HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : DKI JAKARTA) DIAN KUSUMAWARDANI

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id)

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ix

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI)

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print)

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan.

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM + (Studi Kasus : Jakarta) GEMA NUSANTARA BAKRY

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV KONDISI UMUM TAPAK

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

III. METODE PENELITIAN

ISTILAH DI NEGARA LAIN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

Berkala Fisika ISSN : Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72

Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban

III. METODOLOGI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

BAB I PENDAHULUAN. dan pemukiman. Sebagaimana kota menurut pengertian Bintarto (1977:9)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

APLIKASI TEKNOLOGI PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI HEAT ISLAND ( PULAU PANAS ) DI KOTA PEKANBARU

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

III. METODE PENELITIAN

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

Transkripsi:

HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : DKI JAKARTA) DIAN KUSUMAWARDANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

ABSTRACT DIAN KUSUMAWARDANI. Relationship Between Urban Green Space and Surface Temperature By Using Image LANDSAT TM/ETM+ (Region : DKI Jakarta). Supervised by YON SUGIARTO S.Si, M.Sc and HARTANTO SANJAYA S.Si, M.Sc. Urban Green Space (RTH) is regions covered by different types of vegetation in order to support direct and indirect benefits for the comfort and well-being. Jakarta has a rapid land cover changes every year, and the increased activity of the city brought an indirect impact on climate in the component elements. RTH reduction affects climate elements, one of which is surface temperature. Surface temperature is strongly influenced by the conditions of closing its land because of the nature of emissivity and thermal conductivity. This study examines the relationship between green space and the surface temperature using remote sensing techniques of LANDSAT satellite in 1992, 1997, 1999, 2000, 2001, 2004, and 2006. The technique used to determine the value of green space that is a supervised classification of various types of closure land use channel 5, 4, 2 (RGB), and to determine the surface temperature is used channel 6 (thermal) by processing the spectral radiance values and the digital number. The area of green space in a row in 1992, 1997, 1999, 2000, 2001, 2004, and 2006, was 42.2%, 32.1%, 29.7%, 27.4%, 26.3%, 22.5%, and 19.3%. While the surface temperature values obtained by the RTB 29 o C-42 o C, 27 o C-30 o C RTH, and a body of water 17-26 o C. Surface temperature is strongly influenced by the conditions of closing its land, so the reduction in green space contributes to an increase in surface temperature. Keyword: : Urban Green Space, Surface temperature, Image LANDSAT, DKI Jakarta.

RINGKASAN DIAN KUSUMAWARDANI. Hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Dan Suhu Permukaan Menggunakan Citra Satelit LANDSAT TM/ETM+ (Studi Kasus : DKI Jakarta). Dibimbing oleh YON SUGIARTO S.Si, M.Sc dan HARTANTO SANJAYA S.Si, M.Sc. Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan suatu kawasan yang ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi guna mendukung manfaat langsung maupun tidak langsung demi kenyamanan dan kesejahteraan manusia. Jakarta memiliki perubahan penutupan lahan yang pesat setiap tahunnya, serta meningkatnya aktivitas kota Jakarta membawa dampak secara tidak langsung terhadap perubahan komponen unsur iklim. Pengurangan RTH mempengaruhi unsur iklim, salah satunya yaitu suhu permukaan. Suhu permukaan sangat dipengaruhi oleh kondisi penutupan lahannya karena sifat emisivitas dan konduktifitas termalnya. Studi ini mengkaji hubungan antara RTH dan suhu permukaan menggunakan teknik penginderaan jauh dari satelit LANDSAT pada tahun 1992, 1997, 1999, 2000, 2001, 2004, dan 2006. Adapun teknik yang digunakan untuk mengetahui nilai RTH yaitu pengklasifikasian secara terbimbing dari berbagai jenis penutupan lahannya menggunakan kanal 5, 4, 2 (RGB), dan untuk mengetahui nilai suhu permukaannya digunakan kanal 6 (thermal) dengan mengolah nilai radiasi spektral dan nilai digital numbernya. Luasan RTH berturut-turut tahun 1992, 1997, 1999, 2000, 2001, 2004, dan 2006, adalah 42.2%, 32.1%, 29.7%, 27.4%, 26.3%, 22.5 %, dan 19.3%. Sedangkan nilai suhu permukaan yang diperoleh yaitu RTB 29 o C-42 o C, RTH 27 o C-30 o C, dan badan air 17-26 o C. Suhu permukaan sangat dipengaruhi oleh kondisi penutupan lahannya, sehingga pengurangan RTH memberikan kontribusi terhadap peningkatan suhu permukaan. Kata kunci : Ruang Terbuka Hijau (RTH), Suhu permukaan, LANDSAT, DKI Jakarta.

HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : DKI JAKARTA) DIAN KUSUMAWARDANI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Judul Skripsi : Hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Dan Suhu Permukaan Menggunakan Citra LANDSAT TM/ETM+ (Studi Kasus : DKI Jakarta) Nama : Dian Kusumawardani NIM : G24070039 Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, Yon Sugiarto, S.Si, M.Sc. NIP : 19740604 199803 1 003 Hartanto Sanjaya, S.Si, M.Sc. NIP : 19690621 199603 1 004 Mengetahui: Ketua Departemen Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP : 19600305 198703 2 002 Tanggal Lulus :

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, atas Rahmat dan Hidayah Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis memilih tema tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) dikarenakan, pesatnya pertumbuhan pembangunan di wilayah DKI Jakarta, sehingga berkurangnya jumlah luasan area Ruang terbuka Hijau (RTH), mengakibatkan perubahan salah satu komponen unsur iklim yang dirasakan langsung yaitu suhu. Dimana judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Dan Suhu Permukaan Menggunakan Citra LANDSAT TM/ETM + (Studi Kasus : DKI Jakarta). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Yon Sugiarto, S.Si, M.Sc, dan Bapak Hartanto Sanjaya, S.Si, M.Sc selaku pembimbing tugas akhir, Bapak Ir. Heny Suharsono selaku dosen penguji, dan Bapak Ir. Bregas Budianto selaku dosen pembimbing akademik. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pihak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, yang telah memberikan tempat dalam pengolahan data. Terima kasih yang mendalam penulis ucapkan untuk keluarga tercinta, Bapak Sarjono, Ibu Titin Hartini, kakak Dyah Ayu dan Sofyan, serta Bambang Wahyu Purnomo yang memberikan peran besar berupa materi, doa, motivasi, dalam menyelesaikan studi selama perkuliahan. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada staf TU yang telah memberikan pelayanan terbaik dalam mengurus segala administrasi, rekan-rekan tercinta di Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB khususnya teman-teman seangkatan dan seperjuangan GFM 44, kakak kelas GFM 42 dan 43, adik kelas GFM 45, serta rekan-rekan lainnya yang sudah bersama-sama mengemban studi bersama-sama di IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2011 Dian Kusumawardani

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 Januari 1990 dari Bapak Sarjono dan Ibu Titin Hartini. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara. Tahun 2007, penulis lulus dari SMA Negeri 50 Jakarta dan diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) atau yang disebut juga dengan jalur PMDK. Penulis memilih mayor Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan minor Ekonomi Sumberdaya, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan Himpunan Profesi Mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi (HIMAGRETO) IPB, mengisi majalah dinding dan berbagai artikel, serta aktif dalam kepanitiaan di berbagai acara yang diselenggarakan oleh Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB. Penulis juga pernah melaksanakan praktik lapang di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta.

