BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI

dokumen-dokumen yang mirip
Lampiran 1. Gambar Paradigma Laju Adopsi Inovasi

BAB VI PROSES DIFUSI, KATEGORI ADOPTER DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA

dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4.

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA

PENDAHULUAN Latar Belakang

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian menyimpulkan sebagai berikut:

VI. ADOPSI PROGRAM SISTEM INTEGRASI TANAMAN- TERNAK. partisipatif di lahan petani diharapkan dapat membawa dampak terhadap

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Menurut Rogers (1983),

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Teori Adopsi dan Difusi Inovasi

TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PADA USAHATANI PADI SAWAH SYSTEM

TINJAUAN PUSTAKA. meramu bahan-bahan kimia (anorganik) berkadar hara tinggi. Misalnya, pupuk urea

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya

TINJAUAN PUSTAKA. budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke 20 di dunia serta

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

METODELOGI PENELITIAN. sistematis, faktual dan akuran mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan

I PENDAHULUAN. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan pokok akan dapat menggoyahkan. masa yang akan datang IPB, 1998 (dalam Wuryaningsih, 2001).

BAB II TINJAUAN TEORITIS

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

TINJAUAN PUSTAKA. Pengaturan Pola Tanam dan Tertib Tanam (P2T3) pola tanam bergilir, yaitu menanam tanaman secara bergilir beberapa jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Umur responden petani mina padi yaitu berkaitan dengan kemampuan

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

INTERNALISASI MODAL SOSIAL DALAM KELOMPOK TANI GUNA MENINGKATKAN DINAMIKA KELOMPOK TANI DI KABUPATEN JEMBER. Sri Subekti Fak. Pertanian RINGKASAN

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida

TINJAUAN PUSTAKA. definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian

MOTIVASI PETANI DALAM MENGGUNAKAN BENIH PADI HIBRIDA PADA KECAMATAN NATAR DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN. Oleh: Indah Listiana *) Abstrak

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar, Definisi Operasional dan Pengukuran. variabel- variabel yang digunakan dalam penelitian ini akan diukur dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian lapangan dilaksanakan Kecamatan Sayegan, Kabupaten Sleman,

PENDAHULUAN. mereka berniat meningkatkan produksi padi semaksimal mungkin menuju

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identitas Petani Petani Padi Organik Mitra Usaha Tani

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Lampiran 1. Peta wilayah Provinsi Bali

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IX FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS DALAM PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skala prioritas utama dan strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ditujukan

TINJAUAN PUSTAKA. Meskipun sebagai bahan makanan pokok, padi dapat digantikan atau disubstitusi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB VI UNSUR-UNSUR DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER

TINJAUAN PUSTAKA. Tumbuhan padi (Oryza sativa L) termasuk golongan tumbuhan. Tumbuhan padi bersifat merumpun, artinya tanaman tanamannya anak beranak.

BAB I PENDAHULUAN. maupun sebagai penopang pembangunan. Sektor pertanian meliputi subsektor

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADI SAWAH DI DESA KARANG ANYAR KECAMATAN SEMIDANG ALAS MARAS KABUPATEN SELUMA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan para

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan

Oleh: Teti Tresnaningsih 1, Dedi Herdiansah S 2, Tito Hardiyanto 3 1,2,3 Fakultas Pertanian Universitas Galuh ABSTRAK

Diarsi Eka Yani. ABSTRAK

PENDAHULUAN Latar Belakang

HUBUNGAN PERANAN WANITA TANI DALAM BUDIDAYA PADI SAWAH DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT)

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

Mochamad Januar dan Sumardjo. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB VI PENGEMBANGAN KEGIATAN USAHATANI ANGGOTA

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 10. Sebaran Usia Petani Responden

METODE PENELITIAN Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Data dan Instrumentasi

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB VII KARAKTERISTIK INTERNAL, KARAKTERISTIK EKSTERNAL, DAN KARAKTERSTIK INOVASI PRIMA TANI

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

V. DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

BAB III METODE PENELITIAN. PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II, Desa

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel

Lampiran 1. Pengukuran Variabel. Tabel 1. Pengukuran variabel profil anggota kelompok tani Sri Makmur

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

PERBEDAAN PENDAPATAN USAHATANI PADI (Oryza Sativa L) KULTIVAR PADI HITAM LOKAL CIBEUSI DENGAN PADI CIHERANG

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan jika terjadi pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. yang cocok untuk kegiatan pertanian. Disamping itu pertanian merupakan mata

