VI. PENGARUH PERILAKU PETANI DALAM MENGHADAPI RISIKO PRODUKSI TERHADAP ALOKASI INPUT USAHATANI TEMBAKAU

dokumen-dokumen yang mirip
Pengaruh Preferensi Risiko Produksi Petani terhadap Produktivitas Tembakau (E. Fauziyah et al.)

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

I. PENDAHULUAN. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 yang

Lampiran 22. Teknik Budidaya Tembakau Sesuai Anjuran di Kabupaten Pamekasan. oleh petani dan diukur dengan satuan kilogram

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI GANYONG DI DESA SINDANGLAYA

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

III. METODE PENELITIAN. untuk menciptakan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

TINJAUAN PUSTAKA. meramu bahan-bahan kimia (anorganik) berkadar hara tinggi. Misalnya, pupuk urea

VI ANALISIS EFISIENSI TEKNIS

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian menyimpulkan sebagai berikut:

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

PENDAPATAN PETANI TEMBAKAU ANTARA PENGGUNA AIR BOR DENGAN PENGGUNA AIR TADAH HUJAN

ANALISIS DAMPAK SOSIAL EKONOMI TERHADAP ADOPSI TEKNOLOGI PHT PERKEBUNAN TEH RAKYAT. Oleh : Rosmiyati Sajuti Yusmichad Yusdja Supriyati Bambang Winarso

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

V. DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. keriting di lokasi peneltian sudah cukup tinggi, yaitu di atas rata-rata

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prospek Perikanan Di Indonesia

VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI CAISIN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Empiris Ubi Jalar

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Banjar termasuk salah satu wilayah di Kecamatan Banjar Kabupaten

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VIII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

VII ANALISIS PENDAPATAN

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Komoditas Caisin ( Brassica rapa cv. caisin)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

IV METODE PENELITIAN

ANALISIS EFISIENSI ALOKATIF PENGGUNAAN FAKTOR PRODUKSI USAHATANI UBIKAYU

III. KERANGKA PEMIKIRAN

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PENANGKARAN BENIH PADI BERSERTIFIKAT PADA PETANI MITRA DAN NON MITRA

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

VIII. ANALISIS EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR PRODUKSI USAHATANI UBI KAYU. model fungsi produksi Cobb-Douglas dengan penduga metode Ordinary Least

III KERANGKA PEMIKIRAN

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENERAPAN MODEL PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU JAGUNG LAHAN KERING DI KABUPATEN BULUKUMBA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

Analisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

BAB VII FAKTOR-FAKTOR PENDORONG KEBERHASILAN PENGORGANISASIAN KEGIATAN USAHATANI

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 kiranya dapat

I. PENDAHULUAN. Komoditas tanaman pangan yang sangat penting dan strategis kedudukannya

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

I. PENDAHULUAN. penting bagi perkembangan perekonomian nasional di Indonesia. Hal ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identitas Petani Petani Padi Organik Mitra Usaha Tani

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data 4.3. Metode Pengambilan Sampel

VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI JAGUNG MANIS

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. kepemilikan lahan. Karakteristik tersebut secara tidak langsung dapat. yang disusun berdasarkan status kepemilikan lahan.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Persepsi Petani terhadap Perubahan Iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing petani memiliki

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di

II. TINJAUAN PUSTAKA

KUISIONER PRAKTIKUM LAPANG ILMU USAHATANI (Responden : Petani)

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

KUISIONER RESPONDEN. 1. Pendidikan Terakhir (Berikan tanda ( ) pada jawaban) Berapa lama pengalaman yang Bapak/Ibu miliki dalam budidaya padi?

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

III. KERANGKA PEMIKIRAN

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN. 1. Baik pada daerah dataran rendah maupun dataran tinggi, rendahnya

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Mekanisme Pelaksanaan Kemitraan

BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA

Transkripsi:

VI. PENGARUH PERILAKU PETANI DALAM MENGHADAPI RISIKO PRODUKSI TERHADAP ALOKASI INPUT USAHATANI TEMBAKAU Penelitian ini membagi responden berdasarkan agroekosistem (pegunungan, sawah dan tegalan) dan sistem yang mereka gunakan dalam usahatani tembakau (kemitraan atau swadaya). Pembedaan ini harus diuji terlebih dahulu, karena pembedaan tidak akan berarti jika kondisi produksi petani pada agroekosistem dan sistem yang berbeda itu sama. Jika yang terjadi demikian maka sebaiknya analisis dilakukan secara keseluruhan. Tetapi jika petani pada agroekosistem dan sistem usahatani yang berbeda memiliki kondisi produksi yang berbeda pula maka analisis yang dilakukan harus dipisah karena menggabungkan analisis secara keseuruhan akan menghasilkan kesimpulan yang tidak benar. Sehubungan dengan hal tersebut maka harus diuji terlebih dahulu apakah terdapat perbedaan kondisi produksi pada agroekosistem dan sistem usahatani yang berbeda. Tabel 15. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummi Agroekosistem Pegunungan dan Dataran Rendah pada Usahatani Tembakau di Kabupaten Pamekasan Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Konstanta -0.2455 0.1490 1.647 b Bibit 0.3307 0.3160 1.447 b Tenaga Kerja 0.6806 0.0439 15.490 a Input Lain 0.0324 0.0150 2.160 a Dummi Agroekosistem 0.0704 0.0069 10.368 a LR test 18.43 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Dari hasil analisis produksi dengan memasukkan dummi agroekosistem pada Tabel 15 diperoleh gambaran bahwa produksi tembakau pada agroekosistem pegunungan berbeda dengan kondisi produksi tembakau pada agroekosistem dataran rendah (sawah dan tegal), ini ditunjukkan oleh nilai variabel dummi

105 agroekosistem yang signifikan pada α = 0.01. Oleh karena itu dalam pembahasan selanjutnya akan di bedakan antara petani yang berada pada agroekosistem pegunungan dengan petani pada agroekosistem dataran rendah (sawah dan tegalan). Analisis yang sama juga dilakukan untuk melihat apakah produksi tembakau pada agroekosistem sawah berbeda dengan agroekosistem tegalan, dan hasilnya menunjukkan bahwa dummi agroekosistem signifikan pada α = 0.01. Adanya perbedaan kondisi produksi pada ketiga agroekosistem tersebut mengharuskan pembahasan tersendiri pada masing-masing agroekosistem. Tabel 16. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummi Agroekosistem Sawah dan Tegalan pada Usahatani Tembakau di Kabupaten Pamekasan Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Konstanta -0.0356 0.1868-0.1907w Bibit 0.3917 0.0189 20.6558 a Tenaga Kerja 0.5587 0.0479 11.6748 a Input Lain 0.0129 0.0042 3.0714 a Dummi Agroekosistem 0.1074 0.0456 2.3553 a LR test 36.74 Keterangan : a nyata pada taraf α=0.01 Sistem usahatani tembakau di Kabupaten Pamekasan dikategorikan menjadi dua yaitu kemitraan dan swadaya. Analisis serupa dilakukan untuk mengetahui apakah kondisi produksi pada kedua sistem tersebut berbeda. Tabel 17 menunjukkan adanya perbedaan kondisi produksi diantara kedua sistem usahatani tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh parameter dummi sistem usahatani yang signifikan pada α = 0.05. Implikasinya adalah pembahasan tentang pengaruh perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi terhadap alokasi input usahatani tembakau di Kabupaten Pamekasan, harus dibedakan berdasarkan agroekosistem dan sistem usahataninya.

