sudah tua dan mengering. Setelah menguatkan agar tidak jatuh setelah daun mengering, larva akan meneruskan pembuatan kokon pada daun tersebut. Pembentukan kokon ini dilakukan larva hingga terbentuk kokon sempurna. Larva akan membentuk kokon dengan memanfaatkan daun sebagai tempat melekatkan kokonnya. Biasanya daun dilipat dibagian ujung dan tepi daun, kemudian dihubungkan dengan serat-serat sutera sehingga akan terbentuk suatu rongga tempat pupa. Bagian kokon yang menghadap ke atas biasanya terdapat lubang sebagai tempat keluar imago. Posisi larva sebelum berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala di bagian atas, posisi ini akan

menguntungkan ketika imago keluar dari kokon. Keberadaan kokon sangat diperlukan untuk menjaga pupa dari gangguan luar. Kokon yang terbentuk sempurna berbentuk elips, ujungnya membulat dan pada ujung anteriornya terdapat celah (Awan, 2007). Warna kokon bervariasi dari oranye hingga coklat tua, tetapi biasanya berwarna coklat muda, tekstur permukaan kesat dan terkadang mengkerut (Peigler, 1989). Panjang kokon mencapai 3,5-4,5 cm dan lebar 0,8-1,2 cm (Nazar, 1990) Stadium pupa merupakan stadium yang paling penting dalam metamorfosis dari larva menjadi imago. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan pupa. Dalam stadium ini terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago antara lain sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Pupa A. atlas bertipe obteka, berwarna coklat hingga coklat tua (Awan, 2007) dengan panjang 35-55 mm (Peigler, 1989). Larva yang siap berpupasi memiliki tingkat kepekaan terhadap gangguan yang meningkat, jadi apabila larva mendapat gangguan akan menyebabkan kegagalan dalam penyelesaian pembuatan kokon (Awan, 2007). Imago Imago A. atlas merupakan jenis serangga dari genus Attacus yang paling besar ukurannya. Ukuran sayapnya bisa mencapai 25-30 cm (Wikipedia, 2007) dan sayap muka dan belakang berwarna cokelat kemerahan dengan segitiga yang transparan (Pracaya, 2005). Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa tubuh ngengat terbagi menjadi tiga bagian yaitu kepala, thoraks dan abdomen, yang semuanya ditutupi oleh sisik bertumpuk. Thoraks terdiri dari tiga segmen yaitu prothoraks, mesothoraks dan metathoraks. Pada setiap segmen ada sepasang kaki thoraks, sedangkan mesothoraks dan metathoraks masing-masing mempunyai sepasang sayap. Abdomen terdiri dari delapan segmen untuk jantan dan tujuh segmen untuk betina. Awan (2007) menyatakan bahwa imago keluar melalui lubang di ujung anterior kokon yang telah terbentuk saat pembuatan kokon. Imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh dan sayap belum terbentuk sempurna. Imago yang baru keluar ini akan segera mencari ranting atau dahan dan akan mengambil posisi menggantung dengan abdomen berada dibawah, sehingga mudah mengembangkan sayapnya. Sayap yang telah mengembang sempurna beberapa jam kemudian akan segera mengeras dan cukup

kuat digunakan terbang. Pada stadium imago ini ngengat tidak makan dan hanya hidup dalam waktu yang singkat (Williams et al., 2000). Ngengat betina memiliki abdomen yang besar yang berisi telur-telur dan ukuran tubuhnya lebih besar daripada ngengat jantan. Ngengat jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih meruncing (Wikipedia, 2007) dan panjang antena 23-30 mm, lebar 10-13 mm sedangkan ngengat betina memiliki panjang antena 17-21 mm dan lebar 3 mm (Peigler, 1989). Ngengat betina biasanya lebih pasif dan mengeluarkan zat pemikat atau feromon yang bisa dideteksi oleh kemoreseptor yang berada di