ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ABSTRAK MELIYANTI YUSUF"

Transkripsi

1 0

2 ABSTRAK MELIYANTI YUSUF, NIM , Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Mengungkap Tindak Pidana Penganiayaan Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polres Gorontalo Kota). Di bawah Bimbingan Moh. Rusdiyanto Puluhulawa, SH, M.Hum dan Suwitno Y. Imran SH.,MH, Skripsi, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Gorontalo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan visum et repertum dalam pembuktian untuk mengungkap kasus penganiayaan dan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dialami oleh penyidik dalam penerapan visum et repertum. Penelitian dilaksanakan di Kota Gorontalo, yakni di Polres Gorontalo Kota dengan metode penelitian menggunakan jenis penelitian Normati Empiris yakni dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Hasil dari penelitian ini untuk dapat mengetahui bagaimana kedudukan dari visum et repertum dalam mengungkap tindak pidana penganiayaan serta hambatan-hambatan apa saja yang dialami oleh penyidik, hal ini dapat dilihat melalui jumlah kasus pada hasil visum et repertum terdapat bukti tanda-tanda kekerasan dan yang tidak terdapat bukti tanda kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan visum et repertum dalam mengungkap tindak pidana penganiayaan sangat penting guna mencari kebenaran materiil terhadap tindak pidana yang terjadi. Dalam hal penerapan visum et repertum, penyidik mengalami beberapa kendala yang berpengaruh pada proses penyidikan. Kata Kunci: Visum et Repertum, Penganiayaan. 1

3 A. LATAR BELAKANG Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para aparat penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Oleh karena itu, bantuan seorang ahli sangat dibutukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya sesuai dengan tujuan hukum acara pidana. Agar tujuan hukum acara pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka oleh undang-undang diberi kemungkinan agar para penyidik dan para hakim dalam keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang berpengetahuan dan berpengalaman khusus tersebut. Hal ini jelas disebutkan pada Pasal 133 ayat (1) yang berbunyi: Dalam hal peyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. 1 Tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Suatu bukti yang diperlukan dalam mengungkap suatu tindak pidana melalui keterangan medis yakni dengan melalui Visum et Repertum salah satunya mengenai tindak pidana penganiayaan. Dalam pengungkapan suatu kasus penganiayaan, menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana penganiayaan dari hasil 1 Pasal 133KUHAP 2

4 pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus penganiayaan. Mengungkap kasus penganiayaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku penyidik akan melakukan upaya-upaya lain yang lebih cermat agar dapat menemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam tindak pidana yang dilakukan tersebut. Berdasarkan data awal yang diperoleh calon peneliti menunjukkan tingkat penganiayaan di Polres Gorontalo Kota sangat tinggi. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir yakni pada tahun 2012, 2013 dan 2014, tindak pidana penganiayaan yang mempunyai hasil visum di Polres Gorontalo Kota berjumlah 288 kasus. 2 Berdasarkan kenyataan mengenai tingkat penganiayaan sangat tinggi maka keberadaan penerapan hasil visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus penganiayaan pada tahap penyidikan sangat di perlukan. Berdasarkan uraian di atas, dapat rirumuskan masalh sebagai berikut : (1) Bagaimana kedudukan Visum Et Repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana penganiayaan? (2) Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh penyidik dalam penerapan Visum et Repertum pada tindak pidana penganiayaan? B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan oleh calon peneliti adalah jenis penelitian Normatif Empiris. Metode penelitian hukum normatif empiris ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Wawancara. Wawancara dilakukan secara langsung dengan narasumber. Dalam hal 2 Hasil Wawancara Pada Tanggal 17 Februari

