Bab I Pendahuluan. Gambar 1.1 Perbandingan biaya produksi pembangkit listrik untuk beberapa bahan bakar yang berbeda

Transkripsi

1 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Di tengah semakin langkanya persediaan minyak bumi, batubara seakan menjadi primadona. Banyak industri yang mulai meninggalkan minyak bumi dan beralih ke batubara sebagai bahan bakar. Hal ini disebabkan oleh biaya produksi yang harus dikeluarkan apabila menggunakan batubara lebih rendah dibandingkan bahan bakar lain, terutama minyak bumi. Sebagai contoh, dapat dilihat pada Gambar 1.1 bahwa biaya produksi pembangkit listrik yang menggunakan batubara lebih rendah dibandingkan bahan bakar lain. Gambar 1.1 tersebut menunjukkan bahwa biaya produksi yang paling sedikit untuk pembangkitan tenaga listrik diperoleh dengan penggunaan batubara ataupun penggunaan siklus gabungan. Sedangkan biaya produksi termahal didapat dari penggunaan mesin diesel yang berbahan bakar solar untuk pembangkitan listrik. Gambar 1.1 Perbandingan biaya produksi pembangkit listrik untuk beberapa bahan bakar yang berbeda

2 Indonesia sendiri merupakan negara yang kaya akan batubara. Cadangan batubara di Indonesia pada tahun 2004 (Tabel 1.1) mencapai 57 miliar ton. Apabila dibandingkan dengan potensi minyak bumi dan gas alam di Indonesia, rasio cadangan dan produksi batubara jauh lebih besar daripada kedua sumber daya alam tersebut. Berdasarkan Tabel 1.1, potensi batubara Indonesia baru akan habis setelah 147 tahun, sedangkan minyak bumi dan gas alam akan habis setelah masing-masing 18 dan 62 tahun. Kalimantan dan Sumatera merupakan dua pulau yang memiliki cadangan dan sumber daya batubara yang paling besar dibandingkan dengan pulau-pulau yang lain. Tabel 1.1 Potensi bahan bakar fosil Indonesia tahun 2004[2] Persediaan batubara Indonesia ini sangat menjanjikan apabila dilihat dari segi kuantitas. Namun, sebagian besar batubara Indonesia justru merupakan batubara berkualitas rendah. Seperti yang terlihat pada Gambar 1.2, hampir 86% batubara Indonesia merupakan jenis subbituminous dan lignite. Hal ini sangat tidak menguntungkan baik dalam segi pemanfaatan energinya maupun dari segi ekonomis. Dari segi pemanfaatan energi, panas yang didapat dari pembakaran batubara tidak tinggi. Sementara itu, dari segi keekonomisan, batubara dengan kualitas yang rendah maupun sedang merupakan batubara yang kurang laku di pasaran sehingga memiliki harga yang rendah. Coal Upgrading Technology (CUT) adalah salah satu metode yang dikembangkan oleh ITB untuk meningkatkan kualitas batubara dengan cara mengeringkan batubara menggunakan metode fluidisasi. Dengan metode CUT ini akan dihasilkan batubara dengan kandungan air 5%, juga peningkatan nilai kalor batubara menjadi 6000 kkal/kg. Pengembangan teknologi CUT ini sesuai dengan rencana pengelolaan energi nasional yang dicanangkan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral tentang peningkatan kualitas batubara[2].

3 Gambar 1.2 Distribusi kualitas batubara Indonesia berdasarkan kalori, tahun 2005[3] Pengembangan CUT sendiri sekarang pada tahap pembangunan pilot plant di daerah Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pilot plant yang dibangun memiliki kapasitas 7 ton/jam. Pada proses pembangunannya, ITB bekerja sama dengan PT. Pamapersada Nusantara (PAMA). Proses pengembangan CUT Pilot Plant sendiri dibagi menjadi beberapa tahap[1]. Tahap yang pertama adalah Studi Kelayakan (Feasibility Study), yang merupakan pengkajian mengenai kemungkinan terwujudnya CUT Pilot Plant dilihat dari segi konsep dasar serta keuntungan finansial. Setelah dikaji dan dinyatakan layak, proses pengembangan dilanjutkan pada tahap pembuatan Desain Dasar (Basic Design) yang diwujudkan dengan adanya Process Flow Diagram (PFD) dan Process and Instrumentation Diagram (PID). Detail Design merupakan tahap lanjutan pengembangan CUT Pilot Plant setelah Basic Design, pada tahap ini penjelasan rinci mengenai komponen seperti dimensi, kapasitas, hingga toleransi pembuatan dicantumkan hingga komponen siap difabrikasi. Tahap selanjutnya adalah Engineering Procurement and Construction (EPC) yang merupakan tahap pembangunan pilot plant secara fisik. Hasil EPC dan kemampuan pilot plant diuji pada tahap komisioning untuk melihat keberfungsian pilot plant. Setelah proses komisioning ini selesai dan pilot plant dinyatakan dapat

4 beroperasi, tahap selanjutnya yang merupakan tahap terakhir yaitu tahap operasi. Pada tahap ini pilot plant sudah bisa dioperasikan secara komersial. Pada tahapan akhir ini, pengecekan terhadap seluruh sistem harus dilakukan untuk memastikan bahwa pembangunan dilakukan sesuai dengan desain. Selain itu, perlu juga diketahui bagaimana sistem ini beroperasi dibandingkan dengan desain dan simulasi yang sudah dikembangkan. Untuk itulah perlu dilakukan proses komisioning terhadap CUT Pilot Plant. Tugas akhir ini berisi tentang proses komisioning yang akan dilakukan pada CUT Pilot Plant. Seperti telah disinggung di atas, komisioning merupakan salah satu proses penting pada pengembangan CUT itu sendiri untuk mengetahui kelayakan pilot plant yang dikembangkan. 1.2 Maksud dan Tujuan Tujuan utama dari tugas akhir ini adalah merencanakan dan melakukan proses komisioning pada CUT Pilot Plant, serta mengetahui kinerja CUT Pilot Plant berdasarkan data yang diperoleh dari proses komisioning. 1.3 Manfaat Dalam tingkatan yang lebih lanjut, pengembangan CUT akan diteruskan ke tahap commercial plant, dimana, CUT dibangun dengan kapasitas produksi yang lebih tinggi dengan orientasi bukan lagi untuk penelitian. Dalam hal ini, data yang diperoleh dari proses komisioning serta hasil pengujian ini akan sangat berguna untuk pengembangan tahap tersebut. 1.4 Batasan Masalah Tugas akhir ini hanya terfokus pada proses komisioning CUT Pilot Plant saja. Desain terhadap pilot plant ini sudah ada sebelumnya dan bukan merupakan lingkup pekerjaan tugas akhir ini. Komisioning sendiri merupakan suatu proses yang sangat luas ruang lingkupnya dan dalam pelaksanaannya perlu mengacu pada berbagai standar. Namun, mengingat pengembangan yang dilakukan pada CUT ini masih dalam skala pilot, komisioning yang dilakukan akan lebih terfokus pada aspek proses

5 dan belum menyertakan standar di dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, proses komisioning CUT Pilot Plant yang dibahas pada tugas akhir ini dibatasi pada aspek tersebut saja. 1.5 Sistematika Penulisan Secara garis besar, laporan tugas akhir ini membahas proses komisioning dan pengujian secara keseluruhan pada CUT Pilot Plant. Untuk itu, laporan tugas akhir ini dibagi menjadi 5 bab. Pembahasan dimulai dengan pendahuluan yang meliputi latar belakang, tujuan, manfaat, batasan masalah, serta sistematika penulisan tugas akhir ini. Pembahasan mengenai konsep teknologi CUT dan perbandingannya dengan teknologi-teknologi yang lain diterangkan pada Bab 2. Bab in juga berisi prospek pengembangan CUT di masa datang. Mengingat proses komisioning ini dilakukan pada CUT Pilot Plant, pembahasan lebih detail mengenai CUT Pilot Plant dituliskan pada Bab 3. Bab ini membahas secara rinci proses dan komponen-komponen pada CUT Pilot Plant yang akan dijadikan acuan dalam menyusun proses komisioning. Pelaksanaan proses komisioning dituangkan pada Bab 4 yang diawali dengan penjelasan mengenai pengertian-pengertian dasar komisioning termasuk juga metodologi komisioning yang akan dilakukan. Pada Bab ini, seluruh langkah-langkah komisioning dirumuskan, mulai dari prakomisioning, komisioning subsistem, hingga komisioning seluruh sistem. Bab 4 juga membahas hal-hal yang perlu diperhatikan pada setiap langkah di atas. Sedangkan hasil dan analisis proses komisioning dituliskan pada Bab 5, meliputi pengolahan data hasil komisioning dan tinjauan ulang desain. Bab terakhir, yaitu Bab 6, merupakan kesimpulan dari seluruh proses komisioning dan pengujian pada CUT Pilot Plant, serta pemberian saran untuk perbaikan desain dan penyempurnaan CUT Pilot Plant.