antena ngengat jantan (Wikipedia, 2007). Beberapa jam setelah melakukan perkawinan, ngengat betina akan segera bertelur dan mampu menghasilkan telur sebanyak 100 sampai 360 butir. Umur imago jantan adalah 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari (Awan, 2007). Pakan Alami Attacus atlas Salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan dan keberhasilan hidup ulat sutera A. atlas adalah tanaman inang atau pakan (Awan, 2007). Pakan yang diberikan sebaiknya memenuhi syarat mengenai bagian tanaman yang paling disukai, selain itu kebersihan dan kesegaran daun juga harus dijaga serta bebas dari bibit penyakit (Guntoro, 1994). Tanaman inang A. atlas tercatat paling banyak jenisnya karena ulat sutera ini merupakan serangga polifagus yang artinya dapat memakan banyak jenis tanaman. Beberapa jenis tanaman yang dapat dimakan daunnya oleh larva A. atlas diantaranya adalah daun teh, sirsak (Awan, 2007), cengkeh (Nazar, 1990), Ylang-ylang (Adria dan Idris, 1997), dan lain-lain. Daun Teh (Camelia sinensis) Tanaman teh berasal dari spesies Camelia sinensis dan famili Theaceae (Thorne, 1995). Tanaman teh di Indonesia ditanam di dataran tinggi (Setyamidjaya, 1988). Tanaman teh dapat ditanam pada berbagai jenis tanah dengan ph yang rendah yaitu 4.0-5.5 dan suhu 13-19 o C dengan curah hujan berkisar antara 1.250-5.000 mm yang merata sepanjang tahun (Sukasman, 1988). Daun teh mengandung protein dan asam-asam amino yaitu sebesar 16 dan 19% bahan kering, asam organik, mineral serta vitamin diantaranya C, K, A, B, B2 serta asam-asam nikotinad dan asam-asam pantotenat (Nasution dan Tjiptadi, 1985).

Hasil penelitian Awan (2007) menunjukkan bahwa kecukupan kadar air pakan pada daun teh (69,64%) dan kandungan nutriennya menyebabkan A. atlas sangat menyukai tanaman ini. Pemberian daun teh pada ulat sutera A. atlas menunjukkan keberhasilan hidup yang tinggi (100%). Untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, ulat sutera ini memerlukan waktu 56-72 hari. Tanaman Sirsak (Annona muricata) Sirsak merupakan tanaman buah-buahan tropis dari famili Annonaceae. Tanaman yang termasuk famili Annonaceae seperti sirsak dicirikan dengan bau yang tidak sedap dari daunnya (Radi, 1997). Daunnya berbentuk bulat telur agak tebal dan pada permukaan bagian atas yang halus berwarna hijau tua sedang pada bagian bawahnya mempunyai warna lebih muda. Tumbuhan ini dapat tumbuh di sembarang tempat. Tetapi untuk memperoleh hasil buah yang banyak dan besar-besar, maka yang paling baik ditanam di daerah yang tanahnya cukup mengandung air. Di Indonesia, sirsak tumbuh dengan baik pada daerah yang mempuyai ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan laut (Iptek, 2005). Larva A. atlas menyukai daun sirsak karena kadar air daun yang cukup tinggi (65,46%) dan kualitas pakan yang baik sehingga memiliki keberhasilan hidup yang tinggi (100%) menurut hasil penelitian Awan (2007). Tanaman Cengkeh (Syzygium aromaticum) Pohon cengkeh merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh dengan tinggi 10-20 m, mempunyai daun berbentuk lonjong yang berbunga pada pucukpucuknya. Tangkai buah pada awalnya berwarna hijau, dan berwarna merah jika bunga sudah mekar. Cengkeh akan dipanen jika sudah mencapai panjang 1,5-2 cm (Wikipedia, 2005). Nazar (1990) menyatakan bahwa A. atlas merupakan hama untuk daun cengkeh. Kerusakan sering dijumpai pada tanaman cengkeh muda di lapangan. Larva A. atlas memakan daun dan tulang daun. Pada kerusakan berat dapat menghabiskan daun dan tulang daun, sehingga tanaman menjadi gundul.