5 ini penyidik dan ahli hukum. (2) Quisioner. Quisioner adalah daftar pertanyaan yang akan dibagikan kepada responden. Penentuan responden dilakukan dengan metode Non Probabilitas Sampling yakni tidak semua subjek atau individu dari populasi, mendapat kemungkinan yang sama untuk dijadikan anggota sample. Data penelitian ini dianalisa dengan menggunakan analisis deskriptif. Dalam penelitian ini, analisis data tidak keluar dari lingkup sample. Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi. Pengambilan sampel sebagai salah satu langkah dalam penelitian penting artinya, karena kesimpulan penelitian pada dasarnya adalah generalisasi dari menuju populasi. 3 Dalam hal ini calon peneliti menggunakan Sampel sebanyak 7 sampel. Bersifat deduktif, berdasarkan teori, atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain. 4 C. HASIL DAN PEMBAHASAN Kedudukan Visum et Repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana penganiyaan Seperti kita ketahui bersama bahwa menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka si tubuh korban merupakan corpus delicti (tanda bukti). Oleh karena itu corpus delicti (tanda bukti) yang demikian tidak mungkin disediakan atau diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum et Repertum. Sehingga dalam mengetahui kebenaran materiil terhadap korban apakah si korban benar-benar memiliki tanda-tanda kekerasan, maka salah satu caranya dengan melakukan Visum et Repertum. Berdasarkan wawancara dengan Bripka F. A. Talani Agar Visum et Repertum dapat memenuhi ketentuan sebagai alat bukti maka yang harus dibuat adalah dengan permintaan analisa kesehatan dalam bentuk kekerasan fisik yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Walaupun visum et repertum itu merupakan alat bukti yang 3 Ibid 4 Ibid, Hal. 37 4

6 dikeluarkan oleh ahli yakni dokter, namun visum itu sendiri dikategorikan sebagai alat bukti surat. 5 Hal ini dapat dilihat dari dasar hukum dalam KUHAP yakni pada pasal 186 dan 187 : 1. Pasal 187 menyebutkan: Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. 2. Pasal 187 (c) : Surat keterangan dari seorang ahli yang dimuat pendapat berdasarkan keahliannya mengnai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi. 6 Sesuai wawancara dengan Brigadir Nenang S. Mustafa selaku anggota penyidik di Polres Gorontalo Kota bahwa dalam mengungkap tindak pidana penganiayaan bukti keterangan surat yang berupa visum et repertum sangat diperlukan, karena Visum et Repertum merupakan pengganti keterangan ahli yang khususnya dibidang kesehatan dalam pembuktian suatu tindak pidana kekerasan fisik. Akan tetapi seorang ahli yakni dokter masih dapat dimintai keterangan dalam persidangan apabila masih ada keterangan yang diperlukan oleh seorang hakim dalam mengungkap kebenaran tindak pidana tersebut. 7 Berdasarkan hasil wawancara dengan Anggota Min Reskrim Polres Gorontalo Kota, Bripka Mohamad Tadda menerangkan bahwa untuk mengantisipasi apabila tidak dilakukan pemeriksaan terhadap diri korban yang kemudian dicantumkan dalam visum et repertum yang pada akhirnya ternyata pada diri korban terdapat tanda-tanda kekerasan, maka pihak penyidik yang akan disalahkan apabila hal tersebut terjadi. Karena keadaan korban tidak pernah tetap seperti pada waktu pemeriksaan pada saat setelah tindak pidana dilakukan dilakukan. 8 Walaupun bukti Visum et repertum itu sendiri sangat penting, namun visum sebagai alat bukti yang diajukan tersebut tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus 5 Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka F. A. Talani pada tanggal 10 April Pasal 186 dan 187KUHAP 7 Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Brigadir Neneng S. Mustafa pada tanggal 10 April Wawancara dengan Anggota Min Reskrim, Brigadir Muh. Tadda, Pada 15 April