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi. yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang

BAB VIII HUBUNGAN PARTISIPASI DENGAN SIKAP DAN KARAKTERISTIK INTERNAL INDIVIDU PETANI

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan upaya sadar dan terancang untuk melaksanakan

Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119

Andi Ishak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian km. 6,5 Kota Bengkulu HP:

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. tanggungan keluarga, luas lahan, status kepemilikan lahan, pengalaman bertani,

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH, RESPONDEN, DAN BUDIDAYA PADI Keadaan Umum Permasalahan Kabupaten Cianjur

PERBEDAAN PENDAPATAN USAHATANI BUNCIS DENGAN SISTEM TEBASAN DAN TANPA TEBASAN

Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-p3mi) Berbasis Padi Palawija

VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI CAISIN

VII ANALISIS PENDAPATAN

III. METODE PENELITIAN. Definisi operasional mencakup semua pengertian yang digunakan untuk

Transkripsi:

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI Sebagaimana telah dikemukakan di depan, fokus studi difusi ini adalah pada inovasi budidaya SRI yang diintroduksikan kepada para petani di Dusun Muhara. Sehubungan dengan itu, bab ini mengemukakan deskripsi serta hasil uji statistik atas sejumlah hipotesis berkenaan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keinovatifan petani dan laju adopsi inovasi SRI yang meliputi: persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI, tipe pengambilan keputusan inovasi SRI, saluran komunikasi, karakteristik sistem sosial, promosi oleh agen perubahan dan karakteristik individu petani. Penjelasan lebih rinci mengenai faktor-faktor tersebut disajikan pada sub bab di bawah ini. 7.1 Hubungan antara Persepsi Petani tentang Karakteristik Inovasi SRI dengan Tingkat Keinovativan Petani dan Tingkat Laju Adopsi Sebagaimana dikemukan sebelumnya, dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI kecuali pada tingkat kerumitan-, yakni: produktivitas, tingkat pendapatan (hasil jual biaya produksi), tingkat kompatibilitas, tingkat kemungkinan dicoba, dan tingkat kemungkinan diamati dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi. Data berkenaan hubungan antara enam variabel pengaruh pada persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI dengan dua variabel terpengaruh, yakni: tingkat keinovativan dan laju adopsi disajikan pada Tabel 20. Adapun data pendukung, berupa persentase petani pembudidaya inovasi padi SRI menurut kriteria dari semua variabel pengaruh dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 20. Hubungan antara Persepsi Petani tentang Karakteristik Inovasi SRI dengan Tingkat Keinovativan Petani dan Tingkat Laju Adopsi Variabel-variabel Persepsi Petani Tingkat Keinovativan (Y1) Laju Adopsi (Y2) tentang Karakteristik Inovasi SRI Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Produktivitas (X1.1) Rendah 21 52 26 26 14 60 Sedang 12 28 60 16 24 60 Tinggi 0 0 100 0 0 100 Tingkat Pendapatan (X1.2) Rendah 17 47 36 22 19 59 Sedang 14 29 57 14 14 71 Tinggi 33 0 67 33 0 67 Tingkat Kompatibilitas (X2) Rendah 0 0 0 0 0 0 Sedang 22 34 44 25 16 59 Tinggi 14 50 36 19 19 61 Tingkat Kerumitan (X3) Rendah 0 50 50 25 25 50 Sedang 18 37 45 22 20 59 Tinggi 23 62 15 23 8 69 Tingkat Kemungkinan Dicoba (X4) Rendah 33 67 0 17 0 83 Sedang 17 40 43 22 19 59 Tinggi 0 50 50 25 25 50 Tingkat Kemungkinan Diamati (X5) Rendah 25 75 0 25 0 75 Sedang 19 41 41 22 19 59 Tinggi 0 40 60 20 20 60 Berdasarkan data pada Lampiran 4, diketahui bahwa mayoritas tingkat keinovativan petani padi SRI di Dusun Muhara tergolong kriteria sedang dan tinggi. Sebagaimana terlihat pada Lampiran 4, persentasenya adalah 43 persen dan 40 persen atau 65 persen lebih tinggi dibanding mereka yang tingkat keinovativannya tergolong rendah. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa dua dari enam variabel persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI yang berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α = 0,05, yaitu produktivitas (X1.1), dan tingkat kemungkinan dicoba (X4). Sedangkan tingkat kerumitan (X3) dan tingkat kemungkinan diamati (X5) berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan pada taraf α = 0,10. Hal ini menjelaskan seperti yang terlihat pada Tabel 20 bahwa semakin tinggi produktivitas padi SRI, maka semakin tinggi keinovativannya, begitu juga dengan tingkat kerumitan, tingkat kemungkinan dicoba dan tingkat kemungkinan diamati 56

memiliki kecenderungan yang sama. Kecuali tingkat pendapatan (X1.2) dan tingkat kompatibilitas (X2) mempengaruhi tingkat keinovativan (Y1) pada selang kepercayaan lebih dari 0,30. Hal ini, merujuk pada Purnaningsih (2006), bahwa tingkat pendapatan (X1.2) dan tingkat kompatibilitas (X2) tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan terhadap tingkat keinovativan (Y1), karena pada dasarnya tingkat pendapatan yang diperoleh petani terbatas pada pendapatan yang diperoleh secara langsung dari hasil produksi usahatani dikurangi biaya produksi, yang sepenuhnya sangat ditentukan oleh luasan usahatani sawah dan penerapan budidaya inovasi SRI. Sementara itu, tingkat kompatibilitas antara budidaya padi SRI dengan budidaya padi konvensional yang dilakukan oleh petani sebagian besar pada kategori kriteria rendah dan sedang (sebesar 81 persen) sehingga semakin rendah tingkat kompatibilitasnya, maka semakin rendah tingkat keinovativannya. Demikian pula halnya hasil uji korelasi rank Spearman atas hubungan antara enam variabel pada persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI dengan laju adopsi (Y2), tidak ditemukan bahwa variabel-variabel bebas tersebut tidak ada yang berhubungan nyata dengan laju adopsi (Y2). 7.2 Hubungan antara Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi SRI dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi Diduga terdapat hubungan positif antara variabel bebas pada tipe pengambilan keputusan inovasi SRI (X6) dengan tingkat keinovativan (Y1) dan laju adopsi (Y2). Tabel 21 menyajikan data berkenaan hubungan antara variabel bebas, yakni tipe pengambilan keputusan inovasi SRI dengan variabel tidak bebas pada tingkat keinovativan dan laju adopsi. Adapun persentase petani pembudidaya inovasi padi SRI menurut kriteria dari tipe pengambilan keputusan inovasi SRI dapat dilihat pada Lampiran 4. 57

Tabel 21. Hubungan antara Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi SRI dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) Variabel Tipe PKI SRI Tingkat Keinovativan (Y1) Laju Adopsi (Y2) Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah 0 67 33 0 33 67 Sedang 0 33 67 33 67 100 Tinggi 19 42 39 24 16 60 Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa tipe pengambilan keputusan inovasi SRI (X6) berhubungan dengan tingkat keinovativan (Y1) dan laju adopsi (Y2) pada taraf α > 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut menunjukkan bahwa tipe pengambilan keputusan inovasi SRI (X6) sangat tidak signifikan mempengaruhi tingkat keinovativan (Y1) dan laju adopsi (Y2). Hal ini karena yang dominan menjadi pengambilan keputusan inovasi SRI di Dusun Muhara adalah tipe pengambilan keputusan otoritas dengan persentase sebesar 91 persen (Lampiran 4), sehingga menjadi lebih kompleks dibandingkan tipe pengambilan keputusan opsional. 7.3 Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi Diduga terdapat hubungan positif antara dua variabel pada saluran komunikasi, yakni: tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) dan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi. Tabel 22 memperlihatkan data berkenaan hubungan antar variabel-variabel bebas dan tidak bebas tersebut. Adapun distribusi petani pembudidaya inovasi padi SRI menurut kategori kriteria saluran komunikasi dapat dilihat pada Lampiran 4. 58

Tabel 22. Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) Variabel-variabel Saluran Komunikasi Tingkat Keinovativan (Y1) Tingkat Pengenalan Inovasi SRI dari Media Massa (X7) Laju Adopsi (Y2) Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah 18 42 39 23 18 59 Sedang 0 100 0 0 0 100 Tinggi 0 0 100 0 0 100 Tingkat Partisipasi Petani Mengikuti Penyuluhan Inovasi SRI (X8) Rendah 20 46 34 34 20 46 Sedang 15 50 35 15 10 75 Tinggi 15 23 62 0 23 77 Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menjelaskan bahwa variabel dari saluran komunikasi dengan tingkat keinovativan (Y1), yaitu: tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) pada selang kepercayaan sekitar 0,20, merujuk pada Purnaningsih (2006), hal ini berarti bahwa tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) dianggap kurang baik dan tidak signifikan mempengaruhi tingkat keinovativan (Y1), frekuensi pertemuan sebanyak 13 kali sebagian besar memang dilakukan setelah pelatihan, dimana petani tidak terlalu berminat mengikutinya, karena bagi mereka motivasinya memperoleh stimulan, dan itu diberikan pada awal pelatihan, sedangkan tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) tidak berhubungan dengan tingkat keinovativan karena berada pada selang kepercayaan lebih dari 0,30. Hal ini diduga karena sebagian besar tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa berada pada kriteria kategori rendah sebesar 97 persen (Lampiran 4) Adapun dua variabel dari saluran komunikasi, yakni tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) dan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) berhubungan nyata dengan laju adopsi (Y2) dengan selang kepercayaan secara berturut-turut dengan α = 0,20-0,30 dan α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) kurang baik mempengaruhi dan tidak signifikan terhadap laju adopsi (Y2), 59

sedangkan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) mempengaruhi dan signifikan terhadap laju adopsi. 7.4 Hubungan antara Karakteristik Sistem Sosial dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi Dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara variabelvariabel pengaruh pada karakteristik sistem sosial, yakni: tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) dan tingkat integrasi petani (X10) dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi. Data berkenaan hubungan antara dua variabel bebas pada karakteristik sistem sosial dengan dua variabel pada tingkat keinovativan dan laju adopsi disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Hubungan antara Karakteristik Sistem Sosial dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) Variabel-variabel Karakteristik Tingkat Keinovativan (Y1) Laju Adopsi (Y2) Sistem Sosial Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Tingkat Ketaatan Petani Berbudidaya Padi Konvensional (X9) Rendah 0 50 50 25 25 50 Sedang 17 41 42 22 19 59 Tinggi 40 60 0 20 0 80 Tingkat Integrasi Petani (X10) Rendah 7 47 47 27 0 73 Sedang 24 45 32 13 24 63 Tinggi 13 33 53 40 20 40 Hasil uji korelasi rank Spearman pada Lampiran 5 menjelaskan bahwa tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α = 0,10 yang berarti bahwa variabel tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) ini cukup mempengaruhi dan cukup signifikan terhadap tingkat keinovativan (Y1), lain halnya dengan tingkat integrasi petani (X10) berhubungan dengan tingkat keinovativan (Y1) pada selang kepercayaan lebih dari 0,30. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat integrasi petani (X10) tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak 60

signifikan terhadap tingkat keinovativan (Y1). Hal ini diduga petani lebih memilih menerapkan budidaya padi konvensional dibandingkan dengan inovasi budidaya padi SRI, dengan pertimbangan tidak ingin mengambil resiko apabila menerapkan inovasi SRI dan kemudian gagal, seperti terkena hama dan gagal panen, serta didasari bahwa tingkat integrasi petani dominan berada dikategori rendah dan sedang sebesar 78 persen (Lampiran 4), sehingga tidak bisa diambil kesimpulan bahwa tingkat integrasi berhubungan positif dengan tingkat keinovativan. Adapun dua variabel karakteristik sistem sosial, yakni: tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) berhubungan dengan laju adopsi (Y2) pada taraf α > 0,30 dan tingkat integrasi petani (X10) berhubungan dengan laju adopsi pada taraf α = 0,10. Hal tersebut menggambarkan bahwa dengan merujuk Purnaningsih (2006), tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan terhadap laju adopsi (Y2) sedangkan tingkat integrasi petani (X10) cukup mempengaruhi dan cukup signifikan terhadap laju adopsi (Y2). Hal ini diduga karena luasan sawah yang dimiliki petani sebagian besar masih menerapkan budidaya padi konvensional sehingga dapat dikatakan sebagian besar petaninya masih bersifat tradisional. 7.5 Hubungan Antara Promosi Oleh Agen Perubahan dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi Sebagaimana dikemukakan di depan, diduga terdapat hubungan antara dua variabel pada promosi oleh agen perubahan dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi. Adapun data semua variabel bebas dan tidak bebas tersebut disajikan pada Tabel 24. 61

Tabel 24. Hubungan antara Promosi Oleh Agen Perubahan dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) Variabel-variabel Promosi oleh Agen Perubahan Tingkat Keinovativan (Y1) Tingkat Keragaman Metode Penyuluahan Inovasi SRI (X11) Laju Adopsi (Y2) Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah 10 70 20 40 30 30 Sedang 21 45 34 29 5 66 Tinggi 15 25 60 0 35 65 Frekuensi Kunjungan Penyuluh dan/atau Agen Perubah Lain (X12) Rendah 23 48 29 26 23 52 Sedang 14 50 36 23 9 68 Tinggi 13 20 67 13 20 67 Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) memperlihatkan bahwa variabel-variabel tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11) dan frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain (X12) berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) berturut-turut pada selang kepercayaan 0,10 dan 0,05. Merujuk pada Purnaningsih (2006), variabel tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11) dan frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain sangat signifikan mempengaruhi tingkat keinovativan (Y1). Hal ini diperkuat dengan data pada Lampiran 4 bahwa sebagian besar tingkat keragaman metode penyuluhan berada pada kategori sedang dan tinggi sebesar 85 persen. Banyak kegiatan penyuluhan inovasi SRI yang diikuti oleh petani di Dusun Muhara berupa ceramah oleh PPL, demontrasi seleksi benih, demontrasi pembuatan bokashi, pelatihan SRI dan demontrasi plot budidaya SRI. Khusus untuk variabel frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain, hal ini menarik karena meskipun frekuensi kunjungan penyuluh dalam kriteria kategori dominan rendah dan sedang sebesar 78 persen tetapi mempengaruhi tingkat keinovativan petani. Diduga data frekuensi kunjungan penyuluh yang ada di kelompok tani bersifat semu hanya sebatas formalitas saja. Variabel-variabel tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11) dan frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain (X12) berhubungan nyata dengan laju adopsi (Y2) berturut-turut pada selang kepercayaan 0,05 dan lebih dari 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), 62

hal tersebut berarti variabel tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11) sangat signifikan mempengaruhi laju adopsi (Y2) dan variabel frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain sangat tidak signifikan mempengaruhi laju adopsi (Y2). Hal ini dirasa frekuensi kunjungan penyuluh kurang terhadap petani karena seringnya para penyuluh dan/atau agen perubah lain berhubungan ketua kelompok tani dan kontak tani, sehingga para penyuluh dan/atau agen perubah lain kurang kontak dan kurang menyisihkan waktu yang relatif banyak untuk subyek penyuluhannya. 7.6 Hubungan antara Karakteristik Individu Petani dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi Diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada karakteristik individu petani, yakni: tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non-formal, pola perilaku komunikasi, tingkat pengalaman berusahatani, tingkat stratum rumahtangga petani, tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi. Tabel 25 memperlihatkan data berkenaan hubungan antar variabel tersebut, distribusi petani pembudidaya padi SRI menurut kategori kriteria dari variabel karakteristik individu petani dapat dilihat pada Lampiran 4. 63

Tabel 25. Hubungan antara Karakteristik Individu Petani dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) Variabel-variabel Karakteristik Individu Petani Tingkat Pendidikan Formal (X13) Tingkat Keinovativan (Y1) Laju Adopsi (Y2) Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah 0 50 50 50 0 50 Sedang 19 40 40 21 16 63 Tinggi 14 57 29 14 43 43 Tingkat Pendidikan Non Formal (X14) Rendah 22 49 29 22 20 58 Sedang 10 35 55 15 15 70 Tinggi 0 0 100 67 0 33 Pola Perilaku Komunikasi (X15) Rendah 11 22 67 22 11 67 Sedang 24 49 27 17 12 71 Tinggi 6 39 56 33 33 33 Tingkat Pengalaman Berusahatani (X16) Rendah 9 53 38 24 26 50 Sedang 31 31 38 21 10 69 Tinggi 0 40 60 20 0 80 Tingkat Stratum Rumahtangga Petani (X17) Rendah 18 44 38 18 20 62 Sedang 19 44 38 31 13 56 Tinggi 0 0 100 50 0 50 Tingkat Kebutuhan Petani terhadap Inovasi SRI (X18) Rendah 43 14 43 14 0 86 Sedang 6 56 39 33 22 44 Tinggi 19 42 40 19 19 63 Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5), satu dari enam variabel-variabel karakteristik individu petani yang berhubungan nyata terhadap tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α = 0,05, yaitu: tingkat pendidikan non formal (X14), diduga karena faktanya menunjukkan bahwa kecuali mengikuti pelatihan budidaya SRI, hampir semua petani tidak pernah mengikuti pelatihan lainnya yang berhubungan dengan peningkatan produktivitas usahatani mereka, sementara itu kebutuhan petani akan inovasi SRI lebih banyak karena motivasi 64

mendapat stimulan. Sedangkan lima variabel karakteristik individu petani lainnya, yaitu: tingkat pendidikan (X13), pola perilaku komunikasi (X15), tingkat pengalaman berusahatani (X16), tingkat stratum rumahtangga petani (X17) dan tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X18) berhubungan nyata terhadap tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α > 0,30. Dengan merujuk Purnaningsih (2006), tingkat pendidikan non formal ini sangat signifikan mempengaruhi tingkat keinovativan, sedangkan lima variabel lainnya sangat tidak signifikan mempengaruhi tingkat keinovativan. Hal inipun karena mayoritas petani adopter SRI tergolong kategori rendah dalam hal tingkat pengalaman berusahatani (X16) dan tingkat stratum rumahtangga petani (X17) berturut-turut sebesar 50 persen dan 74 persen, sementara itu pada dua variabel lainnya, yaitu: tingkat pendidikan formal (X13) dan pola perilaku komunikasi (X15) menunjukkan kriteria sedang, berturut-turut sebesar 84 persen dan 60 persen, sedangkan untuk variabel tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X18) mayoritas tergolong tinggi sebesar 63 persen. Meskipun tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI mayoritas tergolong tinggi, tetapi berdasarkan hasil focus group discussion (FGD) ketika hama menyerang sawah petani pada musim tanam ketujuh, untuk menanggulangi hama tersebut petani kembali menggunakan pestisida kimia. Adapun variabel-variabel karakteristik individu petani yang berhubungan nyata terhadap laju adopsi (Y2) pada taraf α = 0,05 yaitu: pola perilaku komunikasi (X15), pada taraf α = 0,10, yaitu: tingkat pengalaman berusahatani (X16), sedangkan variabel-variabel karakteristik individu lainnya yakni: tingkat pendidikan formal (X13), tingkat pendidikan non formal (X14), tingkat stratum rumahtangga petani (X17) dan tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X18) berhubungan nyata terhadap laju adopsi (Y2) pada taraf α > 0,30. Merujuk pada Purnaningsih (2006), pola perilaku komunikasi (X15) dan tingkat pengalaman berusahatani (X16) sangat signifikan mempengaruhi laju adopsi (Y2), hal ini diduga berhubungan dengan pola komunikasi petani adopter SRI yang cenderung lebih kosmopolit, antara lain tercermin komunikasi mereka dengan sumber inovasi SRI, yakni sekitar 72 persen berkomunikasi dengan ketua kelompoktani, 44 persen dengan PPL, dan sekitar 78 persen dengan rekan sekelompoktani dan dalam tingkat pengalaman berusahatani cenderung relatif 65

heterogen dan terdistribusi normal. Sedangkan variabel-variabel karakteristik individu petani lainnya sangat tidak signifikan mempengaruhi laju adopsi (Y2). 7.7 Permasalahan dalam Penyelenggaraan Program Inovasi SRI di Dusun Muhara Berkenaan dengan budidaya tanam padi SRI, secara umum para petani menganggap bahwa sejumlah komponen teknologi yang diintroduksikan dalam inovasi SRI sesuai dengan pengalaman dalam sistem budidaya padi konvensional, khususnya dalam hal: varietas unggul, benih bermutu, pengolahan lahan, penyiangan, dan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). namun demikian, terdapat sejumlah komponen yang petani pandang berbeda dengan sistem konvensional, yaitu penggunaan benih 5 kg/ha, perendaman dan pengeringan benih selama 24-48 jam, umur pembibitan 7-15 hari, cara tanam bibit tunggal dan dangkal dengan posisi akar membentuk huruf L, pengairan macakmacak, penggunaan pupuk organik (bokashi). Penggunaan pupuk organik dianggap agak menyulitkan karena mereka tidak terbiasa memanfaatkan kotoran ternak yang ada, serta adanya kesulitan dalam memperoleh limbah ternak untuk bahan pembuatan pupuk organik. Selain kekurangan limbah ternak sebagai bahan pembuatan pupuk organik di tingkat kelompok tani, pemasaran beras/gabah organik merupakan masalah yang harus diatasi. Selama ini, umumnya petani SRI menjual hasil panen kepada para pedagang lokal dengan harga yang belum memadai, walaupun masih terdapat perbedaan harga dengan gabah/beras biasa, namun harga jual padi organik dirasakan oleh para petani belum menguntungkan karena belum memberikan nilai tambah yang diharapkan. 66