Tanaman Ylang-ylang (Canangium odoratum) Ylang-ylang merupakan salah satu tanaman atsiri yang sangat potensial dikembangkan untuk menunjang peningkatan ekspor minyak atsiri Indonesia (Adria dan Idris, 1997). Ylang-ylang habitusnya ramping dan batangnya relatif kecil, cabang-cabang agak jarang sehingga nampak daunnya kurang rimbun. Bentuk daun ylang-ylang yaitu lonjong (Situshijau, 2002). Salah satu jenis hama yang menyerang tanaman ini adalah A. atlas yang memakan daun tanaman sehingga mengakibatkan produksi bunga tertunda dan berkurang. Intensitas serangan mencapai 9,44%, paling tinggi pada larva instar IV-VI (Adria dan Idris, 1997).

METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2007. Penelitian dilakukan di Laboratorium Non-Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Materi Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah ngengat dari ulat sutera liar (A. atlas) jantan dan betina, masing-masing sebanyak sembilan ekor. Ngengat berasal dari kokon A. atlas yang diambil secara acak dari perkebunan teh di daerah Purwakarta. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga jenis kandang ngengat yaitu kandang kasa yang berukuran 40 x 40 x 40 cm, kotak plastik yang berukuran 37 x 29 x 13 cm dan bekas kardus mie instant yang berukuran 33 x 20 x 24 cm, cawan petri, timbangan digital, sendok dan kuas untuk mengambil telur dari kandang, kain kasa, kertas pembungkus berlapis plastik untuk alas kandang agar telur mudah diambil dan tidak lengket, serta termohigrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban ruangan. Rancangan Perlakuan Penelitian ini terdiri dari tiga perlakuan kandang yaitu kandang kasa, kardus dan kotak plastik. Masing-masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan, sehingga terdapat sembilan unit percobaan. Setiap ulangan terdiri dari sepasang ngengat A. atlas. Ketiga jenis kandang perkawinan dapat dilihat pada Gambar 2. A. Kandang Kasa B. Kandang Plastik C. Kandang Kardus Gambar 2. Kandang Pengawinan Ngengat Attacus atlas

Model Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah yang terdiri atas tiga perlakuan dan masing-masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan. Model rancangan menurut Steel dan Torrie (1993) : Y ij = µ + P i + ε ij Keterangan : Y ij = nilai pengamatan (waktu peletakan telur, jumlah telur per induk, persentase jumlah telur per induk pada oviposisi hari pertama dan hari kedua, akumulasi telur sampai oviposisi hari kedua, bobot telur pada oviposisi hari pertama dan hari kedua serta bobot telur per induk) pada ulangan ke-j dan jenis kandang ke-i µ = rataan umum P i = pengaruh jenis kandang ke-i ; i=1, 2, 3 ε ij = galat percobaan pada ulangan ke-j dari jenis kandang ke-i ; j=1, 2, 3. Peubah yang Diamati 1. Waktu Peletakan Telur (hari). Waktu peletakan telur adalah waktu yang dibutuhkan ngengat betina untuk meletakkan telur sampai tidak menghasilkan telur lagi. 2. Jumlah Telur per Induk (butir). Jumlah telur dihitung secara manual untuk setiap kandang dari masingmasing perlakuan. Setiap hari telur dikoleksi sampai ngengat betina tidak menghasilkan telur lagi. 3. Persentase Jumlah Telur per Induk pada Oviposisi Hari Pertama (%). Persentase ini didapatkan setelah diketahui jumlah telur yang dihasilkan pada oviposisi hari pertama dibagi dengan jumlah telur total yang dihasilkan oleh induk dan dikali dengan 100%. 4. Persentase Jumlah Telur per Induk pada Oviposisi Hari Kedua (%). Persentase ini didapatkan setelah diketahui jumlah telur yang dihasilkan pada oviposisi hari kedua dibagi dengan jumlah telur total yang dihasilkan oleh induk dan dikali dengan 100%.