viii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...ix DAFTAR GAMBAR...x DAFTAR LAMPIRAN...xi I. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang...1 1.2 Tujuan...1 II. TINJAUAN PUSTAKA...1 2.1 Ruang Terbuka Hijau (RTH)...1 2.2 Hubungan RTH dan Suhu...2 2.3 Penginderaan Jauh...3 III. METODOLOGI...4 3.1 Waktu dan Tempat...4 3.2 Alat dan Bahan...4 3.3 Metode Penelitian...4 3.3.1 Pengolahan Data Citra Satelit LANDSAT TM/ETM+...4 3.3.2 Estimasi Suhu Permukaan Citra Satelit LANDSAT TM/ETM+....5 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...6 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kajian...6 4.2 Pengolahan klasifikasi penutupan lahan pada landsat...7 4.3 Nilai RTH dari Citra Satelit LANDSAT TM/ETM+...8 4.4 Nilai Suhu Permukaan ( o C) dari Citra Satelit LANDSAT TM/ETM+...11 4.5 Hubungan Suhu Permukaan ( o C) dengan RTH (%)...14 V. KESIMPULAN DAN SARAN...15 5.1 Kesimpulan...15 5.2 Saran...15 VI. DAFTAR PUSTAKA...15 LAMPIRAN...18

ix DAFTAR TABEL Halaman 1 Koordinat Pengecekan lapang...8 2 Luasan wilayah klasifikasi lahan LANDSAT DKI Jakarta (ha)...8 3 Luasan wilayah klasifikasi lahan LANDSAT DKI Jakarta (%)...9 4 Luasan wilayah DKI Jakarta tahun 2006 (%)...11 5 Interval suhu permukaan LANDSAT pada histogram...12 6 Sebaran suhu permukaan ( o C) pada penutupan lahan di Jakarta dari LANDSAT...13 7 Luasan RTH (%) pada LANDSAT...14 8 Nilai suhu permukaan LANDSAT pada masing-masing stasiun...14 9 Nilai suhu permukaan dan RTH...14

x DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Jenis RTH...2 2 Komponen dasar dari sistem penginderaan jauh...3 3 Proses Penginderaan jauh...3 4 Diagram alir penelitian...5 5 Peta administrasi DKI Jakarta...6 6 Sebaran suhu udara ( o C) dan CH (mm) tahun 2009 stasiun Observatory DKI Jakarta...7 7 GPS dan citra LANDSAT RGB...7 8 Tiga jenis bentuk penutupan lahan di wilayah DKI Jakarta...9 9 Dinamika tutupan lahan DKI Jakarta...9 10 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 1992 DKI Jakarta....10 11 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 1997 DKI Jakarta....10 12 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 1999 DKI Jakarta....10 13 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2000 DKI Jakarta....10 14 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2001 DKI Jakarta....10 15 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2004 DKI Jakarta....10 16 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2006 DKI Jakarta....11 17 Contoh Interval suhu permukaan pada histogram (gambar akuisisi : 18 Mei 2006)....12 18 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun 1992...12 19 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun 1997...12 20 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun 1999...12 21 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun 2000...12 22 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun 2001...13 23 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun 2004...13 24 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun 2006...13 25 Sebaran suhu permukaan ( o C) pada setiap penutupan lahan....13 26 Penentuan suhu permukaan di lima titik (gambar akuisisi : 21 Juni 2004)....14 27 Korelasi hubungan suhu permukaan ( o C) dengan RTH (%)...15

xi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 1992 DKI Jakarta....18 2 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 1997 DKI Jakarta....18 3 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 1999 DKI Jakarta....19 4 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 2000 DKI Jakarta....19 5 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 2001 DKI Jakarta....20 6 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 2004 DKI Jakarta....20 7 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 2006 DKI Jakarta....21 8 Sebaran suhu permukaan LANDSAT TM/ETM+ tahun 1992 DKI Jakarta....21 9 Sebaran suhu permukaan LANDSAT TM/ETM+ tahun 1997 DKI Jakarta....22 10 Sebaran suhu permukaan LANDSAT TM/ETM+ tahun 1999 DKI Jakarta....22 11 Sebaran suhu permukaan LANDSAT TM/ETM+ tahun 2000 DKI Jakarta....23 12 Sebaran suhu permukaan LANDSAT TM/ETM+ tahun 2001 DKI Jakarta....23 13 Sebaran suhu permukaan LANDSAT TM/ETM+ tahun 2004 DKI Jakarta....24 14 Sebaran suhu permukaan LANDSAT TM/ETM+ tahun 2006 DKI Jakarta....24

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya laju pertumbuhan pembangunan suatu kota mengakibatkan perubahan lahan menjadi kawasan terbangun. Adanya kebutuhan ruang untuk menampung suatu kota dan aktivitasnya mengakibatkan pengurangan kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan kawasan atau wilayah yang ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi baik endemik maupun introduksi yang mempunyai manfaat langsung maupun tidak langsung, terhadap kenyamanan dan kesejahteraan manusia (LPL-IPB 2005). Ruang terbuka hijau merupakan indikator dari tingkat kenyamanan suatu wilayah, adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH) sangat diharapkan untuk dapat menanggulangi masalah lingkungan di perkotaan, terutama dalam menyerap hasil negatif yang disebabkan oleh aktivitas perkotaan. RTH mempunyai manfaat terhadap komponen iklim, diantaranya dalam menyerap panas, mengurangi tingkat kebisingan dan pencemaran udara, serta dapat sebagai sink melalui proses oksigenasi (Purnomohadi 1995). Penurunan kualitas ruang terbuka, terutama RTH pada 30 tahun terakhir ini secara besar terdapat pada 5 kota besar di Indonesia diantaranya Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung. Luasan RTH Jabotabek telah berkurang 23% selama periode 1972-1997, dalam periode yang sama terjadi peningkatan RTB sebesar 23% (Zain 2002). Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting dalam menjamin kelestarian lingkungan, kawasan tersebutlah yang harus dipertahankan menjadi kawasan yang hijau guna memberikan tingkat keefektifan suatu perkotaan. Moll (1997) merekomendasikan bahwa suatu perkotaan akan lebih efektif bila luasan RTH 40% dari luasan kota. Jakarta memiliki perubahan penutupan lahan yang pesat setiap tahunnya, serta meningkatnya aktivitas kota Jakarta yang dipacu oleh pertambahan penduduk membawa dampak secara tidak langsung terhadap perubahan komponen unsur iklim, perubahan komponen unsur iklim yang paling dirasakan secara langsung yaitu peningkatan suhu. Peningkatan suhu ratarata suatu perkotaan merupakan fenomena pulau panas atau Urban Heat Island (Atkinson 2003). Studi ini menganalisis hubungan antara RTH dengan suhu permukaan di DKI Jakarta menggunakan penginderaan jauh citra satelit LANDSAT, citra satelit LANDSAT adalah citra satelit yang mendeteksi sumber daya alam, yang telah beroperasi sejak tahun 1972 (Suwargana 2005). Dalam mengkaji hubungan antara keberadaan RTH dan suhu menggunakan teknik penginderaan jauh, hal yang perlu diperhatikan adalah penutupan lahan dan kondisi thermal dari citra yang diinterpretasi. Suhu permukaan sangat dipengaruhi oleh tutupan lahannya, sehingga dengan berkurangnya RTH menyebabkan dampak terhadap peningkatan suhu permukaan. 1.2 Tujuan 1. Mengkaji perubahan penutupan lahan dan mengetahui luasan RTH DKI Jakarta periode 1992 s.d 2006; 2. Menganalisis hubungan antara Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan suhu permukaan menggunakan penginderaan jauh citra LANDSAT TM/ETM+. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Terbuka Hijau (RTH) Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakaan ruang yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi, (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut guna memberikan manfaat terhadap lingkungan (LPL-IPB 2005). Secara umum RTH dibagi kedalam 2 jenis yaitu RTH alami dan RTH binaan, RTH alami merupakan suatu luasan area yang ditumbuhi berbagai jenis vegetasi secara alami dengan habitat yang liar atau kawasan lindung, sedangkan RTH binaan merupakan suatu luasan area yang ditumbuhi berbagai jenis vegetasi baik secara alami maupun ditumbuhi secara sengaja untuk dikelola dan dibudidayakan oleh privat maupun publik contohnya pertamanan kota, pertanian kota, lapangan olahraga, pemakaman, kebun campuran