106 Tabel 17. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummi Sistem Usahatani Tembakau di Pegunungan, Tegalan, dan Sawah di Kabupaten Pamekasan Tahun 2009 Pegunungan Variabel Koefisien Standar Error T hitung Konstanta -1.2190 0.2876 7.6142 a Bibit 0.7056 0.0562 12.546 a Tenaga Kerja 0.4914 0.0824 5.9628 a Input Lain 0.2865 0.1011 2.8338 a Dummi system 0.0767 0.0113 6.7653 a LR test 34.81 Tegalan Konstanta 0.6666 0.3249 2.0516 a Bibit 0.4275 0.0492 8.6941 a Tenaga Kerja 0.3179 0.0588 5.4001 a Input Lain 0.1460 0.0760 1.9210 b Dummi system 0.1166 0.0743 1.5696 b LR test 9.52 Sawah Konstanta -1.1941 0.3427-3.4840 a Bibit 0.6273 0.0857 7.3164 a Tenaga Kerja 0.5239 0.1013 5.1727 a Input Lain 0.0081 0.0040 2.0250 a Dummi system 0.0881 0.0241 3.6594 a LR test 75.39 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Perilaku Petani dalam Menghadapi Tembakau Risiko Produksi pada Usahatani Usahatani tembakau pegunungan dengan sistem kemitraan Komoditas tembakau yang ditanam pada agroekosistem pegunungan memiliki kualitas aromatik yang sangat disukai oleh semua pabrik rokok, dan memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Oleh karena itu permintaan terhadap tembakau pegunungan sangat tinggi. Kondisi ini mendorong sebagian oknum petani untuk mencampur tembakau pegunungan dengan tembakau yang berasal dari dataran rendah (tembakau sawah atau tembakau tegalan). Kejadian ini membuat pabrik rokok Sampoerna atau pabrik rokok lain merasa kehilangan kualitas tembakau yang diinginkan. Berawal dari kejadian ini mereka berupaya

107 untuk menjalin kemitraan dengan petani yang berada pada agroekosistem pegunungan, dengan harapan mereka akan memperoleh tembakau dengan kualitas yang diharapkan. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 18) ditunjukkan bahwa luas lahan, bibit, tenaga kerja, pupuk ZK, pupuk NPK, pestisida, dan fungisida berpengaruh positif terhadap produksi tembakau. Jika luas lahan ditambah sebesar 1 persen maka produksi tembakau akan meningkat sebesar 0.193 persen dengan asumsi ceteris paribus. Hal yang sama juga akan terjadi jika bibit, tenaga kerja, pupuk ZK, pupuk NPK, pestisida, dan fungisida ditambah sebesar 1 persen maka produksi akan bertambah masing-masing sebesar 0.084, 0.206, 0.425, 0.145 dan 0.044 persen dengan asumsi ceteris paribus. Jika penggunaan input ditingkatkan, maka dipastikan petani akan dapat menghasilkan tingkat produksi yang lebih tinggi, hal ini disebabkan karena : (1) pupuk NPK mengandung unsur yang lengkap sehingga penambahan pupuk tersebut dapat meningkatkan produksi tembakau, (2) kebijakan penggunaan pupuk majemuk merupakan hal yang sangat relevan dengan upaya peningkatan produksi tembakau, (3) usahatani tembakau tergolong sebagai usahatani yang labour intensive karena hampir 90 persen kegiatan budidaya dilakukan oleh tenaga kerja manusia, mulai dari pembuatan bedengan, penanaman, penyiraman, pemupukan, pemetikan daun pada saat panen sampai dengan penanganan pasca panen, sehingga semakin banyak tenaga kerja yang dicurahkan diharapkan dapat meningkatkan produksi tembakau, dan (4) penggunaan pestisida dan fungisida dapat menekan risiko produksi akibat serangan hama dan penyakit yang seringkali merusak tanaman tembakau pada fase pertumbuhan.

108 Tabel 18. Hasil Estimasi Maksimum Likelihood untuk Parameter Model Fungsi Produksi Frontir dengan Struktur Heteroskedastik pada Produksi Tembakau Pegunungan dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Fungsi Produksi Konstanta Luas Lahan Bibit Tenaga kerja ZK NPK Pestisida Fungisida 2.599 0.193 0.084 0.206 0.425 0.145 0.044 0.156 0.932 0.114 0.065 0.045 0.082 0.116 0.032 0.036 2.788 a 1.689 b 1.291 b 4.587 a 5.156 a 1.254 b 1.353 b 4.325 a LR 110.328 Fungsi Risiko Konstanta Luas lahan Bibit Tenaga kerja ZK NPK Pestisida Fungisida 0.241 0.032-0.008-0.006-0.006-0.023-0.008-0.311 0.108 0.014 0.008 0.005 0.009 0.014 0.004 0.005 2.234 a 2.303 a -0.987 a -1.292 b -0.650 a -1.586 b -1.964 b -58.507 a LR 46.35 Fungsi Inefisiensi Konstanta Luas Lahan Bibit Tenaga kerja ZK NPK Pestisida Fungisida -0.742-0.121-0.050-0.035-0.123-0.043-0.067 0.014 0.340 0.125 0.031 0.015 0.053 0.157 0.030 0.045-2.184 a -0.969-1.621 b -2.318 a -2.321 a -0.275 a -2.221 a 0.312 a LR 7.53 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Pada fungsi risiko terdapat empat jenis input yang signifikan yaitu : tenaga kerja, NPK, pestisida dan fungisida. Jika input-input tersebut ditambah dengan asumsi ceteris paribus maka akan menyebabkan penurunan besaran risiko produksi tembakau. Penambahan penggunaan tenaga kerja mulai dari pengolahan tanah sampai dengan pasca panen dalam usahatani tembakau akan mendorong usahatani tersebut berjalan secara lebih intensif sehingga risiko kegagalan dapat

109 diminimalisasikan. Sedangkan penambahan pupuk NPK akan meningkatkan ketersediaan unsur tersebut dalam tanah, kecukupan unsur ini sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya kerusakan pada fase pertumbuhan, yang pada gilirannya akan dapat mencegah terjadinya risiko kerusakan pada masa tersebut. Penambahan pestisida dan fungisida masih sangat dibutuhkan untuk mengurangi risiko kegagalan akibat serangan hama dan penyakit. Penambahan tenaga kerja, NPK, fungisida dan pestisida dapat menurunkan risiko produksi hal ini juga menjadi indikasi bahwa penggunaan input tersebut masih underuse, ini dapat disebabkan karena rekomendasi penggunaan input input dari pabrik rokok yang menjadi mitra petani tembakau kurang tepat, dan kekurangpahaman petani tentang teknologi yang disarankan oleh pihak pabrik. Bibit, tenaga kerja, pupuk ZK, dan pestisida seluruhnya berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Artinya jika bibit yang dipergunakan dinaikkan jumlahnya, maka akan terjadi penurunan inefisiensi teknis, karena kerusakan pada sebagian tanaman bisa segera disulam dengan bibit yang lain. Hal yang serupa juga akan terjadi jika tenaga kerja, pupuk ZK dan pestisida ditambah maka dapat menurunkan inefisiensi teknis usahatani tembakau. Analisis ini memberikan gambaran bahwa jika petani tembakau akan mengurangi atau menurunkan besaran risiko dengan menambahkan input pestisida, maka tindakan tersebut juga dapat menurunkan inefisiensi teknis pada usahatani tembakau. Sehingga peningkatan produksi akan dapat dicapai karena penambahan pestisida akan mereduksi risiko produksi dan inefisiensi teknis, dimana kedua faktor tersebut merupakan kendala petani dalam mencapai produksi yang potensial.

