Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kappaphycus alvarezii

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

TINJAUAN PUSTAKA. Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk

Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dawson (1946) dalam Soegiarto, dkk,(1978), secara umum

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah rumput laut. Menurut Istini (1985) dan Anggraini (2004),

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Rumput Laut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1

Pertumbuhan Rumput Laut

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

KANDUNGAN KLOROFIL, FIKOERITRIN DAN KARAGINAN PADA RUMPUT LAUT Eucheuma spinosum YANG DITANAM PADA KEDALAMAN YANG BERBEDA

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar

II. TINJAUAN PUSTAKA. kali di terjemahkan seaweed bukan sea grass yang sering di sebut dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semuanya terdiri dari talus saja (Aslan, 1998). khusus, kebanyakan tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau pada

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

II. TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Budidaya Rumput Laut Desa Ketapang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA

2. TINJAUAN PUSTAKA. Rumput laut adalah tumbuhan tingkat rendah yang tidak memiliki akar,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

Bab II Tinjauan Pustaka A. Definisi dan Biologi Rumput Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Eucheuma cottonii

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rumput laut atau algae termasuk divisi Thallophyta (tumbuhan Habitat dan sebaran Kappaphycus alvarezii (Doty)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. makroskopik dan secara ilmiah dikenal dengan istilah alga. Istilah talus digunakan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI KINETIKA PEMBENTUKAN KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT

II. TINJAUAN PUSTAKA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Eucheuma cottonii (

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

n, TINJAUAN PUSTAKA Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

AD1. FAKTOR IKLIM 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3. FAKTOR SPESIES 4. FAKTOR MANAJEMEN/PENGELOLAAN 1. RADIASI SINAR MATAHARI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia.

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau.

5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

MANAJEMEN KUALITAS AIR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam :

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Lumut/Bryophyta. Alat perkembangbiakan lumut hati

Bab IV Hasil dan Pembahasan A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Gracilaria verrucosa menurut Dawes (1981) adalah:

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Lumut (Bryophyta)

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN:

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Gracilaria verrucosa

Oleh : ONNY C

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keluarga remput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Secara umum, klasifikasi jagung dijelaskan sebagai berikut :

Transkripsi:

3 Kerangka Pemikiran Penempatan posisi tanam pada kedalaman yang tepat dapat meningkatkan produksi rumput laut dan kualitas kandungan karaginan rumput laut. Untuk lebih jelas, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian, analisis berbagai kedalaman tanam terhadap laju pertumbuhan dan kualitas karaginan rumput laut Kappaphycus alvarezii. 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kappaphycus alvarezii Rumput laut Kappaphycus alvarezii merupakan salah satu jenis alga merah (Rhodophyceae). Karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappakaraginan, maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii. Namun nama cottonii umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional untuk rumput laut jenis ini. Klasifikasi Kappaphycus alvarezii menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut: Kingdom : Archaeplastida (Plantae) Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieracea Genus : Eucheuma Species : Kappaphycus alvarezii

4 Morfologi dan reproduksi Ciri umum fisik K. alvarezii adalah mempunyai talus silindris, permukaan licin dan tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Warna yang dimiliki oleh K. alvarezii beragam, ada yang berwarna hijau, hijaukuning, coklat, abu-abu atau merah (Gambar 2). Keragaman warna ini disebabkan oleh faktor lingkungan dan merupakan suatu proses adaptasi kromatik, yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Ahda et al. 2005). Bentuk talus K. alvarezii runcing dan memanjang, agak jarang dan tidak tersusun melingkar. Percabangannya tumbuh ke berbagai arah dengan batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Cabang-cabang yang tumbuh membentuk rumpun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya cahaya matahari. Percabangan yang tumbuh juga memiliki sifat lain, yaitu alternatus (berseling), tidak teratur, serta dapat bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (percabangan tiga-tiga) (Atmadja et al. 1996). Gambar 2 Rumput laut K. alvarezii. Rumput laut memiliki dua macam pola reproduksi, yaitu: (1) reproduksi seksual yang terdiri dari tiga tipe yakni haplobiontik, haplobiontik diploid dan diplobiontik. Haplobiontik yaitu hanya satu individu bebas yang terlibat dalam daur hidup. Haplobiontik diploid, dalam hal ini individu yang melakukan daur hidup adalah diploid. Proses reproduksi diplobiontik, melibatkan dua individu yang terlibat dalam daur hidupnya, yaitu gametofit haploid yang menghasilkan gamet dan sporofit diploid yang menghasilkan spora. Pertemuan antara dua gamet (jantan dan betina) akan membentuk zigot yang kemudian berkembang menjadi sporofit. Individu baru inilah yang mengeluarkan spora dan berkembang melalui meiosis dalam sporagenesis menjadi gametofit; dan (2) reproduksi aseksual yakni pembentukan suatu individu baru rumput laut melalui pembelahan sel dan fragmentasi (Susanto dan Abdillah 2008). Habitat dan sebaran Alga merah umumnya terdapat di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam air (subtidal), melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang moluska. Umumnya rumput laut tumbuh dengan baik di daerah pantai yang terdapat terumbunya, karena di tempat inilah beberapa persyaratan untuk pertumbuhannya banyak terpenuhi, diantaranya kedalaman perairan, cahaya, substrat, gerakan air dan lainnya. Dibandingkan dengan jenis alga lainnya, alga merah dapat hidup pada lapisan air yang lebih dalam. Hal ini disebabkan, karena

adanya pigmen fikoeritrin yang berperan sebagai pigmen pelengkap dan mampu menyerap cahaya biru-hijau yang banyak tersedia pada lapisan tersebut (Dawes 1981). 5 Budidaya Kappaphycus alvarezii Bibit dan pertumbuhan Bibit rumput laut yang berkualitas baik memiliki beberapa kriteria, antara lain (Anggadiredja et al. 2006; SNI 2010): (1) bibit yang digunakan berasal dari talus muda yang bercabang banyak, rimbun dan berujung runcing; (2) berwarna cerah, segar dan tidak terdapat bercak, luka atau terkelupas sebagai akibat terserang penyakit ice-ice atau terkena bahan cemaran, seperti minyak; (3) bibit harus seragam dan tidak boleh tercampur dengan jenis lain; dan (4) bobot bibit harus seragam (100 g per rumpun). Penggunaan bibit yang berkualitas akan menunjang laju pertumbuhan maksimal bagi rumput laut, sehingga diperoleh hasil panen dengan kuantitas dan kualitas sesuai dengan yang diharapkan. Pertumbuhan rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii tergolong relatif cepat, yaitu dengan bobot bibit 100 g dan budidaya dengan metode long-line, sudah dapat dipanen pada hari ke-45 dengan bobot per rumpun (ikat) ± 600 g (Atmawinata 2012; Hamid 2009). Adapun metode lepas dasar dengan bobot bibit dan umur panen yang sama, dihasilkan ± 500 g per ikat (Sadaruddin 2011). Panen Umur panen sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas rumput laut yang dihasilkan. Pemanenan dilakukan pada saat rumput laut dianggap cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum, yaitu setelah 6-8 minggu pemeliharaan. Lama pemeliharaan ini sangat erat kaitannya dengan lokasi, jenis rumput laut serta metode budidaya. Rumput laut K. alvarezii mencapai bobot tertingginya pada hari ke-42 hingga 45 dan setelahnya akan cenderung menurun, hal ini disebabkan oleh massa rumput laut yang semakin berat sehingga mudah rontok ketika terkena arus dan gelombang air (Atmawinata 2012; Hamid 2009; Sadaruddin 2011). Demikian juga halnya dengan kandungan karaginan dari rumput laut K. alvarezii yang optimum diperoleh pada umur panen 45 hari (Atmawinata 2012; Sadaruddin 2011). Faktor Lingkungan Budidaya Suhu Suhu perairan erat kaitannya dengan laju fotosintesis disamping cahaya dan kandungan nutrien di perairan (Dawes 1981). Persyaratan suhu perairan yang cocok untuk budidaya K. alvarezii berkisar antara 26-32 o C dan dengan fluktuasi suhu yang rendah antara malam dan siang hari (SNI 2010). Arus Arus dapat berpengaruh dalam kegiatan budidaya, baik pengaruh baik maupun pengaruh buruk. Pengaruh baiknya yaitu rumput laut memerlukan arus

6 untuk membantu ketersediaan pasokan nutrien. Adapun pengaruh buruknya yaitu jika arus terlalu besar akan merusak rumput laut tersebut. Lokasi untuk budidaya K. alvarezii harus terlindung dari arus dan hempasan ombak yang besar. Apabila hal ini terjadi, arus dan ombak akan merusak dan menghanyutkan tanaman (Anggadiredja et al. 2006). Salinitas Salinitas untuk pertumbuhan K. alvarezii yang optimum berkisar 28-34 o / oo. Oleh sebab itu, lokasi budidaya harus jauh dari limpahan air tawar (muara sungai) (SNI 2010), agar terhindar dari fluktuasi salinitas yang tinggi, karena dapat mempengaruhi proses fisiologisnya, termasuk dalam hal ini adalah laju fotosintesis K. alvarezii (Dawes 1981). ph Derajat keasamaan atau ph merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan K. alvarezii. Kisaran ph yang optimum untuk menunjang kelangsungan hidup K. alvarezii adalah 7-8.5 (SNI 2010). Substrat (dasar perairan) Dasar perairan yang baik untuk pertumbuhan K. alvarezii adalah yang stabil dan terdiri dari patahan karang mati (pecahan karang) dan pasir kasar serta bebas dari lumpur (SNI 2010). Kecerahan dan kekeruhan Kecerahan dan kekeruhan perairan sangat menentukan intensitas cahaya matahari yang masuk ke lapisan air. Nilai kecerahan dari suatu perairan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi (Effendi 2000). Nilai kecerahan yang ideal untuk budidaya rumput laut adalah > 1 meter (SNI 2010). Adapun nilai kekeruhan adalah < 40 NTU, sebab setiap peningkatan nilai kekeruhan sebesar 25 NTU akan mengurangi produktivitas primer sebesar 13-50 %. Kedalaman Kedalaman air untuk usaha budidaya rumput laut berkisar 2-15 meter pada saat surut terendah (SNI 2010). Kondisi ini untuk menghindari rumput laut kekeringan pada saat surut dan mengoptimalkan perolehan cahaya matahari (Aslan 1998). Unsur hara Rumput laut memerlukan unsur hara sebagai bahan baku dalam proses fotosintesisnya. Unsur utama yang dibutuhkan oleh rumput laut adalah fosfor dalam bentuk fosfat (PO 4 ) dan nitrogen dalam bentuk nitrat (NO 3 ) untuk kelangsungan hidupnya (Effendi 2000). Nitrat dan amonium adalah sumber nitrogen utama di perairan. Akan tetapi amonium lebih disukai oleh tumbuhan sebagai sumber nitrogen. Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar, biasanya lebih tinggi dari amonium. Aslan (1998), menyebutkan bahwa kadar nitrat terendah untuk pertumbuahan alga berkisar 0.3-0.9 mg/l.

Unsur hara penting lainnya yang dibutuhkan oleh rumput laut adalah fosfat. Kisaran fosfat yang optimum untuk pertumbuhan rumput laut adalah 0.051-1.00 ppm (Indriani dan Sumiarsih 2004). Wetzel (1975) menyebutkan bahwa ortofosfat adalah bentuk fosfor yang dimanfaatkan langsung oleh tumbuhan akuatik dan keberadaannya dapat menetukan klasifikasi lingkungan perairan. Kadar ortofosfat 0.003-0.01 mg/l merupakan perairan dengan tingkat kesuburan rendah, 0.011-0.03 mg/l tergolong sedang dan 0.031-0.1 mg/l tergolong perairan dengan tingkat kesuburan yang tinggi. 7 Peran Cahaya dan Kedalaman terhadap Kappaphycus alvarezii Cahaya merupakan syarat utama dalam kelangsungan hidup Kappaphycus alvarezii. Cahaya memiliki pengaruh yang besar terhadap komposisi kimia rumput laut dan aktivitas fotosintesisnya. Pada perairan terbuka, penetrasi cahaya dipengaruhi oleh kedalaman. Seiring bertambahnya kedalaman akan menurunkan kualitas dan intensitas cahaya yang masuk. Respon struktural pada alga karena pengaruh cahaya diantaranya adalah perubahan ukuran, perbedaan morfologi dan perubahan sitoplasma (Dawes 1981). Dawes (1981) menyebutkan bahwa distribusi alga secara vertikal dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan mekanisme adaptasi alga merah (K. alvarezii) terhadap cahaya lebih baik dibanding semua jenis alga lainnya. Kemampuan ini sangat erat kaitannya dengan keberadaan pigmen fotosintesis yang dimiliki. Semua organisme fotosintesis mengandung pigmen organik yang digunakan untuk menghasilkan energi. Ada tiga kelas utama pigmen yaitu klorofil, karatenoid dan fikobilin (Richmond 2004). Alga pada umumnya memiliki pigmen fotosintesis utama berupa klorofil, karotenoid dan biliproteins (fikobilin). Klorofil merupakan pigmen utama dalam penyerapan cahaya pada proses fotosintesis. Klorofil secara umum dibagi menjadi 4 jenis, yaitu klorofil a, b, c dan d. Klorofil-a terdapat pada semua alga, adapun klorofil-b hanya terdapat pada alga hijau (Chlorophyta), klorofil-c hanya pada alga coklat (Phaeophyta) dan klorofil-d hanya terdapat pada alga merah (Rhadophyta) (Dawes 1981). Klorofil-a merupakan pigmen utama dalam proses fotosintesis sedangkan klorofil b, c dan d berfungsi sebagai pigmen pelengkap (pigment accessory) yang membantu klorofil-a dalam penyerapan cahaya (Dawes 1981; Saffo 1987). Karotenoid berfungsi sebagai pigmen aksesori yang membantu klorofil dalam menangkap cahaya. Karotenoid juga berperan sebagai pelindung, yaitu menerima molekul oksigen sehingga dapat mencegah fotooksidasi molekul klorofil. Konsentrasi karotenoid pada alga dapat digunakan untuk mengetahui distribusinya pada kedalaman air dan kualitas cahaya. Karotenoid dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu karoten yang umumnya banyak ditemukan pada alga berwarna kuning atau kekuning-kuningan dan xantofil pada alga berwarna hijau (Anonymous 2012; Dawes 1981). Karoten berfungsi meneruskan sebagian besar cahaya berwarna kuning, sedangkan xantofil lebih banyak meneruskan gelombang cahaya oranye atau merah (Dawes 1981). Dawes (1981), menyebutkan bahwa fikobilin dibagi dua, yaitu fikosianin dan fikoeritrin. Fikosianin mampu merefleksikan cahaya biru (Cyanophyta),

