4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lokasi Penelitian Lapangan Gambaran umum Dusun Wael merupakan salah satu dari 8 Dusun nelayan yang berada di Teluk Kotania Seram Barat. Secara geografis Dusun Wael terletak di LS dan BT atau ujung barat bagian utara Pulau Seram, sebelah barat berbatasan dengan Dusun Lupesy, sebelah timur dengan Dusun Kotania Pantai, sebelah selatan dengan Gunung Wael dan sebelah utara dengan Dusun Pulau Osi. Secara administratif Dusun Wael termasuk dalam Desa Piru Kecamatan Seram Barat Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku. Dilihat dari bentuk perairan dan geomorfologi pantai kawasan budidaya rumput laut di dusun Wael berada pada perairan teluk yang relatif tenang dan terlindung. Kondisi pantai landai dengan vegetasi mangrove yang lebat dan terdapat 7 muara sungai kecil. Kabupaten Seram bagian barat memiliki tipe iklim laut tropis dan iklim musim. Musim Barat terjadi pada Desember sampai Pebruari, musim Pancaroba pertama pada Maret sampai Mei, musim Timur terjadi pada Juni sampai Agustus, dan musim Pancaroba kedua terjadi pada September sampai Nopember Perkembangan usaha budidaya rumput laut di Dusun Wael (a) Kepemilikan usaha budidaya dan sistem pengelolaan Sebagian besar penduduk Dusun Wael mempunyai unit usaha budidaya rumput laut. Terdapat 172 KK pembudidaya rumput laut dimana tiap KK rata-rata mempunyai unit rakit longline, total keseluruhannya adalah 86 unit dengan luas kepemilikan lahan x 1 m 2 tiap KK. Selain itu terdapat juga 3 kelompok pembudidaya yaitu kelompok budidaya Mitra Bahari, jumlah anggota 13 orang, kelompok budidaya Mae Topo Asa, jumlah anggota 31 orang, dan kelompok budidaya BSN, jumlah anggota 1 orang. Pengelolaan usaha budidaya rumput laut di Dusun Wael umumnya dengan sistem kekeluargaan. Suami biasanya yang merencanakan lokasi budidaya, penyiapan sarana budidaya, penempatan sarana budidaya di lokasi budidaya, penanaman bibit, sedangkan pemilihan bibit dan pengikatan bibit dilakukan oleh istri, anak-anak, dan kerabat yang lain.

2 Perawatan dan penyiangan tanaman melibatkan seluruh keluarga, suami, istri dan anak-anak, begitu pula dengan panen dan pascapanen. (b) Teknologi budidaya, panen dan pascapanen Terdapat 3 metode budidaya yang telah digunakan oleh pembudidaya rumput laut di Dusun Wael, yaitu metode lepas dasar, rakit, dan rakit longline, namun perawatan, teknik budidaya, teknologi panen dan pascapanen kurang mendapat perhatian. Selain itu produk rumput laut yang dihasilkan penjualannya terbatas hanya pada rumput laut kering saja dan belum ada diversifikasi produk olahan lain. (c) Kapasitas produksi dan pemasaran Produksi total rumput laut kering Kabupaten Seram bagian barat yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Seram bagian barat, dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Produksi total rumput laut kering Kabupaten Seram bagian barat Tahun Produksi (ton) Nilai (Rp) 23 1, , , , Pemasaran rumput laut di Dusun Wael, biasanya pembudidaya menjual produknya langsung pada pedagang pengumpul yang telah ada atau datang langsung di Dusun Wael. Harga pembelian biasanya Rp. 3.2-Rp. 42/kg pada Permasalahan usaha budidaya rumput laut di Dusun Wael (a) Aspek penataan kawasan Belum tertatanya penggunaan lahan oleh masyarakat, dimana masih terjadi tumpang tindih penggunaan lahan antara pembudidaya, nelayan penangkap dan pengguna jasa transportasi laut. Hal ini sering memunculkan permasalahan seperti kerusakan fasilitas sarana budidaya oleh pengguna jasa transportasi laut (katintin dan speed boat). Selain itu akibat belum adanya penataan kawasan sesuai peruntukannya, sering penangkap ikan melakukan penangkapan pada lokasi

3 budidaya rumput laut bahkan kadang dengan meggunakan bom dan potasium, akibatnya rumput laut disekitarnya menjadi rusak. (b) Aspek teknis, panen dan pascapanen Penguasaan terhadap teknologi budidaya oleh pembudidaya masih terbatas hanya pada metode budidaya sedangkan aspek lain seperti pemeliharaan dan teknik budidaya yaitu pemakaian bibit dan waktu panen yang belum efektif, penggunaan bibit yang sangat heterogen baik itu berat bibit maupun bagian thalus, sedangkan pemanenan dalam waktu yang sama. Semuanya ini belum dipandang sebagai bagian yang penting dari teknologi budidaya rumput laut. Permasalahan yang muncul adalah rendahnya kapasitas produksi rumput laut. Penguasaan terhadap teknologi panen dan pascapanen juga masih rendah. Panen dan pascapanen dilakukan seadanya saja, belum memperhatikan cara-cara panen dan pascapanen yang benar. (c) Hama dan penyakit Hama yang biasa menyerang rumput laut adalah ikan beronang, penyu dan lain-lain. Selain itu yang menjadi salah satu kendala terhadap perkembangan usaha budidaya rumput laut di Dusun Wael adalah adanya penyakit ice-ice. Akibat dari penyakit ice-ice, dapat membuat kerusakan rata-rata 7-7% rumput laut yang ada di Dusun Wael. Biasanya penyakit ice-ice ini muncul pada musim pancaroba baik pada saat pancaroba pertama pada Maret sampai Mei, maupun pancaroba kedua pada September sampai Nopember. 4.2 Faktor Lingkungan Perairan (a) Suhu permukaan laut Pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi organisme perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis disamping cahaya dan konsentrasi fosfat (Odum 1971). Perbedaan suhu terjadi karena adanya perbedaan energi matahari yang diterima oleh perairan. Suhu akan naik dengan meningkatnya energi matahari yang masuk ke dalam perairan. Hal ini dapat meningkatkan kecepatan fotosintesis sampai pada radiasi tertentu. Hasil pengukuran suhu permukaan laut di lokasi penelitian berkisar antara 28-3 o C. Sulistijo (1994) menyatakan kisaran

4 suhu perairan yang baik untuk rumput laut Eucheuma adalah 27 3 o C. Kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii adalah o C (Sugiarto 1984 diacu dalam Eidman 1991). Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi suhu perairan di Dusun Wael Desa Piru Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku, sesuai untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii. (b) Kecepatan arus Rumput laut merupakan organisme yang memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya. Gerakan air yang cukup akan membawa nutrien yang cukup pula dan sekaligus mencuci kotoran yang menempel pada thalus. Besarnya kecepatan arus yang ideal antara 1- cm/det (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2). Kecepatan arus selama penelitian berkisar antara cm/det. Pergerakan air mempengaruhi bobot, bentuk thalus dan produksi bahan-bahan hidrokoloid Eucheuma (Doty 1987). Dengan demikian maka kecepatan arus selama penelitian cukup baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii. Arus dan ombak yang berkekuatan besar dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman seperti patah, atau terlepas dari tali pengikat atau substratnya. Selain itu penyerapan unsur hara kurang optimal karena belum sempat diserap oleh rumput laut telah dibawa kembali oleh arus. Arus dan ombak yang besar di perairan pantai juga menyebabkan perairan menjadi keruh sehingga mengganggu proses fotosintesis tanaman. Kecepatan arus yang lambat dapat menyebabkan kotoran yang menempel pada thalus tidak seluruhnya dapat dibersihkan, dan pasokan unsur hara semakin terhambat karena pergerakan air yang kurang optimal. (c) Salinitas Eucheuma cottonii adalah rumput laut yang bersifat stenohaline, yaitu tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik berkisar antara 3-37 ppt (Kadi dan Atmaja 1988). Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar dari sungai dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut Eucheuma sp. menurun. Salinitas hasil pengukuran di lokasi penelitian berkisar antara 33-3 ppt. Berdasarkan hal ini, maka perairan Dusun Wael Desa Piru Kabupaten Seram bagian barat Propinsi Maluku sesuai untuk pembudidayaan rumput laut