5. Akumulasi Telur per Induk sampai Oviposisi Hari Kedua (%). Akumulasi telur dihitung dengan cara menjumlahkan jumlah telur yang dioviposisikan pada hari pertama dan kedua dibagi dengan jumlah telur keseluruhan dan dikalikan 100%. 6. Rataan Bobot Telur pada Oviposisi Hari Pertama (miligram). Dihitung dengan cara menimbang telur per induk yang dihasilkan pada oviposisi hari pertama. 7. Rataan Bobot Telur pada Oviposisi Hari Kedua (miligram). Rataan bobot telur dihitung dengan cara menimbang telur per induk yang dihasilkan pada oviposisi hari kedua. 8. Rataan Bobot Telur per Induk (miligram). Penimbangan telur dilakukan setelah proses perhitungan jumlah telur, dengan cara menimbang telur per induk dibagi jumlah telur per induk akan diperoleh rataan bobot telur. 9. Waktu Penetasan Telur (hari). Lamanya telur menetas dihitung dari waktu pada saat induk meletakkan telur (oviposisi) sampai telur menetas. 10. Persentase Daya Tetas. Persentase daya tetas dihitung berdasarkan jumlah telur yang menetas dibagi dengan jumlah telur yang dihasilkan dan dikalikan 100%. Jumlah telur yang menetas (butir) Daya Tetas (%) = x 100% Jumlah telur yang dihasilkan (butir) Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of Variance) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan uji Tukey (Steel dan Torie, 1993) dengan menggunakan program Minitab Release 14.0. Waktu penetasan dan daya tetas telur dianalisa secara deskriptif. Analisis korelasi dilakukan terhadap jumlah, bobot dan daya tetas telur.

Prosedur Tahap Persiapan Kokon A. atlas yang diambil dari perkebunan teh di daerah Purwakarta disimpan dalam kandang kasa berukuran 90 x 90 x 80 cm seperti pada Gambar 3, setelah itu dibiarkan sampai ngengat keluar dari kokonnya. Setelah ngengat keluar dari kokonnya, ngengat jantan dan betina yang sayapnya telah berkembang dengan sempurna diletakkan ke masing-masing kandang perlakuan (kandang kasa, kotak plastik atau kardus) dengan perbandingan jantan dan betina 1:1 pada setiap ulangan. Kotak plastik dan kardus pada bagian atasnya diberi kain kasa agar ngengat tidak beterbangan keluar dari kandang dan dialasi kertas pembungkus dari plastik untuk mempermudah pengambilan telur. Gambar 3. Tempat Penyimpanan Kokon Attacus atlas Pengawinan Ngengat dan Pengambilan Data Masing-masing kandang yang berisi sepasang ngengat jantan dan betina dibiarkan kawin selama 24 jam. Setelah itu jantan dipindahkan dan ngengat betina dibiarkan bertelur. Kandang harus diperiksa setiap hari untuk mengetahui apakah ada ngengat yang sudah menghasilkan telur. Waktu pengawinan setiap unit percobaan berbeda-beda karena keterbatasan ngengat jantan yang digunakan dalam pengawinan. Jika ngengat sudah menghasilkan telur maka telur harus diambil dari masing-masing kandang, dicatat tanggal oviposisi dan dihitung jumlah telur yang dihasilkan oleh ngengat dari setiap kandang. Telur dikumpulkan dan ditimbang sampai ngengat tidak menghasilkan telur lagi. Telur yang dikoleksi disimpan di dalam cawan petri sampai telur-telur menetas. Telur-telur yang sudah menetas

dihitung dan dicatat tanggal menetasnya. Suhu dan kelembaban ruangan sekitar kandang dicatat setiap hari pada pagi, siang dan sore hari selama penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Pemeliharaan dan Kandang Pengawinan Berdasarkan hasil pengamatan selama pemeliharaan ngengat sampai penetasan telur, suhu di dalam ruangan berkisar antara 26-29,5 o C dengan kelembaban 50-78%. Rataan suhu dan kelembaban ruangan selama proses pengawinan ngengat dan penetasan telur selama pagi, siang dan sore hari disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban pada Ruangan Pengawinan Ngengat dan Penetasan Telur Perkawinan Ngengat Penetasan Telur Waktu Suhu ( o C) RH (%) Suhu ( o C) RH (%) Pagi 27,07 69,07 27,66 70,58 Siang 28,57 65,28 28,62 64,20 Sore 28,21 60,42 28,58 62,62 Rataan 27,95 64,93 28,29 65,80 Masing-masing fase perkembangan A. atlas mempunyai suhu optimal yang berbeda-beda. Suhu yang ideal untuk perkawinan dan penetasan telur ngengat A. atlas adalah 26-29 o C dan 22-24 o C, sedangkan kelembaban ideal berkisar antara 68-70% (Awan, 2007). Suhu penetasan telur pada penelitian ini cukup tinggi (27-29,5 o C) serta memiliki kelembaban yang rendah (54-78%). Kelembaban harian pada penelitian ini berfluktuatif yang ditunjukkan dengan nilai simpangan baku yang tinggi (Lampiran 2) sehingga tidak optimal untuk penetasan telur A. atlas. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan pakan larva cepat layu sehingga larva tidak mau makan dan terjadi peningkatan metabolisme. Kelembaban yang tinggi menyebabkan sayap imago menjadi cacat sehingga tidak bisa terjadi kopulasi dan akan meningkatkan pertumbuhan mikroba patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada ulat sutera (Awan, 2007). Masing-masing kandang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kandang kasa, plastik dan kardus memiliki volume berturut-turut adalah 62.400 cm 3, 13.949 cm 3 dan 15.840 cm 3. Kandang kasa pada setiap sisinya dilapisi oleh kain kasa sehingga sirkulasi udara lancar dan pencahayaan baik. Kandang plastik memiliki

kondisi yang cukup terang, tetapi sirkulasi udaranya kurang baik. Kandang kardus memiliki kondisi yang gelap tetapi sirkulasi udaranya cukup lancar. Jumlah Telur per Induk Jumlah telur per induk sering kali menjadi tujuan dalam pembibitan dan bahkan menjadi acuan faktor keberhasilan suatu usaha budidaya. Rataan jumlah telur per induk dari masing-masing jenis kandang dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Rataan Jumlah Telur per Induk pada Kandang Pengawinan Jenis Kandang Jumlah Telur KK Kasa Plastik Kardus (butir/induk) 118,3 176,7 184,7 (%) 45,04 24,58 23,46 Rataan 159,89 32,10 Keterangan : KK= Koefisien Keragaman (%) R 2 = 16,44% Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor ngengat betina tidak dipengaruhi oleh jenis kandang. Rataan jumlah telur A. atlas pada kandang kasa, plastik dan kardus berturut-turut adalah 118,3; 176,7 dan 184,7 butir dengan rataan 159,89 butir. Pengaruh faktor kandang terhadap jumlah telur per induk cukup rendah seperti yang tampak pada nilai R 2 yang rendah yaitu sebesar 16,44%. Jumlah telur nampaknya lebih dipengaruhi oleh lingkungan pemeliharaan dan pakan (Awan, 2007; Nazar, 1990). Pada penelitian Awan (2007) telur yang dihasilkan oleh ngengat keturunan pertama (F1) yang telah dipelihara di dalam ruangan adalah 182,50±26,72 butir/ekor dan keturunan kedua (F2) sebesar 193,87±29,28 butir/ekor. Penelitian Awan (2007) tersebut menggunakan pakan yang sama (daun teh) dan asal ulat sutera yang sama (Purwakarta), bahkan kondisi temperatur yang tidak jauh berbeda (26-29 o C) dengan penelitian ini. Nazar (1990) melaporkan bahwa rataan jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor ngengat adalah 286 butir. Penelitian tersebut dilakukan di daerah Solok, Sumatera Barat dengan menggunakan tanaman cengkeh sebagai pakan. Rataan jumlah telur yang berbeda

antara Nazar (1990) dan penelitian ini mengindikasikan bahwa pakan dan genetik berpengaruh terhadap jumlah telur. Meskipun setiap induk dalam penelitian ini menghasilkan rataan jumlah telur yang tidak berbeda nyata, jumlah telur yang diletakkan pada setiap hari oviposisi berbeda-beda. Data jumlah telur selama lima hari oviposisi dapat dilihat pada Gambar 4. Jumlah Telur (%) 80 70 (75,38) 60 50 40 30 20 10 0 (32,41) (33,86) (26,48) (30,16) (18,23) (19,20) (17,15) (15,95) (9,04) (14,65) (7,47) 1 2 3 4 5 Oviposisi Hari ke- Keterangan: Kasa Plastik Kardus Gambar 4. Grafik Jumlah Telur pada Oviposisi Hari Pertama Sampai Kelima Gambar 4 menunjukkan bahwa puncak produksi telur pada kandang kasa dan kardus terjadi pada oviposisi hari pertama masing-masing yaitu 75,38% dan 32,41%, kemudian mengalami penurunan pada hari kedua dan ketiga. Kandang plastik mengalami puncak produksi telur pada oviposisi hari kedua yaitu 33,86% dan selanjutnya produksi terus menurun. Tabel 3 menunjukkan persentase jumlah telur yang dioviposisikan pada hari pertama dan kedua serta persentase akumulasi jumlah telur sampai hari kedua oviposisi pada setiap jenis kandang pengawinan.

