IDENTIFIKASI KERAGAMAN DNA MIKROSATELIT LOKUS CSSM066, ILSTS029 DAN ILSTS061 PADA SAPI KATINGAN DI KALIMANTAN TENGAH SKRIPSI REVY PURWANTI

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

MATERI DAN METODE. Materi

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

KERAGAMAN DNA MIKROSATELIT LOKUS ILSTS073, ILSTS030 DAN HEL013 PADA SAPI KATINGAN DI KALIMANTAN TENGAH SKRIPSI RAHMAH MUTHMAINNAH

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Materi

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah.

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

PENDAHULUAN Latar Belakang

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

MATERI DAN METODE. Materi

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis),

PENDAHULUAN Latar Belakang

EKSPLORASI GEN GROWTH HORMONE EXON 3 PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE), SAANEN DAN PESA MELALUI TEKNIK PCR-SSCP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

METODOLOGI PENELITIAN

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di

The Origin of Madura Cattle

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. dua lembar plastik transparansi dan semua sisinya direkatkan hingga rapat.

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD)

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

BIO306. Prinsip Bioteknologi

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dari empat primer yang

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Kualitas DNA

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi

Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN

SKRIPSI. ANALISIS POPULASI GENETIK PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack) BERDASARKAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN -KASEIN (CSN2) PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH, SAANEN DAN PERSILANGANNYA DENGAN METODE PCR-SSCP

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Terisi secara geografis terletak pada 108 o o 17 bujur

20,0 ml, dan H 2 O sampai 100ml. : Tris 9,15 gram; HCl 3ml, dan H 2 O sampai 100ml. : ammonium persulfat dan 0,2 gram H 2 O sampai 100ml.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur

Karakteristik Lokus Mikrosatelit D10s1432 pada Populasi Monyet Ekor Panjang Di Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. murni yang masih sedikit dan wawasan peternak masih sangat minim dalam

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

IDENTIFIKASI TINGKAT KEMURNIAN GENETIK SAPI BALI DI KABUPATEN BONE DENGAN MENGGUNAKAN MARKER MIKROSATELIT LOKUS INRA035

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

3. METODE PENELITIAN

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN FOLLICLE STIMULATING HORMONE RECEPTOR (FSHR Alu-1) PADA SAPI LOKAL INDONESIA DENGAN TEKNIK PCR-RFLP

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR

II. BAHAN DAN METODE

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

Polimorfisme Lokus Mikrosatelit RM185 Sapi Bali di Nusa Penida

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.

RAGAM ALEL KELAPA PUDAK, PADMA, BLULUK DAN BUNGA DI KECAMATAN MANGGIS, KARANGASEM, BALI BERDASARKAN PENANDA DNA MIKROSATELIT

IMPLIKASI GENETIK SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) PADA JENIS

Transkripsi:

IDENTIFIKASI KERAGAMAN DNA MIKROSATELIT LOKUS CSSM066, ILSTS029 DAN ILSTS061 PADA SAPI KATINGAN DI KALIMANTAN TENGAH SKRIPSI REVY PURWANTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

RINGKASAN REVY PURWANTI. 2011. Identifikasi Keragaman DNA Mikrosatelit Lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc Pembimbing Anggota : Dr. Jakaria, S.Pt. M.Si Sapi Katingan adalah salah satu ternak sapi yang hidup di Kalimantan Tengah yang hanya dipelihara oleh suku Dayak dan umumnya dipelihara di sepanjang aliran sungai Katingan. Sapi Katingan masih sangat terbatas informasi data dasar khususnya data DNA mikrosatelit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman DNA mikrosatelit lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Sampel darah yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 70 sampel yang berasal dari dari tiga sub populasi yaitu sub populasi Pendahara 26 sampel, Buntut Bali 13 sampel dan Tumbang Lahang 31 sampel. Amplifikasi DNA dilakukan dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) kemudian dielektroforesis menggunakan gel poliakrilamid 6% dan dilanjutkan dengan pewarnaan perak. Data dianalisis menggunakan frekuensi alel, frekuensi genotipe, derajat heterozigositas dan pohon genetik. Lokus CSSM066 menghasilkan 9 alel dengan macam alel E, F, G, I, J, K, M, L dan O dengan panjang alel 168-188 bp. Frekuensi alel tertinggi adalah alel G (0.385) pada sub populasi Buntut Bali dan terendah adalah alel O (0.017) pada sub populasi Tumbang Lahang. Frekuensi genotipe tertinggi adalah GG (0.385) pada sub populasi Buntut Bali. Lokus ILSTS029 menghasilkan 16 alel dengan macam alel F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, R, T, U, E, P dan V dengan panjang alel 159-180 bp. Frekuensi alel tertinggi adalah alel L (0.333) pada sub populasi Buntut Bali dan terendah adalah alel H, P dan V (0.017) pada sub populasi Tumbang Lahang. Frekuensi genotipe tertinggi yaitu JL (0.333) pada sub populasi Buntut Bali. Lokus ILSTS061 menghasilkan 14 alel dengan macam alel D, E, F, G, H, I, K, L, M, N, O, C, B dan P dengan panjang alel 136-164 bp. Frekuensi alel tertinggi adalah alel G (0.308) pada sub populasi Buntut Bali dan terendah adalah alel G dan I (0.021) pada sub populasi Pendahara. Frekuensi genotipe tertinggi yaitu GG (0.308) pada sub populasi Buntut Bali. Nilai heterozigositas tertinggi pada penelitian ini adalah sebesar ĥ=0.7333 pada sub populasi Tumbang Lahang lokus ILSTS029, sedangkan yang terendah sebesar ĥ=0.0000 pada sub populasi Pendahara lokus CSSM066. Nilai rataan heterozigositas tertinggi ditemukan pada lokus ILSTS029 (Ĥ=0.6558) dan terendah pada lokus CSSM066 (Ĥ=0.1692). Kata-kata kunci : Sapi Katingan, DNA mikrosatelit, keragaman genetik

ABSTRACT Identification Polymorphism of CSSM066, ILSTS029 and ILSTS061 Microsatellite DNA Loci on Katingan Cattle in Central Kalimantan Purwanti, R., C. Sumantri, and Jakaria The objective of this study was to identify the polymorphism of CSSM066, ILSTS029 and ILSTS061 microsatellite DNA loci on Katingan cattle in Central Kalimantan. The blood samples used in this study was 70 samples originated from the three sub populations of Pendahara sub populations (26 samples), Buntut Bali (13 samples) and Tumbang Lahang (31 samples). DNA amplification was done by using Polymerase Chain Reaction (PCR) then electrophoresed using 6% polyacrylamide gel followed by silver staining. Data were analyzed using allele frequency, genotype frequency, degree of heterozygosity and genetic tree. The result showed that CSSM066, ILSTS029 and ILSTS061 microsatellite DNA loci were high polymorphisms. CSSM066 locus had 9 alleles with a length of 168-188 bp allele. The highest allele frequency was allele G (0.385) in Buntut Bali sub populations and the lowest allele O (0.017) in Tumbang Lahang sub populations. ILSTS029 locus had 16 alleles with a length of 159-180 bp allele. The highest allele frequency was allele L (0.333) in Buntut Bali sub populations and lowest allele H, P and V (0.017) in Tumbang Lahang sub populations. ILSTS061 locus had 14 alleles with a length of 136-164 bp allele. The highest allele frequency was allele G (0.308) in Buntut Bali sub populations and the lowest is allele G and I (0.021) in Pendahara sub populations. The highest heterozygosity values was found in Tumbang Lahang sub population (ĥ=0.7333) ILSTS029 locus and lowest in Pendahara sub population (ĥ=0.0000) for CSSM066 locus. The highest heterozigosity average was found (Ĥ=0.6558) in ILSTS029 locus and the lowest (Ĥ=0.1692) in CSSM066 locus. Keywords: Katingan cattle, microsatellite DNA, genetic diversity

IDENTIFIKASI KERAGAMAN DNA MIKROSATELIT LOKUS CSSM066, ILSTS029 DAN ILSTS061 PADA SAPI KATINGAN DI KALIMANTAN TENGAH REVY PURWANTI D14070008 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Judul Nama NIM : Identifikasi DNA Mikrosatelit Lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah : Revy Purwanti : D14070008 Menyetujui, Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota, (Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) (Dr. Jakaria, S.Pt. M.Si) NIP: 19591212 198603 1 004 NIP. 19660105 199303 1 001 Mengetahui: Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004 Tanggal Ujian : 1 April 2011 Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Juni 1988 di Kuantan Singingi Riau. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Bahtiar dan Ibu Mardiati. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SD Negeri 015 Pasar Gunung, Gunung Toar, Kuantan Singingi. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP N 1 Gunung Toar, Kuantan Singingi dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2007 di SMA N 1 Teluk Kuantan, Kuantan Singingi, Riau. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Peternakan IPB periode 2008-2009, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan IPB periode 2009-2010 dan Organisasi Mahasiswa Daerah Riau (IKPMR).

KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa dipersembahkan ke hadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan hidayahnya kepada penulis sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi yang berjudul Identifikasi Keragaman DNA Mikrosatelit Lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sapi Katingan merupakan salah satu jenis sapi yang hidup di Kalimantan Tengah. Sapi ini dipelihara oleh masyarakat Dayak saja secara ektensif di sepanjang aliran sungai Katingan. Sapi Katingan berpotensi sebagai penghasil daging yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Peningkatan potensi tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas ternak melalui pemanfaatan teknologi reproduksi dan teknologi DNA. Salah satu teknologi DNA yang digunakan untuk mengidentifikasi keragaman DNA adalah marker atau penciri DNA mikrosatelit. Penciri DNA mikrosatelit yang digunakan untuk studi keragaman pada penelitian ini adalah lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061. Bogor, April 2011 Penulis

DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... LEMBAR PERNYATAAN... LEMBAR PENGESAHAN... RIWAYAT HIDUP... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Sapi Lokal Indonesia... 3 Sapi Katingan... 4 Keragaman Genetik... 8 Penanda Genetik... 9 DNA Mikrosatelit... 10 Kegunaan DNA Mikrosatelit... 10 METODE... 12 Lokasi dan waktu... 12 Materi... 12 Sampel Darah Sapi Katingan... 12 Ekstraksi DNA... 13 Primer... 13 Amplifikasi DNA... 13 Polyacrilamide Gel Electrophoresis (PAGE)... 13 Pewarnaan Perak... 13 Prosedur... 14 Pengambilan Sampel Darah... 14 Ekstraksi DNA... 14 Amplifikasi DNA... 14 Elektroforesis DNA... 14 Pewarnaan Perak... 14 i ii iii iv v vi vii ix x xi

Analisis Data... 15 Frekuensi Alel... 15 Frekuensi Genotipe... 15 Derajat Heterozigositas... 16 Jarak Genetik dan Pohon Genetik... 16 HASIL DAN PEMBAHASAN... 17 Amplifikasi DNA Mikrosatelit... 17 Keragaman DNA Mikrosatelit... 21 Lokus CSSM066... 21 Lokus ILSTS029... 24 Lokus ILSTS061... 27 Derajat Heterozigositas... 31 Jarak Genetik... 33 KESIMPULAN DAN SARAN... 34 Kesimpulan... 34 Saran... 34 UCAPAN TERIMAKASIH... 35 DAFTAR PUSTAKA... 36 LAMPIRAN... 40 viii

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Raataan dan Simpangan Baku Bobot Badan Sapi Katingan Dewasa Berdasarkan Lokasi dan Jenis Kelamin... 5 2. Informasi Primer Mikrosatelit Lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061... 13 3. Jenis dan Ukuran Alel Lokus CSSM066 pada Sapi Katingan... 22 4. Jenis dan Ukuran Alel Lokus ILSTS029 pada Sapi Katingan... 25 5. Jenis dan Ukuran Alel Lokus ILSTS061 pada Sapi Katingan... 28 6. Jumlah Alel pada Berbagai Sapi dan Persilangannya... 30 7. Derajat Heterozigositas Sub Populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang... 32

Nomor DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Variasi Tonjolan di Kepala Sapi Katingan Betina... 6 2. Keragaman Bentuk Tanduk Sapi Katingan Betina... 6 3. Keragaman Bentuk Tanduk Sapi Katingan Jantan... 6 4. Variasi Warna Bulu Mata dan Teracak Sapi Katingan Betina... 7 5. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Betina... 7 6. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Jantan... 8 7. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Sapi Katingan... 12 8. Pola Pita Lokus CSSM066... 19 9. Rekonstruksi Pita Lokus CSSM066... 19 10. Pola Pita Lokus ILSTS029... 19 11. Rekonstruksi Pita Lokus ILSTS029... 20 12. Pola Pita Lokus ILSTS061... 20 13. Rekonstruksi Pita Lokus ILSTS061... 20 14. Distribusi Frekuensi Alel Lokus CSSM066... 23 15. Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS029... 26 16. Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS061... 29 17. Pohon Genetik Sapi Katingan Sub Populasi Pendahara, Buntut Bali dan Pendahara... 33

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Informasi Lokus CSSM066... 41 2. Informasi Lokus ILSTS061... 41 3. Informasi Lokus ILSTS029... 41

PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging terbesar kelima setelah ayam ras pedaging, ayam buras, ayam ras petelur dan itik di Indonesia. Badan Pusat Statistik (2009) menyatakan bahwa jumlah populasi ayam ras pedaging, ayam buras, ayam ras petelur, itik dan sapi potong di Indonesia masing-masing yaitu 991.281.000, 249.964.000, 99.768.000, 42.318.000 dan 12.760.000 ekor pada tahun 2009. Jumlah populasi tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi daging dalam negeri. Jumlah populasi sapi potong di Indonesia meningkat seiring meningkatnya permintaan konsumsi masyarakat. Indonesia memiliki sumberdaya genetik ternak lokal yang cukup berlimpah, salah satunya adalah ternak sapi. Jenis-jenis sapi lokal Indonesia adalah sapi Bali, sapi Pesisir, sapi Aceh, sapi Madura dan sapi Peranakan Ongole (PO). Sapi-sapi lokal Indoensia masih belum dapat memenuhi kebutuhan daging masyarakat Indonesia, oleh karena itu banyak ternak sapi yang didatangkan dari luar negeri ke Indonesia. Sapi-sapi lokal Indonesia ini memiiki beberapa keunggulan dibandingkan dengan sapi-sapi yang didatangkan dari luar negeri, seperti dapat bertahan hidup pada lingkungan yang ekstrim, tahan terhadap penyakit dan memiliki produktivitas yang tinggi. Salah satu ternak sapi yang ditemukan di Indonesia adalah sapi Katingan di Kalimantan Tengah. Sapi Katingan adalah salah satu ternak sapi yang hidup di Kalimantan Tengah yang sebagian besar dipelihara oleh suku Dayak asli dan umumnya dipelihara di sepanjang aliran sungai Katingan. Pemberian nama sapi Katingan disebabkan sapi Katingan dibudidayakan secara ekstensif dalam bentuk kelompok di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Katingan. Keunggulan sapi Katingan adalah dapat beradaptasi dengan lingkungan setempat yang asam dan miskin mineral, mempunyai produktivitas yang cukup baik pada kondisi pemeliharaan ekstensif tradisional, relatif tahan terhadap berbagai macam penyakit dan parasit serta mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi (Adrial, 2010). Keberadaan sapi Katingan sudah ratusan tahun dan merupakan sumber daya genetik ternak seperti halnya sapi lokal lain di Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Tidak seperti sapi lokal lainnya, sapi Katingan masih sangat terbatas data dan belum banyak informasi

bahkan belum ada data tentang populasi, reproduksi, serta produktivitas sehingga hal ini penting dilakukan untuk upaya pengembangan sapi Katingan ke depannya. Keragaman genetik sapi Katingan dapat dideteksi menggunakan DNA mikrosatelit. DNA mikrosatelit pada dasarnya adalah DNA bukan gen dan disebut juga sebagai short tandem repeats (STRs) yang merupakan runutan DNA pendek berulang dengan panjang basa antara 1-5 nukleotida pasang basa (bp) serta memiliki panjang total sekitar 10-100 bp (Bennet, 2000). DNA mikrosatelit dapat digunakan untuk mendeteksi polimorfisme dan analisis genom sehingga banyak digunakan karena memiliki beberapa keuntungan, antara lain karena jumlahnya yang sangat berlimpah di dalam genom, memiliki informasi keragaman yang tinggi dan dapat dilakukan dengan mudah dengan mengamplifikasi mengunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman DNA mikrosatelit lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada sapi Katingan di Kalimantan Tengah. 2