5 Eucheuma cottonii. Pertumbuhan rumput laut maksimum apabila salinitas di perairan tempat budidaya cukup tinggi. Menurut Parker (1974) pertumbuhan alga Eucheuma cottonii optimum pada salinitas diatas 34 ppt. Hasil penelitian Iksan (2) melaporkan bahwa kadar karaginan maksimum pada minggu keempat budidaya, dimana terjadi peningkatan salinitas sampai pada 3 ppt. (d) ph ph merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan alga laut, sama halnya dengan faktor-faktor lainnya. Kisaran ph perairan selama penelitian berkisar antara 7,-8,. Nilai ph perairan selama penelitian cukup baik untuk budidaya Eucheuma cottonii. Aslan (1998) menyatakan bahwa kisaran ph untuk kehidupan organisme laut adalah 6,-8,. Chapman dan Chapman (198) menyatakan bahwa hampir seluruh alga menyukai kisaran ph 6,8 9,6, sehingga ph bukanlah masalah dalam pertumbuhannya. Hasil penelitian Zatnika dan Angkasa (1994) melaporkan bahwa derajat keasaman (ph) yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma adalah antara 7-9 dengan kisaran optimum 7,3-8,2. (e) Kecerahan Cahaya matahari merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Kecerahan perairan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya matahari. Kecerahan perairan yang ideal adalah lebih dari 1 m. Air yang keruh, biasanya mengandung lumpur dan dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Disamping itu kotoran dapat menutupi permukaan thalus dan menyebabkan thalus tersebut menjadi busuk atau patah. Secara keseluruhan kondisi ini akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Hasil pengukuran kecerahan pada lokasi penelitian berkisar antara 2,-,2 m. Dapat disimpulkan bahwa kecerahan pada lokasi penelitian masih memungkinkan untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii.

6 (f) Kedalaman perairan Kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah,3-,6 m pada waktu surut terendah untuk lokasi yang berarus kencang dan untuk metode lepas dasar, 2-1 m untuk metode rakit apung, metode rawai (longline) dan sistem jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari. Kedalaman perairan di lokasi penelitian lapangan berkisar antara 7,6 m (pada saat surut) sampai 9,72 m (pada saat pasang). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedalaman perairan di lokasi penelitian sangat cocok untuk diterapkan metode longline untuk budidaya Euchema cottonii. (g) Substrat dasar perairan Perairan yang mempunyai dasar pecahan-pecahan karang dan pasir kasar, dipandang baik untuk budidaya Eucheuma cottonii. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik. Jenis dasar perairan dapat dijadikan indikator gerakan air laut. Kondisi dasar perairan di lokasi penelitian merupakan perairan yang berlumpur pasir dan karang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kondisi dasar perairan di tempat penelitan, cocok untuk budidaya dengan sistem longline. Lokasi ini tidak cocok untuk budidaya dengan metode lepas dasar, mengingat kecerahan perairan maksimum hanya sampai pada kedalaman,2 m, sementara itu kedalaman maksimum perairan 9,72 m. Jadi apabila budidaya dengan metode lepas dasar diterapkan pada lokasi ini, pertumbuhan rumput laut akan terganggu sebagai akibat terhambatnya cahaya matahari sampai ke dasar perairan. 4.3 Laju Pertumbuhan Harian Eucheuma cottonii Laju pertumbuhan harian Eucheuma cottonii yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 3,4-,82%. Laju pertumbuhan yang dianggap menguntungkan adalah diatas 3% pertambahan berat basah per hari (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2). Laju pertumbuhan harian terendah dan tertinggi masing-masing diperoleh dari kombinasi perlakuan bagian thalus pangkal, berat bibit 1 g, umur panen 4 hari, dan kombinasi perlakuan bagian thalus ujung, berat bibit g dan umur panen hari. Bagian thalus, berat bibit,

7 dan umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<,) terhadap laju pertumbuhan harian rumput laut Eucheuma cottonii. Laju pertumbuhan harian Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit dan umur panen dapat dilihat pada Gambar 8. Laju pertumbuhan (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (a) Thalus ujung 7 Laju pertumbuhan (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (b) Thalus pangkal Gambar 8. Laju pertumbuhan harian Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Rata-rata laju pertumbuhan harian Eucheuma cottonii pada bagian thalus ujung dan pangkal menunjukkan peningkatan sampai umur panen hari, kemudian mengalami penurunan pada umur panen hari. Laju pertumbuhan harian tertinggi terjadi pada umur panen hari, untuk semua berat bibit yang berasal dari bagian thalus ujung maupun bagian thalus pangkal. Laju pertumbuhan harian Eucheuma cottonii tertinggi diperoleh pada umur panen hari yaitu,82%, 4,7%, dan 4,13% masing-masing berasal dari berat bibit awal, 1, dan 1 g, untuk bagian thalus ujung dan,6%, 4,9%, dan 3,96%

8 masing-masing berasal dari berat bibit awal, 1, dan 1 g, untuk bagian thalus pangkal. Laju pertumbuhan harian Eucheuma cottonii pada perlakuan bagian thalus ujung lebih tinggi dibandingkan dengan bagian thalus pangkal. Hal ini disebabkan oleh bagian thalus ujung mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan bagian thalus pangkal. Bagian paling ujung rumput laut menunjukkan laju fotosintesis yang paling besar dibandingkan bagian lain yang semakin jauh jaraknya dari ujung (Glenn dan Doty 1981). Hasil penelitian Sulistijo dan Atmadja (1977) melaporkan bahwa bibit bagian ujung merupakan bibit yang tumbuh lebih cepat dibandingkan bagian lainnya, bibit yang lebih muda tampak memberikan gambaran yang terbaik untuk dijadikan bibit. Berat bibit awal g mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan berat bibit 1 dan 1 g. Semakin kecil berat bibit awal, persaingan untuk mendapatkan dan menggunakan unsur hara yang berasal dari perairan di sekitarnya semakin kecil, sehingga pertumbuhannya semakin cepat. Dengan semakin banyaknya unsur hara yang dikonsumsi oleh rumput laut maka laju pertumbuhannya semakin cepat. Sulistijo dan Atmadja (1977) mengatakan bahwa bibit awal yang lebih sedikit memberikan pertumbuhan yang lebih cepat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian Eucheuma cottonii yang di budidayakan di Dusun Wael menunjukkan peningkatan laju pertumbuhan sampai pada umur panen hari, kemudian mengalami penurunan pada umur panen hari. Rumput laut dipanen setelah mencapai puncak pertumbuhan. Yunizal et al. (2) melaporkan bahwa rumput laut dipanen setelah tingkat pertumbuhannya mencapai puncak, yaitu beratnya mencapai ± 6 g/rumpun. Lama pemeliharaan tergantung dari lokasi, jenis rumput laut, serta metode penanaman 4.4 Berat Kering Eucheuma cottonii Rata-rata berat kering yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 62,13-191,37 g (Gambar 9). Berat kering rumput laut terendah dan tertinggi masing-masing diperolah dari perlakuan bagian thalus pangkal, berat bibit g, umur panen 4 hari, dan bagian thalus ujung, berat bibit 1 g, umur panen hari. Bagian thalus, berat bibit, umur panen, dan interaksi berat bibit dan umur

9 panen memberikan pengaruh yang nyata (p<,) terhadap berat kering rumput laut Eucheuma cottonii. Berat kering (g) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (a) Thalus ujung Berat kering (g) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (b) Thalus pangkal Gambar 9. Berat kering Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Bertambahnya umur panen, berat kering rumput laut cenderung meningkat. Peningkatan berat kering ini terjadi seiring dengan peningkatan berat basah rumput laut pada setiap umur panen. Dengan bertambahnya berat basah, cenderung menyebabkan berat kering juga meningkat. Produksi berat kering ratarata rumput laut Eucheuma cottonii pada bibit bagian thalus ujung cenderung lebih tinggi, dibandingkan dengan bibit bagian thalus pangkal pada semua umur panen. Bagian thalus ujung memperlihatkan pertumbuhan berat basah yang lebih tinggi

10 dan akan menghasilkan berat kering yang lebih tinggi pula. Berat bibit awal yang lebih kecil menunjukkan persentase antara berat bibit awal dengan berat kering lebih tinggi dibandingkan dengan berat bibit yang lebih besar. Hasil penelitian Iksan (2) melaporkan bahwa produksi bobot kering rumput laut Eucheuma cottonii selama 1 minggu pada bobot bibit awal yang berbeda umumnya meningkat dan mencapai puncak pada minggu ke 4, kemudian terjadi fluktuasi di minggu ke dan 6, dan terjadi penurunan sampai minggu ke 1. Bobot awal 12 g memperlihatkan puncak produksi bobot kering yang lebih jelas dibandingkan dengan bobot awal lainnya ( dan 2 g). Rumput laut asal thalus ujung dan tengah cenderung lebih tinggi produksi bobot kering dari asal thalus pangkal. Produksi berat kering rumput laut dipengaruhi juga oleh kandungan air yang terkandung dalam rumput laut tersebut. Permukaan thalus dengan diameter yang lebih besar atau luas permukaannya lebih besar, lebih lambat terjadi penguapan dibandingkan dengan diameter thalus yang lebih kecil pada waktu pengeringan yang sama. Bagian thalus yang muda lebih banyak kandungan air jika dibandingkan dengan bagian thalus yang lebih tua. Kondisi ini sangat mempengaruhi berat kering dari rumput laut itu sendiri. 4. Komposisi Kimia Eucheuma cottonii Rumput laut yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan karaginan diperoleh dari hasil budidaya di Dusun Wael Desa Piru Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku, yang dibudidaya dengan menggunakan metode longline dengan tiga perlakuan utama yaitu bagian thalus (ujung dan pangkal), berat bibit (, 1 dan 1 g) dan umur panen (4, 4, dan hari). Rumput laut hasil budidaya setelah panen kemudian dilakukan pencucian dengan air laut untuk menghilangkan kotoran yang menempel, kemudian dijemur selama 4 hari, sehingga diperoleh rumput laut kering. Rumput laut kering kemudian dikemas dalam kantung plastik yang selanjutnya digunakan sebagai bahan baku untuk ekstraksi karaginan. Sebelum ekstraksi karaginan rumput terlebih dulu diuji komposisi kimianya, yaitu kadar air, abu, dan abu tidak larut asam.

11 4..1 Kadar air Kadar air pada rumput laut merupakan komponen yang penting karena berhubungan dengan mutu rumput laut. Rata-rata kadar air rumput laut kering Eucheuma cottonii berkisar antara 28,94 33,3% (Gambar 1). Kadar air (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (a) Thalus ujung Kadar air (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (b) Thalus pangkal Gambar 1. Kadar air Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Kadar air rumput laut cenderung mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur panen. Hal ini diduga karena sifat hidrofiliknya sehingga rumput laut dapat menyerap air yang cukup banyak dalam bentuk air terikat, seiring dengan bertambahnya umur panen. Kadar air hasil penelitian masih memenuhi standar mutu rumput laut kering yang dikeluarkan oleh SNI 1992 yaitu maksimum 3%.

12 4..2 Kadar abu Kandungan abu menunjukkan besarnya kandungan mineral pada rumput laut kering yang tidak terbakar selama pengabuan. Kadar abu rumput laut terutama terdiri dari garam natrium yang berasal dari air laut yang menempel pada thalus rumput laut (Hirao 1971). Hasil analisis kadar abu pada penelitian ini berkisar antara 6,67-28,81% (Gambar 11). Kadar abu (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (a) Thalus ujung Kadar abu (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (b) Thalus pangkal Gambar 11. Kadar abu Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Dengan bertambahnya umur panen, kadar abu rumput laut cenderung mengalami peningkatan. Hal ini berkaitan dengan semakin lama rumput laut berada dalam suatu perairan maka semakin besar garam-garam mineral yang diserap oleh rumput laut. Rumput laut dengan perlakuan berat bibit awal g mengandung lebih banyak kadar abu. Hal ini diduga karena semakin kecil berat

13 bibit rumput laut maka proses penyerapan garam-garam mineral semakin besar, karena persaingan untuk mendapatkan unsur hara dan garam-garam mineral semakin rendah. Bobot awal thalus memiliki pengaruh terhadap persaingan antar thalus dalam suatu tanaman, baik dalam memanfaatkan ruang, sinar matahari maupun zat-zat hara yang diperlukan. Kadar abu hasil penelitian belum memenuhi kisaran yang ditetapkan oleh FAO, yaitu sebesar 1-4%. Kisaran kadar abu yang dihasilkan dari penelitian ini, secara umum pada umur panen dan hari sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan oleh FAO, tetapi pada umur 4 dan 4, masih dibawah standar. Hal ini dapat dijelaskan bahwa diduga rumput laut yang dipanen pada umur 4 dan 4 hari belum banyak menyerap garam-garam mineral baik yang berasal dari air hujan, air dari sungai yang masuk ke laut tempat budidaya ataupun yang ada di perairan sekitar lokasi budidaya Kadar abu tidak larut asam Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam yang sebagian adalah garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak dapat larut dalam asam pada suatu produk. Hasil analisis kadar abu tidak larut asam berkisar antara 1,2-,82% (Gambar 12). Hasil analisis kadar abu tidak larut asam yang dihasilkan dari penelitian ini belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh EEC yaitu maksimum 2%, FAO dan FCC maksimum 1%. Hal ini diduga disebabkan oleh proses penanganan bahan baku yang kurang baik, ataupun terkontaminasi pada saat penjemuran. Oleh karena proses pengeringan menggunakan cahaya matahari dalam keadaan terbuka sehingga sangat berpeluang untuk terkontaminasi.

14 Kadar abu tidak larut asam (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (a) Thalus ujung Kadar abu tidak larut asam (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (b) Thalus pangkal Gambar 12. Kadar abu tidak larut asam Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. 4.6 Karaginan Eucheuma cottonii Karaginan merupakan getah rumput laut dari jenis Eucheuma cottonii yang diekstrak dengan air atau larutan alkali panas. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan karaginan berasal dari hasil budidaya di perairan Dusun Wael Desa Piru Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku dengan perlakuan bagian thalus, berat bibit dan umur panen. Penelitian pada tahap ini bertujuan menentukan kondisi terbaik dari hasil ekstraksi karaginan. Penentuan kondisi terbaik dipilih

15 berdasarkan parameter rendemen, kekuatan gel, viskositas, kadar air, dan kadar abu yang sesuai dengan standar mutu karaginan Rendemen karaginan Rendemen karaginan adalah berat karaginan yang dihasilkan dari rumput laut kering dan dinyatakan dalam persen. Rata-rata rendemen karaginan yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 2,2-31,16% (Gambar 13). Rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini masih memenuhi standar persyaratan minimum rendemen karaginan yang ditetapkan oleh Departemen perdagangan (1989), yaitu sebesar 2%. 3 3 Rendemen (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (a) Thalus ujung 3 Rendemen (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (b) Thalus pangkal Gambar 13. Rendemen karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen.

16 Nilai rendemen tertinggi dan terendah berturut-turut diperoleh pada kombinasi perlakuan bagian thalus ujung, berat bibit 1 g, umur panen hari dan kombinasi perlakuan bagian thalus pangkal, berat bibit 1 g dan umur panen 4 hari. Bagian thalus dan umur panen memberikan pengaruh nyata (p<,) terhadap rendemen karaginan yang dihasilkan (Lampiran 9b). Umur panen hari memberikan nilai rendemen tertinggi, dan berbeda nyata dengan umur panen 4, 4 dan hari (Lampiran 9c). Rendemen karaginan mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur panen sampai pada umur panen hari tetapi mengalami penurunan pada umur panen hari. Hasil rata-rata rendemen berdasarkan umur panen menunjukkan bahwa umur panen hari menghasilkan rendemen lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin tua umur panen maka kandungan polisakarida yang dihasilkan semakin banyak sehingga kandungan karaginannya juga semakin tinggi (Syamsuar 26). Pada umur hari rendemen yang dihasilkan mengalami penurunan. Penambahan umur panen akan meningkatkan berat basah dan diikuti dengan penambahan kadar karaginan sampai batas tertentu dan cenderung menurun seiring dengan penambahan berat basah dan umur panen. Berdasarkan hasil laporan penelitian BPPT (198) diacu dalam Mukti (1987) bahwa pemanenan sudah dapat dilakukan setelah 6 minggu yaitu pada saat tanaman dianggap cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum. Perlakuan bagian thalus juga mempengaruhi rendemen karaginan yang dihasilkan. Perlakuan bagian thalus ujung menghasilkan kandungan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian thalus pangkal. Hal ini diduga karena bibit bagian ujung merupakan bibit yang tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan bagian lainnya. Glenn dan Doty (1981) diacu dalam Iksan (2) menyatakan bahwa bagian paling ujung rumput laut menunjukkan laju fotosintesis yang paling besar dibanding bagian lain yang jaraknya jauh dari ujung Kekuatan gel karaginan Salah satu sifat penting karaginan adalah mampu mengubah cairan menjadi padatan atau mengubah bentuk sol menjadi gel yang bersifat reversible. Kemampuan inilah yang menyebabkan karaginan sangat luas penggunaannya, baik dalam bidang pangan maupun non-pangan. Kekuatan gel karaginan yang

17 dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 113,33-273,33 g/cm 2 yang masing masing dihasilkan dari perlakuan bagian thalus ujung, berat bibit g, umur panen hari dan bagian thalus ujung, berat bibit 1 g, umur panen 4 hari (Gambar 14). Kekuatan gel yang dihasilkan dari penelitian ini masih di bawah standar, yaitu 9-12 g/cm 2. Berat bibit, umur panen dan interaksi berat bibit dan umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<,) terhadap kekuatan gel karaginan (Lampiran 1b). Interaksi berat bibit 1 g dan umur panen hari, memberikan nilai kekuatan gel tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan interaksi berat bibit g dan umur panen hari (Lampiran 1c). 3 Kekuatan gel (g/cm 2 ) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (a) Thalus ujung 3 Kekuatan gel (g/cm 2 ) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (b) Thalus pangkal Gambar 14. Kekuatan gel karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit dan umur panen.

18 Kekuatan gel karaginan yang dihasilkan secara umum cenderung mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur panen. Pertambahan umur panen akan meningkatkan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa yang merupakan senyawa yang berperan penting dalam pembentukan gel karaginan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Friedlander dan Zelokovitch (1984) diacu dalam Syamsuar (26), bahwa peningkatan kekuatan gel berbanding lurus dengan banyaknya kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya. Selanjutnya menurut Moirano (1977), 3,6-anhidrogalaktosa menyebabkan sifat beraturan dalam polimer yang akan menyebabkan meningkatnya potensi pembentukan heliks rangkapnya sehingga pembentukan gel lebih cepat dicapai. Interaksi antar perlakuan juga berpengaruh terhadap kekuatan gel karaginan. Interaksi berat bibit g dengan umur panen hari memberikan nilai kekuatan gel tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan interaksi berat bibit 1 g dengan umur panen hari Viskositas karaginan Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan karaginan sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu. Viskositas karaginan biasanya diukur pada suhu 7 o C dengan konsentrasi 1,% (FAO 199). Rata-rata viskositas karaginan yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 14,6-42,83 cp, yang masing-masing dihasilkan pada perlakuan bagian thalus pangkal, berat bibit 1, umur panen 4 hari dan bagian thalus pangkal, berat bibit 1, umur panen (Gambar 1). Berat bibit, umur panen dan interaksi berat bibit dan umur panen memberikan pengaruh nyata (p<,) terhadap viskositas karaginan (Lampiran 11b). Perlakuan berat bibit 1 memberikan viskositas karaginan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan berat bibit dan 1 g. Hal ini diduga berat bibit 1 g memiliki kandungan sulfat yang tinggi. Interaksi berat bibit dan umur panen berpengaruh juga terhadap viskositas karaginan. Interaksi berat bibit 1 g dengan umur panen 4 hari memiliki nilai viskositas tertinggi dan berbeda nyata dengan interaksi lainnya (Lampiran 11c).

19 Viskositas (cp) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (a) Thalus ujung Viskositas (cp) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (b) Thalus pangkal Gambar 14. Viskositas karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Nilai viskositas karaginan cenderung menurun sejalan dengan bertambahnya umur panen. Penurunan viskositas dengan bertambahnya umur panen disebabkan karena penurunan kandungan sulfat. Menurut Guiseley et al. (198), viskositas pada karaginan disebabkan oleh adanya daya tolak menolak antar grup sulfat yang bermuatan negatif disepanjang rantai polimernya, sehingga menyebabkan molekul tersebut dikelilingi oleh air yang tidak bergerak dan hal inilah yang menyebabkan nilai viskositas karaginan meningkat.

20 4.6.4 Kadar air Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam karaginan. Ratarata kadar air yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 9,7-11,9% (Gambar 16). Umur panen dan interaksi perlakuan berat bibit dan umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<,) terhadap kadar air karaginan yang dihasilkan (Lampiran 12b), dimana perlakuan bagian thalus pangkal, berat bibit g dan umur panen hari memiliki kadar air tertinggi (11,9%). 14 Kadar air (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (a) Thalus ujung 14 Kadar air (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (b) Thalus pangkal Gambar 16. Kadar air karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Pertambahan umur panen menyebabkan kandungan air meningkat. Peningkatan ini disebabkan karena semakin tua umur panen jumlah air yang

21 diserap oleh rumput laut semakin banyak baik sebagai air bebas maupun air terikat, sehingga jumlah air pada umur panen hari lebih tinggi jika dibandingkan dengan umur panen, 4 dan 4 hari. Meningkatnya kandungan air rumput laut berkorelasi positif dengan meningkatnya kandungan air karaginan. Kandungan air pada karaginan yang dihasilkan diduga merupakan air terikat (fisik dan kimia), sedangkan air bebas kemungkinan telah menguap. Kadar air yang dihasilkan pada penelitian ini masih memenuhi standar mutu karaginan yang ditetapkan oleh FAO yaitu maksimum 12%. Interaksi berat bibit g dan umur panen hari menghasilkan kadar air tertinggi. Hal ini dapat diduga bahwa semakin kecil berat bibit dan semakin lama rumput laut berada di perairan akan semakin banyak kadar air yang diserap oleh rumput laut untuk mensintesis karbohidrat, sehingga menyebabkan kadar air pada karaginan dalam rumput laut cenderung lebih tinggi Kadar abu Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu berhubungan dengan mineral suatu bahan. Nilai kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut (Apriyantono et al. 1989). Rata-rata kadar abu karaginan yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 12,89-21,43%. Kadar abu karaginan hasil ekstraksi masih memenuhi standar yang ditetapkan oleh FAO, EU dan ECC yaitu sekitar 1 4%, sedangkan FCC menetapkan kadar abu maksimum 3%. Pengaruh bagian thalus, berat bibit dan umur panen terhadap kadar abu karaginan Eucheuma cottonii yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 17.

22 2 2 Kadar abu (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (a) Thalus ujung 2 2 Kadar abu (%) Berat bibit g Berat bibit 1 g Berat bibit 1 g (b) Thalus Pangkal Gambar 17. Kadar abu karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai bagian thalus, berat bibit, dan umur panen. Semakin tua umur panen kadar abu karaginan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena semakin lama rumput laut berada dalam suatu perairan, maka semakin banyak kandungan garam-garam mineral yang diserap oleh rumput laut yang dapat menyebabkan kadar abu karaginan juga meningkat. Suryaningrum et al. (1991) menyatakan bahwa tingginya kadar abu karaginan karena sebagian besar berasal dari garam dan mineral lainnya yang menempel pada rumput laut, seperti K, Mg, Ca, Na dan ammonium galaktosa serta kandungan 3,6-anhidrogalaktosa. Faktor lain yang menyebabkan tingginya kadar abu, diduga disebabkan oleh air hujan dan air dari sungai yang masuk ke perairan tempat

23 budidaya. Ahmadi (24) mengatakan bahwa kadar abu karaginan yang diperoleh terutama terdiri dari kalium, natrium, magnesium dan kalsium, karena karaginan merupakan hidrokoloid yang terutama terdiri dari ester sulfat, kalium, natrium, magnesium, kalsium dan amonium dari galaktosa, dan 3,6 anhidro-d-galaktosa. 4.7 Karakteristik Karaginan Terbaik Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, diperoleh empat kombinasi perlakuan terbaik yang akan dianalisis lebih lanjut karakteristik fisiko-kimia karaginannya. Parameter mutu yang dijadikan kriteria utama dalam penentuan perlakuan terbaik adalah kecepatan pertumbuhan berat basah rumput laut dan kekuatan gel karaginan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perlakuan bagian thalus ujung memiliki laju pertumbuhan dan kekuatan gel tertinggi, sedangkan perlakuan berat bibit menunjukkan bahwa berat bibit g memiliki laju pertumbuhan dan kekuatan gel tertinggi. Pada penelitian tahap ini ditetapkan kombinasi perlakuan yang dipilih adalah bagian thalus ujung, berat bibit g pada berbagai umur panen yaitu, 4, 4,, dan hari. Hubungan antara laju pertumbuhan harian rumput laut dan kekuatan gel kombinasi perlakuan terbaik dapat dilihat pada Gambar 18. Kekuatan gel (g/cm 2 ) , Laju pertumbuhan (%) Kekuatan gel Laju pertumbuhan Gambar 18. Hubungan antara laju pertumbuhan harian rumput laut dan kekuatan gel karaginan Eucheuma cottonii.

24 Laju pertumbuhan harian rumput laut dan kekuatan gel karaginan Eucheuma cottonii akan meningkat seiring dengan pertambahan umur panen, dan akan menurun setelah mencapai puncak pertumbuhan. Rumput laut Eucheuma cottonii yang dibudidayakan di Dusun Wael Desa Piru Kabupaten Seram bagian barat mempunyai puncak pertumbuhan pada umur panen hari Sifat fisik karaginan Sifat fisik karaginan Eucheuma cottonii yang dianalisis pada penelitian tahap ini adalah: kekuatan gel, viskositas, titik jendal, titik leleh, dan derajat putih Kekuatan gel Karaginan memiliki kemampuan membentuk gel saat larutan panas menjadi dingin. Proses pembentukan gel bersifat thermoreversible, artinya gel dapat mencair pada saat pemanasan dan membentuk gel kembali pada saat pendinginan. Adanya selulosa pada produk akhir dapat mengakibatkan gel yang terbentuk akan lebih rapuh (Imeson 2). Nilai kekuatan gel tertinggi dan terendah berturut-turut diperoleh pada umur panen hari dan 4 hari dengan nilai berkisar antara 196,66-33 g/cm 2 (Gambar 19) d c Kekuatan gel (g/cm 2 ) a b 4 4 Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p <,). Gambar 19. Kekuatan gel karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen.

25 Umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<,) terhadap kekuatan gel karaginan. Umur panen hari memberikan nilai kekuatan gel tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 4, 4, dan hari. Semakin tua umur panen kekuatan gel karaginan cenderung meningkat. Pertambahan umur panen akan meningkatkan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan menurunnya kandungan sulfat. Keadaan ini sesuai dengan pernyataan Friedlander dan Zelokovitch (1984) diacu dalam Suryaningrum (1988) bahwa peningkatan kekuatan gel berbanding lurus dengan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya. Moirano (1977) menjelaskan bahwa 3,6-anhidrogalaktosa menyebabkan sifat beraturan dalam polimer dan sebagai akibatnya akan mempertinggi potensi pembentukan heliks rangkapnya. Lebih lanjut Zabik dan Aldrich (1967) diacu dalam Suryaningrum (1988) menjelaskan bahwa pembentukan gel pada karaginan merupakan pengendapan yang melibatkan ikatan ionik antara kation logam tertentu dengan muatan negatif dari gugus ester sulfat. Apabila jumlah grup ester sulfat lebih banyak, maka sulfat tersebut akan berikatan dengan air. Oleh karena itu, jika kandungan sulfat pada karaginan tinggi, maka kerangka tiga dimensi yang terbentuk banyak menyerap air. Gel karaginan yang demikian ini apabila diberi tekanan akan sulit untuk mempertahankan bentuknya sehingga nilai kekuatan gelnya rendah Viskositas Viskositas merupakan faktor kualitas yang penting untuk zat cair dan semi cair (kental) atau produk murni, dimana hal ini merupakan ukuran dan kontrol untuk mengetahui kualitas dari produk akhir (Joslyn 197). Menurut Towle (1973), viskositas karaginan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi, suhu, tingkat dispersi kandungan sulfat, inti elektrik, keberadaan elektrolit dan non elektrolit, teknik perlakuan, tipe dan berat molekul. Rata-rata viskositas karaginan yang dihasilkan berkisar antara 3,13-44, cp (Gambar 2). Nilai viskositas tertinggi dan terendah berturut-turut diperoleh pada umur panen 4 hari dan hari. Umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<,) terhadap viskositas karaginan. Umur panen 4 hari memberikan nilai viskositas tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 4,, dan hari.

26 Viskositas (cp) d 3.6c 3.73b 3.13a 4 4 Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p <,). Gambar 2. Viskositas karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen. Semakin tua umur panen viskositas larutan karaginan cenderung menurun. Hasil penelitian Suryaningrum (1988) dilaporkan bahwa peningkatan umur panen menurunkan viskositas larutan karaginan. Penurunan viskositas ini disebabkan oleh penurunan kandungan sulfat. Moirano (1977) menambahkan bahwa viskositas pada karaginan disebabkan oleh adanya daya tolak menolak antara grup sulfat yang bermuatan negatif disepanjang rantai polimernya, sehingga menyebabkan rantai polimer kaku dan tertarik kencang, sehingga molekul-molekul air terikat pada molekul karaginan yang mengakibatkan meningkatnya viskositas Titik jendal dan titik leleh Titik jendal adalah suhu larutan karaginan dalam konsentrasi tertentu mulai membentuk gel, sedangkan titik leleh merupakan kebalikan dari titik gel yaitu suhu larutan karaginan ini mencair dengan konsentrasi tertentu. Rata-rata nilai titik jendal dan titik leleh karaginan yang dihasilkan berkisar antara 3,3-33,2 o C dan 41,3-43,26 o C masing-masing dihasilkan pada umur panen hari dan 4 hari (Gambar 21). Umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<,) terhadap titik jendal dan titik leleh karaginan. Umur panen hari memberikan nilai titik jendal dan titik leleh tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 4, 4, dan hari.

27 a 32.13b 33.2c 32.43bc Titik jendal ( o C) (a) Titik jendal karaginan Titik leleh ( o C) a 43.b 43.26b 41.3a 4 4 (b) Titik leleh Karaginan Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p <,). Gambar 21. Titik jendal dan titik leleh karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen. Titik jendal dan titik leleh karaginan mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur panen. Pertambahan umur panen akan meningkatkan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan menurunnya kandungan sulfat. Semakin tinggi kandungan 3,6-anhidrogalaktosa nilai titik jendal dan titik leleh semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suryaningrum (1988) bahwa suhu titik jendal dan titik leleh berbanding lurus dengan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya. Selanjutnya Reen (1986) diacu dalam Syamsuar (26) menyatakan bahwa adanya

28 sulfat cenderung menyebabkan polimer terdapat dalam bentuk sol, sehingga suhu titik gel sulit terbentuk Derajat putih Warna kecoklatan pada karaginan bisa disebabkan masih adanya selulosa, pigmen fikoeritin, dan fikosianin. Selain sebagai komponen yang tidak larut air, selulosa juga menyebabkan warna karaginan menjadi keruh (Imeson 2). Penyaringan dengan saringan nilon mesh berfungsi untuk mengurangi kandungan selulosa pada karaginan. Rata-rata nilai derajat putih karaginan berkisar antara 3,4-41,36%. Nilai derajat putih tertinggi dan terendah berturut-turut diperoleh pada umur panen 4 hari dan hari. Umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<,) terhadap derajat putih karaginan. Umur panen 4 hari memberikan nilai derajat putih tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 4,, dan hari. Histogram derajat putih karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen dapat dilihat pada Gambar 22. Derajat putih (%) d 39.1c 38.36b 3.4a 4 4 Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p <,). Gambar 22. Derajat putih karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen. Pertambahan umur panen cenderung menyebabkan nilai derajat putih karaginan mengalami penurunan. Hal ini diduga, dengan pertambahan umur panen akan meningkatkan kandungan selulosa, yang merupakan komponen yang dapat mempengaruhi warna karaginan. Adanya selulosa dalam karaginan dalam

29 jumlah yang tinggi tidak diharapkan karena dapat menyebabkan warna karaginan menjadi keruh (Bixler dan Jhondro 2) Sifat kimia karaginan Sifat kimia karaginan Eucheuma cottonii yang dianalisis adalah kadar air, kadar abu, kadar abu tidak larut asam dan kadar sulfat Kadar air Kadar air menyatakan jumlah air serta bahan-bahan volatil yang terkandung dalam karaginan. Kadar air suatu produk biasanya ditentukan oleh kondisi pengeringan, pengemasan, dan penyimpanan. Kondisi penyimpanan dan pengeringan yang kurang baik menyebabkan kandungan air pada produk tinggi sehingga bahan lebih cepat mengalami kerusakan. Demikian pula kondisi pengemasan yang kurang baik akan meningkatkan kandungan air pada produk sehingga mutu produk yang dihasilkan menjadi menurun. Rata-rata kadar air tepung karaginan yang dihasilkan berkisar antara 9,43-11,28% berturut-turut diperoleh pada umur panen 4 hari dan hari (Gambar 23). Umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<,) terhadap kadar air karaginan. Umur panen hari memberikan kadar air tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 4, 4, dan hari a 1.19ab 1.86b 11.28b Kadar air (%) Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p <,). Gambar 23. Kadar air karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen.

30 Kadar air karaginan mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur panen. Hal ini diduga karena sifat hidrofiliknya sehingga rumput laut dapat menyerap air yang cukup banyak ketika semakin lama di perairan. Tingginya kadar air rumput laut menyebabkan kadar air karaginan yang dikandungnya juga tinggi. Kandungan air karaginan yang terukur merupakan air terikat terutama yang terikat secara kimia, sedangkan air bebas kemungkinan telah menguap. Kadar air karaginan yang diperoleh dari penelitian ini memenuhi kisaran yang ditetapkan oleh FAO, FCC, maupun ECC yaitu maksimum 12% Kadar abu Sebagian besar bahan makanan, yaitu 96% terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral yang juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno 1977). Nilai kadar abu tertinggi dan terendah berturut-turut diperoleh pada umur panen hari dan 4 hari dengan nilai masing-masing sebesar 2,3% dan 16,6% (Gambar 24). Umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<,) terhadap kadar abu karaginan. Umur panen hari memberikan kadar abu tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 4, 4, dan hari. Kadar abu (%) a 2.44b 22.76b 2.3c 4 4 Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p <,). Gambar 24. Kadar abu karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen.

31 Bertambahnya umur panen cenderung menyebabkan kadar abu karaginan mengalami peningkatan. Rumput laut termasuk bahan pangan yang mengandung mineral cukup tinggi karena kemampuannya dalam mengabsorb mineral yang berasal dari lingkungannya. Perairan dengan salinitas yang tinggi menyebabkan rumput laut banyak mengandung garam-garam mineral. Mineral makro seperti Na, Ca, K, Cl, Mg, P, S dan trace element seperti I, Mn, Cu, Fe banyak dijumpai pada rumput laut (Ensminger et al. 199; Santoso et al. 24; Santoso et al. 26). Kadar abu karaginan yang diperoleh dari penelitian ini masih memenuhi standar spesifikasi mutu karaginan yang ditetapkan oleh FAO sebesar 1-4% Kadar abu tidak larut asam Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam yang sebagian adalah garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak larut asam merupakan salah satu kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan (Basmal et al. 23). Rata-rata kadar abu tidak larut asam tepung karaginan yang dihasilkan berkisar antara,6-,91% (Gambar 2). Nilai kadar abu tidak larut asam tertinggi dan terendah berturut-turut diperoleh pada umur panen hari dan 4 hari. Kadar abu tidak larut asam (%) b.88b.63a.6a 4 4 Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p <,). Gambar 2. Kadar abu tidak larut asam karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen.

32 Umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<,) terhadap kadar abu tidak larut asam karaginan. Umur panen hari memberikan kadar abu tidak larut asam tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 4, 4, dan hari. Rendahnya kadar abu tidak larut asam ini menunjukkan karaginan yang dihasikan pada penelitian ini tidak banyak terkontaminasi selama proses penanganan bahan baku dan pengolahan. Kadar abu tidak larut asam yang diperoleh dari penelitian ini masih memenuhi standar yang ditetapkan oleh EEC sebesar maksimum 2%, sedangkan FAO dan FCC menetapkan maksimum 1% Kadar sulfat Kadar sulfat merupakan parameter yang digunakan untuk berbagai jenis polisakarida yang terdapat dalam alga merah (Winarno 1996). Hasil ekstraksi rumput laut bisa dibedakan berdasarkan kandungan sulfat. Agar-agar mengandung sulfat tidak lebih dari 3-4% dan karaginan minimal 18% (Moirano 1977). Kadar sulfat tertinggi dihasilkan pada umur panen 4 hari, sedangkan yang terendah pada umur panen hari dengan nilai berturut-turut sebesar 3,% dan 27,43% (Gambar 26). Umur panen memberikan pengaruh yang nyata (p<,) terhadap kadar sulfat karaginan. Umur panen 4 hari memberikan kadar sulfat tertinggi dan berbeda nyata dengan umur panen 4,, dan hari d 29.36c 27.43a 28.13b Kadar sulfat (%) Keterangan : Angka-angka pada histogram diikuti huruf superscripts berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p <,). Gambar 26. Kadar sulfat karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen.

33 Pertambahan umur panen cenderung menyebabkan kadar sulfat karaginan mengalami penurunan. Kandungan sulfat berbanding lurus dengan viskositas karaginan. Rendahnya kadar sulfat pada karaginan dapat menyebabkan viskositas karaginan menurun. Syamsuar (26) melaporkan bahwa bertambahnya umur panen dapat menurunkan viskositas karaginan, hal ini disebabkan karena penurunan kandungan sulfat. Kadar sulfat yang dihasilkan dari penelitian ini masih memenuhi standar yang ditetapkan oleh EEC dan FAO yaitu berkisar antara 1-4%, sedangkan FCC menetapkan 18-4%. 4.8 Logam Berat Dewasa ini pencemaran lingkungan khususnya perairan oleh logam berat bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi juga internasional. logam berat dapat berasal dari kegiatan industri maupun alam. Pencemaran Pencemaran air dapat berupa garam dari logam berat dan logam berat yang membentuk senyawa toksik. Logam berat yang sering terdapat dalam pencemaran air adalah Merkuri (Hg), Timbal (Pb), Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), Kromium (Cr), dan Seng (Zn) dalam bentuk senyawa toksik. Faktor lain sebagai salah satu sumber pencemaran di laut saat ini adalah penggunaan cat antiorganisme penempel (antifouling). Ternyata cat antifouling telah menimbulkan pencemaran logam berat yang serius di laut serta sedimen di dok dan tempat sandar kapal. Senyawa yang dikandungnya adalah tembaga, timbal, timah, zink dan air raksa (Mukhtasor 27). Karaginan yang dianalisis logam beratnya adalah karaginan dari kombinasi perlakuan bagian thalus ujung, berat bibit g dan umur panen hari, yang merupakan kombinasi perlakuan terbaik. Hasil pengukuran logam berat (timbal, tembaga, dan seng) dari karaginan Eucheuma cottonii terbaik dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kandungan logam berat karaginan Eucheuma cottonii. Jenis logam (ppm) Karaginan Eucheuma cottonii Timbal (Pb),177 Tembaga (Cu),76 Seng (Zn),266

34 Karaginan yang dihasilkan mengandung logam berat Timbal, Tembaga dan Seng masing masing sebesar,177 ppm,,76 ppm dan,266 ppm. Dibandingkan dengan unsur logam berat Merkuri dan Kadmium, maka unsur Timbal ini tidak begitu beracun, tetapi unsur ini bersifat kronis dan kumulatif (Mukhtasor 27). Tembaga termasuk dalam kelompok logam esensial dan dalam kadar yang rendah diperlukan oleh mikroorganisme perairan sebagai ko-enzim dalam proses metabolisme tubuh dan sifat racunnya baru muncul dalam kadar yang tinggi. Syamsuar (26) menyimpulkan bahwa adanya kandungan logam berat Timbal dan Tembaga diperairan menunjukkan adanya pencemaran di lokasi budidaya rumput laut, karena rumput laut mampu menyerap logam berat dari perairan melalui proses absorbsi. Adanya seng dalam karaginan disebabkan oleh akumulasi seng oleh rumput laut melalui absorbsi atau proses pertukaran ion. Proses ini terjadi melalui dinding sel rumput laut, yang kemudian bersenyawa dengan protein dan polisakarida. Kandungan logam berat tepung karaginan hasil penelitian sangat kecil sehingga memenuhi standar mutu karaginan yang ditetapkan oleh EEC untuk Pb maksimum 1 ppm, Cu maksimum ppm, dan Zn maksimum 2 ppm (A/S Kobenhvns Pektifabrik 1978).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang dimaksud adalah kondisi oseanografi dan meteorologi perairan. Faktor oseanografi adalah kondisi perairan yang berpengaruh langsung terhadap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 35 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Faktor Fisiko dan Kimia Perairan Faktor lingkungan merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kondisi alam tempat pembudidayaan rumput laut. Faktor lingkungan yang diukur

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai 81.000 km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya hayati yang sangat besar

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan Vol. 1, No. 2, Agustus 2013

Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan Vol. 1, No. 2, Agustus 2013 Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan Vol. 1, No. 2, Agustus 213 KARAKTERISTIK SIFAT FISIKA KIMIA KARAGINAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA BERBAGAI UMUR PANEN YANG DIAMBIL DARI DAERAH PERAIRAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, termasuk salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia yaitu 95.181 km dan memiliki keanekaragaman hayati laut berupa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun sebenarnya dalam dunia ilmu pengetahuan diartikan sebagai alga (ganggang) yang berasal dari bahasa

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya hasil alam terlebih hasil perairan. Salah satunya rumput laut yang merupakan komoditas potensial dengan nilai ekonomis tinggi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Rumput laut atau sea weeds secara ilmiah dikenal dengan istilah alga atau ganggang. Rumput laut termasuk salah satu anggota alga yang merupakan tumbuhan berklorofil.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Logam timbal atau Pb adalah jenis logam lunak berwarna coklat kehitaman dan mudah dimurnikan. Logam Pb lebih tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik lainnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan 4.1. Laju Pertumbuhan Mutlak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Laju pertumbuhan mutlak Alga K. alvarezii dengan pemeliharaan selama 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Rumput laut merupakan tanaman laut yang sangat populer dibudidayakan di laut. Ciri-ciri rumput laut adalah tidak mempunyai akar, batang maupun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

Pertumbuhan Rumput Laut

Pertumbuhan Rumput Laut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju pertumbuhan Laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii yang diperoleh selama penelitian terdapat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1.PertumbuhanRumputLautSetelah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Awal Tanah Gambut Hasil analisis tanah gambut sebelum percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 1. Hasil analisis didapatkan bahwa tanah gambut dalam dari Kumpeh

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA KARAGINAN DARI Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI BAGIAN THALUS, BERAT BIBIT DAN UMUR PANEN MAX ROBINSON WENNO

KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA KARAGINAN DARI Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI BAGIAN THALUS, BERAT BIBIT DAN UMUR PANEN MAX ROBINSON WENNO KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA KARAGINAN DARI Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI BAGIAN THALUS, BERAT BIBIT DAN UMUR PANEN MAX ROBINSON WENNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI SEMI-REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DENGAN VARIASI TEKNIK PENGERINGAN DAN KADAR AIR BAHAN BAKU

OPTIMALISASI PRODUKSI SEMI-REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DENGAN VARIASI TEKNIK PENGERINGAN DAN KADAR AIR BAHAN BAKU OPTIMALISASI PRODUKSI SEMI-REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DENGAN VARIASI TEKNIK PENGERINGAN DAN KADAR AIR BAHAN BAKU Made Vivi Oviantari dan I Putu Parwata Jurusan Analisis Kimia

Lebih terperinci

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT DISUSUN OLEH : NAMA : ANANG SETYA WIBOWO NIM : 11.01.2938 KELAS : D3 TI-02 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012/2013 TEKNOLOGI BUDIDAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan salah satu unsur alam yang sama pentingnya dengan air dan udara. Tanah adalah suatu benda alami, bagian dari permukaan bumi yang dapat ditumbuhi oleh

Lebih terperinci

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar Komoditas unggulan Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik diperkirakan terdapat 555 species rumput laut total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar luas area budidaya rumput laut 1.110.900

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Pada Tabel 2 dijelaskan bahwa pada minggu pertama nilai bobot biomasa rumput laut tertinggi terjadi pada perlakuan aliran air 10 cm/detik, dengan nilai rata-rata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran logam berat merupakan salah satu masalah penting yang sering terjadi di perairan Indonesia, khususnya di perairan yang berada dekat dengan kawasan industri,

Lebih terperinci

Tabel 2 Data hasil pengukuran kekuatan gel. (a) (b)

Tabel 2 Data hasil pengukuran kekuatan gel. (a) (b) 7 Transfer energi pada ekstraksi konvensional tidak terjadi secara langsung, diawali dengan pemanasan pada dinding gelas, pelarut, selanjutnya pada material. Sedangkan pada pemanasan mikrogelombang, pemanasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk I. PENDAHULUAN Eucheuma cottonii merupakan salah satunya jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena mengandung karaginan yang berupa fraksi Kappa-karaginan. Rumput

Lebih terperinci

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat Kualitas pektin dapat dilihat dari efektivitas proses ekstraksi dan kemampuannya membentuk gel pada saat direhidrasi. Pektin dapat membentuk gel dengan baik apabila pektin tersebut memiliki berat molekul,

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Eucheuma cottonii

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Eucheuma cottonii 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Eucheuma cottonii Menurut Doty (1985), Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena

Lebih terperinci

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line Standar Nasional Indonesia Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 37 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Informasi Geografis Desa Teluk Bogam Kondisi geografis desa Teluk Bogam terletak di daerah pantai, dengan posisi desa berjarak ± 50 km dari kota kecamatan dengan luas wilayah

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Eucheuma cottonii (http://www.actsinc.biz/seaweed.html).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Eucheuma cottonii (http://www.actsinc.biz/seaweed.html). 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Eucheuma cottonii Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi phycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Cair Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran berupa zat atau bahan yang dianggap tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 12 bulan, mulai Agustus 2007 sampai Agustus 2008, yang terdiri dari dua tahap, yaitu penelitian lapangan dan dilanjutkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme :

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme : TANAH Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah Hubungan tanah dan organisme : Bagian atas lapisan kerak bumi yang mengalami penghawaan dan dipengaruhi oleh tumbuhan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian

MATERI DAN METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian II. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jaring, bambu, pelampung, hand refraktometer,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 15 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik sludge 4.1.1. Sludge TPA Bantar Gebang Sludge TPA Bantar Gebang memiliki kadar C yang cukup tinggi yaitu sebesar 10.92% dengan kadar abu sebesar 61.5%.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Tanah Awal Data hasil analisis tanah awal disajikan pada Tabel Lampiran 2. Berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia dan Fisika Tanah PPT (1983) yang disajikan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan yaitu Sargassum polycystum, akuades KOH 2%, KOH 10%, NaOH 0,5%, HCl 0,5%, HCl 5%,

Lebih terperinci

KLASIFIKASI MINERAL. Makro : Kebutuhan minimal 100 mg/hari utk orang dewasa Ex. Na, Cl, Ca, P, Mg, S

KLASIFIKASI MINERAL. Makro : Kebutuhan minimal 100 mg/hari utk orang dewasa Ex. Na, Cl, Ca, P, Mg, S ANALISIS KADAR ABU ABU Residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari bahan menunjukkan : Kadar mineral Kemurnian Kebersihan suatu bahan yang dihasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah yang sangat krusial bagi negara maju dan sedang berkembang. Terjadinya

I. PENDAHULUAN. masalah yang sangat krusial bagi negara maju dan sedang berkembang. Terjadinya I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas di berbagai sektor pembangunan, terutama pada sektor industri, maka masalah pencemaran lingkungan menjadi masalah yang sangat

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Tulabolo adalah bagian dari wilayah Kecamatan Suwawa Timur,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Tulabolo adalah bagian dari wilayah Kecamatan Suwawa Timur, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1) Desa Tulabolo Desa Tulabolo adalah bagian dari wilayah Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Boalngo, Provinsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga Sifat kimia dan fisik Latosol Darmaga yang digunakan dalam percobaan ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat Kimia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.) Cangkang kijing lokal yang diperoleh dari danau Teratai yang terdapat di Kec. Mananggu Kab. Boalemo

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ALKALI TREATED COTTONII (ATC) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI KONSENTRASI KOH, LAMA PEMASAKAN DAN SUHU PEMANASAN OLEH :

KARAKTERISTIK ALKALI TREATED COTTONII (ATC) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI KONSENTRASI KOH, LAMA PEMASAKAN DAN SUHU PEMANASAN OLEH : KARAKTERISTIK ALKALI TREATED COTTONII (ATC) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI KONSENTRASI KOH, LAMA PEMASAKAN DAN SUHU PEMANASAN OLEH : AMRY MUHRAWAN KADIR G 621 08 011 Skripsi Sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia mempunyai visi yang sangat ideal, yakni masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia mempunyai visi yang sangat ideal, yakni masyarakat Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia Sehat 2010 yang telah dicanangkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia mempunyai visi yang sangat ideal, yakni masyarakat Indonesia yang penduduknya

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Bab IV Hasil dan Pembahasan A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Bab IV Hasil dan Pembahasan A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Wilayah pesisir Teluk Kupang cukup luas, agak tertutup dan relatif terlindung dari pengaruh gelombang yang besar karena terhalang oleh Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi. Air digunakan hampir di setiap aktivitas makhluk hidup. Bagi manusia, air

Lebih terperinci

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Ekstraksi Tepung Karaginan Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : 1. Sortasi dan Penimbangan Proses sortasi ini bertujuan untuk memisahkan

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara dan merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan dan kemudian ditimbang. Penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Rumus untuk perhitungan TSS adalah sebagai berikut: TSS = bobot residu pada kertas saring volume contoh Pengukuran absorbans

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indra Sukarno Putra, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indra Sukarno Putra, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan terhadap produk pertanian semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Bahan pangan yang tersedia harus mencukupi kebutuhan masyarakat.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata Dekstruksi Basah Lampiran 1. Lanjutan Penyaringan Sampel Air Sampel Setelah Diarangkan (Dekstruksi Kering) Lampiran 1. Lanjutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah

Lebih terperinci

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang beratnya lebih dari 5g, untuk setiap cm 3 -nya. Delapan puluh jenis dari 109 unsur kimia yang

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM UKM. Pulau Pasaran SKALA 1:

4 KEADAAN UMUM UKM. Pulau Pasaran SKALA 1: 29 4 KEADAAN UMUM UKM 4.1 Lokasi dan Keadaan Umum Pengolah Unit Pengolahan ikan teri nasi setengah kering berlokasi di Pulau Pasaran, Lingkungan 2, Kelurahan Kota Karang, Kecamatan Teluk Betung Barat,

Lebih terperinci

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO Pendahuluan Perkembangan perekonomian NTT tidak dapat hanya digerakkan oleh kegiatan perekonomian di Kota Kupang saja. Hal tersebut mengindikasikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Kimia Abu Terbang PLTU Suralaya Abu terbang segar yang baru diambil dari ESP (Electrostatic Precipitator) memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan

Lebih terperinci

4.1. Penentuan Konsentrasi Gel Pektin dalam Cookies

4.1. Penentuan Konsentrasi Gel Pektin dalam Cookies 4. PEMBAHASAN Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah buah jeruk keprok Malang yang masih mentah. Hal ini disebabkan karena pada buah yang belum matang lamella belum mengalami perubahan struktur

Lebih terperinci

Pemurnian Agarose dari Agar-agar dengan Menggunakan Propilen Glikol

Pemurnian Agarose dari Agar-agar dengan Menggunakan Propilen Glikol Pemurnian Agarose dari Agar-agar dengan Menggunakan Propilen Glikol Heri Purwoto ), Siti Gustini ) dan Sri Istini ),) BPP Teknologi, Jl. MH. Thamrin 8, Jakarta ) Institut Pertanian Bogor, Bogor e-mail:

Lebih terperinci

TARIF LINGKUP AKREDITASI

TARIF LINGKUP AKREDITASI TARIF LINGKUP AKREDITASI LABORATORIUM BARISTAND INDUSTRI PALEMBANG BIDANG PENGUJIAN KIMIA/FISIKA TERAKREDITASI TANGGAL 26 MEI 2011 MASA BERLAKU 22 AGUSTUS 2013 S/D 25 MEI 2015 Bahan Atau Produk Pangan

Lebih terperinci

Gambar di bawah ini memperlihatkan bentuk rumput laut segar yang baru dipanen (a. Gracillaria, b. Kappaphycus, c. Sargassum) Rumput laut segar

Gambar di bawah ini memperlihatkan bentuk rumput laut segar yang baru dipanen (a. Gracillaria, b. Kappaphycus, c. Sargassum) Rumput laut segar Gambar di bawah ini memperlihatkan bentuk rumput laut segar yang baru dipanen (a. Gracillaria, b. Kappaphycus, c. Sargassum) a. www.aquaportail.com b. Dok. Pribadi c. Mandegani et.al (2016) Rumput laut

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KAPPA KARAGINAN DARI Kappaphycus alvarezii PADA BERBAGAI UMUR PANEN

KARAKTERISTIK KAPPA KARAGINAN DARI Kappaphycus alvarezii PADA BERBAGAI UMUR PANEN KOMUNIKASI RINGKAS KARAKTERISTIK KAPPA KARAGINAN DARI Kappaphycus alvarezii PADA BERBAGAI UMUR PANEN Characteristics of Kappa Carrageenan from Kappaphycus alvarezii at Different Harvesting Times Max Robinson

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut 1 1. PENDAHULUAN Rumput laut atau yang biasa disebut seaweed tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Sargassum talusnya berwarna coklat, berukuran besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Organik Asal Hasil analisis ph, KTK, kadar air, padatan terlarut (TSS), C-organik, N- total dan C/N pada bahan serasah pinus (SP), gambut kering (GK),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan sebagai provinsi baru sesuai Undang - Undang No. 27 tahun 2000 tanggal 4 Desember 2000. Wilayah provinsi ini meliputi Pulau Bangka,

Lebih terperinci

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas Keadaan yang mendekati atau melampaui batas toleransi. Kondisi batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eva Tresnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eva Tresnawati, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan komoditas sayuran bernilai ekonomi yang banyak diusahakan petani setelah cabai dan bawang merah. Kentang selain digunakan sebagai

Lebih terperinci

No. BAK/TBB/SBG201 Revisi : 00 Tgl. 01 Mei 2008 Hal 1 dari 8 Semester I BAB I Prodi PT Boga BAB I MATERI

No. BAK/TBB/SBG201 Revisi : 00 Tgl. 01 Mei 2008 Hal 1 dari 8 Semester I BAB I Prodi PT Boga BAB I MATERI No. BAK/TBB/SBG201 Revisi : 00 Tgl. 01 Mei 2008 Hal 1 dari 8 BAB I MATERI Materi adalah sesuatu yang menempati ruang dan mempunyai massa. Materi dapat berupa benda padat, cair, maupun gas. A. Penggolongan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia yang sangat tinggi telah menimbulkan banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan pembangunan, terutama di sektor industri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

MODUL 2-1 NUTRISI MINERAL TUMBUHAN

MODUL 2-1 NUTRISI MINERAL TUMBUHAN MODUL 2-1 NUTRISI MINERAL TUMBUHAN Elemen esensial: Fungsi, absorbsi dari tanah oleh akar, mobilitas, dan defisiensi Oleh : Retno Mastuti 1 N u t r i s i M i n e r a l Jurusan Biologi, FMIPA Universitas

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan laut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

AD1. FAKTOR IKLIM 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3. FAKTOR SPESIES 4. FAKTOR MANAJEMEN/PENGELOLAAN 1. RADIASI SINAR MATAHARI

AD1. FAKTOR IKLIM 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3. FAKTOR SPESIES 4. FAKTOR MANAJEMEN/PENGELOLAAN 1. RADIASI SINAR MATAHARI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HMT FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN KUALITAS HMT ADALAH : 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2004). Menurut Palar (1994) pencemaran adalah suatu kondisi yang telah

BAB I PENDAHULUAN. 2004). Menurut Palar (1994) pencemaran adalah suatu kondisi yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan sering tercemar oleh berbagai komponen anorganik. Limbah anorganik menurut Mukhtasor (2007) merupakan bahan yang tidak dapat terurai atau termasuk dalam senyawa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daya Dukung Penentuan carrying capacity dalam lingkungan dapat didekati secara biologi dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan konsep ekologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) merupakan tanaman perdu dan berakar tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya. Tomat

Lebih terperinci

Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kappaphycus alvarezii

Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kappaphycus alvarezii 3 Kerangka Pemikiran Penempatan posisi tanam pada kedalaman yang tepat dapat meningkatkan produksi rumput laut dan kualitas kandungan karaginan rumput laut. Untuk lebih jelas, kerangka pemikiran penelitian

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 200 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan)

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) 4. PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) Karakteristik mekanik yang dimaksud adalah kuat tarik dan pemanjangan

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan terukur yang melebihi 0,1 mg/l tersebut dikarenakan sifat ortofosfat yang cenderung mengendap dan membentuk sedimen, sehingga pada saat pengambilan sampel air di bagian dasar ada kemungkinan sebagian material

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pupuk Pupuk didefinisikan sebagai material yang ditambahkan ke tanah dengan tujuan untuk melengkapi ketersediaan unsur hara. Bahan pupuk yang paling awal digunakan adalah kotoran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pupuk didefinisikan sebagai material yang ditambahkan ketanah atau tajuk tanaman dengan tujuan untuk melengkapi ketersediaan unsur hara. Bahan pupuk yang paling awal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km2 atau

Lebih terperinci

BAB IV BAHAN AIR UNTUK CAMPURAN BETON

BAB IV BAHAN AIR UNTUK CAMPURAN BETON BAB IV BAHAN AIR UNTUK CAMPURAN BETON Air merupakan salah satu bahan pokok dalam proses pembuatan beton, peranan air sebagai bahan untuk membuat beton dapat menentukan mutu campuran beton. 4.1 Persyaratan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting dalam peningkatan gizi masyarakat Indonesia. Hal tersebut didasarkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar Hasil Uji t antara Kontrol dengan Tingkat Kematangan Buah Uji t digunakan untuk membandingkan

Lebih terperinci