Tabel 3. Rataan Persentase Jumlah Telur Hari Oviposisi Pertama dan Kedua Serta Persentase Akumulasi Jumlah Telur Jenis Oviposisi Oviposisi Akumulasi KK KK Kandang Hari I Hari II Telur KK Kasa (%) 75,38 B (%) 14,96 (%) 17,15 (%) 50,02 (%) 92,53 (%) 13,98 Plastik 26,48 A 63,88 33,86 37,04 60,3 48,80 Kardus 32,41 A 40,45 30,16 46,63 62,6 36,86 Rataan - - 27,06 47,47 71,81 35,06 Keterangan: Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) R 2 Oviposisi hari I, II dan Akumulasi Telur= 71,33%; 13,39% dan 17,64% Analisis ragam terhadap rataan persentase jumlah telur hanya dilakukan untuk data oviposisi hari pertama dan kedua karena akumulasi telur di kandang kasa telah mencapai 90% pada hari kedua. Tabel 3 menunjukkan bahwa jenis kandang berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase jumlah telur pada oviposisi hari pertama. Persentase jumlah telur pada kandang kasa sangat nyata lebih tinggi (75,38%) dibandingkan dengan kandang kardus (32,41%) dan plastik (26,48%), dimana hasil kedua yang terakhir tidak berbeda. Persentase jumlah telur oviposisi hari pertama pada kandang kasa lebih seragam dengan koefisien keragaman kandang kasa lebih rendah (14,96%) dibandingkan kandang kardus (40,45%) dan plastik (63,88%). Pengaruh faktor kandang terhadap persentase jumlah telur cukup besar seperti yang tampak pada nilai R 2 yang cukup tinggi yaitu 71,33%. Bahan dan ukuran kandang tampaknya mempengaruhi tingkah laku ngengat untuk bertelur. Kandang kasa yang memiliki ukuran yang lebih luas sehingga ngengat lebih banyak mengoviposisikan telurnya pada hari pertama. Lagipula kandang kasa memberikan suasana seperti dialam (sirkulasi udara lancar) dan kondisi terang dibandingkan dengan kandang plastik (semi tertutup) dan kardus (semi tertutup). Marson (2005) menyatakan bahwa ngengat A. atlas lebih menyukai kawin dalam kondisi diluar ruangan dengan pencahayaan yang baik. Selain itu, kandang kasa merupakan tempat awal penyimpanan kokon sebelum ngengat ditempatkan ke dalam masing-masing perlakuan kandang pengawinan sehingga mungkin menyebabkan kondisi stress lingkungan yang mengakibatkan rendahnya persentase jumlah telur pada hari pertama di kandang plastik dan kardus.

