BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketersediaan listrik merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan berbagai kegiatan dapat dilakukan dengan adanya peralatan yang mendapatkan sumber energi dari listrik. Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai lembaga pemerintahan yang memiliki kewajiban untuk menyediakan tenaga listrik di Indonesia, terus mengembangkan usahanya dalam melayani kebutuhan masyarakat Indonesia. Berkat usaha yang dilakukan oleh PLN, rasio elektrifikasi di setiap wilayah Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Rasio elektrifikasi merupakan perbandingan antara jumlah rumah tangga yang sudah menggunakan listrik dengan jumlah rumah tangga yang ada di suatu daerah (PLN, 2015). Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan rasio elektrifikasi di wilayah Indonesia hingga tahun 2014. Tabel 1.1 Perkembangan Rasio Elektrifikasi (RUPTL PLN, 2015) 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Wilayah (%) (%) (%) (%) (%) (%) Sumatera 62,7 65 71,4 76,2 81 84,5 Jawa- Bali 67,6 70,5 73,6 78,2 83,2 87 Indonesia Timur 50,6 52,6 59 64,6 70,5 73,9 Indonesia 63,5 66,2 70,5 75,3 80,4 84 Untuk mendukung penyediaan listrik di Indonesia, PLN telah membangun berbagai macam pembangkit listrik yang tersebar di seluruh Indonesia, mulai dari pembangkit listrik bertenaga air, uap, gas, gas dan uap, panas bumi, diesel, dan bahan bakar lainnya. Diantara seluruh pembangkit listrik tersebut, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) menyumbang kapasitas terpasang terbesar yaitu 15.555 MW atau 1
2 45,47% dari total kapasitas terpasang (PLN, 2013). PLTU yang telah ada di Indonesia saat ini sebagian besar menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya. Pada tahun 2013, komposisi produksi energi listrik per jenis energi primer atau fuel mix didominasi oleh batubara sebesar 51,4% (PLN, 2013). Pada tahun 2024, diperkirakan persentase batubara dalam fuel mix akan mencapai 63,7% (PLN, 2015). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006, Pemerintah telah menugaskan PLN untuk membangun pembangkit listrik berbahan bakar batubara sebanyak kurang lebih 10.000 MW untuk memperbaiki fuel mix dan sekaligus juga memenuhi kebutuhan listrik di seluruh Indonesia. Perbaikan fuel mix didasari pada kenyataan bahwa biaya pembangkitan listrik dengan menggunakan bahan bakar minyak sangat mahal, mencapai Rp 2.696,00/ kwh (PT. PLN, 2010). Pemeirintah berfikir bahwa penggunaan bahan bakar minyak dapat dikurangi dengan cara menggunakan batubara yang memiliki harga pembangkitan lebih rendah, yaitu Rp 598,00/ kwh. Selain itu, Indonesia memiliki cadangan batubara yang sangat banyak, sebesar 29 milliar ton. Jika tingkat produksi tahunan adalah 386 juta ton, maka seluruh cadangan batubara Indonesia yang 29 miliar ton akan habis dalam waktu sekitar 75 tahun apabila tidak dilakukan eksplorasi baru (PLN, 2015). Dengan jumlah PLTU berbahan bakar batubara yang semakin banyak, tentunya akan membutuhkan pasokan batubara yang handal. Parameter kehandalan pasokan batubara tidak hanya mengenai kuantitas yang mencukupi kebutuhan PLTU, namun juga terkait kualitas batubara yang sesuai dengan kebutuhan PLTU. Pemasok batubara bagi PLTU di Indonesia saat ini tersebar di Kalimantan dan Sumatera. Pengiriman batubara dilakukan secara langsung dari pemasok menuju PLTU. Mayoritas pengiriman dilakukan melalui laut. Namun, pemilihan pemasok bagi tiap PLTU belum dilakukan secara optimal. Tak jarang pemasok harus mengirimkan batubara ke PLTU yang berlokasi sangat jauh, padahal ada PLTU yang lebih dekat dan juga membutuhkan batubara dari pemasok tersebut. Gambar 1.1 menunjukkan ilustrasi distribusi batubara dari 2 pemasok menuju PLTU yang belum optimal.
3 PLTU Supplier Gambar 1.1. Ilustrasi Distribusi Batubara Dari Pemasok ke PLTU Menurut PLN (2015), permasalahan yang kini sedang dihadapi dalam rantai pasok batubara bagi PLTU adalah banyaknya pemasok batubara dengan berbagai spesifikasi nilai kalor dan bervariasinya spesifikasi kebutuhan batubara bagi PLTU. Permasalahan tersebut menimbulkan kesulitan bagi PLN untuk melakukan perencanaan alokasi dan penjadwalan pengiriman batubara kepada PLTU. Lokasi PLTU yang tersebar juga menambah kerumitan permasalahan rantai pasok batubara. Selain itu, berdasarkan Laporan Kajian Derating PLTU Batubara Jawa-Madura-Bali yang disusun oleh PT. PLN (2013), proses pembangkitan listrik di PLTU masih sering mengalami derating. Derating ini menyebabkan daya yang dihasilkan oleh pembangkit berada di bawah daya mampunya dan daya ini seakan-akan hilang. Oleh karena itu, kejadian seperti ini disebut juga sebagai hidden capacity. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh PT. PLN tersebut (2013), penyebab utama terjadinya derating pada PLTU adalah kualitas batubara yang kurang baik dan tidak sesuai dengan spesifikasi boiler PLTU. Hal tersebut menyebabkan ketidakmampuan PLTU untuk menghasilkan listrik secara full load dan menyebabkan kurangnya pasokan listrik bagi masyarakat. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, maka PT. PLN perlu melakukan perencanaan rantai pasok yang optimal. Perencanaan yang dilakukan dapat meliputi
4 pemilihan pemasok dengan kualitas batubara yang sesuai dengan spesifikasi boiler PLTU dan penjadwalan pengiriman batubara ke PLTU. Perencanaan terkait alokasi dan pemilihan pemasok bergantung pada bagaimana proses distribusi dilakukan. Dalam supply chain management, proses distribusi bahan baku maupun produk dapat dilakukan dengan berbagai metode, mulai dari pengiriman produk secara langsung (direct shipment), pengiriman produk melalui hub (hub and spoke), milkrun, dan cross-docking. Berbagai metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing, tergantung bagaimana dan pada proses supply chain seperti apa metode tersebut diterapkan. Tabel 1.2 menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari masingmasing metode pengiriman dalam supply chain. Tabel 1.2 Kelebihan dan Kekurangan dari Metode Pengiriman yang Berbeda (Chopra, 2007) Metode Pengiriman Kelebihan Kekurangan Direct shipment Milk run Hub and spoke Cross-docking Tidak terdapat warehouse, koordinasi dalam supply chain sederhana Biaya transportasi rendah bila lot produk kecil, biaya inventori menurun Biaya tranportasi inbound (dari hub ke retailer) menurun karena adanya konsolidasi Inventori rendah, biaya transportasi lebih rendah karena konsolidasi Inventori tinggi, biaya penerimaan signifikan Koordinasi menjadi lebih kompleks Biaya inventori meningkat, proses handling di hub meningkat Koordinasi menjadi lebih kompleks Di Indonesia, proses distribusi logistik nasional telah diatur dalam Cetak Biru Sistem Logistik Nasional. Saat ini, pemerintah sedang fokus untuk mengadopsi sistem hub and spoke dan membangun hub bagi sistem logistik nasional. Pembangunan hub ini dilakukan karena pemerintah berusaha untuk mengintegrasikan daratan dan lautan melalui hub atau distribution center yang terletak di setiap
5 provinsi dan regional (Sislognas, 2012). Selain itu, seperti yang dipaparkan dalam Tabel 1.2, sistem hub and spoke memiliki kelebihan yaitu mampu meminimalkan biaya transportasi. Mengadopsi Cetak Biru Sistem Logistik Nasional, PT. PLN juga mampu menerapkan sistem hub and spoke dalam sistem supply chain batubara. Menurut Cetak Biru Sistem Logistik Nasional (2012), pembuatan pelabuhan khusus atau hub bagi industri pertambangan dan migas diatur secara tersendiri. Untuk menanggulangi permasalahan derating, PT. PLN perlu mencari cara untuk meningkatkan kualitas batubara yang diterima oleh PLTU. Menurut Coventry (1999), salah satu cara untuk meningkatkan kualitas batubara adalah dengan melakukan proses blending. Pada umumnya, proses blending dilakukan pada fasilitas blending tersendiri dan terpusat, seperti yang telah banyak diterapkan di Cina (Favorsea Industrial Channel, 2013). Hal ini dapat diadopsi oleh PT. PLN dan digabungkan dengan konsep dalam Cetak Biru Sistem Logistik Nasional, yaitu membangun hub dalam supply chain batubara, yang fungsinya tidak hanya sebagai distribution center namun juga sebagai fasilitas blending batubara. Pembangunan hub ini tentunya perlu dievaluasi lebih lanjut, apakah mampu bekerja secara efektif dan efisien serta mencapai tujuannya. Dalam melakukan penjadwalan pengiriman batubara, salah satu faktor yang harus diperhatikan adalah faktor cuaca di perairan. Hal ini disebabkan karena 90% pengiriman batubara dilakukan melalui jalur perairan. Jalur perairan yang sering mengalami cuaca buruk perlu dihindari, agar tidak terjadi keterlambatan dalam pengiriman batubara menuju PLTU. Selama ini PLN belum mempertimbangkan faktor cuaca dalam melakukan penjadwalan pengiriman batubara, sehingga seringkali keterlambatan pasokan batubara terjadi dan menimbulkan pemadaman listrik. Tabel 1.3 menunjukkan System Average Interruption Duration Index (SAIDI) dan System Average Interruption Frequency Index (SAIFI) yang mewakili durasi dan frekuensi gangguan listrik yang dialami oleh pelanggan PLN di seluruh Indonesia. Tabel 1.3. SAIDI dan SAIFI (PLN, 2015)
6 Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014 SAIDI (jam per pelanggan) 16,7 7 4,71 3,85 5,76 4,97 SAIFI (kali per pelanggan) 10,78 6,85 4,9 4,22 7,26 5,35 Berdasarkan Tabel 1.3 diatas, terlihat bahwa nilai SAIDI dan SAIFI berfluktuasi tiap tahunnya. Hal ini mencerminkan proses pembangkitan listrik di Indonesia yang belum stabil, sehingga durasi dan frekuensi gangguan listrik tidak memiliki tren yang menurun, melainkan berfluktuasi tiap tahunnya. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dibutuhkan sebuah perancangan sistem rantai pasok batubara bagi PLTU yang optimal berupa penentuan pemasok, alokasi, dan penjadwalan pengiriman batubara ke PLTU dengan mempertimbangkan adanya hub dan faktor cuaca dalam perencanaan penjadwalan pengiriman batubara. 1.3. Asumsi dan Batasan Masalah 1.3.1. Asumsi 1. Lahan terkait lokasi pembangunan hub selalu tersedia. 2. Jarak yang dihitung antara supplier, hub, dan PLTU merupakan jarak portto-port. 3. Tidak ada pembatalan dari kedua belah pihak menyangkut transaksi batubara. 4. Moda transportasi yang digunakan tidak akan mengalami kerusakan atau disfungsi yang akan menyebabkan kegagalan beroperasi. 5. Proses unloading, blending, dan loading di hub memakan waktu 3 hari. 6. Interest rate yang digunakan dalam perhitungan benefit-cost analysis adalah 7,5% sesuai dengan suku bunga bank pada waktu penelitian.
7 7. Fenomena cuaca dalam 1 bulan dianggap sama. 1.3.2. Batasan Masalah 1. Perancangan dan pembuatan kontrak batubara antara PLTU dengan supplier tidak termasuk dalam lingkup penelitian. 2. Beban biaya tambahan ketika terjadi delay pengiriman bukan merupakan tanggung jawab PLTU dan tidak akan ditambahkan kepada biaya pembelian batubara. 3. Detail mengenai bagaimana proses blending batubara dijalankan tidak menjadi fokus penelitian ini. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Membuat model matematis terkait distribusi batubara menuju PLTU dengan mempertimbangkan adanya hub. 2. Menentukan jumlah dan lokasi hub yang optimal bagi sistem rantai pasok batubara. 3. Menentukan pemilihan pemasok dan alokasi batubara yang tepat bagi tiap PLTU, serta menentukan jadwal pengiriman batubara menuju PLTU dengan mempertimbangkan kondisi cuaca perairan. 4. Melakukan benefit-cost analysis untuk mengetahui apakah pembangunan hub memberikan keuntungan terhadap sistem rantai pasok batubara dan layak untuk dilakukan.
8 1.5. Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini, dapat diketahui apakah pembangunan hub mampu mengurangi biaya supply chain batubara bagi PLTU, serta menjamin kualitas batubara dan kelangsungan proses pembangkitan listrik di Indonesia. Selain itu, penelitian ini dapat berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta terhadap perkembangan pembangkitan listrik di Indonesia.