8 sedangkan fikoeritrin mampu merefleksikan cahaya merah (Rhodophyta). Pada lapisan air yang lebih dalam, alga merah memiliki konsentrasi fikoeritrin yang lebih tinggi daripada yang lebih dangkal. Konsep ini disebut dengan adaptasi kromatik. Perbedaan signifikan pada rasio korelasi antara konsentrasi fikoeritrin dan cahaya yang tersedia menjadi penjelas distribusi alga berdasarkan kedalaman. Konsentrasi dan kombinasi klorofil dengan fikoeritrin juga dapat digunakan untuk mengetahui proses aklimatisasi alga terhadap perubahan cahaya secara vertikal pada lapisan air laut. Konsentrasi dan rasio pigmen fikoeritrin dengan klorofil-a pada Eucheuma berubah dari 20 : 1 di musim semi menjadi 1 : 1 di musim panas. Perubahan rasio ini berkorelasi dengan penurunan kejernihan air dan hilang atau menurunnya gelombang cahaya merah di perairan dangkal karena adanya peningkatan kelimpahan plankton di musim panas (Dawes 1981). Pigmen pada rumput laut memiliki ciri yang khas satu dengan yang lain, karena memiliki puncak penyerapan cahaya matahari pada panjang gelombang yang berbeda (Tabel 1). Rumput laut K. alvarezii diketahui memiliki dua jenis pigmen yang dominan dalam penentu laju fotosintesisnya. Kedua pigmen tersebut bekerja optimum pada panjang gelombang 664, 647 nm (klorofil-a) dan 455, 564 dan 592 (r-fikoeritrin). Tabel 1 Jenis pigmen dan panjang gelombang dalam penyerapan cahaya pada proses fotosintesis (Luning 1990) No. Jenis pigmen Panjang gelombang (nm) 1 Klorofil-a 380; 410; 430; 580; 615; 644; 647; 663 2 Klorofil-b 455; 645 3 Klorofil-c 1 444; 578; 630 4 Klorofil-c 2 449; 582; 631 5 Fukosantin 449 6 Fikobiliprotein r-fikoeritrin 455; 498; 542; 564; 565; 592 r-fikosianin 553; 615 Allofikosianin 650 Keterangan : Puncak penyerapan spektrum cahaya oleh pigmen fotosintesis pada panjang gelombang (nm) yang dicetak tebal. Pigmen fotosintesis selain klorofil-a pada dasarnya merupakan pigmen pelengkap yang membantu klorofil-a untuk menyerap cahaya. Energi cahaya yang diserap selanjutnya diteruskan ke klorofil-a, sehingga dapat mengoptimalkan proses fotosintesis pada alga tersebut (Dawes 1981). Pigmen klorofil-a akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman, karena kemampuan penetrasi cahaya matahari yang semakin berkurang juga (Gambar 3). Pada saat penetrasi cahaya berkurang, pigmen pelengkap memegang peranan penting. Berkurangnya penetrasi cahaya matahari seiring dengan bertambahnya kedalam perairan juga menandakan semakin menyempitnya panjang gelombang cahaya yang menembus lapisan air tersebut. Namun hal tersebut tidak selalu berdampak negatif bagi alga. Pada umumnya fotosintesis meningkat sejalan dengan peningkatan intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu

(cahaya saturasi). Intensitas cahaya yang sangat tinggi dapat menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis (fotoinhibisi), karena pada intensitas cahaya yang tinggi kelebihan energi yang diserap dapat menonaktifkan sistem fotosintesis. Sedangkan intensitas yang terlalu rendah merupakan pembatas bagi proses fotosintesis (Mann 1982; Parsons et al. 1984; Neale 1987). 9 Gambar 3 Spektrum penetrasi cahaya matahari pada siang hari di berbagai kedalaman air laut (Jerlov 1978). Penentu utama laju pertumbuhan dan kualitas karaginan K. alvarezii adalah fotosintesis. Menurut Luning (1990), laju fotosintesis tertinggi bagi alga merah (K. alvarezii) didapatkan pada panjang gelombang 490-600 nm (Gambar 4). Proses fotosintesis akan berlangsung dengan baik apabila intensitas cahaya yang diterima optimum, adapun kelebihan penerimaan cahaya akan mengakibatkan talus menjadi pucat, putih atau kehilangan pigmen. Kekurangan intensitas cahaya yang diterima K. alvarezii dapat menghambat proses fotosintesis sehingga berdampak negatif bagi laju pertumbuhan dan kualitas karaginannya (Doty 1985). Hal ini disebabkan karena setiap alga memiliki syarat minimum terhadap intensitas cahaya untuk membentuk talus agar lebih besar dan padat (Luning 1990). Gambar 4 Laju fotosintesis relatif berbagai jenis alga yang dipengaruhi oleh panjang gelombang cahaya (Luning 1990).

