BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning). Konsep Ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja. Bradburn, dkk (dalam Ryff,1989) mengatakan kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis dapat disebut juga dengan Psychological Well-Being. Menurut Ryff individu yang memiliki kesejahteraan psikologis adalah individu yang memiliki respon positif terhadap dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi (Papalia, dkk, 2008). Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa psychological wellbeing adalah kondisi individu yang ditandai dengan perasaan bahagia, adanya 9
kepuasan hidup dan realisasi diri. Kondisi ini sendiri dipengaruhi oleh penerimaan diri, pertumbuhan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, otonomi dan hubungan positif dengan orang lain. 2.1.2 Dimensi Psychological Well-Being Carol D Ryff dalam beberapa jurnal karya ilmiahnya antara lain (dalam Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995) merumuskan enam dimensi psychological wellbeing, sebagai berikut: 1) Self Acceptance (Penerimaan diri) Menurut Ryff (1989), individu yang memiliki penerimaan diri berarti individu tersebut memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengenali dan menerima segala aspek diri yang baik dan buruk serta merasa positif tentang masa lalunya. Sebaliknya, seseorang dikatakan memiliki nilai yang rendah dalam dimensi penerimaan diri apabila merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya dimasa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya, dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri (Ryff, 1995). 2) Positive Relation with Others (Hubungan Positif dengan Orang Lain) Ryff (1989) menggambarkan individu yang memiliki hubungan yang positif dengan orang lain sebagai individu yang memiliki hubungan yang hangat, memuaskan, dan saling percaya satu sama lain, memperhatikan kesejahteraan orang sekitarnya, mampu berempati dan 10
mengasihi serta terlibat dalam hubungan timbal balik. Sebaliknya, Ryff (1995) mengemukakan bahwa seseorang yang kurang baik dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan tingkah laku tertutup dalam berhubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, peduli dan terbuka dengan orang lain, trisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orag lain. 3) Autonomy (Otonomi) Menurut Ryff (1995) ciri utama dari seorang individu yang memiliki otonomi yang baik antara lain dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self-determining) dan mandiri. Ia ampu mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, serta dapat mengevaluasi diri dengan standar personal. Sedagkan Ryff (1989), mengemukakan bahwa individu yang otonomi berarti individu tersebut memiliki determinasi diri dan bebas, mampu mengatasi tekanan sosial dengan tetap berpikir dan bertindak sesuai dengan keyakinan, mengatur perilaku dari dalam, serta mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadi. 11
4) Environmental Mastery (Penguasaan Lingkungan) Ryff (1989) menyatakan bahwa individu yang memiliki penguasaan lingkungan adalah individu yang mampu menguasai dan mengatur lingkungan, mengontrol aktivitas eksternal yang kompleks, menggunakan kesempatan secara efektif, memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi. Sedangkan Ryff (1995) menggambarkan dimensi ini dengan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sebaliknya individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya. 12
5) Purpose in Life (Tujuan Hidup) Ryff (1995) Tujuan hidup memiliki pengertian individu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Individu yang tinggi dalam dimensi ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup. Sebaliknya individu yang rendah dalam dimensi tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan. Ryff (1989), menyimpulkan orang yang memiliki tujuan hidup adalah orang yang memiliki keterarahan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam hidupnya. Ia memiliki keyakinan dan pandangan tertentu yangdapat memberikan arah dalam hidupnya. Selain itu, individu ini juga menganggap bahwa hidupnya itu bermakna dan berarti, baik di masa lalu, kini, maupun yang akan datang. 6) Personal Growth (Pertumbuhan Diri) Ryff (1995) mengemukakan Individu yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan mengenai 13
pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi rendah akan merasakan dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik. 2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being Ryff (Papalia dkk, 2002) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being individu antara lain: 1) Usia Individu usia dewasa madya memiliki psychological well-being yang lebih tinggi pada beberapa dimensi dari pada individu dewasa akhir dan dewasa awal. Individu dewasa madya lebih mandiri dan memiliki penguasaa ligkungan yang lebih tinggi daripada dewasa awal tetapi kurang memiliki tujuan hidup dan kurang berfokus pada pertumbuhan pribadi daripada individu dewasa akhir. 14
2) Jenis kelamin Pada umumnya antara laki-laki dan perempuan mempunyai psychological wel-being yang sama, tetapi perempuan lebih memiliki hubungan sosial positif dengan orang lain. 3) Pendapatan atau status sosial ekonomi Individu yang memiliki pekerjaan yang bagus dengan pendapatan yang tinggi atau status sosial ekonominya tinggi akan memiliki psychological well-being yang tinggi daripada individu yang mempunyai pendapatan rendah atau tidak bekerja. 4) Pendidikan Individu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan memiliki psychological well-being yang tinggi daripada individu yang berpendidikan rendah. 2.1.4. Kriteria Psychological Well-Being Meninjau kembali teori klasik tentang kesehatan mental danmenambahkan penelitian dari perkembangan, klinis dan psikologi kepribadianryff (dalam Mardiah, 2009) menjelaskan ada enam kriteria Well- Being yang dinamakanpsychological well-being : 1) Penerimaan diri a. evaluasi diri yang positif b. kemampuan menghargai diri sendiri, dan c. kemampuan menerima aspek positif maupun negatif dirisendiri. 15
2) Hubungan yang positif dengan orang lain a. hubungan yang dekat, hangat dengan orang lain b. memperhatikan kesejahteraan orang lain c. berempati dan mengasihi orang lain. 3) Kemandirian a. kebebasan menentukan pilihan b. kemampuan bertahan terhadap tekanan sosial c. kemampuan mengendalikan diri. 4) Penguasaan lingkungan a. kemampuan menguasai dan berkompetisi di lingkungan b. kemampuan memilih hal-hal yang baik untuk mencapai tujuan. 5) Tujuan hidup a. memiliki tujuan dan makna hidup b. memiliki arah dan tujuan dalam hidup. 6) Perkembangan kepribadian a. kemampuan membangun dan mengembangkan potensi diri b. perubahan yang terjadi sebagai bukti pengembangan diri, dan c. keterbukaan pada hal baru. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria psychological wellbeing diantaranya adalah Penerimaan diri yaitu individu harus mampu menerima dirinya apa adanya, hubungan yang positif dengan orang lain ialah mampu berhubungan baik dengan lingkungan keluarga ataupun lingkungan sosial serta mampu berempati, kebebasan yaitu mempunyai kemandirian untuk membuat 16
keputusan, penguasaan lingkungan yaitu mampu berkompetisi dengan lingkungan, tujuan hidup yaitu memiliki tujuan dan makna hidup serta memiliki tujuan dalam hidup dan perkembangan kepribadian yaitu kemampuan seseorang dalam mengembangkan potensi diridan terbuka dengan hal baru. 1.2. Istri Prajurit TNI Angkatan Darat 1.2.1. Peran Istri Prajurit TNI-AD Sebagai Orang Tua Tunggal Ketiadaan suami selama bertugas ke daerah operasi menyebabkan istri harus menyelesaikan tugas rumah tangganya seorang diri. Tugas-tugas tersebut meliputi pengasuhan anak, memberikan rasa aman bagi keluarga, mengelola keuangan dan urusan rumah tangga lainnya. Jika istri kurang siap mental atau memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap suami maka dapat menyebabkan timbulnya stres atau tekanan mental disamping tidak terselesaikannya tugas-tugas tersebut. Situasi yang dihadapi bagi istri yang tidak mampu mengatasinya dan beberapa kemampuan dan pengetahuan apa yang harus dimiliki sebagai cara untuk mengatasi tugas sebagai orang tua tunggal tersebut (http://www.dispsiad.mil.id/index.php/en/lawatpsi/artikel-konsul/280-peran-istriprajurit-sebagai-orang-tua-tunggal). 2.2.2. Definisi Persatuan Istri Prajurit (PERSIT) Istri prajurit TNI Angkatan Darat mutlak tidak dapat dipisahkan dari TNI Angkatan Darat, baik dalam melaksanakan tugas organisasi maupun dalam kehidupan pribadi. Oleh karena itu istri prajurit TNI Angkatan Darat harus 17
membantu TNI Angkatan Darat dalam mensukseskan tugasnya baik sebagai kekuatan pertahanan keamanan maupun sebagai komponen pembangunan bangsa untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia(dalam AD-ART PERSIT, 2010). Didorong keinginan luhur untuk mencapai tujuan organisasi, istri prajurit TNI Angkatan Darat bertekad bulat meningkatkan perjuangan dalam wadah organisasi persatuan istri perajurit (PERSIT) Kartika Candra Kirana sebagai kelanjutan dari organisasi terdahulu yakni Persatuan Istri Tentara yang didirikan pada tanggal 3 April 1946 di Purwakarta berasaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 serta tetap membina terjalinnya; 1. Persatuan, kesatuan, persaudaraan serta kekeluargaan. 2. Rasa senasib, sepenenggungan serta seperjuangan sebagai istri prajurit. 18