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah sapi Bali. Sapi Bali sangat dipercaya sebagai salah satu sapi lokal Indonesia yang diperoleh dari hasil domestikasi Banteng (Namikawa, 1980). Selain sapi Bali, jenis sapi Zebu juga banyak diintroduksi ke Indonesia. Hal ini menjadikan variasi genetik yang cukup besar pada sapi-sapi lokal Indonesia. Sapi merupakan salah satu jenis ternak di Indonesia yang memiliki potensi genetik yang besar terutama sebagai ternak penghasil daging. Keberadaan sapi lokal Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini masih kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah maupun masyarakat. Padahal dilihat dari potensi yang dimiliki, sapi lokal Indonesia lebih mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan setempat maupun secara sosial dan budaya telah lama berinteraksi dengan masyarakat (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008). Bangsa-bangsa sapi yang ada di dunia terbentuk dengan proses yang panjang melalui seleksi baik secara alami maupun buatan. Bangsa sapi di seleksi untuk ketahanan terhadap lingkungan dan kebutuhan manusia. Namun, sapi-sapi lokal Indonesia justru memiliki banyak kombinasi gen dan karakter spesifik untuk adaptasi terhadap berbagai kondisi, seperti ketahanan terhadap penyakit, adaptasi terhadap kondisi pakan terbatas atau kualitas pakan yang rendah dan sebagainya. Namun, karena tidak adanya perhatian serius, maka bangsa sapi lokal ini terancam punah (Maudet et al., 2002). Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya (Tanari, 2001). Klasifikasi zoologi sapi termasuk ke dalam filum Chordata (hewan yang memiliki tulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Artiodactil (berkuku atau berteracak genap), sub ordo Ruminantia (pemamah biak), famili Bovidae (tanduknya berongga) dan genus Bos (pemamah biak berkaki empat). Spesiesnya terbagi dua, yaitu Bos taurus (sebagian

besar bangsa sapi yang ada) dan Bos indicus (sapi-sapi yang memiliki punuk) (Blakely dan Bade, 1992). Sumberdaya ternak sapi di Indonesia saat ini terdiri dari tiga kelompok, yakni: (1) ternak asli, (2) ternak impor dan (3) ternak yang telah beradaptasi. Sehubungan dengan pentingnya nilai konservasi pada kelompok hewan ternak, maka beberapa bangsa sapi ini menjadi target konservasi sekaligus pemanfaatannya (Utoyo, 2002). Beberapa diantara sumberdaya ternak sapi tersebut adalah sapi Aceh, sapi Madura, sapi Pesisir dan sapi Peranakan Ongole. Keanekaragaman sapi di Indonesia terbentuk dari sumberdaya genetik asli dan impor (Utoyo, 2002). Sapi Katingan Kalimantan memiliki salah satu kabupaten yaitu Kabupaten Katingan. Kabupaten Katingan memiliki sapi lokal yang oleh masyarakat setempat (suku Dayak) dinamakan sapi Katingan. Nama Katingan ini sesuai dengan nama dimana sapi tersebut banyak ditemukan yaitu di sepanjang daerah aliran sungai Katingan. Dengan kata lain sapi lokal Kalimantan Tengah belum memiliki nama, namun beberapa orang menyebut sesuai dengan nama Daerah Aliran Sungai (DAS) dimana sapi tersebut hidup. Sapi-sapi tersebut sebagian besar dipelihara oleh masyarakat setempat (suku Dayak). Asal usul sapi lokal Kalimantan Tengah sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Sapi-sapi tersebut dipelihara secara ekstensif di padang pengembalaan yang relatif luas dalam bentuk ranch-ranch. Keberadaan sapi sudah puluhan tahun dan sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya yang lahannya tergolong asam dan miskin mineral. Pengembangan sapi Katingan mengalami beberapa hambatan, salah satunya adalah masih sedikitnya informasi, terutama data dasar tentang sistim produksi dan reproduksi, keadaan lingkungan, daya tampung lahan dan keterampilan petani yang mengelola. Sapi lokal Kalimantan Tengah memiliki potensi besar sebagai ternak potong, karena sapi ini mampu beradaptasi dengan lingkungan Kalimantan Tengah yang asam dan miskin mineral, mempunyai produktivitas yang cukup baik pada kondisi pemeliharaan ekstensif tradisional, relatif tahan terhadap berbagai macam penyakit dan parasit serta mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi, sayangnya potensi ini belum termanfaatkan secara optimal. Dengan keunggulan yang dimiliki oleh sapi lokal Kalimantan Tengah 4

memungkinkan sapi ini untuk dikembangkan di segenap penjuru Kalimantan Tengah yang sangat luas, sehingga tidak ada lagi lahan terlantar yang tidak termanfaatkan (Adrial, 2010). Data tentang sapi Katingan baik dari pemerintah daerah Kalimantan Tengah maupun nasional belum ada, tetapi ada beberapa data tentang sapi Katingan yang merupakan hasil penelitian Utomo et al. (2010) mengenai keragaman morfometrik dan fenotipik sapi Katingan sebagai sapi lokal Kalimantan Tengah. Data yang diperoleh tersebut yaitu data bobot badan, warna bulu, bentuk tanduk, varasi warna, warna bulu mata dan warna teracak. Hasil pengukuran bobot badan sapi Katingan di Kalimantan Tengah dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan dan Simpangan Baku Bobot Badan Sapi Katingan Dewasa Berdasarkan Lokasi dan Jenis Kelamin Sub populasi Betina Jantan... (Kg) Pendahara 208.9 ± 21.3 250.5 ± 106.0 Buntut Bali 201.8 ± 26.6 299.9 ± 86.1 Tumbang Lahang 217.1 ± 23.0 261.1 ± 20.5 Sumber: Utomo et al. (2010) Ukuran tubuh dewasa sapi Katingan jantan tidak selalu lebih besar dibandingkan dengan sapi betina, demikian pula sebaliknya. Sapi jantan maupun sapi betina mempunyai gumba yang cukup jelas terlihat. Perbedaan sapi Katingan di Kalimantan Tengah dengan sapi lokal lainnya di Indonesia adalah pada sapi betina dewasa, yaitu bentuk tanduk yang sebagian besar melengkung ke depan (Gambar 2) sedangkan pada sapi Katingan jantan bentuk tanduk tumbuh normal seperti umumnya sapi lokal yang lain, yaitu ke samping atas (Gambar 3). Dijumpai adanya tonjolan pada kepala bagian atas diantara dua tanduk. Tonjolan hanya ditemukan pada sapi betina. Variasi tonjolan dikepala sapi Katingan hanya ada pada sapi Katingan betina saja yang dapat dilihat pada Gambar 1. 5