2 perkampungan warga, dsb. Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya RTH diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk RTH jalur (koridor, linear), berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan perindustrian, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan pertanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah. Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi (a) RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah (pusat, daerah), dan (b) RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat (LPL-IPB 2005). (a) (b) Gambar 1 Jenis RTH: (a) RTH alami, (b) RTH binaan Bentuk RTH yang menyebar dan terdiri dari berbagai tingkatan vegetasi (rumput, semak, dan pohon) dapat mengurangi kebisingan sebesar 6%-30%, debu sebesar 38%-68% (Irwan 1994). Purnomohadi (1995) mengkaji RTH mempunyai peran dalam pengendalian pencemaran kualitas udara di DKI Jakarta, khususnya dalam menekan emisi CO, NOx dan Pb (melampaui baku mutu KepMenLH 02/1998) menekan emisi Pb sebesar (2%) terhadap bobot emisi. Sehingga secara tidak langsung kehadiran RTH lewat reduksi emisi gas seperti NOx (termasuk gas rumah kaca, yang mempunyai kemampuan menyerap panas 300 kali dibandingkan dibandingkan CO2) akan mengurangi dampak pemanasan baik lokal, maupun regional (Effendy 2007). Irwan (1994), mengemukakan peranan RTH dapat mengurangi kebisingan, yaitu dengan menghalangi gelombang suara, dan juga menghalangi sumber suara. Jalur hijau pepohonan yang tinggi dan padat yang dikombinasikan dengan semak, dan digabungkan dengan permukaan halus lainnya, akan mengurangi kebisingan hingga 50%. RTH juga dapat sebagai penahan angin dengan kriteria jenis tanaman diantaranya daunnya tidak mudah gugur, batangnya kuat, perakaran dalam, tinggi dan cukup besar sehingga dapat menghalangi intensitas cahaya matahari, serta RTH juga dapat mengurangi peristiwa pencemaran udara seperti hujan asam, dan dapat dikatakan sebagai sink melalui proses oksigenasi dan menghilangkan partikel gas serta bau di atmosfer (Purnomohadi 1995). Moll (1997) merekomendasikan bahwa kota harus memiliki RTH dengan luasan sekitar 40% dari luas totalnya atau setara dengan 20 pohon besar setiap 4000 m 2, dan akan lebih efektif bila luasan RTH 40% dari luasan kota. 2.2 Hubungan RTH dengan Suhu Peningkatan suhu perkotaan merupakan fenomena pulau panas atau Urban Heat Island (UHI), fenomena ini merupakan terjadinya suhu rata-rata wilayah perkotaan (urban) lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pedesaan (rural) (Effendy 2007). Suhu permukaan sangat dipengaruhi oleh penutupan lahan, karena karakteristik sifat emissivitas dan konduktifitas termalnya. Emissivitas adalah kemampuan benda untuk menyerap radiasi dimana untuk setiap permukaan nilai emissivitas berbedabeda, bergantung dari kemampuan benda tersebut menyerap radiasi matahari. untuk benda hitam (black body) emissivitas bernilai 1, untuk white body bernilai 0, dan untuk benda-benda di alam bernilai 0.9-1.0 (Handoko 1993), semakin besar nilai emissivitas suatu penutupan lahan maka semakin besar daya serap radiasinya, untuk vegetasi nilai emissivitasnya sebesar 0.96, untuk non vegetasi sebesar 0.92, dan badan air sebesar 0.98 (Weng 2001). Konduktifitas termal adalah Jumlah aliran panas per satuan waktu dan luas (fluks panas, Wm -2 ) tergantung dari sifat fisik medium yang dicerminkan (Handoko 1993). Untuk penutupan lahan seperti RTB mempunyai konduktifitas thermal yang tinggi sehingga baik untuk menghantarkan panas, dan mengakibatkan suhu permukaan yang tinggi, suhu permukaan akan mempengaruhi suhu udara melalui proses konveksi ke lapisan udara diatasnya. RTH berkaitan erat dengan suhu udara yang memberikan tingkat kenyamanan, menurut kajian Santosa (1998), suhu udara wilayah Jakarta lebih tinggi 0.02-1.0 o C dibandingkan wilayah pinggiran (suburban)

3 dan pedesaan (rural). Fenomena terjadinya peningkatan suhu atau UHI salah satunya disebabkan oleh terjadinya perubahan penutupan lahan atau berkurangnya RTH. 2.3 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1997). Terdapat empat komponen dasar pada sistem penginderaan jauh diantaranya sumber energi, target, alur transmisi, dan sensor. Keempat komponen tersebut bekerjasama mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh objek yang dikaji. resolusi spektral yaitu resolusi yang berdasarkan pada bagian dari spektrum elektromagnetik yang diukur dan perbedaan energi yang diamati, resolusi spasial yang didasarkan pada unit terkecil suatu objek (per piksel), dan resolusi temporal yaitu pengulangan pemotretan suatu citra. Gambar 3 Proses Penginderaan Jauh (Sumber : CCRS/CCT) Gambar 2 Komponen dasar pada sistem penginderaan jauh Sumber energi yang dipakai pada penginderaan jauh adalah matahari dalam bentuk gelombang elektromagnetik yang terdiri dari medan listrik dan medan magnet, gelombang yang sering digunakan dalam sistem penginderaan jauh yaitu spektrum tampak (0.4-0.7 µm), infra merah pantulan, inframerah termal, dan gelombang mikro (Lillesand dan Kiefer 1997). Energi berinteraksi dengan target melalui proses serapan (absorpsi), pantulan (refleksi), dan hamburan (scattering), dan meneruskan informasi dari target ke sensor. Sensor adalah sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai, diantaranya berupa citra. Citra ini kemudian diinterpretasi untuk menyarikan informasi mengenai target. Proses interpretasi biasanya berupa gabungan antara visual dan automatic dengan bantuan komputer dan perangkat lunak pengolah citra. Kualitas data penginderaan jauh ditentukan oleh karakteristik sistem sensor yang ditunjukkan oleh resolusi, diantaranya Penginderaan jauh untuk lingkungan hidup adalah penelitian mengenai interaksi antara sistem alam di bumi menggunakan teknologi Penginderaan jauh. Berikut merupakan beberapa keuntungan menggunakan teknik penginderaan jauh diantaranya lebih luasnya ruang lingkup yang bisa dipelajari, lebih seringnya sesuatu fenomena bisa diamati, dan dimungkinkannya penelitian di tempattempat yang susah atau berbahaya untuk dijangkau manusia, sehingga peneliti dapat tanpa kontak langsung menganalisis wilayah atau objek yang dikaji. Pemanfaatan citra penginderaan jauh satelit pada umummnya yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah citra satelit LANDSAT. Citra satelit LANDSAT adalah satelit penginderaan jauh untuk deteksi sumber daya alam yang beroperasi sejak tahun 1972 dan tahap demi tahap kemampuan aplikasi terus ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan informasi sumber daya alam yang terus dituntut makin rinci (Suwargana, 2005). Citra Landsat yang memiliki cakupan data yang luas (185 x 185 km), dapat dipakai untuk kajian regional, memberikan informasi permukaan setiap 16 hari, serta memiliki multi kanal (termasuk kanal inframerah termal) sehingga dapat menghasilkan luaran beberapa parameter permukaan untuk sekali pengambilan data.