7 dilengkapi dengan alat bukti lainnya sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP, karena dalam sistem pembuktian pidana yang berlaku di Indonesia menganut sistem pembuktian undang-undang secara negatif (negatif wettelijk), yang digambarkan dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya: 9 Sistem pembuktian undang-undang secara negatif (negatif wettelijk) yakni dimana hakim ditentukan/dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat-alat bukti tertentu telah ditentukan oleh undang-undang. Hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara menilai/mempergunakan alat bukti tersebut pun diatur oleh undang-undang. Akan tetapi, inipun masih kurang. Hakim harus mempunyai keyakinan atas adanya kebenaran. Meskipun alat-alat bukti sangat banyak, jika hakim tidak berkeyakinan atas kebenaran alat-alat bukti atau atas kejadian/keadaan, hakim akan membebaskan terdakwa. Sistem ini dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)/UU No. 8 Tahun Berdasarkan wawancara dengan Anggota Min Reskrim, Bripka Muh. Tadda keterangan ahli yang dimaksud yakni keterangan dari dokter yang dapat membantu aparat penyidik dalam hal memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan oleh dokter mengenai keadaan korban, terutama berkaitan dengan bukti adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu kekerasan dalam kejahatan penganiayaan. 11 Dalam pemenuhan bukti visum et repertum pihak kepolisian dalam hal ini penyidik memerlukan bantuan ataupun keterangan seorang ahli. Hal ini jelas disebutkan pada Pasal 133 ayat (1) yang berbunyi: 9 Pasal 183KUHAP 10 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan), Jakarta, Sinar Grafika, 2011, Hal Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka Muh. Tadda Pada Tanggal 15 April

8 Dalam hal peyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. 12 Kepolisian, kejaksaan sering meminta visum et repertum kepada seorang dokter dalam perkara penganiayaan dan pembunuhan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, supaya visum dibuat dengan teliti dan mudah dipahami berdasarkan apa yang dilihat. Selain itu visum et repertum harus obyektif, tanpa pengaruh dari mereka yang berkepentingan dalam perkara itu. 13 Keterangan medis tersebut berisi tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut. Berdasarkan hasi wawancara dengan Brigadir Syairulan Radjak bahwa untuk permintaan hasil visum et repertum, seorang korban tidak dapat meminta secara langsung ke dokter tanpa melalui koordinasi dengan pihak penyidik, karena seorang ahli dalam hal ini adalah dokter tidak dapat mengeluarkan visum et repertum tanpa adanya surat permintaan secara resmi dari pihak kepolisian. Alasannya karena Visum et repertum ini bersifat rahasia, dan hanya pihak-pihak tertentu yang dapat melihat isi dari visum et repertum tersebut. Pihak-pihak yang lebih berkompeten untuk memenuhi Visum et Repertum dalam penyidikan tindak pidana adalah pihak dari kepolisian yakni penyidik, jaksa penuntut umum, dan pemutus yakni hakim. 14 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bripka F.A Talani dalam tahap penyidikan keterangan yang tercantum dalam Visum et Repertum berpengaruh pada Pasal yang akan disangkakan penyidik terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana penganiayaan dan juga bukti visum et repertum tersebut dapat meringankan atau memberatkan hukuman terhadap tersangka. Hal tersebut tergantung pada hasil analisa pada tubuh korban, apakah luka yang diakibatkan oleh tindak pidana 12 Pasal 133KUHAP 13 Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter, Profesi Dokter, Jakarta, Erlangga, 1991, Hal Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Brigadir Syairulan Radjak pada tanggal 10 April