110 Perilaku risiko petani tembakau pada agroekosistem pegunungan yang menjalankan sistem kemitraan, dan setelah diuji dengan menggunakan uji t ratarata ditunjukkan dalam Tabel 19. Bila dilihat dari rata-rata nilai θ dan λ maka petani tembakau yang bergabung dalam kemitraan dengan pabrik rokok Sampoerna dikategorikan sebagai petani yang berperilaku risk taker terhadap semua input yang digunakan kecuali input bibit. Pada penggunaan input bibit, petani lebih memilih untuk bersikap risk neutral. Perilaku risk taker yang dipilih oleh petani yang bermitra dengan pabrik rokok dapat terjadi karena : (1) pada usahatani kemitraan terdapat kegiatan pendampingan yang intensif dari pabrik rokok mulai dari pengolahan tanah sampai dengan perlakuan pasca panen, (2) apabila terjadi kerusakan pada tanaman tembakau, petani merasa yakin dapat mengatasi permasalahan tersebut secara bersama-sama dengan pihak yang bermitra, (3) petani tidak terkendala oleh masalah finansial untuk mendapatkan input yang dibutuhkan, hal ini disebabkan karena semua input kecuali tenaga kerja dan lahan disediakan oleh pabrik, dan (4) sikap risk taker terhadap penggunaan input tenaga kerja dapat terjadi karena tenaga kerja yang digunakan sebagian besar berasal dari dalam keluarga atau arisan dengan sesama petani yang ukuran lahanya hampir sama. Petani yang bermitra dengan pabrik rokok, sebagian besar tergabung dalam kelompok tani, dan rata-rata memiliki skala usahatani 0.48 Ha. Walaupun skala usahataninya tidak terlalu besar, namun mereka lebih memilih untuk berperilaku risk taker terhadap risiko produksi. Hasil penelitian ini mendukung temuan Ayinde et al. (2008), yang menyatakan bahwa, banyak sekali petanipetani di Kwara Nigeria yang memiliki skala usahatani kecil berperilaku risk

111 taker. Hal ini bisa terjadi karena mereka tergabung dalam sebuah kelompok tani, dan kelompok tersebut menjadi fasilitas bagi petani untuk berbagi pengalaman sehingga dapat mereduksi ketakutan terhadap risiko. Tabel 19. Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Pegunungan dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Input Produksi Rata-Rata Nilai θ Rata-Rata Nilai λ Petani Sampel Petani Sampel Luas Lahan 0.0665 0.3239 Bibit 0.0000 0.3240 Tenaga Kerja 0.0013 0.3240 Pupuk ZK 0.0015 0.3239 Pupuk NPK 0.0008 0.3239 Pestisida 0.0766 0.3239 Fungisida 0.0678 0.3870 Rata-Rata 0.0305 0.3329 Uji t rata-rata H0 : θ = 0 ditolak H0 : λ = 0 ditolak H1 : θ > 0 diterima H1 : λ > 0 diterima Nilai rata-rata θ lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata λ, ini berimplikasi bahwa komponen inefisiensi memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keputusan penggunaan input-input dibandingkan dengan komponen risiko, dengan kata lain keputusan petani tembakau untuk menggunakan input input dalam usahataninya lebih dipengaruhi oleh keinginan untuk mencapai efisiensi teknis yang tinggi daripada ketakutan terhadap risiko produksi. Hal ini dapat terjadi karena dengan sistem usahatani kemitraan, petani tidak dihadapkan pada ketidakpastian harga sehingga peningkatan keuntungan hanya dapat dicapai dengan meningkatkan produksi, dan ini dapat ditempuh dengan jalan meningkatkan efisiensi teknisnya. Usahatani tembakau pegunungan dengan sistem swadaya Tidak semua petani tembakau yang berada pada agroekosistem pegunungan menyukai sistem usahatani kemitraan. Umumnya mereka adalah petani yang memiliki lahan lebih dari satu hektar, dan memiliki modal yang cukup

112 besar. Alasan dominan yang membuat mereka merasa keberatan melakukan kemitraan adalah keterikatan dengan pabrik menghilangkan peluang mereka untuk mendapatkan harga tembakau lebih tinggi dari yang ditawarkan oleh Bandol atau Juragan. Selain itu petani swadaya merasa lebih bebas untuk menjalankan kegiatan usahataninya karena tidak terikat oleh aturan-aturan yang ada dalam sistem usahatani kemitraan. Berdasarkan hasil analisis ditunjukkan bahwa bibit, tenaga kerja, pupuk urea, pupuk ZA dan pestisida berpengaruh positif terhadap produksi tembakau. Jika bibit ditambah sebesar 1 persen maka produksi tembakau akan meningkat sebesar 0.156 persen (dengan asumsi ceteris paribus). Penambahan tenaga kerja, pupuk urea, pupuk ZA dan pestisida sebesar 1 persen, akan meningkatkan produksi tembakau berturut-turut sebesar 0.136, 0.660, 0.092 dan 0.103 persen (Tabel 20). Fungsi ini mencerminkan bahwa petani underuse dalam penggunaan pupuk, kondisi ini bisa terjadi karena : (1) teknik atau cara pemupukan yang mereka lakukan kurang tepat akibatnya banyak pupuk yang tidak terserap dengan baik oleh akar tanaman, (2) sebagian besar petani tidak tergabung dengan kelompok tani, sehingga mengalami kesulitan untuk mengakses pupuk yang dibutuhkan, (3) petani tidak mengetahui teknik budidaya yang direkomendasikan, karena mereka melakukan usahatani berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh secara turun-temurun, (4) terbatasnya jumlah penyuluh pertanian menjadi kendala untuk mensosialisasikan teknik-teknik budidaya yang benar, terutama pada agroekosistem yang sulit untuk dijangkau, (5) tenaga kerja yang berusia produktif lebih menyukai bekerja diluar sektor pertanian, bagi petani yang modalnya terbatas kondisi ini akan menyebabkan curahan tenaga kerja di

113 sektor usahatani berkurang, dan (6) adanya keterbatasan infrastruktur seperti jalan, angkutan, kios-kios saprodi juga menjadi kendala bagi petani untuk menggunakan input yang sesuai dengan rekomendasi (Fauziyah et al., 2009) Tabel 20. Hasil Estimasi Maksimum Likelihood untuk Parameter Model Fungsi Produksi Frontir dengan Struktur Heteroskedastik pada Produksi Tembakau Pegunungan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Fungsi Produksi Konstanta Bibit Tenaga kerja Urea TSP ZA Pestisida 0.303 0.156 0.136 0.660 0.023 0.092 0.103 0.395 0.062 0.105 0.064 0.035 0.047 0.059 0.768 a 2.512 a 1.293 b 10.326 a 0.651 a 1.953 a 1.749 a LR 40.87 Fungsi Risiko Konstanta Bibit Tenaga kerja Urea TSP ZA Pestisida 0.273-0.012-0.027-0.008 0.007 0.010-0.005 0.315 0.042 0.007 0.044 0.027 0.030 0.045 0.864 a -0.278 a -3.621 a -0.178 a 0.237 a 0.334 a -0.124 a LR 10.67 Fungsi Inefisiensi Konstanta Bibit Tenaga kerja Urea TSP ZA Pestisida -0.698-0.065-0.109-0.013-0.031-0.014-0.016 0.291 0.038 0.070 0.041 0.023 0.296 0.038-2.340 a -1.677 b -1.552 b -0.321 a -1.356 b -0.463 a -0.419 a LR 16.67 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Implikasi kebijakan yang bisa dilakukan adalah : (1) pemerintah diharapkan membantu petani untuk dapat mengakses modal dari lembagalembaga keuangan formal, dengan membuat program-program kredit yang sesuai dengan kemampuan petani tembakau, sehingga petani tidak terjerat dalam

114 lembaga keuangan non formal, (2) mengintensifkan kegiatan penyuluhan dengan harapan petani mengetahui teknik budidaya mulai dari pengolahan tanah sampai pasca panen yang sesuai dengan anjuran, (3) diperlukan peningkatan jumlah tenaga kerja penyuluh, dan peningkatan teknik-teknik ketrampilan penyuluhan supaya mereka dapat diterima oleh petani sehingga petani merasa bahwa kehadiran mereka memberikan manfaat yang besar dalam usahatani tembakaunya, dan (4) perbaikan infrastrutur seperti perbaikan jalan, perbaikan saluran irigasi, menyediakan angkutan sampai ke pelosok desa yang sulit dijangkau, dan memperbanyak kios-kios sarana produksi. Pada fungsi risiko, input tenaga kerja berpengaruh negatif artinya jika input tenaga kerja ditambah maka akan menyebabkan penurunan risiko produksi tembakau, hal ini dapat terjadi karena dengan ketersediaan tenaga kerja yang cukup, maka kegiatan pengolahan tanah sampai dengan pasca panen akan berjalan lebih baik sehingga risiko kegagalan yang disebabkan karena kekurangan tenaga kerja dapat dihindari. Pada agroekosistem pegunungan, penawaran tenaga kerja untuk sektor pertanian sangat terbatas, dan sebagian besar hanya memanfaatkan tenaga kerja dari dalam keluarga. Hal ini disebabkan karena tenaga kerja yang tidak memiliki lahan sebagian besar bermigrasi keluar daerah. Hasil penelitian ini mendukung temuan Kumbhakar (2002) dan Villano (2006) yang menunjukkan bahwa penambahan tenaga kerja memiliki dampak yang signifikan terhadap penurunan risiko. Input bibit, tenaga kerja, dan pupuk TSP, seluruhnya berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Artinya jika tenaga kerja ditambah maka dapat menurunkan inefisiensi teknis usahatani tembakau, hal yang sama juga terjadi

115 jika pemberian bibit dan pupuk TSP ditingkatkan penggunaannya. Analisis ini memberikan gambaran bahwa jika petani tembakau akan mengurangi atau menurunkan risiko dengan menambahkan pemakaian tenaga kerja maka perilaku tersebut juga dapat menurunkan inefisiensi teknis usahatani tembakau, sehingga mendorong petani tembakau untuk berproduksi secara lebih efisien. Tabel 21. Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Pegunungan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Input Produksi Rata-Rata Nilai θ Rata-Rata Nilai λ Petani Sampel Petani Sampel Bibit 0.0131 0.3243 Tenaga kerja 0.1400 0.3348 Urea 0.1639 0.3397 TSP -0.0430 0.3509 ZA -2.4917 0.3417 Pestisida -0.3798 0.3474 Rata-Rata -0.3710 0.2912 Uji t rata-rata H0 : θ = 0 ditolak H1 : θ < 0 diterima H0 : λ = 0 ditolak H1 : λ > 0 diterima Gambaran mengenai perilaku petani dalam menghadapi risiko ditunjukkan dalam Tabel 21. Petani tembakau pada agroekosistem pegunungan yang menggunakan sistem usahatani swadaya memilih untuk bersikap risk taker terhadap penggunaan pupuk urea, bibit, dan tenaga kerja. Hal ini disebabkan karena : (1) rata-rata petani dalam kategori ini memiliki skala usaha yang besar dan permodalan yang cukup kuat, (2) bibit tembakau dapat diperoleh dengan harga yang murah, bahkan setiap tahun dinas perkebunan membagikan bibit secara gratis dalam jumlah yang besar, (3) petani menggunakan pupuk urea secara berlebihan, dan (4) sebagian petani mampu untuk mengupah tenaga kerja di luar keluarga dalam jumlah yang cukup. Sedangkan untuk penggunaan pupuk ZA, TSP, dan pestisida petani berperilaku risk averse. Nilai rata-rata θ negatif dan λ yang positif menunjukan bahwa secara umum petani pada agroekosistem

116 pegunungan yang menggunakan sistem usahatani swadaya berperilaku risk averse terhadap input yang digunakan, ini berarti bahwa dalam berusahatani mereka lebih suka mengambil posisi menghindari risiko. Hasil penelitian tentang perilaku petani yang sebagian besar masuk dalam kategori risk averse ini, sejalan dengan temuan Roger dan Engler (2008), dan Benici et al. (2003). Selain itu nilai rata-rata θ lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata λ, ini berimplikasi bahwa komponen risiko memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keputusan penggunaan input dibandingkan dengan komponen inefisiensi, dengan kata lain keputusan petani tembakau untuk menggunakan input input dalam usahataninya lebih dipengaruhi oleh ketakutan akan risiko kegagalan daripada keinginan untuk mencapai efisiensi teknis yang lebih baik. Ketakutan terhadap risiko produksi menyebabkan alokasi input yang digunakan dalam usahatani masih underuse. Hal ini bisa dilihat pada analisis fungsi produksinya yang menunjukkan bahwa penambahan input-input yang digunakan akan menyebabkan kenaikan produksi tembakau. Menurut Benici et al. (2003) terdapat tiga kegiatan yang dapat dilakukan untuk mereduksi perilaku risk averse yaitu : (1) diversifikasi komoditas yang dihasilkan, (2) mengadopsi teknologi yang memiliki potensi dapat menurunkan risiko produksi, dan (3) meningkatkan pendapatan off farm Usahatani tembakau tegalan dengan sistem kemitraan Usahatani tembakau dengan sistem kemitraan yang terdapat pada agroekosistem tegalan dilakukan dengan pabrik rokok Gudang Garam. Pelaksanaan kemitraan yang terjalin pada agroekosistem ini, tidak sebaik kemitraan pada agroekosistem pegunungan. Pabrik rokok Gudang Garam

117 bertindak sebagai penyedia pupuk dan bibit, dan melakukan pembinaan. Dalam pelaksanaannya pembinaan yang dilakukan tidak seintensif pembinaan yang dilakukan oleh pabrik rokok Sampoerna terhadap petani mitranya. Disamping itu sering terjadi pengingkaran kontrak oleh petani tembakau dalam hal pemasaran produknya. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 22) ditunjukkan bahwa bibit, pupuk urea, pupuk TSP, dan pupuk kandang berpengaruh positif terhadap produksi tembakau. Jika bibit ditambah sebesar 1 persen maka produksi tembakau akan meningkat sebesar 0.055 persen (dengan asumsi ceteris paribus). Penambahan pupuk urea sebesar 1 persen dapat meningkatkan produksi tembakau sebesar 0.13 persen. Sedangkan jika pupuk TSP ditambah sebesar 1 persen maka kenaikan produksi tembakau sebesar 0.321 persen. Hasil analisis ini mencerminkan bahwa masih terdapat peluang yang besar untuk meningkatkan produktivitas tembakau dengan cara meningkatkan penggunaan input-input produksi seperti bibit, pupuk urea, TSP, dan pupuk kandang. Pada fungsi risiko terdapat tiga jenis input yang signifikan yaitu bibit, pupuk urea dan pupuk TSP. Jika penggunaan bibit ditambah maka risiko produksi akan menurun. Begitu juga dengan penambahan pupuk urea atau pupuk TSP juga dapat menyebabkan pengurangan risiko produksi karena penambahan input-input tersebut dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah. Hasil analisis ini tidak sejalan dengan temuan Villano dan Fleming (2004) yang menunjukkan bahwa pupuk dapat meningkatkan risiko pada usahatani padi. Jika pupuk ditambah maka risiko kerusakan tanaman akan meningkat. Kondisi ini bisa terjadi karena ketersediaan unsur hara nitrogen dalam tanah sudah mencukupi,

118 sehingga keberadaan pupuk tidak lagi berfungsi sebagai nutrisi tetapi justru dapat menjadi racun bagi tanaman. Tabel 22. Hasil Estimasi Maksimum Likelihood untuk Parameter Model Fungsi Produksi Frontir dengan Struktur Heteroskedastik pada Produksi Tembakau Tegalan dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Fungsi Produksi Konstanta Bibit Tenaga kerja Urea TSP Pupuk kandang 2.428 0.055 0.051 0.130 0.321 0.217 0.326 0.042 0.044 0.054 0.061 0.052 7.444 a 1.321 b 1.176 b 2.406 a 5.221 a 4.157 a LR 18.20 Fungsi Risiko Konstanta Bibit Tenaga kerja Urea TSP Pupuk kandang 6.609-0.00003-0.00007-0.002-0.005-0.0002 0.360 0.00001 0.00012 0.0011 0.003 0.0003 18.353 a -2.198 a -0.582 b -1.536 b -1.685 b -0.969 b LR 11.18 Fungsi Inefisiensi Konstanta Bibit Tenaga kerja Urea TSP Pupuk kandang -0.336 0.0000013-0.00008-0.0006-0.0035-0.00022 0.103 0.000003 0.00004 0.0004 0.0008 0.00007-3.266 a 0.392 b -1.950 b -1.829 b -4.340 a -2.957 a LR 15.66 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Input tenaga kerja, pupuk urea, pupuk TSP dan pupuk kandang seluruhnya berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Artinya jika tenaga kerja ditambah maka dapat menurunkan inefisiensi produksi tembakau, hal yang sama juga terjadi jika pemberian pupuk urea atau pupuk TSP atau pupuk kandang ditingkatkan. Analisis ini memberikan gambaran bahwa jika petani tembakau akan mengurangi atau menurunkan risiko dengan menambahkan input pupuk urea

119 atau pupuk TSP, maka perilaku tersebut juga dapat menurunkan inefisiensi teknis pada usahatani tembakau, sehingga menyebabkan petani tembakau berproduksi secara lebih efisien. Hasil analisis di atas memberikan gambaran bahwa dalam berusahatani para petani tersebut belum menggunakan input-input sesuai dengan yang direkomendasikan. Kondisi ini bisa disebabkan karena : pertama, petani tidak menjalankan pemberian input sesuai dengan rekomendasi pabrik rokok yang menjadi mitranya. Terdapat kasus dimana sebagian input yang diberikan oleh pabrik rokok dijual untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Kedua, ketidaktahuan petani dalam menggunakan jumlah input yang seharusnya diberikan karena rendahnya frekuensi pembinaan yang dilakukan oleh pabrik mulai dari pengolahan tanah sampai pasca panen. Pembinaaan hanya dilakukan 2-3 kali selama proses usahatani dilakukan (tidak ada pendampingan yang intensif). Ketiga, rendahnya kapasitas manajerial usahatani yang dicerminkan dari rendahnya sebagian besar tingkat pendidikan mereka. Keempat, terbatasnya kesediaan tenaga kerja didalam keluarga karena banyak dari anggota keluarga yang bermigrasi ke luar, disamping itu para petani memiliki keterbatasan dalam membayar tenaga kerja dari luar keluarga. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh gambaran bahwa rata-rata petani berperilaku risk averse terhadap semua input yang digunakan kecuali tenaga kerja (Tabel 23). Ini berarti bahwa dalam berusahatani mereka lebih suka mengambil posisi menghindari risiko. Kondisi ini berbeda dengan kasus kemitraan di agroekosistem pegunungan, dimana petaninya termasuk dalam kategori risk taker atau petani yang lebih suka menghindari risiko. Hal ini dapat terjadi karena

120 komitmen terhadap kemitraan pada agroekosistem pegunungan jauh lebih baik daripada di agroekosistem tegalan. Tabel 23. Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Tegalan dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Input Produksi Rata-Rata Nilai θ Rata-Rata Nilai λ Petani Sampel Petani Sampel Bibit -0.1462 0.1311 Tenaga kerja 0.0004 0.7097 Urea -0.2157 0.3239 TSP -8.2721 0.3239 Pupuk kandang -0.8475 0.3238 Rata-Rata -0.1264 0.0241 Uji t rata-rata H0 : θ = 0 ditolak H0 : λ = 0 ditolak H1 : θ < 0 diterima H1 : λ > 0 diterima Selain itu nilai rata-rata θ lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata λ yang positif ini, berimplikasi bahwa komponen risiko memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keputusan penggunaan input-input dibandingkan dengan komponen inefisiensi, dengan kata lain keputusan petani tembakau untuk menggunakan input input dalam usahataninya lebih dipengaruhi oleh ketakutan akan risiko kegagalan daripada keinginan untuk mencapai efisiensi teknis yang lebih baik. Walaupun sudah terikat dalam sistem kemitraan tetapi petani masih tetap berperilaku risk averse atau lebih memilih untuk menghindari risiko. Kondisi ini dapat terjadi jika kemitraan yang terbentuk tidak berpatokan pada prinsip dasar sebuah kemitraan. Proses kemitraan yang ada hanya berjalan setengah hati, dan bukan didorong oleh keinginan yang kuat untuk mensejahterakan petani tembakau. Disamping itu banyak pihak ketiga seperti oknum bandol dan oknum juragan menginginkan kemitraan tidak berjalan secara terus menerus, karena bagi mereka keberadaan kemitraan dapat menjadi sebab berkurangnya tingkat keuntungan yang dapat diperoleh.

121 Usahatani tembakau tegalan dengan sistem swadaya Dibandingkan dengan jumlah petani yang bermitra dengan pabrik rokok Gudang Garam, petani tembakau pada agroekosistem tegalan yang menggunakan sistem usahatani swadaya jumlahnya jauh lebih besar. Gambaran tentang kondisi produksi, risiko produksi, dan inefisiensi teknis pada petani ini ditunjukkan dalam Tabel 24. Tabel 24. Hasil Estimasi Maksimum Likelihood untuk Parameter Model Fungsi Produksi Frontir dengan Struktur Heteroskedastik pada Produksi Tembakau Tegalan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Fungsi Produksi Konstanta Bibit Tenaga Kerja ZA TSP NPK Pupuk kandang 1.334 0.327 0.048 0.306 0.102 0.070 0.110 0.673 0.068 0.106 0.070 0.062 0.082 0.047 1.984 b 4.800 a 0.456w 4.354 a 1.632 b 0.846w 2.339 a LR 15.66 Fungsi Risiko Konstanta Bibit Tenaga Kerja ZA TSP NPK Pupuk kandang -0.024-0.039-0.115-0.031 0.004-0.124-0.019 0.557 0.029 0.124 0.050 0.026 0.030 0.015-0.043w -1.374 b -0.927w -0.617w 0.168w -4.149 a -1.250 b LR 9.23 Fungsi Inefisiensi Konstanta Bibit Tenaga Kerja ZA TSP NPK Pupuk kandang 0.341 0.027-0.012 0.040-0.001-0.095 0.016 0.145 0.039 0.055 0.051 0.032 0.026 0.032 2.347 a 0.700w -0.216w 0.791w -0.033w -3.664 a 0.505w LR 15.18 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05.

122 Berdasarkan hasil analisis diperoleh gambaran bahwa bibit, pupuk ZA, pupuk TSP, dan pupuk kandang berpengaruh positif terhadap produksi tembakau. Jika bibit ditambah sebesar 1 persen maka produksi tembakau akan meningkat sebesar 0.327 persen (dengan asumsi ceteris paribus). Penambahan pupuk ZA sebesar 1 persen dapat meningkatkan produksi tembakau sebesar 0.306 persen. Jika pupuk TSP ditambah sebesar 1 persen maka kenaikan produksi tembakau sebesar 0.102 persen. Sedangkan penambahan pupuk kandang sebesar 1 persen dapat mendorong kenaikan produksi tembakau sebesar 0.110 persen, hal ini disebabkan karena pupuk kandang dapat berfungsi sebagai : (1) pupuk lengkap yang mengandung semua hara makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman, (2) pupuk kandang mempunyai pengaruh susulan, karena pupuk kandang mempunyai pengaruh untuk jangka waktu yang lama dan merupakan gudang makanan bagi tanaman yang berangsur-angsur menjadi tersedia, (3) dapat memperbaiki struktur tanah sehingga aerasi di dalam tanah semakin baik, (4) meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air, (5) meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga hara yang terdapat di dalam tanah mudah tersedia bagi tanaman, (6) mencegah hilangnya hara dari dalam tanah akibat proses pencucian oleh air hujan atau air irigasi, dan (7) mengandung hormon pertumbuhan yang dapat memacu pertumbuhan tanaman (Souri, 2001). Pada fungsi risiko terdapat tiga jenis input yang signifikan yaitu bibit, pupuk NPK dan pupuk kandang. Jika penggunaan bibit ditambah maka risiko produksi akan menurun. Walaupun input bibit mudah untuk didapatkan bahkan seringkali Dinas Perkebunan membagikan bibit secara gratis, namun petani belum menggunakan input ini secara optimal. Penambahan pupuk NPK dan pupuk

123 kandang juga dapat menyebabkan pengurangan risiko produksi tembakau. Ketidakmampuan petani untuk menyediakan pupuk NPK dan pupuk urea dalam jumlah yang sesuai dengan rekomendasi disebabkan karena keterbatasan modal yang dimiliki, sulit untuk mengakses kredit modal, dan kekurangpahaman petani terhadap teknologi budidaya yang benar. Mereduksi risiko dapat dilakukan dengan memperkecil variasi produksi. Menurut Doll dan Orazem (1978) ini dapat dilakukan dengan cara : (1) dengan melakukan diversifikasi usahatani karena ini bisa mengurangi ketergantungan pada satu jenis komoditas, (2) melakukan kontrak usahatani dengan perusahaan pengolahan, atau pedagang, dan (3) petani lebih bersifat fleksibel dalam merencanakan produksinya, untuk memperoleh keuntungan atau menghindari kerugian dari kejadian yang tidak dapat diprediksi. Pupuk NPK berpengaruh negatif terhadap inefisieni teknis, artinya jika pupuk NPK ditambah maka dapat menurunkan inefisiensi produksi tembakau, analisis ini memberikan gambaran bahwa jika petani tembakau akan mengurangi atau menurunkan risiko dengan menambahkan input pupuk NPK maka perilaku tersebut juga dapat menurunkan inefisiensi produksi tembakau, sehingga menyebabkan petani tembakau berproduksi secara lebih efisien. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh gambaran bahwa rata-rata petani tembakau pada agroekosistem tegalan yang menggunakan sistem swadaya berperilaku risk neutral terhadap input bibit, tenaga kerja, pupuk ZA, dan pupuk TSP kecuali pada input pupuk NPK dan pupuk kandang. Namun secara umum mereka berperilaku risk neutral. Ini berarti bahwa dalam berusahatani mereka tidak menghindari risiko atau menyukai risiko. Menurut Aye dan Oji (2004) perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi dipengaruhi oleh umur, tingkat

124 pendidikan, intensitas pertemuan dengan sesama, serta keanggotaan dalam kelompok tani. Petani yang berada pada agroekosistem tegalan dan menggunakan sistem usahatani swadaya, 90 persen adalah orang-orang yang berusia produktif dan 50 persen tingkat pendidikannya Sekolah Menengah. Karakteristik petani yang seperti ini memungkinkan mereka untuk berperilaku risk neutral terhadap risiko produksi. Tabel 25. Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Tegalan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Input Produksi Rata-Rata Nilai θ Rata-Rata Nilai λ Petani Sampel Petani Sampel Bibit 0.0000 0.3240 Tenaga Kerja 0.0000 0.3272 ZA 0.0000 0.3241 TSP 0.0000 0.3246 NPK 0.0011 0.3266 Pupuk kandang 0.0001 0.3220 Rata-Rata 0.000031 0.3247 Uji t rata-rata H0 : θ = 0 diterima H0 : λ = 0 ditolak H1 : θ 0 ditolak H1 : λ > 0 diterima Nilai rata-rata θ lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata λ hal ini berimplikasi bahwa komponen risiko memberikan pengaruh yang lebih kecil terhadap keputusan penggunaan input-input dibandingkan dengan komponen inefisiensi, dengan kata lain keputusan petani tembakau untuk menggunakan input input dalam usahataninya lebih dipengaruhi oleh keinginan untuk mencapai efisiensi teknis dibandingkan dengan ketakutan terhadap risiko kegagalan. Usahatani tembakau sawah dengan sistem kemitraan Gambaran mengenai pengaruh input terhadap produksi, besaran risiko dan inefisiensi teknis dijelaskan dalam Tabel 26. Berdasarkan hasil analisis ditunjukkan bahwa bibit, tenaga kerja, pupuk urea, dan pupuk TSP, berpengaruh positif terhadap produksi tembakau. Jika bibit ditambah sebesar 1 persen maka

125 produksi tembakau akan meningkat sebesar 0.301 persen (dengan asumsi ceteris paribus). Penambahan tenaga kerja, pupuk urea dan pupuk TSP sebesar 1 persen dapat meningkatkan produksi tembakau berturut-turut sebesar 0.137, 0.064, dan 0.305 persen dengan asumsi ceteris paribus. Kondisi ini menjadi gambaran bahwa petani tembakau pada agroekosistem sawah yang menggunakan sistem kemitraan, dapat meningkatkan produksi tembakau dengan menambah penggunaan input bibit, tenaga kerja, pupuk urea, dan TSP. Pada fungsi risiko terdapat 2 jenis input yang signifikan yaitu luas lahan dan pupuk ZK. Jika penggunaan luas lahan ditambah maka risiko produksi akan meningkat hal ini bisa terjadi karena dengan semakin luas lahan yang digunakan maka akan semakin sulit untuk mengendalikan kegiatan usahatani yang dilakukan, dan risiko kegagalan produksi juga semakin tinggi. Sedangkan penambahan pupuk ZK mendorong penurunan risiko produksi yang diterima petani. Petani dapat memperkecil risiko dengan menurunkan variasi produksi, melalui peningkatan penggunaan pupuk ZK. Input tenaga kerja, pupuk urea, dan pupuk ZK seluruhnya berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Artinya jika tenaga kerja ditambah maka dapat menurunkan inefisiensi produksi tembakau, hal yang sama juga terjadi jika pemberian pupuk urea atau pupuk ZK ditingkatkan. Analisis ini memberikan gambaran bahwa jika petani tembakau akan mengurangi atau menurunkan risiko dengan menambahkan input pupuk urea atau pupuk ZK, maka perilaku tersebut juga dapat menurunkan inefisiensi produksi tembakau, sehingga menyebabkan petani tembakau berproduksi secara lebih efisien. Rendahnya penggunaan pupuk ZK dapat disebabkan karena : (1) jumah input yang diberikan oleh pihak plasma

126 (pabrik rokok Gudang Garam) tidak sesuai dengan rekomendasi teknik budidaya yang ada, (2) keterbatasan modal petani, sehingga mereka tidak mampu membeli kekurangan pupuk ZK yang dibutuhkan, dan (3) sebagian pupuk ZK yang diberikan, tidak dapat diserap oleh tanaman karena ketidaktahuan petani tentang teknik pemberian pupuk yang benar. Tabel 26. Hasil Estimasi Maksimum Likelihood untuk Parameter Model Fungsi Produksi Frontir dengan Struktur Heteroskedastik pada Produksi Tembakau Sawah dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Fungsi Produksi Konstanta Bibit Tenaga Kerja Urea TSP ZK Pupuk Kandang 1.258 0.301 0.137 0.064 0.305 0.005 0.028 0.285 0.102 0.056 0.029 0.084 0.043 0.025 4.411 a 2.962 a 2.455 a 2.189 a 3.617 a 0.105w 1.126w LR 19.27 Fungsi Risiko Konstanta Luas Lahan Bibit Tenaga Kerja Urea TSP ZK Pupuk Kandang 0.780 0.133-0.049-0.027-0.005-0.025-0.072 0.009 0.899 0.113 0.115 0.072 0.066 0.088 0.056 0.048 0.867w 1.183 b -0.430w -0.374w -0.074w -0.284w -1.291 b 0.197w LR 9.23 Fungsi Inefisiensi Konstanta Luas Lahan Bibit Tenaga Kerja Urea TSP ZK Pupuk Kandang -0.066-0.159-0.015-0.048-0.041 0.006-0.039 0.002 0.426 0.053 0.054 0.034 0.031 0.042 0.026 0.023-0.154w -2.974 a -0.274w -1.407 b -1.306 b 0.132w -1.472 b 0.110w LR 15.18 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05.

127 Rata-rata petani tembakau pada agroekosistem sawah yang menggunakan sistem usahatani kemitraan berperilaku risk averse terhadap input yang digunakan. Penyimpangan terhadap komitmen kemitraan yang telah disepakati antara petani dan pabrik rokok, mengakibatkan sistem kemitraan tidak tersebut tidak mampu mereduksi ketakutan petani terhadap risiko produksi (Tabel 27). Tabel 27. Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Sawah dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Input Produksi Rata-Rata Nilai θ Rata-Rata Nilai λ Petani Sampel Petani Sampel Bibit 0.0000 0.0240 Tenaga Kerja 0.0004 0.0240 Urea 0.0052 0.0239 TSP -0.0017 0.0240 ZK -0.0003 0.0240 Pupuk Kandang -0.5845 0.0476 Rata-Rata -0.0967 0.0279 Uji t rata-rata H0 : θ = 0 ditolak H0 : λ = 0 ditolak H1 : θ < 0 diterima H1 : λ > 0 diterima Nilai rata-rata θ lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata λ, ini berimplikasi bahwa komponen risiko memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keputusan penggunaan input-input dibandingkan dengan komponen inefisiensi, dengan kata lain keputusan petani tembakau untuk menggunakan input input dalam usahataninya lebih dipengaruhi oleh ketakutan akan risiko kegagalan produksi daripada keinginan untuk mencapai tingkat efisiensi teknis. Menurut Debertin (1986) ketakutan terhadap risiko dapat direduksi dengan program kemitaan (contrac farming). Tetapi dalam kenyataannya kemitraan antara petani dengan pabrik rokok yang berada pada agroekosistem sawah, tidak membuat para petani bersikap netral terhadap risiko. Ini dapat terjadi karena konsep kemitraan yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) No. 9 tahun 1995 yaitu saling memerlukan, saling memperkuat, saling memperhatikan etika bisnis

128 dan saling menguntungkan tidak dilakukan, sehingga kemitraan yang terjalin gagal untuk mereduksi ketakutan petani terhadap risiko. Usahatani tembakau sawah dengan sistem swadaya Petani-petani yang tidak tergabung dalam kemitraan pada agroekosistem sawah, memberikan gambaran yang berbeda dengan petani yang bermitra dengan pabrik rokok, baik dari sisi produksi, risiko produksi maupun inefisiensi teknis seperti yang ditunjukan dalam Tabel 28. Tabel 28. Hasil Estimasi Maksimum Likelihood untuk Parameter Model Fungsi Produksi Frontir dengan Struktur Heteroskedastik pada Produksi Tembakau Sawah dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Fungsi Produksi Konstanta Bibit Tenaga Kerja Urea ZA Pupuk Kandang Pestisida 4.214 0.660 0.092 0.211 0.016 0.016 0.072 0.940 0.093 0.102 0.092 0.068 0.070 0.056 4.483 a 7.072 a 0.892 a 2.306 a 0.235 a 0.232 a 1.272 b LR 13.12 Fungsi Risiko Konstanta Bibit Tenaga Kerja Urea ZA Pupuk Kandang Pestisida -0.169-0.015-0.021-0.001-0.006 0.022 0.008 0.588 0.006 0.008 0.068 0.062 0.047 0.039-0.288 w -2.474 a -2.475 a 0.021 w -0.104 w 0.474 w 0.202 w LR 77.31 Fungsi Inefisiensi Konstanta 0.871 0.228 3.817 a Bibit -0.077 0.032-2.406 a Tenaga Kerja -0.065 0.029-2.240 a Urea -0.046 0.035-1.301 b ZA 0.003 0.027 0.107 a Pupuk Kandang -0.014 0.026-0.517 a Pestisida 0.001 0.020 0.071 a LR 20.81 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05.

129 Berdasarkan hasil analisis ditunjukkan bahwa bibit, pupuk urea, dan pestisida berpengaruh positif terhadap produksi tembakau. Jika bibit ditambah sebesar 1 persen maka produksi tembakau akan meningkat sebesar 0.660 persen (dengan asumsi ceteris paribus). Penambahan pupuk urea sebesar 1 persen dapat meningkatkan produksi tembakau sebesar 0.211 persen. Sedangkan jika pestisida ditambah sebesar 1 persen maka kenaikan produksi tembakau sebesar 0.072 persen. Fungsi ini memberikan gambaran bahwa petani dapat meningkatkan produksi tembakau dengan memberikan penambahan input bibit, pupuk urea, dan pestisida. Keterbatasan kemampuan petani untuk menambah input-input tersebut disebabkan karena petani tidak memahami teknik budidaya yang benar dan sesuai dengan rekomendasi. Pada fungsi risiko terdapat dua jenis input yang signifikan yaitu bibit dan tenaga kerja. Jika penggunaan bibit ditambah maka risiko produksi akan menurun karena kerusakan pada tanaman dapat disulam jika bibit yang digunakan lebih banyak. Begitu juga dengan tenaga kerja, peningkatan penggunaan tenaga kerja dapat menyebabkan pengurangan risiko produksi tembakau, hal ini disebabkan karena dengan adanya tenaga kerja yang cukup, teknis budidaya dapat dilaksanakan dengan secara lebih baik. Kegiatan pengolahan tanah sampai dengan penanganan pasca panen akan berjalan lebih baik jika tenaga kerja yang dimiliki cukup banyak, sehingga risiko kegagalan yang dikarenakan kurangnya tenaga kerja dapat dihindari. Input bibit, tenaga kerja, dan pupuk urea, seluruhnya berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Artinya jika jumlah bibit yang digunakan ditambah maka inefisiensi produksi dapat diturunkan, begitu juga jika tenaga kerja

130 ditambah maka dapat menurunkan inefisiensi produksi tembakau, hal yang sama juga terjadi jika pemberian pupuk urea ditingkatkan. Analisis ini memberikan gambaran bahwa jika petani tembakau akan mengurangi atau menurunkan risiko dengan menambahkan input bibit, dan tenaga kerja maka perilaku tersebut juga dapat menurunkan inefisiensi produksi tembakau, sehingga menyebabkan petani tembakau berproduksi secara lebih efisien. Petani tembakau pada agroekosistem sawah yang menggunakan sistem swadaya berperilaku risk averse terhadap input yang digunakan, ini berarti bahwa dalam berusahatani mereka lebih suka mengambil posisi menghindari risiko. Walaupun demikian terhadap input bibit, mereka bersifat risk neutral, hal ini disebabkan karena harga bibit relatif murah bahkan seringkali Dinas Perkebunan Kabupaten Pamekasan membagikan input bibit secara gratis Tabel 29. Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Sawah dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Input Produksi Rata-Rata Nilai θ Rata-Rata Nilai λ Petani Sampel Petani Sampel Bibit 0.7028 0.0241 Tenaga Kerja -0.0701 0.0239 Urea -0.5830 0.0420 ZA -0.2733 0.0241 Pupuk Kandang -0.1668 0.0240 Pestisida -0.5615 0.0385 Rata-Rata -0.3929 0.0294 Uji t rata-rata H0 : θ = 0 ditolak H0 : λ = 0 ditolak H1 : θ < 0 diterima H1 : λ > 0 diterima Selain itu nilai rata-rata θ lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata λ, ini berimplikasi bahwa komponen risiko memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keputusan penggunaan input-input dibandingkan dengan komponen inefisiensi, dengan kata lain keputusan petani tembakau untuk mengaloksikan input input dalam usahataninya lebih dipengaruhi oleh ketakutan

131 terhadap risiko produksi daripada keinginan untuk mencapai efisiensi teknis. Ketakutan terhadap risiko produksi dapat direduksi dengan cara bergabung dalam kelompok tani, karena ini merupakan fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk saling berbagi pengalaman (Ayinde et al., 2008). Pengaruh Perilaku Petani dalam Menghadapi Risiko Produksi Usahatani Tembakau terhadap Alokasi Input, Produktivitas dan Keuntungan Diskripsi karakteristik petani tembakau dikaitkan dengan perilaku risiko produksi petani (risk averse, risk neutral, dan risk taker) memberikan gambaran yang lebih menyeluruh tentang petani tembakau di Kabupaten Pamekasan. Tabel 30 menggambarkan bahwa pada agroekosistem dan sistem usahatani yang berbeda ternyata perilaku petani tembakau dalam menghadapi risiko produksi juga berbeda. Pada agroekosistem pegunungan petani yang menggunakan sistem usahatani kemitraan berperilaku risk taker (menyukai risiko) sedangkan petani swadaya lebih memilih untuk menghindari risiko (risk averse), padahal rata-rata tingkat pendidikan dan umur mereka hampir sama. Perbedaan perilaku risiko produksi ini, membawa konsekuensi yang berbeda yaitu petani yang risk averse menghasilkan tingkat produktivitas dan efisiensi teknis yang lebih rendah dibandingkan dengan petani yang risk taker. Sikap risk taker yang ditunjukkan oleh petani yang menggunakan sistem kemitraan, menjadi gambaran bahwa sistem usahatani kemitraan mampu mereduksi ketakutan petani terhadap risiko seperti yang dinyatakan oleh Debertin (1986). Hal ini dapat terjadi karena petani tidak mengalami kendala keterbatasan penggunaan input. Semua input kecuali lahan dan tenaga kerja telah disediakan oleh pihak pabrik. Dalam kemitraan juga terdapat proses pendampingan yang intensif dari pihak pabrik sehingga petani tidak merasa khawatir terhadap risiko produksi.

132 Pada agroekosistem sawah maupun tegalan, petani yang menggunakan sistem usahatani kemitraan memilih untuk menghindari risiko produksi (risk averse). Walaupun rata-rata tingkat pendidikan dan kepemilikan luas lahan pada agroekosistem sawah lebih tinggi, namun hal itu tidak menjadikan mereka berperilaku risk neutral apalagi risk taker. Kondisi ini mencerminkan bahwa agroekosistem dan sistem usahatani tidak mempengaruhi pilihan petani dalam menghadapi risiko. Tabel 30. Karakteristik Petani Tembakau Dikaitkan dengan Perilaku Risiko Produksi di Kabupaten Pamekasan Tahun 2009 Karakteristik Petani Agroekosistem dan Sistem Pegunungan Kemitraan Pegunungan Swadaya Tegal Kemitraan Tegal Swadaya Sawah Kemitraan Sawah Swadaya Perilaku Risiko Risk Taker Risk Averse Risk Averse Risk Neutral Risk Averse Risk Averse Rata-Rata Tingkat Pendidikan Rata- Rata Luas Lahan (Ha) Rata- Rata Umur (Tahun) Produktivitas (Kg/Ha) Efisiensi Teknis SD 0.61 45 861.22 0.89 SD 1.6 46 206.14 0.61 SD 0.62 57 367.42 0.72 SD 0.46 59 180.37 0.63 SMP 1.49 45 772.98 0.86 SMP 0.82 54 289.57 0.79 Petani yang menggunakan sistem usahatani kemitraan dapat menghasilkan tingkat produktivitas dan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang berusahatani dengan sistem swadaya. Kondisi ini dapat terjadi karena : pertama, dalam kemitraan terdapat kegiatan pendampingan. Meskipun frekuensi pendampingan rendah namun kegiatan ini dapat menjadi sarana komunikasi antara petani dengan pihak pendamping untuk membicarakan permasalahan yang sedang

133 dihadapi dan bersama-sama mencari solusinya. Kedua, sebagian besar petani yang menggunakan sistem kemitraan tergabung dalam kelompok tani, sehingga diantara anggota kelompok tani dapat saling berbagi pengalaman dalam menghadapi risiko produksi. Ketiga, petani tidak dihadapkan pada risiko harga sehingga peningkatan keuntungan hanya dapat dicapai apabila petani berusahatani secara efisien. Tabel 31. Konsekuensi Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Pegunungan dengan Sistem Kemitraan terhadap Alokasi Input, Efisiensi Teknis, Produktivitas, dan Keuntungan di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Preferensi Alokasi Input TE Y Π UUT Risiko X1 X2 X3 X4 X5 X6 RT I (0.05) RT II (0.035) RT III (0.021) 22 906 277.5 30.28 111.2 1.02 1.04 0.9 722.2 18.8 >0.73 18 742 261.2 22.9 86.53 0.78 0.69 0.8 615.1 16. 2 0.45-0.73 13 152 151.2 14.54 55.14 0.45 0.45 0.6 391.2 10.2 < 0.45 Keterangan : RT (risk taker), TE (efisiensi teknis),y (produktivitas) dan Π keuntungan produksi (Juta Rupiah),UUT (ukuran usahatani diukur dalam Hektar) Petani tembakau pada agroekosistem pegunungan yang melakukan kemitraan dengan pabrik rokok Sampoerna tergolong sebagai petani yang menyukai tantangan (risk taker) padahal sumberdaya yang mereka miliki tidak terlalu besar (secara keseluruhan rata-rata kepemilikan lahan hanya 0.48 hektar). Keberanian untuk mengambil risiko dapat disebabkan karena proses kemitraan yang terjalin cukup baik, dimana masing-masing pelaku kemitraan berpegang pada komitmen yang telah disepakati. Semakin besar lahan yang dikuasai oleh petani, maka petani semakin berani menghadapi risiko produksi. Konsekuensinya semakin besar alokasi input yang digunakan, kegiatan produksi semakin efisien secara teknis, sehingga semakin besar produktivitas dan keuntungan yang diperoleh (Tabel 31).

134 Tabel 32 menunjukkan bahwa perilaku risk averse dipilih oleh petani tembakau yang menggunakan sistem swadaya pada agroekosistem pegunungan. Semakin sempit lahan yang dimiliki oleh petani, maka petani semakin takut terhadap risiko, akibatnya input yang dialokasikan dalam usahataninya semakin sedikit dan semakin tidak efisien secara teknis, sehingga produktivitas dan keuntungan yang diperoleh juga semakin kecil. Tabel 32. Konsekuensi Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Pegunungan dengan Sistem Swadaya terhadap Alokasi Input, Efisiensi Teknis, Produktivitas, dan Keuntungan di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Preferensi Alokasi Input TE Y Π UUT Risiko X1 X2 X3 X4 X5 X6 RA. I (-3.493) RA.II (-0.773) RA.III (-0.280) 1354 131 43.87 21.42 19.9 6.13 0.4 159.8 3. 8 <1.32 2050 146.6 64.59 21.61 25.9 5.04 0.7 228.2 5. 3 1.32-1.62 2165 154.6 67.31 21.8 33.9 5.59 0.8 230.4 5. 4 >1.62 Keterangan : RA (risk averse) Program kemitraan yang berlangsung pada agroekosistem tegalan tidak berjalan sebagaimana layaknya konsep kemitraan. Proses kemitraan yang ada pada agroekosistem ini telah mengabaikan prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Banyak terjadi kasus-kasus pengingkaran kesepakatan baik dari pihak petani maupun pabrik rokok. Oleh karena itu kemitraan yang terjalin tidak membuat petani bersikap netral terhadap risiko apalagi berani menghadapi risiko. Pada agroekosistem ini petani tetap memilih untuk menghindari risiko (risk averse), karena kemitraan yang mereka jalankan tidak membuat para petani tersebut merasa aman dari risiko produksi. Tabel 33. Konsekuensi Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Tegalan dengan Sistem Kemitraan terhadap Alokasi Input, Efisiensi Teknis, Produktivitas, dan Keuntungan di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Alokasi Input Y TE Π UUT Preferensi Risiko X1 X2 X3 X4 X5