4 Terdapat dua jenis tipe LANDSAT diantaranya, LANDSAT TM (Thematic Mapper), yaitu satelit yang dapat digunakan untuk memantau sumberdaya alam, yang pada awalnya digunakan dalam bidang geologi umum, namun berkembang pesat dan dapat diaplikasi pada bidang selain geologi, sedangkan modifikasi dari LANDSAT TM dengan seri baru yang dikeluarkan pada tahun 1999 hingga sekarang yaitu LANDSAT ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus) yang mempunyai 8 kanal dengan tambahan 1 kanal pankromatik (Effendy, 2007). Citra LANDSAT TM/ETM+ memiliki masing-masing kanal yang dibedakan berdasarkan sensor panjang gelombangnya. Kanal 1, 2, dan 3 merupakan kanal dengan sensor panjang gelombang cahaya tampak. Kanal 4, 5, 6, dan 7 merupakan kanal dengan sensor panjang gelombang inframerah dekat, inframerah tengah, inframerah, dan inframerah jauh. Kanal 8 merupakan kanal dengan sensor panjang gelombang cahaya tampak (hanya hijau dan merah) dan inframerah dekat. Kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 memiliki resolusi spasial 30 x 30 m, kanal 6 memiliki resolusi spasial 60 x 60 m, sedangkan kanal 8 memiliki resolusi spasial 15 x 15 m (Lillesand dan Kiefer 1997). Kanal yang digunakan untuk mengklasifikasi penutupan lahan pada penelitian ini yaitu kanal 5, 4, dan 2 atau kanal RGB, kanal ini memiliki keunggulan dalam mendeteksi tanaman, membedakan batas tanaman, daratan, awan, dan air. Dengan rentang nilai kanal 2 (0.52-0.60 µm), kanal 4 (0.76-0.90 µm), dan kanal 5 (1.55-1.75 µm). Dan untuk analisis suhu permukaan menggunakan kanal thermal yaitu kanal 6 dengan rentan panjang gelombang (10.40-12.50 µm) yang dapat mencari lokasi geothermal, mengukur tingkat stres tanaman, kebakaran, kelembaban, dan gejala lain yang berhubungan dengan panas (Lillesand dan Kiefer 1997). III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari s.d. Juni 2011, dengan tahapan : turun lapang di wilayah DKI Jakarta, pencarian data, dan pengolahan data. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah Global Positioning System (GPS), kamera digital, seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak Er Mapper, Arc View, MS. Office, dan beberapa perangkat penunjang lainnya. Adapun bahan-bahan yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Citra satelit LANDSAT TM/ETM (+) wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya Path/row 122/064 tanggal akuisisi, 30 Juli 1992, 12 Juli 1997, 19 Agustus 1999, 14 September 2000, 15 Juli 2001, 21 Juni 2004 dan 18 Mei 2006. (Sumber : BTIC-BIOTROP dan USGS Glovis) b. Peta spasial administrasi DKI Jakarta (Sumber : Bakosurtanal). c. Data suhu udara ( o C) dan CH (mm) DKI Jakarta pada tahun 2009 (Sumber : BMKG). 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengolahan Data Citra Satelit LANDSAT TM/ETM+ a. Koreksi Geometrik Koreksi geometrik dilakukan untuk menghilangkan kesalahan pada koordinat sistem bumi yang sebenarnya. Salah satu cara untuk mengkoreksi distorsi geometrik ini adalah dengan menggunakan titik titik kontrol tanah (GCP) yang sudah diketahui koordinatnya (Lillesand dan Kiefer 1997). Dalam penelitian ini, dilakukan koreksi geometrik dari citra ke citra (image to image rectification). b. Cropping Pemotongan citra (cropping) dilakukan untuk menentukan batas daerah kajian dengan pertimbangan bahwa daerah studi tidak meliputi seluruh daerah pada citra lebih menspesifikasikan wilayah yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1997). c. Klasifikasi Klasifikasi dilakukan untuk memproses suatu piksel dari citra yang mempunyai penampakan spektral yang sama yang akan diidentifikasikan atau membedakan macammacam objek yang terdapat dalam citra, dan mengelompokkan objek-objek ke dalam karakteristik tertentu sesuai dengan hasil citra sebenarnya (Lillesand dan Kiefer 1997). Dalam studi ini dilakukan klasifikasi terbimbing (supervised classification), yaitu penelitian dilakukan terjun langsung ke lapang, dengan training area untuk mengetahui perubahan penutupan lahan baik

5 secara langsung maupun historis pada wilayah yang dikaji. 3.3.2 Estimasi Suhu Permukaan Citra Satelit LANDSAT TM/ETM+. Suhu permukaan merupakan suhu terluar pada lapisan permukaan suatu objek. Suatu objek mempunyai suhu permukaan yang berbeda-beda bergantung dari sifat fisik objek tersebut dalam menyerap panas. Sifat fisis obyek tersebut diantaranya : emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal (Lillesand dan Kiefer 1997). Estimasi suhu permukaan dalam citra satelit LANDSAT TM/ETM (+), menggunakan kanal enam sebagai kanal thermal infrared yaitu pada kisaran panjang gelombang 10.40 s.d 12.50 µm, dengan tahapan sebagai berikut : a. Mengkonversi Digital Number (DN) ke nilai Spectral Radiance (L λ ). Dalam mengkonversi Digital Number (DN) ke nilai Spectral Radiance, menggunakan persamaan sebagai berikut (USGS 2002), L λ = L maxλ L minλ x(qcal max - QCAL min ) + L minλ QCAL max - QCAL min... (1) Keterangan: L λ = Spectral radiance pada kanal ke- i (Wm -2 sr -1 µm -1 ) QCAL = Nilai digital number kanal ke- i L minλ = Nilai minimum spectral radiance kanal ke- i L maxλ = Nilai maksimum spectral radiance kanal ke-i QCAL min = Minimum pixel value 1 (LPGS Products) 0 (NLAPS Products) QCAL max = Maksimum pixel value (255) b. Mengkonversi nilai Spectral Radiance (L λ ) ke Brightness Suhu (T B ). Dalam Mengkonversi nilai Spectral Radiance (L λ ) ke Brightness Suhu (T B ), persamaan yang digunakan yaitu persamaan Planck sebagai berikut (USGS 2002): T B = K 2... (2) In K 1 + 1 L λ Keterangan : T B = suhu kecerahan (Kelvin) K 1 = 666.09 Wm -2 sr -1 µm -1 (LANDSAT ETM+) K 1 = 607.76 Wm -2 sr -1 µm -1 (LANDSAT TM) K 2 = 1282.71 Kelvin (LANDSAT ETM+) K 2 = 1260.56 Kelvin (LANDSAT TM) L λ = (17.04/255) DN (Radiance (W m -2 sr - 1 µm -1 )) c. Mengkonversi Brightness Suhu (T B ) ke suhu permukaan (Ts). Dalam mengkonversi Brightness Suhu (T B ) ke suhu permukaan (Ts), dilakukan koreksi emisivitas dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Weng 2001) : Ts (koreksi) = T B... (3) 1 + λt B In ε Keterangan : T B = Suhu kecerahan (Kelvin) λ = Panjang gelombang dari radiasi yang dipancarkan sebesar 11.5 µm = hc/σ (1.438 x 10-2 mk) h = Konstanta Planck s (6.26 x 10-34 Js) c = Kecepatan cahaya (2.998 x 10 8 s -1 ) σ = Konstanta Stefan Boltzmans (1.38 x 10-23 JK -1 ) ε = Nilai emisivitas * Nilai ε dalam persamaan ini ditentukan untuk vegetasi sebesar 0.96, untuk non vegetasi sebesar 0.92, dan badan air sebesar 0.98 (Weng 2001). Tahapan penelitian secara umum disajikan dalam bentuk diagram alir pada gambar berikut, Klasifikasi Supervised RTH Citra LANDSAT TM/ETM + Koreksi geometrik Kanal 5,4,2 Cropping Kanal 6 Korelasi RTH & Ts Suhu Permukaan (Ts) Gambar 4 Diagram alir penelitian

6 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kajian Jakarta terletak pada lintang 106 o 22 42 BT s.d. 106 o 58 18 BT dan 5 o 10 12 LS s.d. 6 o 23 54 LS. Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227 Tahun 1989, luas wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah 649.8 km 2 Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif, yakni: Kotamadya Jakarta Pusat dengan luas 47.9 km 2, Jakarta Utara dengan luas 142.2 km 2, Jakarta Barat dengan luas 126.2 km 2, Jakarta Selatan dengan luas 145.7 km 2, dan Kotamadya Jakarta Timur dengan luas 187.7 km 2 (Bappeda 2011). Jakarta termasuk dalam wilayah dataran rendah dengan ketinggian 0-30 m, Jakarta memiliki 4 stasiun iklim, diantaranya Tanjung Priuk dengan ketinggian 2 mdpl, Halim Perdanakusuma dengan ketinggian 30 mdpl, Kemayoran dengan ketinggian 5 mdpl, dan Soekarno-Hatta dengan ketinggian 8 mdpl. Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id) Secara geografis, di sebelah utara Jakarta membentang pantai sepanjang 35 km, yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah kanal. Di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang, serta di sebelah utara dengan Laut Jawa. Secara geologis, seluruh dataran terdiri dari endapan pleistocene yang terdapat pada ± 50 m di bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium (Suwargana 2005).

7 Gambar 6 Sebaran suhu udara ( o C) dan CH (mm) tahun 2009 stasiun Observatory DKI Jakarta (Sumber : BMKG 2009) Jakarta merupakan wilayah beriklim tropis, dengan suhu rata-rata 28-29 o C, dan curah hujan per tahun 1303 mm (pada tahun 2009) seperti yang tercatat pada data iklim yang diplotkan Gambar 6 diatas, terlihat suhu udara di Jakarta tertinggi diwakili oleh bulan Agustus s.d. bulan Oktober, dan curah hujan tertinggi diwakili oleh bulan November hingga Januari. Laju pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1980-1990 sebesar 2.4 persen per tahun, menurun pada periode 1990-2000 dengan laju 0.2 persen. Pada periode 2000-2005, laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.1 persen per tahun (Bappeda 2011). 4.2 Pengolahan klasifikasi penutupan lahan pada LANDSAT Penentuan nilai RTH menggunakan penginderaan jauh dilakukan analisis menggunakan klasifikasi penutupan lahan dari citra Satelit LANDSAT TM/ETM+ menggunakan kanal 542 (RGB) true colour agar secara visualisasi terlihat jelas dan tajam perbedaan antara RTH, RTB, dan badan air. Diperoleh 6 jenis penutupan lahan dengan jenis yang berbeda pada setiap tipe penutupan lahan, dengan melihat tingkat kecerahan warnanya. Berdasarkan tingkat kecerahannya, terdapat diantaranya mempunyai jenis penutupan lahan yang sama, oleh karena itu diklasifikasi ulang kedalam tiga kelas diantaranya, RTH, lahan terbangun, dan badan air. RTH itu sendiri mempunyai tingkat kecerahan warna hijau yang terdiri dari hijau tua, hijau muda, dan hijau muda sangat halus, meliputi berbagai jenis vegetasi diantaranya pertamanan kota, pertanian kota, lapangan olahraga (golf, sepak bola, pacuan kuda), pemakaman, kebun campuran perkampungan warga, dsb. Lahan terbangun diwakili oleh tingkat kecerahan warna merah tua, merah muda, dan violet, meliputi: pemukiman, gedung, industri, dsb. Serta badan air diwakili oleh tingkat kecerahan warna biru tua dan hitam meliputi: laut, danau, sungai, dan situ. (a) (b) Gambar 7 (a) GPS, (b) citra LANDSAT RGB True color Penentuan tipe penutupan lahan digunakan teknik pengklasifikasian secara terbimbing (supervised clasification) dengan terjun langsung ke lapang, untuk melakukan training area atau pengecekan lapang dengan menggunakan alat Global Positioning system (GPS). Pengecekan lapang menggunakan GPS dilakukan untuk mengetahui koordinat penutupan lahan yang

8 sebenarnya terhadap kondisi penutupan lahan yang akan dilakukan klasifikasi pada citra yang diinterpretasi. Adapun terjun lapang harus memperhatikan wilayah mana yang akan dilakukan kunjungan untuk pengecekan lapang. Wilayah yang dilakukan pengecekan lapang yaitu wilayah yang terlihat kontras perbedaannya dari tahun 1992 ke tahun-tahun berikutnya, dengan mengetahui perbedaannya tingkat rona kecerahan pada landsat, dan juga memastikannya menggunakan data historis dari penduduk setempat sudah dapat diketahui kondisi lapang yang sebenarnya pada tahun akuisisi tersebut. Adapun wilayah yang dilakukan pengecekan yaitu wilayah yang mempunyai perubahan besar pada RTH, RTB, dan badan air. Untuk pemekaran RTB yaitu pada wilayah Jakarta timur, barat, dan selatan. Dimana pada wilayah Jakarta timur yaitu pada wilayah pondok kopi yang dahulu merupakan kebun campuran perkampungan pada tahun 1990-1998, sekarang telah menjadi pemukiman padat dan akses jalan baru. Dan wilayah Jakarta selatan yaitu di tebet yang merupakan pemakaman dan kebun campuran namun telah didirikan gedung apartemen dan pemukiman lainnya, sedangkan untuk wilayah cibubur yang dahulunya merupakan perkampungan yang terdiri dari berbagai kebun campuran sekarang menjadi kawasan perumahan elit dan sentra pertokoan. Untuk perubahan badan air dilakukan kunjungan ke wilayah utara yang mengalami perubahan besar, yaitu wilayah pantai indah kapuk dan pluit terjadinya pengurukan rawa dan air laut untuk pusat kawasan pemukiman elit dan sentra bisnis, sedangkan untuk wilayah yang masih terdapat badan air yaitu sunter dengan waduk dan danaunya. Tabel 1 Koordinat pengecekan lapang No S E Nama Tempat Keterangan 1 06 o 05'43.9" 106 o 43'04.5" Kamal Muara Pertambakan ikan 2 06 o 06'45.1" 106 o 45'12.7" PIK, Pluit Perubahan Badan air menjadi RTB (Pengurukan Rawa dan air laut menjadi pemukiman) 3 06 o 10'22.0" 106 o 43'54.0" Waduk Sunter Badan air (waduk buatan untuk rekreasi 4 06 o 09'32.0" 106 o 45'41.5" Sunter dan kawasan penyangga) Perubahan kebun campuran menjadi Jalan tol dan pemukiman 5 06 o 10'41.8" 106 o 49'32.2" Silang Monas RTH (Taman kota, Hutan kota, JHJ) 6 06 o 12'13.8" 106 o 48'41.3" Taman Suropati Taman Kota 7 06 o 13'41.8" 106 o 50'12.2" Taman Menteng Taman Kota 8 06 o 14'36.8" 106 o 56'10.6" Tebet Perubahan pemakaman menjadi RTB 9 06 o 11'58.2" 106 o 55'37.8" Pondok Kopi 10 06 o 11'42.2" 106 o 54'38.1" Penggilingan Perubahan kebun campuran menjadi pemukiman Perubahan kebun campuran menjadi pemukiman 4.3 Nilai RTH dari Citra Satelit LANDSAT TM/ETM+ Untuk menentukan nilai luasan RTH pada LANDSAT hal yang harus dilakukan yaitu pengklasifikasian penutupan lahan yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya diperoleh tiga jenis tipe penutupan lahan diantaranya RTH, RTB, dan Badan air. Berikut merupakan hasil klasifikasi dari LANDSAT yang dibagi menjadi tiga jenis penutupan lahan di DKI Jakarta, sebagai berikut, Tabel 2 Luasan wilayah klasifikasi lahan LANDSAT DKI Jakarta (ha) Tahun RTH Lahan Badan Terbangun air 1992 28002.4 36290.4 2046.7 1997 21283.3 43904.7 1151.9 1999 19735.2 45280.3 1324.4 2000 18191.3 46844.8 1303.8 2001 17462.8 47163.5 1713.6 2004 14905.5 49573.0 1861.4 2006 12778.3 51616.1 1945.5