Sebaliknya, jumlah telur yang dioviposisikan hari kedua pada semua jenis kandang tidak berbeda nyata, dengan rataan 27,06%. Hal ini disebabkan ngengat di kandang kasa pada hari pertama sudah mengeluarkan sekitar 3/4 bagian dari potensi produksi telurnya. Selain itu nilai R 2 nya juga sangat rendah (13,39%) yang mengindikasikan ada faktor lain (misalnya, faktor individu) yang mempengaruhi jumlah telur, terutama di kandang kasa yang memiliki koefisien keragaman sebesar 50,02%. Data hasil pengamatan pada hari kedua ada ngengat yang menghasilkan tujuh butir telur sehingga mengakibatkan nilai koefisien keragaman menjadi tinggi. Jumlah telur yang dioviposisikan pada hari pertama sangat berbeda, tetapi pada akumulasi jumlah telurnya tidak berbeda dengan rataan 71,81%. Walaupun tidak berbeda, koefisien keragaman kandang kasa lebih kecil (13,98%) dibandingkan dengan kandang kardus (36,86%) dan plastik (48,80%). Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah telur pada perlakuan kandang kasa lebih dapat diprediksi. Semakin kecil nilai koefisien keragaman maka kondisi percobaan semakin homogen dan sebaliknya. Nilai koefisien keragaman yang besar (lebih dari 40%) dan nilai R 2 yang rendah (17,64%) mengindikasikan ada faktor lain selain pengaruh perlakuan yang menyebabkan heterogenitas kondisi percobaan (Hanafiah, 2005). Waktu Peletakan Telur Waktu peletakan telur dapat juga disebut masa bertelur ngengat betina. Telurtelur A. atlas diletakkan oleh induk secara berkelompok. Jenis kandang yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap waktu peletakan telur, seperti yang disajikan pada Tabel 4. Kandang kasa memiliki waktu oviposisi yang lebih cepat (2,33 hari) dibandingkan dengan kandang plastik (4,33 hari), tetapi kandang kardus (3,67 hari) memiliki waktu oviposisi yang tidak berbeda nyata dengan kandang kasa dan plastik. Tabel 4. Rataan Waktu Peletakan Telur Jenis Kandang Rataan KK Kasa Plastik Kardus (hari) 2,33 a 4,33 b 3,67 ab (%) 24,74 13,32 15,75 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Menurut Awan (2007) masa bertelur ngengat berkisar antara 2 sampai 10 hari sedangkan pada penelitian ini berkisar dari 2 sampai 5 hari. Perbedaan waktu oviposisi ngengat betina pada jenis kandang yang berbeda ini tidak diketahui apakah dikarenakan oleh perbedaan bahan atau luasan kandang, sehingga perlu penelitian lebih lanjut dengan luasan kandang yang sama. Ukuran setiap jenis kandang yang berbeda-beda dalam penelitian ini mungkin mempengaruhi tingkah laku peletakan telurnya. Ngengat A. atlas di alam meletakkan telur-telurnya secara berkelompok di atas permukaan daun (Kalshoven, 1981). Ukuran kandang kasa lebih luas dibandingkan dengan kandang kardus dan plastik sehingga ngengat lebih leluasa meletakkan telurnya dengan jumlah kelompok telur yang lebih banyak berdasarkan hasil pengamatan pada kandang kasa. Ngengat yang berada di dalam kandang kasa memiliki persentase jumlah telur yang lebih tinggi pada awal masa bertelur sehingga waktu bertelurnya lebih singkat. Tampaknya pola peletakan telur berhubungan dengan lamanya masa bertelur. Dengan jumlah telur yang tidak berbeda, semakin banyak telur yang dioviposisikan diawal masa bertelur maka akan memperpendek masa bertelur. Dalam budidaya ternak, manajemen perkandangan merupakan salah satu hal yang penting karena berhubungan dengan efisiensi tenaga kerja dan waktu. Waktu peletakan telur ngengat di kandang kasa relatif singkat dan siklus hidup ngengat akan lebih cepat sehingga dapat menghemat waktu dan tenaga kerja. Bobot Telur Sistem perkawinan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada bobot telur (Endrawati, 2005). Telur dari ngengat A. atlas berwarna putih kehijauan dan dilindungi oleh suatu cairan berwarna kemerahan hingga coklat. Musim berkembang biak A. atlas dapat terjadi sepanjang tahun (Peigler, 1989) sehingga ketersediaan telur dapat dipenuhi sepanjang tahun. Hasil pengamatan terhadap bobot telur disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Bobot Telur Oviposisi Hari Pertama, Kedua dan Bobot Total Jenis Oviposisi Oviposisi Rataan Bobot KK KK Kandang Hari I Hari II Total KK Kasa Plastik Kardus (mg) 6,63 b 5,44 a 5,94 ab (%) 2,44 4,72 11,11 (mg) 5,92 5,98 5,56 (%) 8,12 12,57 12,75 (mg) 6,37 5,86 5,77 (%) 8,19 10,74 10,22 Rataan - - 5,82 10,35 5,94 10,44 Keterangan: Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) R 2 Oviposisi Hari I= 55,96% R 2 Oviposisi Hari II= 10,58% R 2 Rataan Bobot Total= 8,56% Tabel 5 menunjukkan bahwa bobot telur pada oviposisi hari pertama dipengaruhi secara nyata (P<0,05) oleh jenis kandang. Kandang kasa memiliki rataan bobot telur oviposisi hari pertama yang nyata lebih tinggi (6,63 mg) dibandingkan dengan kandang plastik (5,44 mg), tetapi kandang kardus memiliki bobot telur yang tidak berbeda nyata (5,94 mg) dengan kandang kasa dan plastik. Nilai R 2 pada bobot telur di oviposisi hari pertama cukup rendah yaitu sebesar 55,96% yang berarti 44,04% dipengaruhi oleh faktor lain yaitu pakan. Bobot telur yang tinggi dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan yang dimakan pada saat fase larva karena pada fase imago A. atlas tidak makan. Kualitas dan kuantitas pakan yang rendah akan mempengaruhi berbagai proses fisiologis serangga sehingga dapat menurunkan tingkat kesuburan pada imago yang mengakibatkan produksi telur sedikit dengan mutu kurang baik (Chapman, 1969). Bobot telur pada oviposisi hari kedua tidak dipengaruhi oleh jenis kandang, dengan rataan 5,82 mg dan rataan koefisien keragaman sebesar 10,35%. Begitu pula dengan bobot telur total tidak dipengaruhi oleh jenis kandang pengawinan. Bobot telur berkisar antara 5,00-6,92 mg dengan rataan 5,94 mg dan rataan koefisien keragaman sebesar 10,44%. Menurut Chapman (1969), spermatophore pada sperma ngengat jantan mengandung protein dan asam amino sehingga dapat menambah bobot telur. Oleh karena itu, bobot telur cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor genetik. Bobot telur yang tidak berbeda juga dikarenakan pakan dan asal ngengat sama yaitu dari perkebunan teh di daerah Purwakarta.

Daya Tetas Telur Proses penetasan merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam budidaya A. atlas. Keberhasilan dalam penetasan salah satunya digambarkan oleh daya tetas yang tinggi. Hasil penyajian secara deskriptif pada persentase penetasan telur menjadi larva instar satu pada masing-masing kandang pengawinan dapat dilihat pada Gambar 5. Daya tetas dihitung sampai hari oviposisi ketiga karena pada hari berikutnya tidak ada telur yang menetas. Daya Tetas (%) 60,00% 52,68% 50,00% 40,00% 41,69% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00% Keterangan: 1,32% 0% 10,98% 2,26% 0% 0%0,38% 0% 1 2 3 Total Hari Oviposisi ke- Kasa Plastik Kardus 3,96% 0% Gambar 5. Persentase Daya Tetas pada Kandang Kasa, Plastik dan Kardus Daya tetas di kandang kasa lebih tinggi daripada kandang plastik dan kardus pada oviposisi hari pertama (41,69%) dan kedua (10,98%), tetapi pada hari ketiga tidak ada telur yang menetas. Hal ini menunjukkan bahwa pada kandang kasa terjadi perkawinan dan sperma efektif membuahi pada oviposisi hari pertama dan kedua. Total daya tetas di kandang kasa (52,68%) lebih tinggi daripada plastik dan kardus. Hasil perhitungan korelasi menunjukkan bahwa daya tetas berkorelasi positif dengan bobot dan jumlah telur dengan nilai koefisien korelasi masing-masing adalah 0,667 dan 0,154. Daya tetas dan bobot telur memiliki nilai korelasi tertinggi, artinya telur yang berat kemungkinan besar menetas karena terfertilisasi. Daya tetas yang tinggi ini mengindikasikan sebagian besar telur terbuahi.