II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA KEDELAI DI SENTRA INDUSTRI TEMPE KELURAHAN SEMANAN JAKARTA BARAT

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

PENDAHULUAN. dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm

1 Universitas Indonesia

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

BAB I PENDAHULUAN. dalam kebijakan pangan nasional. Pertumbuhan ekonomi di negara negara

I. PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, usaha kecil mikro, dan menengah adalah usaha

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan. Sektor tanaman pangan adalah sebagai penghasil bahan makanan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan

PROSPEK TANAMAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan Zat Gizi Komoditas Kedelai. Serat (g) Kedelai Protein (g) Sumber: Prosea 1996 ( Purwono: 2009)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki laju pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

KETERANGAN TW I

KAJIAN SISTEM PEMASARAN KEDELAI DI KECAMATAN BERBAK KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR HILY SILVIA ED1B012004

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PROYEKSI PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SURAKARTA

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. maupun yang sudah modern. Perkembangan jumlah UMKM periode

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan komoditas yang sedang dikembangkan di Indonesia. besar mengimpor karena kebutuhan kedelai yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai merupakan salah satu tanaman palawija penting di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidup setiap manusia,

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan

1. PENDAHULUAN. masyarakat dan kesadaran masyarakat pentingnya mengkonsumsi protein nabati, utamanya adalah bungkil kedelai (Zakaria, 2010).

PENDAHULUAN. setelah beras. Jagung juga berperan sebagai bahan baku industri pangan dan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. bisnis ikan air tawar di dunia (Kordi, 2010). Ikan nila memiliki keunggulan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Konsumsi rata-rata kue kering di kota dan di pedesaan di Indonesia 0,40

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

I. PENDAHULUAN. setiap rakyat Indonesia. Salah satu komoditas pangan yang penting di Indonesia

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa melaksanakan produksi, perdagangan dan distribusi produk

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

Analisis usaha industri tempe kedelai skala rumah tangga di kota Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. dari kedelai yang melalui proses fermentasi. Berdasarkan data dari BPS, produksi

ANALISIS PENDAPATAN DAN BIAYA PRODUKSI AGROINDUSTRI TAHU DI DESA PANDANSARI KECAMATAN AJIBARANG KABUPATEN BANYUMAS

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang selama ini

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

Tinjauan Pasar Daging dan Telur Ayam. Informasi Utama :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Populasi ternak sapi di Sumatera Barat sebesar 252

Bab I. Pendahuluan. Kebutuhan kedelai meningkat seiring dengan meningkatkan permintaan untuk

PENINGKATAN NILAI TAMBAH JAGUNG SEBAGAI PANGAN LOKAL Oleh : Endah Puspitojati

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA

BAB I. PENDAHULUAN. pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

BAB I. PENDAHULUAN. [Januari, 2010] Jumlah Penduduk Indonesia 2009.

WAHYUNING K. SEJATI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi tinjauan komoditas kedelai, khususnya peranan kedelai sebagai sumber protein nabati bagi masyarakat. Tidak hanya itu, kedelai juga ditinjau dari sisi konsumsi dan pemenuhan kebutuhan atau produksi kedelai. Tinjauan lainnya membahas perkembangan salah satu industri berbahan baku kedelai yaitu industri tempe di Indonesia, serta lebih jauh meninjau pula hubungan antara berbagai skala produksi dalam suatu industri atau usaha dengan biaya produksi yang dikeluarkan produsen. 2.1. Peran Kedelai sebagai Sumber Pangan Pangan menjadi kebutuhan mendasar bagi penduduk dalam kehidupan suatu bangsa. Pada tahun 1990 penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 179 juta jiwa, dan meningkat menjadi lebih dari 200 juta jiwa tahun 2000 (BPS 2010). Konsekuensinya adalah semakin besarnya kebutuhan bahan pangan yang harus tersedia untuk memenuhi asupan gizi penduduk. Salah satu komponen gizi yang harus dipenuhi bagi tubuh adalah protein, baik itu protein hewani maupun nabati. Kebutuhan protein tersebut akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan. Namun demikian kebutuhan protein di Indonesia masih belum mencukupi. Banyaknya kasus anak yang mengalami gizi buruk karena kekurangan protein, baik di desa maupun di kota menjadi bukti bahwa kebutuhan protein memang masih dirasakan belum mencukupi 6. Kasus kekurangan gizi akibat tidak terpenuhinya kebutuhan protein seharusnya tidak perlu terjadi, karena ada sumber protein yang murah dan mudah di dapat yaitu kedelai. Margono et al. (1993), mengungkapkan bahwa kedelai memiliki kandungan protein sebesar 35-43 persen. Kandungan protein dalam kedelai bahkan lebih tinggi dibandingkan beras, jagung, dan telur ayam. Melihat kandungan protein yang dimiliki, kedelai mempunyai potensi yang amat besar sebagai sumber protein bagi penduduk Indonesia. 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. http://www.gizi.net/php [10 Juni 2010]

Kedelai sebagai sumber protein yang relatif murah, telah lama dikenal dan diolah dalam beberapa ragam makanan, seperti tempe, tahu, kecap, tauco, susu, dan oncom. Begitu pentingnya kedelai bagi pangan, terlihat dari banyaknya kedelai (90 persen) yang digunakan sebagai bahan baku makanan olahan, seperti tahu, tempe, dan kecap (Silitonga et al. 1996). Uraian di atas menunjukkan bahwa kedelai sebagai komoditas pangan yang memiliki peran penting. Peran tersebut terkait dengan kedelai yang digunakan sebagai sumber utama protein nabati bagi tubuh dan harganya yang relatif terjangkau bagi masyarakat. Hal tersebut menjadikan kedelai dan produk turunannya sebagai salah satu komoditas pangan yang permintaannya cenderung meningkat. Sudaryanto (1996) menyebutkan bahwa elastisitas pendapatan kedelai adalah positif dan kurang dari satu, yaitu sebesar 0,4 untuk masyarakat desa dan 0,35 untuk masyarakat kota. Angka ini mengindikasikan bahwa kedelai termasuk ke dalam barang normal, sehingga apabila ada kenaikan pendapatan masyarakat akan meningkatkan permintaan atau konsumsi kedelai. Meningkatnya permintaan masyarakat terhadap kedelai, lebih jauh akan menimbulkan peluang semakin terserapnya tenaga kerja, baik dalam usahatani kedelai maupun industri pengolahan kedelai. Dengan demikian kedelai berperan cukup penting dalam memenuhi konsumsi pangan nasional dan lebih jauh lagi sebagai penyerapan tenaga kerja. 2.2. Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Uraian sebelumnya membahas peran penting kedelai dalam perekonomian nasional. Salah satunya dilihat dari kedelai sumber konsumsi pangan terutama untuk memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat. Panganan yang dibuat dari kedelai seperti tempe dikonsumsi sebagai sumber protein nabati. Tempe merupakan salah satu jenis makanan tradisional yang dibuat dengan proses fermentasi. Bahan baku tempe sangat beragam, mulai dari kedelai, biji benguk, biji lamtoro, bungkil kacang tanah, dan bungkil kelapa. Namun tempe yang terbuat dari kedelai merupakan tempe yang paling dikenal luas dan paling banyak dijadikan lauk pauk bagi masyarakat Indonesia (Sarwono 2002). 13

Bagi tempe kedelai, tentu yang menjadi bahan baku utama dalam membuat tempe adalah kedelai. Marliyati et al.(1992) dan Supriyono (2003) menjelaskan salah satu hal yang harus diperhatikan dalam mengolah kedelai menjadi tempe adalah kedelai tidak boleh terlalu lama disimpan atau kedelai yang digunakan adalah kedelai yang baru, agar tempe yang dihasilkan tetap memiliki bau ciri khas kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa produsen tempe tidak dapat menyimpan kedelainya terlalu lama. Akibatnya adalah produsen tempe harus membeli kedelai dalam jarak waktu yang relatif singkat. Padahal harga kedelai sangat berfluktuasi mengikuti perkembangan harga kedelai di pasar internasional setiap harinya. Dengan demikian produsen tempe mengalami harga kedelai yang berfluktuasi hampir setiap hari. Dilihat dari lama penyimpanan, tempe juga tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Hardinsyah et al. (2002) menjelaskan tempe paling lama disimpan dalam lemari pendingin selama dua hingga tujuh hari. Masa simpan tempe yang relatif singkat membuat tempe dibeli hampir setiap hari oleh konsumen agar tetap mendapatkan tempe yang segar. Hal ini membuat konsumen tidak dapat menyimpan tempe sebagai persediaan lauk dalam waktu yang relatif lama. Pembelian tempe yang cenderung dilakukan setiap hari membuat konsumen juga akan terkena dampak dari kenaikan harga kedelai. Namun dampak yang dirasakan konsumen tidak langsung dirasakan dalam bentuk kenaikan harga beli tempe, melainkan dalam ukuran tempe yang dibuat lebih kecil oleh produsen atau pengrajin tempe. Di sisi lain ternyata produksi kedelai nasional belum mampu mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri. Akibatnya adalah pemenuhan kedelai sebagian besar (65 persen) pada tahun 2008 masih dipenuhi dari kedelai impor, dengan kata lain Indonesia mengalami kondisi ketergantungan impor kedelai yang cukup besar. Kondisi ketergantungan impor sebenarnya tidak hanya terjadi pada kedelai, melainkan juga komoditas pangan lainnya yaitu padi dan jagung. Bahkan menurut Deptan (2005) laju pertumbuhan impor bahan pangan tersebut cenderung meningkat dari tahun 1993 hingga 2004. 14

Laju pertumbuhan impor yang meningkat dapat disebabkan adanya peningkatan jumlah konsumsi pangan sedangkan produksi tetap, atau jumlah konsumsi tetap namun jumlah produksi cenderung menurun. Alasan kedua tampaknya menjadi sebab mengapa Indonesia masih mengimpor sejumlah bahan pangan utama. Badan Pusat Statistik (BPS 2010), padi mengalami laju pertumbuhan berfluktuasi dengan kisaran antara 0,6-2,4 persen dalam kurun waktu 2000-2004. Namun secara keseluruhan jumlah padi yang diimpor masih relatif lebih rendah daripada jumlah padi yang diproduksi. Komoditas pangan lainnya yaitu jagung, mengalami peningkatan laju impor selama kurun waktu 1990-2003 sekitar 10,46 persen per tahun. Kondisi ketergantungan impor bahan pangan paling besar terjadi pada komoditas kedelai, padahal kedelai merupakan komoditas pangan terpenting dalam pemenuhan kebutuhan protein nabati. Ketergantungan terhadap impor kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun periode 1989-1993 sebesar 24,2 persen terus meningkat menjadi 31,14 persen per tahun periode 1994-1997 dan meningkat lagi menjadi 57,56 persen pada periode 1998-2006. Salah satu sebab mengapa Indonesia sangat tergantung dengan kedelai impor adalah karena kedelai bukan tanaman asli daerah tropis melainkan daerah subtropis, sehingga pemuliaan serta domestikasi belum berhasil sepenuhnya mengubah sifat fotosensitif kedelai putih (Komalasari 2008). Indonesia sebagai daerah tropis, bukannya tidak dapat menanam kedelai sama sekali. Hanya saja jika dibandingkan dengan negara subtropis, produksi kedelai nasional masih di bawah produksi kedelai yang dihasilkan negara subtropis. Amang et al. (1996), produksi kedelai Indonesia amat kecil yaitu tidak lebih dari 2 persen dari pangsa total produksi kedelai dunia. Dilihat dari kondisi produksi kedelai nasional, Nuryanti dan Kustiari (2007) membagi produksi kedelai nasional ke dalam dua kondisi besar yaitu pertumbuhan yang menurun dan cenderung tetap. Kondisi pertumbuhan yang menurun terjadi selama kurun waktu tahun 1990-2000, dengan produksi rata-rata 1,4 juta ton dengan penurunan sebesar 3,6 persen per tahun. Adapun pertumbuhan kedelai nasional yang cenderung tetap, terjadi pada kurun waktu tahun 2001-2006. 15

Secara keseluruhan pertumbuhan produksi kedelai relatif rendah hanya 0,4 persen per tahun. Tidak hanya karena rendahnya produktivitas kedelai nasional, kebutuhan kedelai yang cenderung meningkat pun menjadi salah satu faktor ketergantungan Indonesia akan kedelai impor. Sarwono (2002) menyebutkan bahwa jumlah konsumsi kedelai meningkat rata-rata 12 persen per tahun. Hal ini ditunjukkan dengan data konsumsi kedelai pada tahun 1983 tercatat 1,2 juta ton. Tujuh tahun kemudian, sekitar tahun 1990, konsumsi kedelai meningkat menjadi 1,8 juta ton dan sekitar 1.048.800 ton dikonsumsi dalam bentuk tempe. Darsono (2005) menjelaskan, kedelai dapat dikonsumsi dalam bentuk biji, olahan (tahu, tempe, tauco, kecap, dan lain-lain), dan industri. Dalam periode 1984-2000 rata-rata konsumsi perkapita desa dan kota dalam bentuk biji tumbuh 0,5 persen, dalam bentuk olahan tumbuh sebesar 24,5 persen, dan untuk industri tumbuh sangat cepat sebesar 160 persen pada periode 1984-2000. Dilihat dari kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap kedelai, diperkirakan akan terus meningkat, sementara produksi kedelai nasional terbatas. Bahkan diperkirakan Indonesia akan mengalami kekurangan atau defisit kedelai sebesar 705 ribu ton untuk tahun 2010 saja (Komalasari 2008). Uraian di atas menunjukkan terdapat kesenjangan antara produksi dengan konsumsi atau kebutuhan kedelai di dalam negeri. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, pemerintah memenuhinya dengan melakukan impor kedelai. Namun jumlah kedelai yang diimpor ternyata melebihi jumlah kedelai yang diproduksi, sehingga dapat dikatakan pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri sebagian besar berasal dari kedelai impor. 2.3. Perkembangan Harga Kedelai Nasional Kedelai sebagai salah satu komoditas pangan yang berperan dalam perekonomian nasional, membuat pemerintah menetapkan berbagai kebijakan. Salah satu dari kebijakan yang ditetapkan pemerintah adalah mekanisme pengendalian harga kedelai terutama kedelai impor yang dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (BULOG). Bentuk mekanisme pengendalian kedelai oleh BULOG meliputi pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran kedelai. Adanya 16

campur tangan pemerintah melalui BULOG menyebabkan harga kedelai lokal dan impor tidak menunjukkan fluktuasi yang berarti (Zulham & Yumm 1993). Adanya kebijakan tersebut membuat gejolak harga kedelai di pasar domestik dapat diredam, sehingga harga kedelai terjangkau bagi konsumen dan mampu mendorong produsen yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku untuk meningkatkan produksinya. Kebijakan pengendalian kedelai oleh BULOG ternyata hanya berlaku sampai sebelum tahun 2000, akibat adanya desakan melakukan perdagangan bebas di pasar dunia. Konsekuensinya harga kedelai mengikuti mekanisme pasar, yang ditentukan oleh penawaran dan permintaan (supply demand). Pasar kedelai tersebut meliputi pasar internasional dan pasar domestik. Kondisi pasar internasional dan domestik kedelai ternyata mempengaruhi perkembangan harga kedelai nasional. Pengaruh ini disebabkan oleh besarnya ketergantungan terhadap kedelai impor dan rendahnya produksi kedelai nasional. Secara statistik, Handayani et al. (2009) mengungkapkan kenaikan harga kedelai tahun 2008 sebesar 80 persen di Amerika Serikat yang mewakili pasar internasional membuat harga kedelai dalam negeri meningkat sebesar 134 persen. Konsekuensi dari dilepaskannya perdagangan kedelai ke pasar bebas, membuat perdagangan kedelai dikuasai pihak tertentu saja. Saat ini terdapat tiga importir besar yang menguasai kedelai impor di dalam negeri. Ketiga importir tersebut yaitu PT. Gerbang Cahaya Utama yang menguasai 64 persen kedelai impor, Cargill Indonesia menguasai 18,18 persen, dan Alam Agri Perkasa yang menguasai 13 persen dari total kedelai impor dalam negeri 7. Perkembangan harga kedelai nasional tampaknya dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan kedelai oleh pemerintah. Gejolak harga kedelai khususnya di tingkat produsen pengolah kedelai cenderung dapat diredam ketika perdagangan kedelai masih dikendalikan oleh BULOG. Namun semenjak perdagangan kedelai diserahkan ke pasar bebas, harga kedelai mengikuti fluktuasi harga kedelai di pasar internasional. 7 Tiga Importir Besar. www.bisnisindonesiaonline.com [ 15 Januari 2010] 17

2.4. Perkembangan Industri Tempe Industri tempe merupakan salah satu jenis industri pangan. Industri tempe terdiri dari pengrajin tempe yang biasanya tergabung dalam satu kawasan, seperti sentra industri tempe yang berada di Kelurahan Semanan, Jakarta Barat. Industri tempe yang bergabung ke dalam satu kawasan biasanya menerima harga kedelai yang tidak terlampau jauh berbeda, karena para pengrajin cenderung membeli di satu sumber yang sama. Krisdiana (2007) menjelaskan, 36 persen pengrajin tempe yang berada dalam satu kawasan industri tempe cenderung membeli kedelai di satu pasar terdekat yang sama. Tempat pengrajin memperoleh kedelai akan mempengaruhi kualitas kedelai yang dibelinya, dengan satu tempat pembelian yang sama menyebabkan pengrajin dalam satu kawasan industri cenderung memakai kedelai yang sama kualitasnya. Pengrajin tempe, baik yang tergabung dalam satu kawasan industri maupun yang tidak tergabung, diduga jumlahnya semakin meningkat. Pertambahan jumlah pengrajin tempe ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang berarti semakin bertambah pula kebutuhan pangan penduduk, dimana tempe menjadi salah satu panganan utama dalam menu pangan penduduk. Penambahan jumlah industri tempe dapat didekati dengan melihat penambahan jumlah industri pangan atau makanan, karena industri tempe termasuk ke dalam industri makanan. Hal ini terlihat pada tahun 2008 dimana industri makanan dan minuman nasional meningkat sebesar 39 persen dari tahun 2001 (BPS 2010). Perkembangan industri tempe tidak hanya dapat dilihat dari bertambahnya jumlah industri tempe secara keseluruhan, melainkan dapat pula dilihat dari bertambahnya jumlah industri tempe berdasarkan indikator tertentu. Indikator tersebut antara lain dilihat dari penggunaan jumlah tenaga kerja, kapasitas produksi, dan modal serta teknologi. Pada akhirnya perbedaan indikator tersebut merujuk industri tempe menjadi tiga skala produksi. Skala produksi industri tempe meliputi skala produksi kecil, menengah, dan besar. Dilihat dari sisi penggunaan jumlah tenaga kerja, BPS (2010) mengelompokkan industri secara umum, termasuk industri tempe ke dalam skala kecil bila mempekerjakan kurang dari dua puluh orang tenaga kerja, sedangkan 18

industri tergolong ke dalam skala menengah dan besar bila memperkerjakan dua puluh orang atau lebih. Di sisi lain berdasarkan kapasitas produksinya, industri tempe juga dapat dikelompokkan menjadi industri skala kecil, menengah, dan besar. Industri skala kecil mengolah kedelai kurang dari 300 kg per hari dan industri skala besar mengolah lebih dari 300 kg kedelai per hari (Triyani 2004, diacu dalam Latifah 2006). Masih berdasarkan kapasitas produksinya, Harvita (2007) memberikan pengelompokkan industri tempe yang berbeda dengan uraian sebelumnya. Industri tempe skala kecil yaitu industri yang mengolah kurang dari 50 kg kedelai per hari, skala menengah mengolah dari 50 hingga 100 kg per hari, dan industri skala besar mengolah lebih dari 100 kg per hari. Berdasarkan penggunaan modal dan teknologinya, Hubeis (2007) mengelompokkan industri besar secara umum, termasuk industri tempe adalah industri yang memiliki ciri-ciri padat modal, teknologi tinggi, dan pengolahan modern. Berbeda halnya dengan industri skala kecil yang dicirikan dengan modal yang kecil dan umumnya menggunakan teknologi yang sederhana. Untuk menentukan besar skala produksi industri tempe memang dapat didekati dari berbagai hal seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Namun semua indikator tersebut sama-sama mengerucutkan industri tempe menjadi tiga skala produksi, yaitu skala kecil, menengah, dan besar. Perkembangan industri tempe di dalam negeri pada akhirnya pun akan mengarah pada perkembangan jumlah pengrajin tempe berdasarkan skala produksi tersebut. Tahun 1979, jumlah industri tempe di dalam negeri sebesar 99 persen merupakan industri tempe skala kecil, sisanya adalah industri skala menengah dan besar (BPS 1979, diacu dalam Amang et al. 1996). Tahun 1982, industri tempe yang termasuk ke dalam skala kecil adalah sekitar 94 persen dan sisanya sebesar 6 persen merupakan industri tempe dengan skala menengah dan besar (Simatupang 1990, diacu dalam Suharno & Mulyana 1996). Saat ini diduga jumlah presentase industri tempe yang termasuk ke dalam skala menengah dan besar akan meningkat, mengingat cukup banyak penemuan teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas pengrajin tempe. Namun peningkatan presentase industri tempe skala menengah dan besar, tidak lebih besar dari industri tempe 19

yang termasuk ke dalam skala kecil. Dengan kata lain presentase industri skala kecil tetap lebih besar dibandingkan industri tempe skala menengah dan besar. 2.4. Skala dan Biaya Produksi Adanya perbedaan skala produksi pada industri, khususnya industri tempe diduga akan mempengaruhi struktur biaya dan tingkat keuntungan pengrajin. Suharno dan Mulyana (1996), meneliti bahwa pengrajin tempe skala besar memiliki rasio keuntungan sedikit lebih besar (23,48 persen) dibandingkan rasio keuntungan yang diterima pengrajin tempe skala kecil (21,40 persen). Tingkat keuntungan yang lebih besar pada pengrajin skala besar dapat disebabkan jumlah produksi yang lebih besar atau harga jual produk yang lebih mahal karena adanya perbedaan kualitas produk yang relatif lebih baik. Dilihat dari struktur biaya yang dikeluarkan pun diduga akan terdapat perbedaan antar pengrajin tempe yang berbeda skala produksinya. Perbedaan ini tidak hanya berlaku pada industri tempe, melainkan pada beberapa industri atau usaha seperti ayam petelur, ayam pedaging, sapi perah, dan kambing perah. Hal ini terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Yusdja (1983) meneliti usaha ternak ayam petelur, Sukraeni (1985) meneliti usaha sapi perah, Rusdji (1986) meneliti usaha ayam pedaging, dan Stani (2009) meneliti usaha ternak kambing perah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hasil yang sama yaitu kecenderungan dengan semakin besar skala produksi akan semakin menurunkan biaya produksi yang dikeluarkan. Yusdja (1983), mengungkapkan terdapat kecenderungan dengan semakin besarnya skala usaha akan semakin rendah biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja dan makanan ternak, yang pada akhirnya menurunkan biaya total per kilogram telur yang dihasilkan. Rusdji (1986), menyatakan bahwa semakin besar skala pengusahaan peternak akan menurunkan biaya pembelian obat-obatan dan tenaga kerja sehingga rata-rata biaya produksi per kilogram berat jual hidup ayam pedaging paling besar adalah pada peternak skala kecil. Sukraeni (1985), menyatakan bahwa semakin besar skala produksi akan menurunkan biaya pembelian pakan, sehingga produksi per kilogram susu semakin menurun dengan semakin meningkatnya skala usaha. Stani (2009) menyimpulkan adanya 20

kecenderungan dengan meningkatnya skala usaha maka biaya per satuan ternak dan per liter susu semakin menurun, penurunan ini disebabkan biaya tetap (perawatan kandang) pada peternak skala kecil lebih besar dibandingkan biaya tetap pada peternak skala besar. Adanya kecenderungan biaya produksi yang semakin rendah dengan semakin besarnya produksi, dapat disebabkan karena produsen skala besar memperoleh harga pembelian input yang relatif lebih murah. Pada umumnya pemilik faktor produksi memang akan memberikan harga yang lebih murah pada pembeli yang melakukan pembelian dalam jumlah besar. Produsen skala besar biasanya membeli faktor produksinya dalam jumlah banyak untuk dipakai dalam proses produksi maupun disimpan sebagai persediaan (inventory). Berbeda dengan produsen skala kecil, pada umumnya membeli faktor produksi dalam jumlah kecil karena memang kebutuhan faktor produksi untuk setiap kali proses produksinya masih kecil dan tidak melakukan aktivitas inventory. Perbedaan jumlah pembelian faktor produksi pada produsen yang berbedabeda skala produksinya, lebih jauh akan mempengaruhi daya tahan produsen terhadap gejolak harga faktor produksi (Alim 1996). Harga faktor produksi terbentuk oleh interaksi permintaan dan penawaran di pasar. Apabila jumlah permintaan melebih jumlah penawaran, maka sesuai dengan teori supply demand, harga faktor produksi akan bergerak naik. Konsekuensi lebih jauh adalah adanya pengaruh kenaikan harga faktor produksi tertentu bagi industri dengan skala produksi yang berbeda-beda yang menjadikan faktor produksi tertentu tersebut sebagai bahan baku utamanya. Kedelai sebagai sumber pangan khususnya sebagai sumber protein nabati, membuat kedelai penting dalam menu pangan yang murah dan mudah di dapat, lebih jauh lagi peran kedelai sebagai sumber pangan akan turut berperan dalam perekonomian nasional. Peran kedelai yang penting tersebut membuat industri pengolah kedelai, salah satunya industri tempe semakin meningkat jumlahnya. Di sisi lain Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri, sehingga pemenuhan kedelai dalam negeri masih sangat tergantung dengan kedelai impor. Konsekuensinya adalah harga kedelai di pasar domestik akan dipengaruhi oleh harga kedelai di pasar internasional. Bagi industri tempe akan 21

menjadi masalah ketika harga kedelai mengalami kenaikan. Skala produksi yang berbeda-beda membuat proporsi komponen biaya produksi yang dikeluarkan pengrajin tempe pun berbeda-beda pula, dan dari hasil tinjuan pustaka di dapat bahwa adanya kecenderungan dengan semakin meningkatnya skala produksi akan menurunkan total biaya per produksi yang dikeluarkan. 22