9 Tabel 3 Luasan wilayah klasifikasi lahan LANDSAT DKI Jakarta (%) Lahan Badan Tahun RTH Terbangun air 1992 42.2 54.7 3.1 1997 32.1 66.2 1.7 1999 29.7 68.3 2.0 2000 27.4 70.6 2.0 2001 26.3 71.1 2.6 2004 22.5 74.7 2.8 2006 19.3 77.8 2.9 Luasan wilayah DKI Jakarta yang diperoleh dari pengolahan LANDSAT yaitu sebesar 663.4 km2, hal ini sedikit berbeda dengan luasan wilayah sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 1227 Tahun 1989, karena luasan cropping pada LANDSAT sedikit lebih melebar, sehingga luasannya terakumulasi. Dari perolehan klasifikasi LANDSAT, nilai diatas menunjukkan, luasan RTH terus mengalami penurunan dari tahun 1992 hingga tahun 2006, yaitu dari 28002.4 Ha menjadi 12778.3 Ha, Hal ini menjelaskan bahwa, wilayah Jakarta mengalami pengurangan RTH sebesar 15224.1 Ha atau sebesar 22.9 % dari luasan total wilayah Jakarta. Dan sebaliknya, luasan lahan terbangun semakin meningkat dari tahun 1992 hingga tahun 2006, yaitu dari 36290.4 Ha menjadi 51616.1 Ha, yang berarti lahan terbangun mengalami peningkatan sebesar 15325.6 Ha atau sebesar 23.1% dari luasan total wilayah Jakarta. Gambar 8 Dinamika tutupan lahan DKI Jakarta (a) (b) (c) Gambar 9 Tiga jenis bentuk penutupan lahan di wilayah DKI Jakarta: (a) RTH (lokasi : Taman Suropati), (b) Lahan terbangun (lokasi : Kota Jakarta) (c) Badan air (lokasi: Waduk Sunter). Perubahan yang terjadi di DKI Jakarta pada periode tahun 1992 s.d tahun 2006 diantaranya Urban atau penambahan RTB yang terjadi melalui pemekaran pemukiman yang semakin bertambah ke wilayah Jakarta timur, Barat, dan Selatan, distribusinya terlihat pada Gambar 10 s.d gambar 16 terutama sekitar perbatasan Bekasi, Tanggerang dan Bogor. Untuk perubahan RTH terlihat perbedaan yang cukup

10 mencolok dari tahun 1992 ke tahun 1997 dst. Terlihat warna hijau masih cukup luas pada tahun 1992 namun sudah berkurang menjadi warna bekas RTH menjadi merah, hal ini hampir di seluruh wilayah DKI Jakarta banyak mengalami perubahan menjadi urban, terutama wilayah Jakarta Pusat dan Utara keberadaan RTH semakin sedikit. Untuk Badan air seperti danau, sungai, rawa yang merupakan daerah penyangga air nampak semakin kritis kondisinya, lingkungannya sudah tercemar, dan sungai yang melewati kota semakin kotor, sehingga sering terjadi genangan air terutama di wilayah sekitar bantaran sungai dan sekitar muara sungai akibat proses sedimentasi endapan lumpur akibat sampah/limbah, sedangkan untuk danau dan rawa semakin berkurang karena semakin bertambahnya bangunan yang diperuntukkan untuk pemukiman yang secara besar-besaran terjadi pada wilayah Jakarta utara yaitu daerah sunter, pulo mas, pluit dan pantai indah kapuk dimana rawa dan danau diuruk menjadi pemukiman. Dan pada tahun 2006, terdapatnya sedikit penambahan badan air dikarenakan dibangunnya beberapa banjir kanal dibeberapa wilayah. Gambar 10 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 1992 DKI Jakarta. Gambar 11 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 1997 DKI Jakarta. Gambar 12 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 1999 DKI Jakarta. Gambar 13 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2000 DKI Jakarta Gambar 14 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2001 DKI Jakarta. Gambar 15 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2004 DKI Jakarta.

11 Gambar 16 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2006 DKI Jakarta. Luasan RTH pada tahun 1992 sebesar 42.2 % (Tabel 3), hal ini menunjukkan wilayah DKI Jakarta pada tahun tersebut masih dinyatakan layak, karena Moll (1997) merekomendasikan bahwa suatu kota akan lebih efektif bila luasan RTH 40% dari luasan kota. Namun luasan RTH sebesar 42.2 % di Jakarta, tidak mewakili wilayahwilayah lainnya di bagian kotamadya Jakarta. Hal ini dikarenakan pada umumya wilayah yang mengalami pembangunan pesat yaitu wilayah pusat, hampir di wilayah tersebut sangat sedikit luasan RTH, bahkan dari tahun 1992 wilayah Jakarta pusat sudah dipadati oleh pemukiman dan bangunan dibandingkan dengan wilayah jakarta lainnya. Seperti yang tercatat pada Dinas Tata Ruang (2006), Luasan RTH yang paling sedikit yaitu terdapat pada wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, luasnya berturutturut sebesar 5.6 % dan 3.0 % dari luasan total wilayah kotamadya tersebut, sedangkan untuk wilayah Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat masih memiliki luasan RTH yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah Jakarta Pusat dan Selatan, yaitu berturut-turut sebesar 12.0 %, 16.9 %, dan 13.4 %, seperti pada tabel berikut, Tabel 4 Luasan wilayah DKI Jakarta tahun 2006 (%) Wilayah RTH Lahan Badan terbangun air Pusat 5.6 92.1 2.2 Selatan 3.0 95.3 1.6 Timur 12.0 85.9 2.0 Utara 16.9 76.6 6.3 Barat 13.4 84.5 1.9 (Sumber : Dinas Tata Ruang 2006) Dinamika penutupan lahan Jakarta digambarkan pada Gambar 8, dimana grafik RTH semakin menunjukkan penurunan dan Grafik Lahan terbangun semakin menunjukkan peningkatan secara signifikan. Hal ini merupakan kebutuhan pembangunan suatu ibukota yang semakin meningkat setiap tahunnya untuk mengikuti tren perkembangan zaman. Suatu wilayah perkotaan menjadi wilayah yang semakin maju dan berkembang, disamping itu padatnya lahan dan area pemukiman disebabkan karena meningkatnya akan permintaan lahan bagi penduduk untuk menempati wilayah. Walaupun terdapat penambahan beberapa RTH di beberapa wilayah di Jakarta, tetapi penambahan tersebut tidak berpengaruh, hal ini dikarenakan, luasan penambahan lahan terbangun lebih besar dibandingkan dengan luasan penambahan RTH. Hal ini telah diupayakan oleh pemerintah dalam menata pembangunan tatakota yang lebih nyaman, yaitu dengan dibangunnya beberapa RTH pada suatu wilayah tertentu oleh Dinas tata ruang Jakarta seperti taman kota atau hutan kota, namun penambahan luasan RTH tersebut belum memenuhi syarat dan kriteria luasan kenyamanan suatu kota yang efektif yaitu pengadaan RTH sebesar 40 % dari luasan total suatu kota tersebut (Moll 1997). 4.4 Nilai Suhu Permukaan dari Citra LANDSAT TM/ETM+ Penentuan suhu permukaan di wilayah Jakarta digunakan ekstraksi LANDSAT. Ekstraksi LANDSAT memberikan informasi yang relatif banyak dengan cakupan wilayah yang luas, karena LANDSAT dapat memberikan informasi per piksel pada setiap wilayahnya. Ekstraksi suhu pada LANDSAT hanya dapat digunakan pada kanal thermal yaitu kanal 6, suhu yang terbaca pada LANDSAT merupakan permukaan bagian terluar dari objek yang tertangkap oleh citra, sehingga setiap penutupan lahan dalam citra LANDSAT mempengaruhi nilai suhu permukaannya. Hal ini dikarenakan oleh sifat emisivitas dan konduktifitas termal pada suatu penutupan lahan. Suhu permukaan berpengaruh terhadap fluks bahang terasa (sensible heat), terutama pada siang hari, hal ini dikarenakan suhu permukaan suatu benda lebih tinggi dari suhu udara (Mannstein 1987). Suhu permukaan dalam citra digambarkan dalam

12 cakupan suatu pixel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda. Dalam menentukan nilai suhu permukaan yang terdapat pada LANDSAT, dilakukan dengan merata-ratakan selang interval pada masing-masing histogramnya yang merupakan output dari suhu permukaan secara keseluruhan pada wilayah kajian, dimana suhu yang terdapat pada histogram menginterpretasikan nilai suhu permukaan yang tertinggi hingga terendah. Tabel 5 Interval suhu permukaan LANDSAT pada histogram Interval suhu Tahun permukaan 1992 21-42 oc 1997 19-37 oc 1999 25-40 oc 2000 21-36 oc 2001 22-32 oc 2004 17-33 oc 2006 19-37 oc untuk nilai suhu permukaan tertinggi dengan gradasi warna kuning hingga merah diwakili oleh RTB. Gambar 18 Sebaran suhu permukaan (oc) LANDSAT tahun 1992. Gambar 19 Sebaran suhu permukaan (oc) LANDSAT tahun 1997. Gambar 17 Contoh Interval suhu permukaan pada histogram (gambar akuisisi : 18 Mei 2006). Nilai suhu permukaan pada histogram merupakan nilai suhu permukaan secara keseluruhan pada wilayah Jakarta, dimana selang suhu permukaan pada histogram mewakili semua jenis penutupan lahan (RTH, RTB, Badan air) yang diwakili oleh tingkat kecerahan warna atau rona, selang tersebut menyatakan nilai suhu permukaan dari terendah hingga tertinggi dengan tingkat kecerahan warna atau rona dari biru hingga merah (Gambar 17), sehingga untuk nilai suhu permukaan yang rendah dengan gradasi warna biru tua hingga biru muda diwakili oleh badan air dan penutupan awan, dan Gambar 20 Sebaran suhu permukaan (oc) LANDSAT tahun 1999. Gambar 21 Sebaran suhu permukaan (oc) LANDSAT tahun 2000.

13 Gambar 22 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun 2001. Tabel 6 Sebaran suhu ( o C) permukaan pada penutupan lahan di Jakarta dari LANDSAT. Tahun RTH Lahan Badan terbangun air 1992 27.0 29.0 25.0 1997 27.5 30.0 25.0 1999 27.0 32.0 24.0 2000 28.5 31.0 24.5 2001 28.0 30.0 24.0 2004 30.0 33.0 26.5 2006 30.5 32.5 26.0 Gambar 23 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun 2004. Gambar 24 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun 2006. Dari gambar diatas menunjukkan, hasil suhu permukaan dari suhu tinggi ke rendah yaitu terdapat pada gradasi warna dari biru, hijau, kuning, dan merah. Warna merah secara umum mempresentasikan lahan terbangun dengan suhu yang sangat tinggi yaitu kisaran 29 o C-42 o C, sedangkan untuk RTH yaitu kisaran 27 o C-30 o C, dan untuk badan air yaitu berkisar 17-26 o C. Penentuan nilai suhu permukaan RTH, RTB, dan badan air pada LANDSAT, dilakukan dengan merata-ratakan suhu permukaan penutupan lahan tersebut pada setiap piksel dengan mengklik pada area penutupan lahan tersebut, lalu dirata-ratakan per pikselnya. Gambar 25 Sebaran suhu permukaan ( o C) pada setiap penutupan lahan. Dari penutupan lahan diatas, didapatkan pada RTH mempunyai nilai suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun (RTB) hal ini dikarenakan RTH mempunyai kapasitas panas yang lebih besar dibandingkan dengan RTB, sedangkan untuk badan air, mempunyai kapasitas panas terbesar karena terjadi penyerapan kalornya tinggi dan pelepasannya secara lambat melalui evaporasi sehingga suhu permukaan pada badan air yang tertangkap oleh citra nilainya sangat rendah dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya. Sifat emisivitas suatu objek sangat berpengaruh terhadap suhu permukaannya, emissivitas merupakan kemampuan benda untuk menyerap radiasi dimana untuk setiap permukaan nilai emissivitas berbeda-beda, bergantung dari kemampuan benda tersebut menyerap radiasi matahari. Suatu obyek dipermukaan yang memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis rendah, sedangkan konduktivitas termalnya tinggi akan menyebabkan suhu permukaannya meningkat, dan sebaliknya. Suhu permukaan akan mempengaruhi jumlah energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (Lillesand dan Kiefer 1997). Untuk RTH memiliki emisivitas 0.95, sedangkan untuk RTB 0.92, hal ini menunjukkan RTH mempunyai nilai emissivitas yang lebih besar dibandingkan

14 dengan RTB, sehingga RTH mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam menyerap radiasi surya dibandingkan dengan RTB, oleh karenanya, RTH mempunyai nilai suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan RTB. Sedangkan untuk badan air, nilai emisivitasnya terbesar dibandingkan dengan RTH dan RTB sehingga suhu permukaan badan air dinilai sangat rendah dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya. 4.5 Hubungan Suhu Permukaan ( o C) dengan RTH (%) Dengan memperoleh hasil keluaran berupa nilai RTH dengan suhu permukaan dari pengolahan LANDSAT tahun 1992 s.d 2006 secara sekaligus, dapat diketahui hubungan antara nilai RTH dan suhu permukaan dengan mengkorelasikan nilainya, nilai RTH yang digunakan untuk dikorelasikan dengan suhu permukaan yaitu luasan RTH pada masing-masing akuisisi yang dihasilkan dalam persen (%). Tabel 7 Luasan RTH (%) pada LANDSAT Tahun RTH 1992 42.2 1997 32.1 1999 29.7 2000 27.4 2001 26.3 2004 22.5 2006 19.3 Suhu permukaan yang digunakan untuk dikorelasikan dengan RTH merupakan suhu permukaan yang di rata-ratakan per piksel dari satu titik stasiun, dilakukan penitikan pada radius stasiun tertentu dengan tujuan untuk mewakili sebaran suhu di wilayah seluruh Jakarta, yaitu stasiun Soekarno-hatta yang diwakili pada radius point A, stasiun Tj. Priuk diwakili oleh point B, stasiun Kemayoran diwakili oleh point C, dan Halim Perdanakusuma diwakili oleh point D. Dalam satu penitikan menghasilkan sembilan nilai suhu permukaan sehingga dirata-ratakan itu merupakan hasil dari nilai suhu permukaan pada stasiun tersebut, Gambar 26 Penentuan suhu permukaan di empat titik (gambar akuisisi : 21 Juni 2004). Tabel 8 Nilai suhu permukaan ( o C) LANDSAT pada masing-masing stasiun. Tahun Kemayoran Priuk Halim PK Sukarno Hatta 1992 28.1 29.0 28.0 27.0 1997 29.5 28.5 27.5 28.5 1999 33.0 28.5 31.0 30.0 2000 33.5 30.5 29.5 29.0 2001 30.0 29.5 28.0 29.5 2004 29.0 31.5 31.5 31.0 2006 30.5 30.0 30.0 30.0 Dengan merata-ratakan nilai suhu permukaan pada masing-masing stasiun pada tabel diatas (Tabel 8), diperoleh nilai rataan per akuisisi untuk dikorelasikan dengan luasan RTH (%) yang terdapat pada tabel 9 berikut, Tabel 9 Nilai suhu permukaan dan RTH Tahun Ts ( o C) RTH (%) 1992 28.0 42.2 1997 28.5 32.1 1999 30.6 29.7 2000 30.6 27.4 2001 29.3 26.3 2004 30.8 22.5 2006 30.1 19.3

15 mendapat tahun yang lebih terbaru, karena data citra satelit LANDSAT yang terbaru mempunyai kerusakan pada sensornya. Upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan, maka diperlukan perencanaan tata ruang kota Jakarta, serta penambahan luasan RTH sesuai dengan syarat keefektifan suatu kota guna menambah kenyamanan dan menjaga unsur komponen iklim disekitarnya. Gambar 27 Korelasi hubungan suhu permukaan ( o C) dengan RTH (%) Terlihat pada Gambar 27 grafik hubungan antara RTH dan suhu permukaan apabila nilai RTH rendah maka suhu permukaan tinggi dan sebaliknya, sehingga untuk mendapatkan nilai suhu permukaan yang rendah, diperlukan luasan RTH yang besar. Suhu permukaan sangat bergantung terhadap jenis penutupan lahannya, RTH mempunyai suhu permukaan yang rendah dibandingkan dengan RTB, sehingga untuk menurunkan suhu permukaan suatu wilayah perlu dilakukan penambahan luasan RTH. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Luasan RTH dari tahun 1992 s.d 2006 mengalami penurunan sebesar 20.9 %. Penurunan ini dibarengi dengan peningkatan lahan terbangun (RTB). Suhu permukaan dari ekstraksi LANDSAT, tertinggi diinterpretasikan dengan RTB, kemudian RTH dan suhu permukaan terendah diwakili oleh badan air. Peningkatan (RTB), menyebabkan terjadinya peningkatan suhu permukaan. Suhu permukaan sangat dipengaruhi oleh kondisi tutupan lahannya. Hubungan RTH dengan suhu permukaan diantaranya apabila untuk mencapai suhu permukaan yang rendah maka diperlukan luasan RTH (%) yang lebih besar. 5.2 Saran Dalam penelitian ini sebaiknya dilakukan pengecekan lapang menggunakan koordinat bumi yang lebih banyak guna mengetahui kondisi lapang yang sebenarnya, dan penggunaan analisis suhu permukaan lebih ditekankan, serta sebaiknya menggunakan data citra satelit lain guna VI. DAFTAR PUSTAKA Atkinson, B. W. 2003. Numerical Modelling Of Urban Heat Island Intensity. Boundary-Layer Meteorology 109 (3): 285-310. Bappeda. 2011. DKI Jakarta. [Terhubung berkala : Jakarta.go.id] (30 Juli 2011). Dinas Tata Ruang. 2006. Tematik DKI Jakarta. Jakarta : Dinas Tata Ruang. Effendy, S. 2007. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau Dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK. [Disertasi] Program Pascasarjana- IPB. Bogor. Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya: Jakarta. Irwan, Z. D. 1994. Peranan Bentuk Dan Struktur Hutan Kota Terhadap Kualitas Lingkungan Kota: Studi Kasus Lokasi Pemukiman Kota Jakarta. [Disertasi] Program Pascasarjana-IPB. Bogor. Lab. Perencanaan Lanskap (LPL). 2005. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. (Makalah Lokakarya PENGEMBANGAN SISTEM RTH DI PERKOTAAN Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum). Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB. Lillesand, TM dan Kiefer, RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra Penginderaan Jauh [Terjemahan] UGM Press. Yogyakarta.

16 Mannstein, H. 1987. Surface Energy Budget, Surface Thermal And Thermal Inertia. Remote Sensing Applications In Meteorology And Climatology. D. Reidel Publishing Company. Dordrectht. Holland. Hlm 391-410. Moll, G. 1997. America s Urban Forests: Growing Concern. American Forests 103 (3): 15-18. Purnomohadi, S. 1995. Peran Ruang Terbuka Hijau Dalam Pengendalian Kualitas Udara Di DKI Jakarta. [Disertasi] Program Pascasarjana-IPB. Bogor. Risdiyanto, I. 2009. Data iklim DKI Jakarta [Terhubung berkala : BMKG- Banyudata.blogspot.com] (30 Juli 2011). Santosa, I. 1998. Pulau Panas (Heat Island) Wilayah JABOTABEK. Jurusan Geofisika dan Meteorologi- FMIPA-IPB. Bogor. Suwargana, N. 2005. Deteksi Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Dki Jakarta). [Jurnal] Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. (Surabaya, 14 15 September 2005). USGS. 2002. Landsat 7 Science Data Users Handbook. United States Of Amerika. Weng, Q. 2001. A remote sensing-gis evaluation of urban expansion and its impact on surface Thermal in the Zhujiang Delta, China. Int. j. remote sensing, 2001, vol.22, no. 10, 1999-2014. Zain, A. 2002. Distribution, structure and function of urban green space in Southeast Asian Mage-cities with special reference to Jakarta metropolitan region (JABOTABEK). [Doctoral Degree Program]. Departement of Agricultural and Environmental biology. The University of Tokyo.

LAMPIRAN 17

18 Lampiran 1 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 1992 DKI Jakarta Lampiran 2 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 1997 DKI Jakarta

19 Lampiran 3 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 1999 DKI Jakarta Lampiran 4 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 2000 DKI Jakarta

20 Lampiran 5 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 2001 DKI Jakarta Lampiran 6 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 2004 DKI Jakarta

21 Lampiran 7 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 2006 DKI Jakarta Lampiran 8 Sebaran Suhu Permukaan Citra LANDSAT TM/ETM+ tahun 1992 DKI Jakarta

22 Lampiran 9 Sebaran suhu permukaan LANDSAT TM/ETM+ tahun 1997 DKI Jakarta Lampiran 10 Sebaran suhu permukaan LANDSAT TM/ETM+ tahun 1999 DKI Jakarta

23 Lampiran 11 Sebaran suhu permukaan LANDSAT TM/ETM+ tahun 2000 DKI Jakarta Lampiran 12 Sebaran suhu permukaan LANDSAT TM/ETM+ tahun 2001 DKI Jakarta

24 Lampiran 13 Sebaran suhu permukaan LANDSAT TM/ETM+ tahun 2004 DKI Jakarta Lampiran 14 Sebaran suhu permukaan LANDSAT TM/ETM+ tahun 2006 DKI Jakarta