Sumber : Utomo et al. (2010) Gambar 1. Variasi Tonjolan di Kepala Sapi Katingan Betina Sumber : Utomo et al. (2010) Gambar 2. Keragaman Bentuk Tanduk Sapi Katingan Betina Sumber : Utomo et al. (2010) Gambar 3. Keragaman Bentuk Tanduk Sapi Katingan Jantan 6

Warna bulu mata sapi Katingan bervariasi, ada yang berwarna hitam, coklat kemerahan, coklat keputihan, bahkan ditemukan pula warna putih. Teracak pada sapi Katingan ditemukan dua warna, yaitu warna hitam (dominan) dan warna coklat kemerahan (Gambar 4). Sumber : Utomo et al. (2010) Gambar 4. Variasi Warna Bulu Mata dan Teracak Sapi Katingan Betina Variasi warna bulu sapi Katingan yaitu dari warna putih sampai dengan hitam. Sapi jantan memiliki delapan variasi warna dan sapi betina memiliki sembilan variasi warna. Variasi warna sapi jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6. Sumber : Utomo et al. (2010) Gambar 5. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Betina 7

Sumber : Utomo et al. (2010) Gambar 6. Keragaman Warna Bulu Sapi Katingan Jantan Keragaman Genetik Hendrick (2000) menyatakan bahwa keragaman genetik adalah perbedaan antara individu dalam suatu populasi, antara individu dalam populasi yang berbeda dalam spesies yang sama atau dalam spesies yang berbeda. Keragaman genetik dalam suatu populasi banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti seleksi, inbreeding, mutasi dan migrasi. Mutasi dianggap selalu meningkatkan jumlah keragaman genetik, sedangkan migrasi dan inbreeding selalu mengurangi keragaman genetik. Faktor seleksi bisa meningkatkan atau menurunkan keragaman genetik suatu ternak dalam suatu populasi. Bloot et al. (1998) menyatakan bahwa keragaman genetik sangat penting baik pada studi populasi maupun evolusi. Mempertahankan keanekaragaman genetik berarti mempertahankan bangsa-bangsa dalam populasi yang mempunyai sifat khusus dan apabila semua hewan seragam maka keamanan, ketersediaan pangan dan hayati akan terancam punah. Nei (1987) menyatakan bahwa keragaman genetik populasi secara kuantitatif dapat menggunakan lokus polimorfik dan rataan heterozigositas. Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa derajat heterozigositas merupakan rataan persentase lokus heterozigot tiap individu atau rataan persentase individu heterozigot di dalam populasi. 8

Penanda Genetik Penanda genetik dapat diidentifikasi dengan berbagai teknik meliputi teknik Restriction Fragment Length Polymorphisms (RFLP), Random Amplyfied Polymorphism DNA (RAPD), Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP) dan DNA mikrosatelit. Penanda genetik digunakan untuk mengukur respon genetik terhadap seleksi alam dan seleksi buatan (Gomez-Raya et al., 2002) dan untuk mengetahui keragaman genetik. Mikrosatelit merupakan penanda yang bersifat kodominan, sehingga dapat membedakan antara individu-individu homozigot dan heterozigot. Mikrosatelit sangat bermanfaat sebagai penanda DNA karena bersifat kodominan, memliki polimorfisme alel sangat tinggi, cukup mudah dilakukan dan ekonomis dalam pengujiannya (Clisson et al., 2000). PCR-RFLP merupakan salah satu metode analisis lanjutan dari produk PCR. Metode PCR memanfaatkan runutan nukleotida yang bisa dikenali oleh enzim restriksi yang disebut sebagai situs restriksi. Jika situs restriksi mengalami mutasi (meskipun pada satu basa) maka enzim restriksi tidak mampu mengenalinya. Ada tidaknya situs restriksi kemudian dapat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya mutasi. Analisis RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu (Sumantri et al., 2007). PCR-RAPD merupakan salah satu teknik molekuler berupa penggunaan penanda tertentu untuk mempelajari keanekaragaman genetika. Dasar analisis RAPD adalah menggunakan mesin PCR yang mampu mengamplifikasi sekuen DNA secara in vitro yang melibatkan penempelan primer tertentu yang dirancang sesuai dengan kebutuhan. Tiap primer boleh jadi berbeda untuk menelaah keanekaragaman genetik kelompok yang berbeda. Penggunaan teknik RAPD memang memungkinkan untuk mendeteksi polimorfisme fragmen DNA yang diseleksi dengan menggunakan satu primer arbitrasi, terutama karena amplifikasi DNA secara in vitro dapat dilakukan dengan baik dan cepat dengan adanya PCR. PCR-SSCP merupakan metode analisis lebih lanjut yang memanfaatkan produk PCR. Metode PCR-SSCP merupakan metode yang handal dalam mendeteksi adanya mutasi secara cepat (Hayashi, 1991). Asumsi yang mendasari metode analisis SSCP adalah bahwa perubahan yang terjadi 9

pada nukleotida meskipun terjadi hanya pada satu basa, akan mempengaruhi bentuk (conformation) dari fragmen DNA pada kondisi untai tunggal (Bastos et al., 2001). DNA Mikrosatelit Materi genetik (DNA) yang ditemukan pada semua mikroorganisme sebagian besar belum diketahui fungsinya, hanya sebagian kecil (10% dari total DNA) yang diketahui berfungsi sebagai penyandi genetik yang menentukan karakteristik keturunan yang disebut gen, sedangkan 90% sisanya adalah DNA bukan gen seperti mikrosatelit (Moxon dan Will, 1999). DNA bukan gen yang berulang secara berurutan disebut mikrosatelit. Mikrosatelit adalah sekuen DNA genom yang terdiri dari mono-, di-, tri- atau tetra nukleotida motif berulang dalam bentuk kopi berdampingan/tandem (Ashwell et al., 2001). Ulangan nukleotida yang paling sering ditemukan pada mamalia adalah GT/AC (Hoelzel, 1998). Variabilitas mikrosatelit ditunjukkan oleh variasi dalam jumlah pengulangan basa ulangan. Tingkat variabilitas mikrosatelit secara positif berhubungan dengan panjang dari sekuen berulang dan mikrosatelit yang panjangnya kurang dari 20 bp kemungkinannya kurang menunjukkan keragaman (Johansson et al., 1992). Keragaman dari mikrosatelit ini berkaitan dengan ketidakstabilan lokus. Keragaman yang tinggi dari lokus mikrosatelit dihasilkan dari kecepatan mutasi yang tinggi dengan tingkat minimal 10-3 (Jeffreys et al., 1988) atau 10-4 (Levinson dan Gutman, 1987), atau pada kisaran 10-3 -10-5 /lokus/gamet/generasi (Lehman et al., 1996). Jeffreys et al. (1994) menyatakan bahwa mekanisme variasi dalam jumlah kopi ulangan mungkin berbeda dari satu ulangan ke ulangan lain. Kegunaan DNA Mikrosatelit Mikrosatelit merupakan penanda genetik yang sering digunakan untuk mempelajari pautan (linkage), pemetaan, analisis populasi, sistem perkawinan dan struktur populasi (Silva et al., 1999). Mikrosatelit banyak digunakan sebagai penciri genetik karena keberadaannya berlimpah, bersifat kodominan dan kemungkinan polimorfik tinggi (Bennet, 2000). Mikrosatelit juga dapat digunakan dalam keperluan identifikasi individu, keanekaragaman dan struktur populasi, atau mempelajari evolusi dari spesies yang berkerabat (Clisson et al., 2000). Ciampolini et al. (1995) menyatakan bahwa DNA mikrosatelit juga banyak digunakan sebagai penanda 10

molekuler untuk mendukung aktifitas pemuliaan ternak seperti kegiatan dalam identifikasi ternak, penetapan asal usul keturunan dan penggalian sumber-sumber genetik. Penggunaan mikrosatelit sudah banyak digunakan baik di Indonesia maupun di negara lain. Variasi alel mikrosatelit dapat dihitung melalui pemisahan produk PCR secara elektroforesis. Dengan mengidentifikasi pita yang muncul setelah elektroforesis (satu pita untuk homozigot dan dua pita untuk heterozigot) maka genotip suatu individu dapat ditentukan dan frekuensi alel dalam suatu populasi dapat dihitung (Muladno, 2000). Beberapa studi menunjukkan sekuen berulang DNA (mikrosatelit) dapat digunakan untuk mengidentifikasi asal usul individu dari suatu populasi (Edwards et al., 2000). Ciampolini et al. (1995) menyatakan bahwa ada beberapa alel yang memiliki keragaman frekuensi antar bangsa yang sangat tinggi (seperti INRA5 atau INRA32) pada empat bangsa sapi pedaging Italia (Chianina, Marchigiana, Romagnola dan Piementese) dengan menggunakan 17 lokus mikrosatelit. Maskur et al. (2005) menyatakan bahwa marka mikrosatelit selain dapat mengetahui perubahan genetik yang terjadi dalam suatu perkawinan antar ras, lima marker mikrosatelit yaitu INRA037, HEL9, CSSM066, INRA035 dan ETH225 juga memberikan respon yang signifikan terhadap pertambahan bobot hidup harian ternak. Noor et al. (2000) menyatakan bahwa penggunaan marka mikrosatelit sebelumnya juga sudah digunakan untuk meneliti sapi lokal Indonesia lainnya yaitu sapi Bali pada lokus INRA035 yang menemukan dua alel yaitu alel A dan B serta lokus HEL9 yang menemukan satu alel yaitu alel A. 11

METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak Bagian Pemuliaan dan Genetika Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dimulai dari Agustus sampai dengan Desember 2010. Materi Sampel Darah Sapi Katingan Sampel darah yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah yang berasal dari sapi Katingan di Kalimantan Tengah sebanyak 70 ekor yang diperoleh dari tiga sub populasi yaitu sub populasi Pendahara (26 ekor), Buntut Bali (13 ekor) dan Tumbang Lahang (31 ekor) (Lampiran 1), sedangkan lokasi pengambilan sampel sapi Katingan dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Sapi Katingan

Ekstraksi DNA Bahan-bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA adalah DW (destilate water), SDS (sodium deodosil sulfat), proteinase-k, STE (Sodium Tris-EDTA), larutan phenol, CIAA (Chloroform Iso Amil Alkohol), NaCl, ethanol absolute dan TE (Tris EDTA). Primer Primer yang digunakan dalam penelitian ini disajikan secara lengkap pada Tabel 2. Tabel 2. Informasi Primer Mikrosatelit Lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 Lokus Sekuen Primer Annealing ( C) Motif Ulangan Posisi di Kromosom CSSM F-5 cacaaatcctttctgccagctga 3 60 (CA) 16 14 066 R-5 aatttaatgcactgaggagcttgg 3 ILSTS F-5 tgttttgatggaacacagcc 3 60 (CA) 19 3 029 R-5 tggatttagaccagggttgg 3 ILSTS 061 F-5 aaattataggggccatacgg 3 R-5 tggcctaccctaccatttcc 3 60 (CA) 14 15 Sumber : Kathiravan et al. (2009) Amplifikasi DNA Bahan-bahan dalam amplifikasi DNA adalah DW (destilate water), primer, dntps, MgCl, dream taq buffer dan Taq Polymerase. Polyacrilamide Gel Elektrophoresis (PAGE) Bahan-bahan dalam pembuatan PAGE adalah DW (destilate water), larutan akrilamida, larutan 5xTBE (tris boric acid-edta), TEMED (N,N,N,N - tetramethylethylenediamine) dan APS (ammonium peroxodisulfat). Pewarnaan Perak Bahan-bahan dalam pewarnaan perak adalah DW (destilate water), AgNO 3, NaOH, NH 4 OH, formaldehida dan asam asetat. 13

Prosedur Pengambilan Sampel Darah Sapi Katingan dipelihara dengan cara dilepas sehingga agak sulit dalam penanganannya dan pengambilan sampel darah harus seizin pemiliknya. Sapi Katingan yang sudah memperoleh izin dari pemiliknya diambil sampel darahnya melalui vena jugularis menggunakan vaccutainer dan ditambah alkohol dengan perbandingan 1:1 kemudian dibawa ke laboratorium. Ektraksi DNA Ekstraksi DNA dari sampel darah dilakukan dengan menggunakan Metode Phenol yang telah dimodifikasi (Sambrook et al., 1989). Amplifikasi DNA Perbanyakan DNA mikrosatelit menggunakan primer forward dan revearse. Pereaksi yang digunakan untuk mengamplifikasi DNA terdiri atas 9,3 µl DW (destilate water), 0,05 µl primer, 0,1 µl dntps, 0,25 µl MgCl, 1,25 µl buffer dan 0,05 µl Taq Polymerase. Campuran pereaksi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam mesin thermal cycler. Proses amplifikasi terjadi dalam 35 siklus yang terdiri atas tiga tahapan utama yaitu denaturasi pada suhu 94 0 C selama 20 detik, penempelan primer pada suhu 60 0 C selama 30 detik dan pemanjangan pada suhu 72 0 C selama lima menit. Elektroforesis DNA Pengujian produk PCR dilakukan menggunakan gel poliakrilamid 6% dan menggunakan marker 20 bp. Sampel DNA sebanyak 2 µl dicampur dengan loading dye kemudian dimasukkan ke dalam sumur dan dielektroforesis pada tegangan 100 volt selama 1,5 jam dan pada arus 31 ma. Pewarnaan Perak Pewarnaan perak gel poliakrilamid 6% dilakukan dalam nampan yang diawali dengan merendam gel poliakrilamid 6% dalam larutan A (200 ml DW; 0,2 g AgNO 3 ; 80 µl NaOH dan 800 µl ammonia) selama delapan menit. Larutan dibuang dan gel dibilas menggunakan DW 200 ml. Tahap selanjutnya, gel poliakrilamid direndam 14

dalam larutan B (200 µl DW, 6 g NaOH, 200 µl formaldehid). Setelah itu, larutan B dibuang dan gel direndam dalam larutan C (100 ml DW dan asam asetat glasial 1%) untuk menghentikan reduksi perak. Analisis Data Frekuensi Alel Frekuensi alel lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 dihitung dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000): Keterangan : j 1 xi = frekuensi alel ke-i n ij n ii N = jumlah individu untuk genotip ij = jumlah individu untuk genotip ii = jumlah sampel Frekuensi Genotipe Frekuensi Genotipe ditentukan dengan cara membagi jumlah sampel sapi Katingan yang memiliki genotipe tipe tertentu dengan seluruh jumlah sapi pengamatan yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000): Keterangan : xi = frekuensi genotipe ke-i ni = jumlah individu bergenotipe i N = jumlah individu sampel 15

Derajat Heterozigositas Kumar (2000): Derajat heterozigositas ditentukan dengan menggunakan rumus Nei dan Keterangan : h = nilai heterozigositas x i n = frekuensi alel ke-i = jumlah individu Rataan heterozigositas pada setiap lokus dihitung dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000): Keterangan : Ĥ = rataan heterozigositas semua lokus h j r = heterozigositas lokus ke-j = jumlah lokus Jarak Genetik dan Pohon Genetik Jarak genetik dan pohon kekerabatan dibuat dengan menggunakan software POPGENE versi 32 (Nei, 1987). 16

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit Amplifikasi DNA mikrosatelit pada sapi Katingan sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang dianalisa dengan menggunakan tiga primer yaitu CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 (Kathiravan et al., 2009). Penggunaan ketiga lokus tersebut karena memiliki keragaman yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah ulangan nuleotidanya (Tabel 1). Ketiga lokus tersebut dapat mengamplifikasi sampel DNA sapi Katingan dengan baik, namun ada beberapa sampel DNA yang tidak teramplifikasi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh primer yang tidak dapat menempel pada daerah komplemennya sehingga DNA mikrosatelit yang diapit tidak dapat diamplifikasi. Tidak teramplifikasinya beberapa sampel DNA juga bisa disebabkan karena DNA hasil ekstraksi yang kurang bagus atau dikarenakan pencampuran bahan PCR yang tidak sempurna. Suhu annealing adalah suhu yang memungkinkan terjadinya penempelan primer pada DNA cetakan selama proses PCR. Suhu annealing sangat menentukan keberhasilan amplifikasi karena proses perpanjangan DNA dimulai dari primer. Suhu annealing yang digunakan pada penelitian ini untuk lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 adalah 60 C. Suhu annealing pada penelitian ini berbeda dengan yang digunakan oleh Kathiravan et al., (2009) pada kerbau Marathwada yaitu sebesar 55 C. Perbedaan suhu annealing ini kemungkinan disebabkan karena jenis dan bangsa ternak yang berbeda. Lokus CSSM066 dapat mengamplifikasi 65 sampel yaitu 22 sampel dari sub populasi Pendahara, 13 sampel dari sub populasi Buntut Bali dan 30 sampel dari sub populasi Tumbang Lahang. Sampel yang tidak teramplifikasi berjumlah lima sampel yaitu sampel nomor 25, 26, 85, 87 dan 88. Lokus ILSTS029 dapat mengamplifikasi 65 sampel yaitu 23 sampel dari sub populasi Pendahara, 12 sampel dari sub populasi Buntut Bali dan 30 sampel dari sub populasi Tumbang Lahang. Sampel yang tidak teramplifikasi berjumlah lima sampel yaitu sampel nomor 35, 36, 85, 87 dan 88. Lokus ILSTS061 dapat mengamplifikasi 68 sampel yaitu 24 sampel dari sub populasi Pendahara, 13 sampel dari sub populasi Buntut Bali dan 31 sampel dari sub populasi Tumbang Lahang. Sampel yang tidak teramplifikasi berjumlah dua sampel yaitu sampel nomor 87 dan 88. Hasil amplifikasi tersebut menunjukkan bahwa

amplifikasi DNA mikrosatelit setiap sub populasi bersifat polimorfik pada semua lokus. Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa variasi genetik terjadi jika terdapat dua alel atau lebih dalam satu populasi dan biasanya lebih dari 1%. Sampel DNA yang telah diamplifikasi dengan teknik PCR kemudian dilakukan elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid 6% dan dilihat alel yang muncul dengan pewarnaan perak (silver stainning). Hasil pewarnaan perak menunjukkan bahwa primer CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 ada yang menghasilkan dua pita (heterozigot) dan ada yang satu pita (homozigot) (Gambar 2, 3 dan 4). Pola pita homozigot dan heterozigot disebabkan karena individu masingmasing diwarisi alel dari kedua tetuanya. Homozigot berarti alel yang diwarisi dari pejantan dan induk sama sedangkan dikatakan heterozigot jika alel yang diwarisi dari pejantan dan induk berbeda. Penentuan alel berdasarkan pada laju migrasi pada saat elektroforesis. Pita dengan laju migrasi yang sama maka akan homozigot dan pita dengan laju migrasi yang berbeda akan menghasilkan pita yang heterozigot. Hasil pewarnaan perak pada penelitian ini menunjukkan adanya pemunculan pita bukan target. Hal ini disebabkan oleh suhu annealing yang mungkin tidak terlalu sesuai sehingga menyebabkan munculnya pita selain pita target. Poerwanto (1993) menyatakan bahwa konsentrasi enzim yang terlalu tinggi dan jumlah siklus yang berlebih pada proses PCR juga dapat menyebabkan munculnya pita tambahan selain pita target. Hal tersebut dikarenakan enzim yang berlebih menyebabkan amplifikasi bukan hanya pada DNA target, sedangkan enzim yang berlebih menyebabkan kinerja enzim polimerase terganggu karena terlalu lama bekerja. 18

M 24 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 (-) 300 bp 200 bp 180 bp 100 bp KK GG GG GG GK KK GG GG KK GG GG GG (+) Keterangan : M = marker Gambar 8. Pola Pita Lokus CSSM066. GG KK GK Gambar 9. Rekonstruksi Pita Lokus CSSM066 Sampel 300 bp 200 bp 160 bp M 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 (-) 100 bp JL IO JL KK KO KN OO JJ JJ JO LL (+) Keterangan : M = marker Gambar 10. Pola Pita Lokus ILSTS029 19

IO JL KK KO KN JJ JO LL OO Gambar 11. Rekonstruksi Pita Lokus ILSTS029 M 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 (-) 300 bp 200 bp 160 bp 100 bp (+) GG MM BD MM DD DD DD CC BD BD BD MM Keterangan : M = marker Gambar 12. Pola Pita Lokus ILSTS061 P BD CC DD GG MM Gambar 13. Rekonstruksi Pita Lokus ILSTS061 20

Keragaman DNA Mikrosatelit Keragaman genetik dari populasi dapat di evaluasi diantaranya melalui jumlah alel per lokus, rata-rata jumlah alel untuk semua lokus dan heterozigositas (Sun et al., 2008). Hasil pengukuran keragaman genetik pada 70 sampel sapi Katingan dengan menggunakan lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 menunjukkan bahwa semua lokus bersifat polimorfik. Lokus-lokus yang digunakan pada penelitian ini mempunyai unit ulangan yang lebih dari 10 ulangan, dimana polimorfisme makin tinggi apabila unit ulangannya tergandakan lebih dari 10 kali lipat (Winaya et al., 2000). Hasil pewarnaan perak menunjukkan jumlah alel yang dihasilkan pada lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang beragam. Keragaman mikrosatelit tersebut disebabkan oleh perbedaan ukuran DNA mikrosatelit pada masing-masing lokus (Moxon dan Will, 1999). Jumlah alel yang muncul dipengaruhi oleh banyaknya sampel yang digunakan (Prahasta, 2001) dan variasi genetik sapi yang digunakan (Winaya, 2000). Jumlah alel yang muncul tidak hanya disebabkan oleh banyaknya sampel yang digunakan, namun juga disebabkan karena perbedaan bangsa sapi dan sistem perkawinan yang dilakukan (Sumantri et al., 2007). Lokus CSSM066 Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokus CSSM066 menghasilkan total alel sebanyak 9 alel dengan macam alel E, F, G, I, J, K, M, L dan O dengan kisaran panjang alel dari 168-188 bp. Sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang menghasilkan masing-masing 7 alel, 7 alel dan 8 alel. Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam suatu populasi atau jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). Frekuensi alel tertinggi pada lokus CSSM066 adalah alel G pada sub populasi Buntut Bali sebesar 0.385 dan terendah adalah alel O pada sub populasi Tumbang Lahang sebesar 0.017. Jumlah dan ukuran alel yang diperoleh pada penelitian ini lebih besar dibandingkan jumlah dan ukuran alel yang diperoleh oleh Kathiravan et al. (2009) pada lokus CSSM066. Jumlah alel yang diperoleh pada kerbau Marathwada lokus CSSM066 sebesar 4 alel, sedangkan ukuran alel yang diperoleh berkisar antara 126-148 bp (Kathiravan et al., 2009). Penyebab perbedaan ini kemungkinan karena 21

perbedaan jenis dan bangsa ternak yang diteliti. Perbedaan macam (ukuran) dan jumlah alel yang dihasilkan menunjukkan bahwa sub populasi sapi Katingan memiliki tingkat keragaman genetik yang relatif tinggi, karena meningkatnya jumlah alel pada lokus yang berbeda akan meningkatkan rata-rata keragaman genetik dalam populasi (Karthickeyan et al., 2009). Jenis alel dan frekuensi serta genotipe dan frekuensinya dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis dan Ukuran Alel Lokus CSSM066 pada Sapi Katingan Jumlah Alel Sub populasi 7 Pendahara (n=22) 7 Buntut Bali (n=13) 8 Tumbang Lahang (n=30) Genotipe GG (4) JJ (7) EE (1) FF (1) KK (6) MM (1) II (2) GG (5) JJ (1) JM (1) FL (1) FF (1) FK (1) KK (2) EK (1) GL (1) GG (10) JJ (5) FL (1) EE (2) FF (1) KK (6) KM (1) GK (2) MO (1) Frekuensi Genotipe 0.182 0.318 0.045 0.045 0.273 0.045 0.091 0.385 0.077 0.077 0.077 0.077 0.077 0.153 0.077 0.033 0.333 0.167 0.033 0.067 0.033 0.200 0.033 0.067 0.033 Alel dan Ukuran (pb) E(168) F(170) G(172) I(176) J(178) K(180) M(184) E (168) F(170) G(172) J(178) K(180) L(182) M(184) E (168) F(170) G(172) J(178) K(180) L(182) M(184) O(188) Frekuensi Alel 0.045 0.045 0.182 0.091 0.318 0.273 0.045 0.038 0.154 0.385 0.115 0.231 0.038 0.038 0.067 0.050 0.383 0.167 0.250 0.033 0.033 0.017 Keterangan : n = Jumlah Individu Angka dalam tanda kurung () menunjukkan banyaknya genotipe yang muncul pada sub populasi dan panjang ukuran alel 22

Hasil frekuensi alel pada Tabel 3 menunjukkan distribusi alel yang tidak merata pada setiap sub populasi pada lokus CSSM066. Hal tersebut yang menjadikan alasan mikrosatelit dapat digunakan sebagai penciri yang akurat untuk menguji hubungan kekerabatan antar individu dalam populasi. Distribusi frekuensi alel sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang pada lokus CSSM066 dapat dilihat pada Gambar 14. Hasil distribusi alel pada Gambar 14 menunjukkan bahwa ada beberapa alel yang hanya muncul pada sub populasi tertentu. Alel yang ditemukan pada sub populasi Pendahara ada yang tidak ditemukan pada sub populasi Buntut Bali maupun Tumbang Lahang pada lokus CSSM066. 0,45 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 E F G I J K M L O Pendahara Buntut Bali Tumbang Lahang Gambar 14. Distribusi Frekuensi Alel Lokus CSSM066 Lokus CSSM066 menghasilkan 15 macam genotipe. Frekuensi genotipe yang tertinggi adalah genotipe GG sebesar 0.385 pada sub populasi Buntut Bali dan yang terendah adalah genotipe GL, FL, FF, KM dan MO sebesar 0.033 pada sub populasi Tumbang Lahang. Sebaran frekuensi genotipe berdasarkan sub populasi diperoleh frekuensi genotipe tertinggi pada masing-masing sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang secara berturut-turut adalah genotipe JJ sebesar 0.318, genotipe GG sebesar 0.385 dan genotipe GG sebesar 0.333. Frekuensi genotipe terendah pada masing-masing sub populasi secara berturut-turut yaitu pada sub populasi Pendahara genotipe terendah adalah genotipe EE, FF dan MM sebesar 0.045, pada sub populasi Buntut Bali genotipe terendah adalah genotipe JJ, JM, FL, FF, FK dan EK sebesar 0.077 dan genotipe terendah pada sub populasi Tumbang Lahang adalah genotipe GL, FL, FF, KM dan MO sebesar 0.033. 23

Lokus ILSTS029 Lokus ILSTS029 menghasilkan jumlah total alel sebesar 16 alel dengan macam alel F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, R, T, U, E, P dan V dan dengan panjang alel berkisar antara 148-180 bp. Jumlah alel yang dihasilkan masing-masing sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang secara berturut-turut adalah 12 alel, 7 alel dan 12 alel. Frekuensi alel tertinggi adalah alel L sebesar 0.333 pada sub populasi Buntut Bali dan terendah adalah alel H, P dan V sebesar 0.017 pada sub populasi Tumbang Lahang. Jumlah dan frekuensi alel serta genotipe dan frekuensinya dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 4. Jumlah alel yang diperoleh pada lokus ILSTS029 ini juga lebih besar dibandingkan dengan jumlah alel yang diperoleh oleh (Kathiravan et al., 2009) pada kerbau Marathwada di India. (Kathiravan et al., 2009) menyatakan bahwa jumlah alel yang diperoleh pada kerbau Marathwada pada lokus ILSTS029 berjumlah tiga alel sedangkan pada sapi Katingan jumlah alel yang diperoleh sebesar 16 alel, begitu juga dengan ukuran alel juga lebih besar dibandingkan dengan Kathiravan et al. (2009). Penyebab perbedaan ini sama dengan alasan pada lokus CSSM066 yaitu disebabkan oleh jenis dan bangsa ternak yang digunakan berbeda, sehingga dapat memberikan hasil yang berbeda pula. Jumlah alel yang diperoleh pada sapi Katingan ini jika dibandingkan dengan sapi lokal lain di Indonesia seperti sapi Bali maka jumlah alel yang diperoleh sangat besar. Jumlah alel sapi Bali yang diperoleh berjumlah dua alel yaitu alel A dan B pada lokus INRA035 dan satu alel yaitu alel A pada lokus HEL9 (Noor et al., 2000), sedangkan jumlah alel pada sapi Katingan secara keseluruhan menghasilkan lebih dari lima alel pada lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061. Winaya (2000) menyatakan bahwa jumlah alel pada beberapa sapi Asia seperti sapi PO, sapi Madura dan sapi Bali dengan menggunakan lokus yang berbeda juga memiliki jumlah alel yang lebih kecil daripada jumlah alel yang dihasilkan pada sapi Katingan. 24

Tabel 4. Jenis dan Ukuran Alel Lokus ILSTS029 pada Sapi Katingan Jumlah Alel Sub populasi 12 Pendahara (n=23) 7 Buntut Bali (n=12) 12 Tumbang Lahang (n=30) Genotipe LM(1) IM(3) JL(2) II(3) KK(1) HK(1) JJ(3) FF(2) LL(1) GL(1) KO(1) LR(1) KN(1) JN(1) MT(1) LM(2) II(1) JL(4) LL(1) MU(1) MM(1) HJ(1) JO(1) OP(1) LM(2) IM(1) II(1) JL(7) KK(1) HK(1) JJ(2) EJ(2) FF(1) OO(1) KL(3) LL(2) GJ(2) GO(1) LV(1) EK(1) Frekuensi Genotipe 0.043 0.130 0.087 0.130 0.043 0.043 0.130 0.087 0.043 0.043 0.043 0.043 0.043 0.043 0.043 0.167 0.083 0.333 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.033 0.067 0.033 0.033 0.233 0.033 0.033 0.067 0.067 0.033 0.033 0.100 0.067 0.067 0.033 0.033 0.033 Alel dan Ukuran (pb) F(150) G(52) H(154) I(156) J(158) K(160) L(162) M(164) N(166) O(168) R(172) T(176) H(154) I(156) J(158) L(162) M(164) O(168) U(178) E(148) F(150) G(152) H(154) I(156) J(158) K(160) L(162) M(164) O(168) P(170) V(180) Frekuensi Alel 0.087 0.022 0.022 0.152 0.196 0.109 0.152 0.109 0.043 0.022 0.022 0.022 0.042 0.083 0.250 0.333 0.208 0.042 0.042 0.050 0.033 0.050 0.017 0.050 0.250 0.117 0.283 0.050 0.067 0.017 0.017 Keterangan : n = Jumlah Individu Angka dalam tanda kurung () menunjukkan banyaknya genotipe yang muncul pada sub populasi dan panjang ukuran alel 25

Distribusi alel pada lokus ILSTS029 menunjukkan hasil yang sama dengan lokus CSSM066 yaitu adanya distribusi alel yang tidak merata pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang. Distribusi frekuensi alel pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang lokus ILSTS029 dapat dilihat pada Gambar 15. Hasil pada Gambar 15 menunjukkan bahwa ada beberapa alel yang hanya muncul pada sub populasi tertentu. Alel yang ditemukan pada sub populasi Pendahara lokus ILSTS029 ada yang tidak ditemukan pada sub populasi Buntut Bali maupun Tumbang Lahang. 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 Pendahara Buntut Bali Tumbang Lahang 0,00 F G H I J K L M N O R T U E P V Gambar 15. Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS029 Banyaknya genotipe yang diperoleh pada lokus ILSTS029 dipengaruhi oleh banyaknya jumlah alel. Lokus ILSTS029 menghasilkan 27 macam genotipe. Frekuensi genotipe tertinggi adalah genotipe JL sebesar 0.333 pada sub populasi Buntut Bali sedangkan frekuensi genotipe terendah adalah genotipe OP, IM, II, KK dan HK sebesar 0.033 pada sub populasi Tumbang Lahang. Sebaran frekuensi genotipe berdasarkan pada sub populasi diperoleh frekuensi genotipe tertinggi masing-masing sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang secara berturut-turut adalah genotipe IM, II dan JJ sebesar 0.130, genotipe JL sebesar 0.333 dan genotipe JL sebesar 0.233. Frekuensi genotipe terendah masing-masing sub populasi yaitu sub populasi Pendahara adalah genotipe LM, KK, HK, LL, GL, KO, LR, KN, JN dan MT sebesar 0.043, pada sub populasi Buntut Bali adalah genotipe II, 26

LL, MU, MM, HJ dan JO sebesar 0.083 dan pada sub populasi Tumbang Lahang adalah genotipe OP, IM, II, KK, HK, FF, OO, GO, LV dan EK sebesar 0.033. Lokus ILSTS061 Jumlah total alel yang dihasilkan pada lokus ILSTS061 adalah sebanyak 14 alel yaitu sebagai berikut D, E, F, G, H, I, K, L, M, N, O, C, B dan P dengan kisaran panjang alel antara 136-164 bp. Jumlah alel yang dihasilkan pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang masing-masing sebesar 11 alel, 6 alel dan 11 alel. Frekuensi alel tertinggi adalah alel G sebesar 0.308 pada sub populasi Buntut Bali dan terendah adalah alel G dan I sebesar 0.021 pada sub populasi Pendahara. Jumlah dan ukuran alel yang diperoleh pada lokus ILSTS061 berbeda dengan hasil yang diperoleh pada kerbau Marathwada lokus ILSTS061. Alel yang dihasilkan pada kerbau Marathwada di India sebesar lima alel dengan kisaran panjang alel antara 144-164 bp (Kathiravan et al., 2009). Tingginya jumlah alel yang dihasilkan pada sapi Katingan kemungkinan disebabkan karena perbedaan jenis dan bangsa ternak yang digunakan, selain itu mungkin disebabkan karena adanya sistem perkawinan yang tidak teratur pada sapi Katingan sehingga alel pada sapi Katingan sudah mendapat campuran dari sapi lain yang terdapat di Kalimantan Tengah. Jumlah dan frekuensi alel serta genotipe dan frekuensinya dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 5. Frekuensi alel yang diperoleh pada Tabel 5 menunjukkan adanya distribusi alel yang tidak merata pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang pada lokus ILSTS061. Tidak meratanya distribusi alel yang diperoleh pada lokus ILSTS061 sama dengan lokus CSS066 dan ILSTS029 yaitu menunjukkan bahwa ada sebagian alel yang hanya diperoleh pada sub populasi tertentu tetapi tidak ditemukan pada sub populasi yang lainnya. Distribusi alel sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang pada lokus ILSTS061 dapat dilihat pada Gambar 16. Alel yang ditemukan pada sub populasi Pendahara lokus ILSTS061 ada yang tidak ditemukan pada sub populasi Buntut Bali maupun Tumbang Lahang. 27

Tabel 5. Jenis dan Ukuran Alel Lokus ILSTS061 pada Sapi Katingan Jumlah Alel Sub populasi Genotipe Frekuensi Genotipe Alel dan Ukuran (pb) Frekuensi Alel 11 Pendahara (n=24) NN(1) MM(3) DD(2) LL(1) HH(5) EE(1) FF(2) OO(2) GN(1) FK(2) KN(1) DH(1) IL(1) FM(1) 0.042 0.125 0.083 0.042 0.208 0.042 0.083 0.083 0.042 0.083 0.042 0.042 0.042 0.042 D (140) E(142) F(144) G(146) H(148) I(150) K(154) L(156) M(158) N(160) O(162) 0.104 0.042 0.146 0.021 0.229 0.021 0.063 0.063 0.146 0.083 0.083 6 Buntut Bali (n=13) NN(2) GG(4) DD(2) FF(3) CC(1) DK(1) 0.154 0.308 0.154 0.231 0.077 0.077 C (138) D(140) F(144) G(146) K(154) N(160) 0.077 0.192 0.231 0.308 0.038 0.154 11 Tumbang Lahang (n=31) PP(1) NN(3) MM(2) GG(4) DD(6) LL(1) DN(1) GI(1) BD(4) HH(2) IN(1) EE(2) FF(2) EI(1) 0.032 0.097 0.065 0.129 0.194 0.032 0.032 0.032 0.129 0.065 0.032 0.065 0.065 0.032 B(136) D(140) E(142) F(144) G(146) H(148) I(150) L(156) M(158) N(160) P(164) 0.065 0.274 0.081 0.065 0.145 0.065 0.048 0.032 0.065 0.129 0.032 Keterangan : n = Jumlah Individu Angka dalam tanda kurung () menunjukkan banyaknya genotipe yang muncul pada sub populasi dan panjang ukuran alel 28

0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 D E F G H I K L M N O C B P Pendahara Buntut Bali Tumbang Lahang Gambar 16. Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS061 Jumlah genotipe sapi Katingan yang dihasilkan pada lokus ILSTS061 secara keseluruhan berjumlah 23 macam genotipe. Frekuensi genotipe tertinggi yang diperoleh adalah genotipe GG sebesar 0.308 pada sub populasi Buntut Bali dan terendah adalah genotipe PP, LL, DN, GI, IN dan EI sebesar 0.032 pada sub populasi Tumbang Lahang. Sebaran frekuensi genotipe berdasarkan pada sub populasi diperoleh frekuensi genotipe tertinggi pada masing-masing sub populasi Pendahara, Buntut Bali dan Tumbang Lahang secara berturut-turut adalah genotipe HH sebesar 0.208, genotipe GG sebesar 0.308 dan genotipe DD sebesar 0.194. Frekuensi genotipe terendah pada masing-masing sub populasi yaitu pada sub populasi Pendahara adalah genotipe NN, LL, EE, GN, KN, DH, IL dan FM sebesar 0.042, pada sub populasi Buntut Bali adalah genotipe CC dan DK sebesar 0.077, dan pada sub populasi Tumbang Lahang adalah genotipe PP, LL, DN, GI, IN dan EI sebesar 0.032. Jenis alel tertentu yang terdapat pada suatu sub populasi dapat dijadikan sebagai penciri sapi Katingan pada sub populasi Pendahara, Buntut Bali maupun Tumbang Lahang dan pada lokus tertentu. Hasil Gambar 14, 15 dan 16 distribusi frekuensi alel pada lokus CSSM066, ILSTS029 dan ILSTS061 di atas menunjukkan bahwa beberapa alel memiliki frekuensi yang tinggi pada sub populasi tertentu, namun dominasi atau frekuensi tertinggi alel-alel tersebut lebih banyak ditemukan pada sapi Katingan sub populasi Buntut Bali dan frekuensi terendah lebih banyak ditemukan pada sub populasi Tumbang Lahang. Sampel pemeriksaan dari sub 29