10 Karaginan Kappaphycus alvarezii Karaginan berasal dari getah rumput laut yang terdapat dalam dinding sel atau matrik intraseluler dan merupakan salah satu hasil fotosintesisnya (Distantina et al. 2011). Salah satu penentu kualitas fotosintesis rumput laut adalah kandungan sulfat pada rumput laut. Sulfat dalam rumput laut merupakan komponen yang berperan dalam pembentukan flavor, pigmen dan garam-garam mineral. Namun pada saat pengadaan komponen primer rumput laut (agar dan karaginan), tingginya kadar sulfat akan berdampak negatif bagi kualitas karaginan (Suptijah 2012). Dengan perlakuan kedalaman, diharapkan pemanfaatan sulfat oleh rumput laut semakin tinggi untuk dikonversi dalam proses metabolisme, sehingga kandungan sulfat yang tersimpan didalamnya redah, namun kemampuan laju pertumbuhannya tetap optimum. Karaginan merupakan hidrokoloid yang terutama terdiri dari ester sulfat amonium, kalsium, magnesium, kalium dan natrium dari galaktosa dan 3.6- anhidrogalaktosa polisakarida (FAO 2001). Karaginan juga merupakan komponen penyusun terbesar dari berat kering rumput laut dibandingkan dengan komponen lain. Karaginan diperoleh melalui ekstraksi ganggang merah (Rhodophyceae) menggunakan air panas atau larutan alkali panas (Distantina et al. 2011). Karaginan dibagi menjadi 3 fraksi berdasarkan unit penyusunnya yaitu kappa, iota dan lambda karaginan. Kappa karaginan tersusun dari (1.3)-Dgalaktosa-4-sulfat dan (1.4)-3.6-anhidro-D-galaktosa. Kappa karaginan juga sering ditemukan mengandung D-galaktosa-6-sulfat ester dan 3.6-anhidro-Dgalaktosa-2-sulfat ester. Adanya gugusan 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karaginan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugusan 6-sulfat, yang menghasilkan 3.6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah. Iota karaginan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D-glukosa dan gugusan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3.6-anhidro-Dgalaktosa. Gugusan 2-sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian alkali seperti kappa karaginan. Iota karaginan mengandung beberapa gugusan 6- sulfat ester yang menyebabkan kurangnya keseragaman molekul yang dapat dihilangkan dengan pemberian alkali. Lambda karaginan berbeda dengan kappa dan iota karaginan, karena memiliki residu disulfat (1-4) D-galaktosa, sedangkan kappa dan iota karaginan selalu memiliki gugus 4-fosfat ester (Imeson 2000). Saat ini jenis karagenan kappa utamanya diperoleh dari rumput laut tropis Kappaphycus alvarezii. Rumput laut Eucheuma denticulatum atau Eucheuma spinosum adalah spesies yang menghasilkan jenis karagenan iota. Karagenan lamda diproduksi dari rumput laut Gigartina dan Condrus (Van de Velde et al. 2002). Metode ekstraksi Karaginan umumnya diperoleh dari rumput laut bersih yang diekstraksi dengan air panas dalam suasana alkali (ph 8-11). Larutan alkali mempunyai dua fungsi, yaitu membantu ekstraksi polisakarida dari rumput laut dan mengkatalisis hilangnya gugus-6-sulfat dari unit monomernya dengan membentuk 3.6- anhidrogalaktosa sehingga mengakibatkan terjadinya kenaikan kekuatan gel (Towle 1973). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan