BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

Bagian Kedua Penyidikan

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata. membawa dampak sampingan terhadap jenis, kualitas dan

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

MODUL FORENSIK FORENSIK KLINIK dan VeR. Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SURAT KETERANGAN MEDIS

RELEVANSI Skm gatra

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB 1 PENDAHULUAN. yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar. Pemeriksaan ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi Keselamatan Pasien (Patient Safety)

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Kejahatan merupakan perilaku anti sosial dan juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB II ATURAN HUKUM TENTANG OTOPSI DI INDONESIA Pengaturan Otopsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan pada 80 (delapan puluh) lembar putusan dari 7

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Memiliki mata yang sehat merupakan salah satu karunia Tuhan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. matinya orang misalkan pembunuhan, aparat kepolisian sebagai penyidik yang

K homo homini lupus ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia:pembunuhan, penganiayaan pemerkosaan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya sering ter

BAB II TINJAUAN TEORI

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. dan penyebab pertama kematian pada remaja usia tahun (WHO, 2013).

BAB II LANDASAN TEORI. sedangkan Repertum berarti melapor. Visum et Repertum secara. yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa badan manusia

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

P U T U S A N NOMOR : 52/PID/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

PENGADILAN TINGGI MEDAN

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB III DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GRESIK NO: 262/Pid. B/2006/PN. GRESIK TENTANG KEALPAAN YANG MENYEBABKAN ORANG LAIN MATI

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

berhubungan dengan kesehatan diklasifikasikan sebagai berikut :

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

P U T U S A N. Nomor : 565/PID/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

P U T U S A N Nomor : 143/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

ALUR PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masa kehamilan (Prawirohardjo, 2000). Menurut Manuaba (2001), tujukan pada pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kehamilan risiko tinggi adalah kehamilan yang menyebabkan terjadinya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. satu hal dan pengetahuan umum yang berlaku bagi keseluruhan hal

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

P U T U S A N NOMOR : 529/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

P U T U S A N. Nomor : 23/PID.SUS.ANAK/2016/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

RAHASIA KEDOKTERAN. Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

P U T U S A N Nomor 342/Pid/2013/PT.Bdg.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 14 /PID.A/2013/PT-MDN.-

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N. No. 39/PID.B/2014/PN.SBG

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1. Definisi. Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2003). 2.1.2. Proses Pengetahuan Suatu perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Hasil penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut menjadi proses yang berurutan, yakni: 1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). 2. Interest (merasa tertarik), dimana orang merasa tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul. 3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. 5. Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

2.1.3. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni (Notoatmodjo, 2003): 1. Tahu (Know) tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yan telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Contoh: dapat menyebutkan tandatanda kekurangan kalori dan protein pada anak balita. 2. Memahami (Comprehension) memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan-makanan yang bergizi. 3. Aplikasi (Application) aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistic dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan. 4. Analisis (Analysis) analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat

dilihat dari pengunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5. Sintesis (Synthesis) sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya, terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. 6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan criteria-kriteria yang telah ada. Misalnya: dapat membandingkan antara anak-anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya wabah diare di suatu tempat, dapat menafsirkan sebab ibu-ibu tidak mau ikut KB, dan sebagainya. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut. 2.2 Autopsi Forensik 2.2.1. Definisi Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuanpenemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian (Mansjoer, 2000).

2.2.2. Jenis autopsi berdasarkan tujuan 1. Autopsi Klinik Dilakukan terhadapat mayat seseorang yan diduga terjadi akibat suatu penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisis kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, patogenesis penyakit, dan sebagainya. Untuk autopsi ini mutlak diperlukan izin keluarga terdekat mayat tersebut. Sebaiknya autopsi klinik dilakukan secara lengkap, namun dalam keadaan amat memaksa dapat juga dilakukan autopsi parsial atau needle necropsy terhadap organ tertentu meskipun pada kedua keadaan tersebut kesimpulannya sangat tidak akurat (Mansjoer, 2000). 2. Autopsi Forensik/Medikolegal Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri. Tujuan pemeriksaan autopsi forensik adalah untuk: 1. Membantu penentuan identitas mayat 2. Menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian 3. Mengumpulkan dan memeriksa benda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan 4. Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum Autopsi forensik harus dilakukan sedini mungkin, lengkap, oleh dokter sendiri, dan seteliti mungkin (Mansjoer, 2000). 3. Autopsi anatomi Dilakukan terhadap mayat korban meninggal akibat penyakit, oleh mahasiswa kedokteran dalam rangka belajar mengenai anatomi manusia. Untuk autopsi ini diperlukan izin dari korban (sebelum meninggal) atau keluarganya. Dalam keadaan darurat, jika dalam 2 x 24 jam seorang jenazah tidak ada keluarganya maka tubuhnya dapat dimanfaatkan untuk autopsi anatomi (Mansjoer, 2000).

2.2.3 Teknik Autopsi Forensik 1. Pemeriksaan Luar 2. Pemeriksaan dalam (Pembedahan mayat) (Mansjoer, 2000). 2.2.4. Faktor-faktor penghambat autopsi forensik 1. Masalah administratif 2. Hasil/laporan autopsi yang membutuhkan waktu 3. Keluarga yang takut akan mutilasi 4. Penundaan penguburan 5. Ketidaksetujuan pasien sebelum meninggal untuk di autopsi 6. Agama 7. Etnik 8. Tingkat pengetahuan (Oluwasola, 2009). 2.3. Visum Et Repertum 2.3.1. Definisi Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan (Budiyanto, 1994). 2.3.2. Peranan dan fungsi visum et repertum Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian Pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti benda bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat

dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian Kesimpulan (Budiyanto, 1994). Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga dengan membaca Visum et Repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia. Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduknya persoalan di sidang Pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan (ps 180 KUHAP) (Budiyanto, 1994). 2.3.3 Jenis dan bentuk visum et repertum Dengan konsep visum et repertum di atas, dikenal beberapa jenis visum et repertum, yaitu (Budiyanto, 1994): 1. visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan) 2. visum et repertum kejahatan susila 3. visum et repertum jenasah 4. visum et repertum psikiatrik. 2.3.4. Dasar hukum Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan dokter dalam membantu peradilan (Budiyanto, 1994) : Pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter yang sepadan dengan visum et repertum adalah pasal 186 dan 187, yang berbunyi : 1. Pasal 186 keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

2. Pasal 187 surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Keduanya termasuk ke dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP Pasal 184, Alat bukti yang sah adalah : 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa; Dari pasal-pasal di atas tampak bahwa yang dimaksud dengan keterangan ahli maupun surat (butir c) dalam KUHAP adalah visum et repertum. 1. Pasal 133 KUHAP 1.1 Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. 1.2 Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. 1.3 Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yg memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

2. Pasal 134 KUHAP 2.1 Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. 2.2 Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut. 2.3 Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini. 3. Pasal 179 KUHAP 3.1 Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. 3.2 Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Pasal KUHP 222: yang menyatakan barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalanghalangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (Budiyanto, 1994).

Ciri Fatwa Kedokteran (Majelis Ulama Indonesia) : Di samping soal teknis metodologi, terbukti pula bahwa Ulama Indonesia dalam merumuskan dan menetapkan fatwa terikat oleh beberapa faktor. Pada umumnya setiap fatwa atas satu isu terikat oleh beberapa faktor atau ciri, salah satunya yaitu berkaitan dengan lebih mementingkan kebutuhan orang hidup daripada kehormatan orang mati. Fatwa tentang bolehnya donor organ, transplantasi organ manusia, bedah mayat untuk pendidikan dan pengadilan, dan autopsi terkait dengan faktor ini (Zuhroni, 2008).