9 penganiayaan tersebut mengakibatkan rasa sakit, menghalangi aktivitas pekerjaan sehari-hari ataupun yang tidak menyebabkan sakit atau hambatan dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari. 15 Berdasarkan hasil wawancara dengan penyidik, Brigadir M. Redah Mardjun menyatakan bahwa dalam pembuktian tindak pidana penganiayaan apabila tidak mencantumkan bukti berupa visum et repertum, maka kasus tersebut tidak dapat ditingkatkan pada tahap penuntutan. Karena dalam proses penyidikan Visum et Repertum merupakan alat bukti yang berkenaan dengan kekerasan fisik. 16 Dalam setiap tindak pidana penganiayaan baik penganiayaan ringan maupun berat, Visum et Repertum merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pelapor dalam hal pelengkapan alat bukti. Alasannya untuk mengantisipasi agar tanda-tanda kekerasan pada diri korban tidak hilang, karena misalnya luka-luka pada tubuh seseorang akan selalu berubah-rubah yakni mungkin sembuh. Namun pada kenyataannya berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dari tahun tingkat penganiayaan yang dilaporkan ke Polres Gorontalo Kota ternyata masih banyak kasus di mana pada diri korban setelah dianalisa kesehatan oleh dokter ahli tidak ditemukan bukti berupa tanda-tanda kekerasan fisik. Sehingga dengan tidak adanya bukti tersebut menyulitkan penyidik untuk meningkatkan proses penyidikan kasusnya ke tahap penuntutan. Hambatan yang dihadapi oleh Penyidik dalam penerapan Visum Et Repertum pada tindak pidana Penganiyaan Kota Gorontalo merupakan salah satu daerah yang ada di Provinsi Gorontalo ternyata tidak lepas dari kasus penganiayaan. Hal tersebut terlihat dari data yang diperoleh dari Polres Gorontalo Kota, di mana dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir tingkat kasus penganiayaan yang mempunyai hasil visum yang ditangani 15 Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka F. A. Talani Pada tanggal 10 April Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Brigadir M. Redah Mardjun pada tanggal 10 April

10 Polres Gorontalo Kota ini sangat tinggi. Pada tahun 2012 terdapat 97 kasus, dan menurun pada tahun 2013 diamana tercatat ada 88 kasus, kemudian meningkat tajam pada tahun 2014 dengan 103 kasus. Dalam melakukan proses penanganan tidak pidana penganiyaan di Polres Gorontalo Kota, penyidik mengalami beberapa hambatan yaitu : 1. Tidak adanya bukti kekerasan fisik Berdasarkan hasil wawancara dengan Bripka F.A Talani menyebutkan bahwa bukti kekerasan fisik tergantung pada luka bekas tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap korban. Bukti kekerasan fisik ini dituangkan dalam alat bukti yang berupa keterangan tertulis yakni visum et repertum. Dalam proses penyelesaian tindak pidana penganiayaan, adanya bukti kekerasan fisik sangat diperlukan untuk mengungkap apakah pada diri korban memang benar-benar telah terjadi tindak pidana penganiayaan Saksi yang melihat dan mendengar Keterangan saksi yang melihat dan mendengar saat tindak pidana terjadi. Pada umumnya, semua orang dapat menjadi saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti sah harus dibedakan apakah termasuk keterangan saksi sebagaimana dicantumkan Pasal 184 ayat (1). Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. 3. Barang bukti yang digunakan dalam tindak pidana penganiyaan Barang bukti dan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana memang tidak secara jelas menyebutkan tentang 17 Wawancara dengan penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka F. A. Talani Pada Tanggal 10 April

11 barang bukti. Namun dalam dalam Pasal 39 Ayat (1) KUHAP menyebutkan apa-apa saja yang dapat disita, yaitu: a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. 18 Untuk kasus mengenai tindak pidana penganiayaan, maka barang bukti yang dimaksud adalah benda yang digunakan pada saat melakukan tindak pidana penganiayaan. Misalnya saja Si A melakukan penganiayaan terhadap Si B dengan menggunakan sebuah pisau. Maka yang menjadi barang bukti dalam kasus tersebut adalah sebuah pisau. 19 Pada kasus yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka si tubuh korban dapat menjadi corpus delicti (barang bukti) yang dicantumkan dalam hasil visum et repertum. Selain itu, berdasarkan data yang di peroleh penulis bahwa dalam penerapan Visum et Repertum juga mengalami beberapa hambatan yang di hadapi oleh penyidik dalam proses tindak pidana penganiyaan di Polres Gorontalo Kota terbagi atas : 1. Tidak adanya tanda-tanda kekerasan fisik setelah dianalisa kesehatan oleh ahli Dalam mengungkap suatu perkara pidana maka penyidik diharuskan memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan. Untuk perkara yang berkenaan 18 Pasal 39 Ayat (1)KUHAP 19 Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka F. A. Talani Pada Tanggan 10 April

12 dengan perusakan tubuh dan kesehatan, maka si tubuh korban yang akan menjadi corpus delicti (tanda bukti). Akan tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan Bripka F. A. Talani dimana penyidik polres Gorontalo Kota terkadang mengalami kendala pada saat pemeriksaan dimana korban setelah dianalisa kesehatan oleh ahli ternyata pada hasilnya tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban. Hal tersebut biasanya terjadi misalnya saja dikarenakan lambatnya laporan dari pihak korban kepada penyidik setelah saat tindak pidana penganiayaan itu terjadi. Sebab lainnya pun misalnya tindak pidana tersebut hanya berupa tamparan atau menjambak rambut, sehingga kasusnya pun hanya dikenai dengan Pasal yang mengatur tentang tindak pidana ringan. 20 Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa: Data Penganiyaan yang Ditangani Polres Gorontalo Kota Pada Tahun Jenis perkara Tahun Ada bukti Tidak ada bukti kekerasan kekerasan Penganiayaan biasa Sumber: Polres Gorontalo Kota 20 Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka F. A. Talani Pada Tanggal 10 April

13 Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa tingkat penganiayaan yang dilaporkan ke Polres Gorontalo Kota sangat tinggi. Jumlah tindak pidana penganiayaan yang ditangani oleh Polres Gorontalo Kota terjadi secara fluktuatif yakni tidak tetap atau naik turun. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di atas berdasarkan jumlah kasus penganiayaan yang setelah dianalisa kesehatan oleh dokter baik hasilnya yang mempunyai bukti kekerasan fisik ataupun tidak. Pada tahun 2012, setelah dilakukan analisa kesehatan oleh dokter tercatat ada 97 kasus penganiayaan yang ada bukti kekerasan fisik, pada tahun 2013 jumlah kasus turun menjadi 88 kasus, dan pada tahun 2014 kasus tersebut sangat naik yakni tercatat ada 103 kasus penganiayaan yang ada bukti kekerasan fisik. Kemudian jumlah penganiayaan yang tidak ada bukti kekerasan fisik, pada tahun 2012 tercatat ada 43 kasus, tahun 2013 jumlah kasus turun menjadi 33 kasus dan pada tahun 2014 naik menjadi 57 kasus. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bripka Mohamad Tadda menyebutkan bahwa untuk penganiayaan yang tidak terdapat bukti kekerasan, maka tersangka dalam kasus tersebut dikenai Pasal 352 tentang tindak pidana ringan. Apabila bukti visum terhadap kasus tersebut belum cukup membuktikan tentang tindak pidana yang terjadi, maka keterangan saksi yang melihat dan mendengar sangat diperlukan guna mendapatkan kebenaran materiil terhadap tindak pidana yang terjadi. Beliau juga menyebutkan bahwa apabila bukti analisa kesehatan yang tertuang dalam visum et repertum belum jelas, maka penyidik belum akan melimpahkan kasusnya ke kejaksaan. Sehingga tidak ada kasus dikembalikan oleh pihak kejaksaan dengan alasan bukti visum yang kurang jelas Biaya Menurut Pasal 136 KUHAP menyebutkan bahwa: 21 Wawancara dengan Anggota Min Reskrim Polres Gorontalo Kota, Bripka Muh. Tadda Pada 15 April

14 Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam bagian kedua Bab XIV ditanggung oleh negara. 22 Pasal 136 KUHAP sudah menegaskan bahwa semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan/penyidikan, termasuk visum ditanggung oleh negara. Hal ini berbeda dengan data yang diperoleh penulis di lapangan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bripka F.A. Talani yang menyebutkan bahwa adapun biaya yang digunakan untuk permintaan pemeriksaan hasil visum serta pengobatan korban pada saat perawatan terhadap luka yang diakibatkan oleh penganiayaan tersebut seluruhnya dibebankan pada korban. Dalam pemeriksaan korban ditemani oleh penyidik datang ke dokter yang di tunjuk langsung oleh pihak Rumah Sakit yang dituju. 23 Berdasarkan wawancara dengan Bripka Muh. Tadaa dimana bukan hanya pemeriksaan dan pengobatan terhadap korban saja yang dikenakan biaya. Akan tetapi pada saat pengambilan hasil visum juga korban tetap harus mengeluarkan biaya. Kepolisian dalam hal ini adalah penyidik hanya mengantarkan saja korban pada saat pemeriksaan dan pada saat pengambilan hasil visum. Karena segala sesuatu biaya dalam hal pemeriksaan, pengobatan korban ataupun pengambilan hasil visum Polres Gorontalo Kota tidak mempunyai anggaran tersendiri. Akan tetapi pada saat pengambilan hasil visum juga korban tetap harus mengeluarkan biaya.sehingga terkadang korban merasa terbebani dengan biaya tersebut. Biaya untuk Visum et repertum sendiri telah berdasarkan ketentuan yang ada Kurangnya koordinsi antara pihak penyidik dengan Korban Dalam perkara ini perlu adanya koordinasi antara pihak penyidik dan korban tindak pidana penganiayaan tersebut. Karena berdasarkan hasil 22 Pasal 136KUHAP 23 Wawancara dengan Penyidik Polres Gorontalo Kota, Bripka F. A. Talani Pada tanggal 10 April Wawancara dengan Anggota Min Reskrim, Bripka Muh. Tadaa, pada Tanggal 15 April

15 wawancara penulis dengan Bripka Mohamad Tadda, diamana dalam pengambilan hasil visum, korban harus ikut bersama penyidik ke Rumah Sakit tempat dilakukannya pemeriksaan korban tersebut guna pembayaran pengambilan hasil visum. Apabila korban tidak merespon pemberitahuan dari penyidik dalam hal pengambilan hasil visum, maka proses penyidikan pun masih akan terhambat sampai hasil visum itu diambil pada dokter yang memeriksa korban tersebut. Hal itu juga mengantisipasi hal-hal yang merugikan pihak penyidik, karena pernah terjadi kasus dimana ketika penyidik mengambil hasil visum tanpa didampingi langsung oleh korban yang bersangkutan ternyata korban tersebut sudah tidak keberatan lagi dengan tindak pidana yang terjadi terhadap dirinya. Sehingga menurut Bripka Mohamad Tadda, hal tersebut merugikan pihak penyidik dalam hal biaya yang sebelumnya dipinjamkan oleh penyidik pada saat pengambilan hasil visum. 25 Dalam hal ini juga untuk pengungkapan suatu tindak pidana, penyidik diharuskan untuk mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan. Namun dalam pemenuhan bukti-bukti tersebut pihak penyidik dihadapkan dalam suatu masalah ataupun hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh karena keterbatasan kemampuan atau keahliannya. Sehingga itu dibutuhkan bantuan seorang ahli dalam rangka mencari kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya. Sehingga dalam pengungkapan tindak pidana tersebut, diharuskan adanya koordinasi yang baik antara pihak penyidik dan dokter. Dokter yang melakukan pemeriksaan terhadap korban harus sudah mempunyai kredibilitas dan berdasarkan rekomendasi dari Rumah Sakit yang dituju. Namun pada kenyataannya sering ditemui kendala dimana keterlambatan permintaan visum et repertum maupun dalam pengambilan hasil visum et repertum. Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Mohamad Tadda menyatakan bahwa jangka waktu pengambilan 25 Wawancara dengan Anggota Min Reskrim Polres Gorontalo Kota, Bripka Muh. Tadda Pada Tanggal 15 April

16 hasil visum et repertum tergantung pada penyidik, apakah hasil tersebut akan diambil seminggu setelah pemeriksaan dokter terhadap korban ataupun setahun setelah pemeriksaan. Sehingga apabila hasil visum tersebut belum di ambil oleh penyidik, maka proses penyidikan pun akan semakin lama. DAFTAR PUSTAKA Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter, Profesi Dokter, Jakarta, Erlangga, 1991 KUHP dan KUHAP WAWANCARA Bripka F. A Talani, Penyidik Polres Gorontalo Kota Brigadir Nenang S Mustafa, Penyidik Polres Gorontalo Kota Brigadir M. Redah Mardjun, Penyidik Polres Gorontalo Kota Brigadir Syairulan Radjak, Penyidik Polres Gorontalo Kota Bripka Muh. Tadda, Anggota Min Reskrim Polres Gorontalo Kota 15

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para aparat penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA Yusup Khairun Nisa 1 Johny Krisnan 2 Abstrak Pembuktian merupakan hal terpenting dalam proses peradilan, proses ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang banyak ini tentu akan menyebabkan Indonesia memiliki perilaku dan

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN SKRIPSI/ PENULISAN HUKUM TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Disusun oleh : Laurensius Geraldy Hutagalung NPM

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN Zulaidi, S.H.,M.Hum Abstract Criminal proceedings on the case relating to the destruction of the body, health and human life, the very need

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum VISUM et REPERTUM Pengertian Menurut bahasa: berasal dari kata latin yaitu visum (sesuatu yang dilihat) dan repertum (melaporkan). Menurut istilah: adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan

Lebih terperinci

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN Manumpak Pane Wakil Ketua Kejaksaan Tinggi Maluku Korespondensi: manumpak.pane@yahoo.com Abstrak Kejahatan korporasi

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

Urgensi Pemeriksaan Kedokteran Forensik pada Fase Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Pidana Oleh: Dr. Y.A. Triana Ohoiwutun, S.H., M.H.*) 1. Pendahuluan Dalam penerapan dan penegakan hukum, khususnya

Lebih terperinci

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes visum et Repertum Keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwewenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana. 22 BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, BENTUK UMUM VISUM ET REPERTUM, DAN VISUM ET REPERTUM MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM A. Tinjauan Umum Penyidikan a. Pengertian Berdasarkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN ABSTRAK. Pengadilan Negeri Gorontalo. Hasil penelitian yang diperoleh adalah terhadap penerapan Pasal 56 KUHAP tentang

PENDAHULUAN ABSTRAK. Pengadilan Negeri Gorontalo. Hasil penelitian yang diperoleh adalah terhadap penerapan Pasal 56 KUHAP tentang ABSTRAK Ririn Yunus, Nim : 271409027. Hukum Pidana, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo. Penerapan Pasal 56 KUHAP Tentang Hak Terdakwa Untuk Mendapatkan Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2

KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2 Ardhyan Y.: Kewenangan Penyidik Polisi Terhadap Vol. III/No.10/September/2016 Jurnal Ilmu Hukum KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1 Oleh : Yosy Ardhyan

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Jurnal Skripsi TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Disusun oleh : 1.Laurensius Geraldy Hutagalung Dibimbing

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHUUAN. lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh. pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama.

BAB I PENDAHUUAN. lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh. pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama. BAB I PENDAHUUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya perkembangan pengetahuan, seringkali menyebabkan seseorang tidak dapat menyelesaikan permasalahanya sendiri. Seseorang itu mau tidak mau harus memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pergaulan hidup manusia, baik individu maupun kelompok sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup, terutama norma hukum yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa: BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dan kajian penulis tentang penerapan banutan Psikiater dan ilmu Psikiatri Kehakiman dalam menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelidikan dan Penyidikan Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PERANAN BUKTI FORENSIK DAN LAPORAN INTELEJEN PADA TAHAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME DI KOTA MEDAN (STUDI DI POLRESTA MEDAN)

TINJAUAN YURIDIS PERANAN BUKTI FORENSIK DAN LAPORAN INTELEJEN PADA TAHAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME DI KOTA MEDAN (STUDI DI POLRESTA MEDAN) TINJAUAN YURIDIS PERANAN BUKTI FORENSIK DAN LAPORAN INTELEJEN PADA TAHAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME DI KOTA MEDAN (STUDI DI POLRESTA MEDAN) SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban terhadap negara dan kegiatan penyelenggaraan negara harus berlandaskan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat, baik itu dalam usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akibat kemajuan teknologi baik dibidang informasi, politik, sosial, budaya dan komunikasi sangat berpengaruh terhadap tujuan kuantitas dan kualitas tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP

Lebih terperinci

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna PENGANTAR MEDIKO-LEGAL Budi Sampurna PROFESI KEDOKTERAN SUMPAH HIPOKRATES : LARANGAN-LARANGAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN (Hindari perbuatan amoral / non standar) UTAMAKAN KEBEBASAN PROFESI RAHASIA KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Visum et Repertum 2.1.1. Pengertian Visum et Repertum Secara harfiah kata Visum et Repertum berasal dari kata visual (melihat) dan reperta (temukan), sehingga Visum et Repertum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO NOMOR: 203/Pid.Sus/2011/PN.Skh

BAB III TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO NOMOR: 203/Pid.Sus/2011/PN.Skh BAB III TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO NOMOR: 203/Pid.Sus/2011/PN.Skh A. Deskripsi Kasus tentang Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berdasarkan Putusan

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah meliputi semua aspek kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari semua aspek kehidupan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN. BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.SKH A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah Negara Hukum yang demokrasi (democratische rechtstaat) dan sekaligus adalah

Lebih terperinci

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

KONSEP MATI MENURUT HUKUM KONSEP MATI MENURUT HUKUM A. DEFINISI KEMATIAN Menurut UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 117, kematian didefinisikan sebagai Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi system jantung-sirkulasi

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Prosedur tetap (protap) pembuatan visum et repertum. a. Pemeriksaan korban hidup. b. Pemeriksaan korban mati

BAB VI PENUTUP. 1. Prosedur tetap (protap) pembuatan visum et repertum. a. Pemeriksaan korban hidup. b. Pemeriksaan korban mati BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil pengamatan dan pembahasan dapat ditarik sebagai kesimpulan berikut : 1. Prosedur tetap (protap) pembuatan visum et repertum Didalam prosedur tetap Rumah Sakit Umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan- peraturan yang menentukan perbuatan apa saja yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini semakin meningkat, melihat berbagai macam tindak pidana dengan modus tertentu dan

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum 41 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum terhadap hilangnya nyawa akibat penganiayaan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan pada 80 (delapan puluh) lembar putusan dari 7

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan pada 80 (delapan puluh) lembar putusan dari 7 BAB V PEMBAHASAN Penelitian yang dilakukan pada 80 (delapan puluh) lembar putusan dari 7 (tujuh) pengadilan negeri di Karesidenan Surakarta menunjukkan hasil penelitian bahwa keberadaan Visum et Repertum

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016 PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SIDIK JARI SEBAGAI SARANA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Analisis Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan

BAB IV ANALISIS SIDIK JARI SEBAGAI SARANA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Analisis Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan BAB IV ANALISIS SIDIK JARI SEBAGAI SARANA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN A. Analisis Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Menggunakan Sidik Jari Dalam Perspektif Hukum Positif membuktikan suatu

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci