BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi

PROBLEMATIKA MENGANALISIS WACANA SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL MAHASISWA FKIP UNA

BAB I PENDAHULUAN. wacana sangat dibutuhkan untuk mengimbangi perkembangan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan kemampuan berbahasa Indonesia sangat penting sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN. kalimat satu dengan kalimat lain, membentuk satu kesatuan. dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB I PENDAHULUAN. yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi. Kalimat berperan sebagai unsur pembangun bahasa saja. Satuan

KOHESI DAN KOHERENSI WACANA PADA CATATAN MOTIVASI MARIO TEGUH DI PROFIL FACEBOOK

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

Annisa Rakhmawati, Muhammad Rohmadi, Budhi Setiawan Universitas Sebelas Maret

BAB II LANDASAN TEORI. digunakan untuk mengetahui keaslian penelitian yang dilakukan. Tinjauan

ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NASKAH DRAMA BARABAH KARYA MOTINGGO BUSYE : SEBUAH ANALISIS WACANA SASTRA. Rudi A. Nugroho

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Suatu wacana dituntut untuk memiliki keutuhan struktur. Keutuhan

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF WAKTU DAN TEMPAT PADA TEKS LAGU IHSAN DALAM ALBUM THE WINNER

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal Skripsi Mahasiswa PBSI UNP Kediri Tahun 2014

PRATIWI AMALLIYAH A

BAB II LANDASAN TEORI

B AB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam berkomunikasi memerlukan sarana yang sangat

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

ANALISIS PENANDA KOHESI DAN KOHERENSI PADA KARANGAN. NARASI SISWA KELAS VIII MTs AL-HIDAYAH GENEGADAL TOROH GROBOGAN TAHUN AJARAN 2012/2013

NASKAH PUBLIKASI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1. Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

ASPEK LEKSIKAL DAN GRAMATIKAL PADA LIRIK LAGU JIKA KARYA MELLY GOESLOW. Rini Agustina

BAB II KAJIAN PUSTAKA

ANALISIS PENGGUNAAN PIRANTI KOHESI PADA WACANA NASKAH LAKON SANDOSA SOKRASANA: SANG MANUSIA KARYA YANURA NUGRAHA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Menulis merupakan suatu representasi bagian dari kesantunankesantunan

BAB I PENDAHULUAN. sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan sehari-hari manusia dan bahasa tidak dapat

PENANDA HUBUNGAN REPETISI PADA WACANA CERITA ANAK TABLOID YUNIOR TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk,

BAB I PENDAHULUAN. seperti morfem, kata, kelompok kata, kalusa, kalimat. Satuan-satuan tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini, yakni penelitian

BAB I PENDAHULUAN. karena dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhubungan dengan bahasa.

ANALISIS TEKSTUAL POSTER PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PEKAN ILMIAH MAHASISWA NASIONAL TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. bahasa itu, biasanya akan dijawab, bahasa adalah alat komunikasi. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa jurnalistik merupakan ragam bahasa tersendiri yang dipakai dalam

BAB I PENDAHULUAN. pikiran dan perasaannya bilamana tidak saling menyerap tanda-tanda yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri tanpa kehadiran

BAB I PENDAHULUAN. maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca).

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun tulisan. Bahasa juga memegang peranan penting dalam kehidupan sosial

KOHESI LEKSIKAL REPETISI PADA WACANA INTERAKTIF DALAM KOLOM DETEKSI HARIAN JAWA POS EDISI JUNI 2007 SKRIPSI

PENANDA KOHESI GRAMATIKAL KONJUNGSI ANTARKALIMAT DAN INTRAKALIMAT PADA TEKS PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENANDA KOHESI PADA WACANA RUBRIK SUARA MAHASISWA DALAM HARIAN JOGLO SEMAR

ANALISIS WACANA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL KHOTBAH IDUL ADHA

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa lisan merupakan ragam bahasa

BAB II KAJIAN PUSTAKA

ANALISIS WACANA LIRIK LAGU OPICK ALBUM ISTIGFAR (TINJAUAN INTERTEKSTUAL, ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL)

KOHESI DAN KOHERENSI WACANA MOTIVASI MARIO TEGUH GOLDEN WAYS TENTANG WANITA PADA STASIUN METRO TV. Abstract

KOHESI LEKSIKAL DALAM ARTIKEL OPINI KEDAULATAN RAKYAT

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORETIK

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling memahami maksud atau keinginan seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari peristiwa komunikasi untuk mengungkapkan gagasan, ide,

BAB I PENDAHULUAN. sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling vital untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan hal penting yang perlu dipelajari karena bahasa

KAJIAN KOHESI DAN KOHERENSI DALAM NOVEL KADURAKAN ING KIDUL DRINGU KARYA SUPARTO BRATA

BAB I PENDAHULUAN. dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir tidak pernah terlepas

BAB I PENDAHULUAN. sangat berpengaruh terhadap makna yang terdapat dalam sebuah wacana. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa tidak pernah lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Setiap

PENANDA HUBUNGAN REFERENSI DALAM WACANA BERITA PADA SITUS SKRIPSI

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN PERSONA PADA TERJEMAHAN AL-QURAN SURAT AL-KAHFI (SURAT 18)

KOHESI DAN KOHERENSI RUBRIK BERITA MAJALAH MANDUTA TAHUN SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

ANALISIS WACANA PADA TAYANGAN INFOTAINMENT SILET DI RAJAWALI CITRA TELEVISI INDONESIA SKRIPSI

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Pada bagian akhir tesis ini, penulis sajikan simpulan sebagai jawaban atas rumusan

BAB 1 PENDAHULUAN. (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran

BAB I PENDAHULUAN. ada di dalam pikiran kepada orang lain yaitu dengan bahasa, baik secara lisan

KOHESI GRAMATIKAL DAN KOHESI LEKSIKAL DALAM LIRIK GRUP BAND CAPTAIN JACK INTISARI

ANALISIS WACANA CELATHU BUTET PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA: TINJAUAN DARI SEGI KULTURAL, SITUASI, SERTA ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL SKRIPSI

PENANDA KOHESI LEKSIKAL REPETISI PADA WACANA TAJUK RENCANA SURAT KABAR SEPUTAR INDONESIA EDISI MARET 2009

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa bukanlah satu-satunya alat

BAB I PENDAHULUAN. narasi. Di dalam wacana naratif mengandung suatu gagasan atau informasi dari

BAB I PENDAHULUAN. individu maupun kelompok. Ramlan (1985: 48) membagi bahasa menjadi dua

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN PERSONA DALAM WACANA DIALOG ACARA BUKAN EMPAT MATA EPISODE 30 OKTOBER 2013

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa puisi berasal dari bahasa Yunani poeima membuat atau

PENANDA KOHESI PADA TAJUK RENCANA HARIAN SURAT KABAR KOMPAS EDISI JANUARI 2015

zs. /or.wisman lladi, M.Hum. ANA,LISIS PENAI{DA KOHESI GRAMATIKAL ARTIKEL POLITIK PADA MEDIA OFII.,INE KOMPASIANA.COM ARTIKEL Asrul Khairillrsibuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS PENANDA KOHESI PADA KARANGAN SISWA TINGKAT SEKOLAH MENENGAH PERTAMA KELAS VIII SMP MUHAMMADIYAH 5 SURAKARATA

BAB I PENDAHULUAN. menulis. Menurut Tarigan (2008:21) Proses menulis sebagai suatu cara. menerjemahkannya ke dalam sandi-sandi tulis.

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian ketoprak atau dalam bahasa Jawa sering disebut kethoprak adalah

I. PENDAHULUAN. orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Tarigan (1985:9) yang. Kegiatan komunikasi yang baik didukung oleh salah satu komponen

BAB I PENDAHULUAN. Tarigan (1987 : 27), Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau

PEMAKAIAN DEIKSIS PERSONA, LOKASIONAL, DAN TEMPORAL DALAM NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY SKRIPSI

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NOVEL KIRTI NJUNJUNG DRAJAT KARYA R. Tg. JASAWIDAGDA

BAB I PENDAHULUAN. karya puisi pasti tidak akan terlepas dari peran sebuah bahasa. Bahasa

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom

BAB I PENDAHULUAN. khususnya bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang penting dan

ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL PADA LIRIK LAGU GROUP BAND WALI DALAM ALNBUM RELIGI INGAT SHALAWAT NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Hakikat Analisis Wacana Suatu wacana memiliki keserasian makna yang menjadikan wacana sebagai suatu bentuk karangan atau gagasan yang utuh, tetapi terkadang pembaca atau pendengar kesulitan memahami makna suatu wacana. Oleh karena itu ada ilmu yang memudahkan para pembaca atau pendengar dalam memahami sebuah wacana yang sering disebut dengan analisis wacana. Menurut Haryanti (2012: 2) dasar analisis wacana adalah sebuah teks baik teks yang berupa artikel, humor, kartun, dongeng, cerpen, percakapan, iklan, pidato pejabat, maupun naskah khutbah. Oleh karena itu, para penganalisis wacana harus dibekali oleh pengetahuan yang berkaitan dengan analisis sebuah teks. Kartomihardjo (dalam Wijana & Rohmadi, 2011: 71) menyatakan bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat, menggunakan metode yang menginterpretasikan ujaran yang sama menghubungkannya dengan konteks tempat terjadinya ujaran, orang-orang yang terlibat dalam interaksi, pengetahuan umum mereka, kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di tempat itu. Guy Cook (dalam Wijana & Rohmadi, 2009: 73) berpendapat bahwa analisis wacana juga menganalisis konteks dari aspek komunikasi seperti siapa yang mengomunikasikan, dengan siapa dan mengapa, dalam jenis khalayak dan situasi apa, melalui medium apa, bagaiman perbedaan tipe perkembangan komunikasi, dan hubungan untuk setiap masingmasing pihak. Di sisi lain, analisis wacana ialah suatu usaha untuk mengkaji organisasi bahasa di atas kalimat atau di atas klausa; dan oleh karena itu, analisis wacana merupakan studi yang lebih luas daripada unit-unit 6

7 linguistik, yakni kajian pertukaran percakapan dan kajian teks-teks yang tertulis (Stubbs dalam Setiawan, 2012: 1). Analisis wacana jika dilihat dapat mengaplikasikan semua unsur kebahasaan. Namun, analisis wacana teks tidak dapat meninggalkan analisis konteks. Dalam hal ini konteks memliki peran yang penting, yaitu untuk mengungkap makna dalam teks. Jadi, dapat disimpulkan bahwa wacana harus jelas antara teks dan konteks dalam penjelasan data-data yang dianalisis. 2. Hakikat Kohesi Dalam mengkaji wacana, kohesi dan koherensi merupakan hal yang paling penting. Kedua unsur ini digunakan untuk membangun wacana yang baik. Wacana yang baik ditandai dengan adanya hubungan semantis antarunsur bagian dalam wacana yang disebut dengan hubungan koherensi. Hubungan koherensi dapat diciptakan dengan menggunakan hubungan kohesi. Kohesi atau kepaduan wacana ialah keserasian hubungan antarunsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana, sehingga terciptalah pengertian yang koheren. Kohesi mengacu pada aspek bentuk atau aspek formal bahasa, dan wacana itu terdiri dari kalimat-kalimat. Tarigan mengatakan bahwa kohesi atau kepaduan wacana merupakan aspek formalbahasa dalam wacana (1987: 96). Dengan kata lain, kepaduan wacana merupakan organisasi sintaktik, wadah kalimat-kalimat disusun secara padu, dan padat untuk menghasilkan tuturan. Unsur-unsur kohesi dibagi menjadi dua bagian, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal (Halliday & Hassan dalam Mulyana, 2005: 133). Kohesi atau kepaduan wacana banyak melibatkan aspek gramatikal dan aspek leksikal. Adapun penanda yang digunakan untuk mencapai kepaduan sebuah wacana juga meliputi kedua aspek tersebut. Penanda yang digunakan untuk mencapai kekohesifan wacana ialah kohesi gramatikal dan leksikal. Berikut akan dijelaskan secara mendalam mengenai kedua kohesi tersebut.

8 a. Aspek Gramatikal Makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah leksem di dalam kalimat (Suwandi,2011: 87). Kohesi gramatikal merupakan kepaduan bentuk bagian-bagian wacana yang diwujudkan ke dalam sistem gramatikal. Selain itu, kohesi gramatikal menggunakan unsur bahasa dalam mengikat suatu wacana. Dalam kohesi gramatikal, unsur bahasa digunakan untuk mengaitkan sebuah teks sehingga teks tersebut dapat dipahami dengan teks lainnya. Kohesi gramatikal bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian antar bentuk bahasa terhadap konteksnya. Kushartanti menyatakan bahwa kohesi gramatikal merupakan hubungan semantik antarunsur yang dimarkahi alat gramatikal, alat bahasa yang digunakan dalam kaitannya dengan tata bahasa (2009: 96). Kohesi gramatikal menggunakan unsur bahasa sebagai relasi utamanya dalam mengaitkan sebuah teks. Kohesi gramatikal tidak tercipta dengan sendirinya tetapi diciptakan oleh alat bahasa yang digunakan untuk menghasilkan keterkaitan dalam sebuah teks sehingga unsur bahasa dapat dipahami melalui unsur bahasa lainnya. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kohesi gramatikal merupakan unsur bahasa yang terbentuk dalam suatu teks atau konteks dan tidak dapat diciptakan dengan sendirinya. Kohesi gramatikal juga merupakan hubungan unsur bahasa yang berkaitan dengan alat bahasa. Kohesi gramatikal dibuat oleh alat bahasa yang menghasilkan keterkaitan dalam sebuah teks, sehingga dapat dipahami melalui unsur teks lainnya. Kridalaksana (dalam Suwandi,2011: 87) menyatakan bahwa makna gramatikal merujuk pada hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam satuan-satuan yang lebih besar. Sumarlam, dkk. (2003: 23), menyatakan bahwa aspek gramatikal meliputi: (1) pengacuan (reference), (2) penyulihan (substitution), (3) pelesapan (ellipsis), dan (4) perangkaian (conjunction).

9 Sama dengan pendapat Sumarlam di atas, Halliday dan Hasan (dalam Haryanti, 2012) membagi kohesi gramatikal menjadi empat, yaitu referensi, substitusi, elipsis, dan relasi konjungtif. Setiap kohesi gramatikal tersebut memiliki sifat relasinya masing-masing, baik pertalian bentuk, pertalian referensi, atau persangkutan makna. 1) Pengacuan (Referensi) Kartomihardjo (dalam Bambang Kaswati Purwo, 1993: 34) menyatakan bahwa pengacuan/referensi dalam analisis mengacu pada benda, binatang, atau orang yang dimaksud oleh pembicara. Dari berbagai pengertian mengenai pengacuan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengacuan/referensi merupakan satuan lingual yang mengacu pada sesuatu yang lain untuk diinterpretasi untuk memperjelas makna dari hal yang disampaikan secara lisan maupun tulis. Pembahasan endofora antara lain masalah pemarkah anafora (mengacu pada konstituen di sebelah kirinya) dan katafora (mengacu pada konstituen di sebelah kanannya) (Purwo dalam Nadar, 2009: 59). Secara ringkas, Setiawan menjelaskan bahwa anafora (=merujuk kepada yang sudah disebut) dan katafora (=merujuk ke pada yang akan disebut) (2012: 20). Hasanuddin WS juga menjelaskan bahwa anafora adalah hal atau fungsi yang menunjuk kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam kalimat atau wacana (2009: 70). Adapun pengacuan katafora merupakan kebalikan dari pengertian anafora, yakni mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang baru disebutkan kemudian. Berdasarkan tempatnya, pengacuan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) pengacuan endofora apabila acuannya (satuan lingual yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana itu dan (2) pengacuan eksofora apabila acuannya berada atau

10 terdapat di luar teks wacana. Dalam aspek referensi, menurut Mulyana (2005: 27) terlihat juga adanya bentuk-bentuk pronomina (kata ganti orang, kata ganti tempat, dan kata ganti lainnya). Pengacuan endofora berdasarkan arah pengacuannya di bedakan menjadi dua jenis lagi, yaitu: (1) pengacuan anaforis (anaphoric reference) dan (2) pengacuan kataforis (cataphoric reference). Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahuluinya, atau mengacu antaseden di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah terdahulu. Sementara itu, pengacuan kataforis merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu antaseden di sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang baru disebutkan kemudian. Jenis kohesi gramatikal pengacuan diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: (1) pengacuan persona, (2) pengacuan demonstratif, dan (3) pengacuan komparatif. a) Pengacuan Persona Pengacuan persona direalisasikan melalui pronominal persona (kata ganti orang), yang meliputi (persona I), (persona II), dan (persona III), baik tunggal maupun jamak. Hanya pengacuan kata ganti orang ketiga yang dapat menjadi pemarkah anafora dan katafora (Purwo dalam Nadar, 2009: 59). Pengacuan persona pertama tunggal ditandai dengan kata aku, saya, hamba, gua/gue, ana ane, ku-, -ku. Adapun pengacuan per sona jamak ditandai dengan kata kami, kami semua, kita. Pengacuan persona kedua tunggal ditandai dengan kata kamu, anda, anta atau ente, kau -, -

11 mu. Adapun pengacuan persona jamak ditandai dengan kata kamu semua, kalian, kalian semua. Persona ketiga tunggal ditandai dengan kata ia, dia, beliau, di -, -nya sedangkan jamak ditandai dengan kata mereka, mereka semua. b) Pengacuan Demonstratif Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) pronomina demonstratif waktu (temporal) dan (2) pronomina demonstratif tempat (lokasional) (Sumarlam,dkk., 2003: 26). Dalam hal ini demonstratif waktu mengacu pada waktu kini (seperti kini dan sekarang), lampau (seperti kemarin dan dulu), akan datang (seperti besok yang akan datang), dan waktu netral (seperti pagi dan siang). Pengacuan demonstratif tempat mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan pembicara (sini, ini),agak jauh dengan pembicara (situ,itu), jauh dengan pembicara (sana), dan menunujuk tempat secara eksplisit. c) Komparatif (Perbandingan) Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk atau wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya (Sumarlam,dkk.,2003: 28). Kata-kata yang sering digunakan untuk membandingkan misalnya seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan. 2) Penyulihan (Substitusi ) Penyulihan/substitusi merupakan proses dan hasil penggantian unsur bahwa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar (Harimurti Kridalaksana dalam Mulyana, 2005: 134).

12 Menurut Mulyana (2005: 28) substitusi adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa substitusi merupakan hubungan gramatikal dan lebih bersifat hubungan kata dan makna. Menurut Sumarlam (2003: 28) substitusi dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: (1) substitusi nomina, (2) substitusi verbal, (3) substitusi frasal, dan (4) substitusi klausal. a) Substitusi Nominal Substitusi Nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori nomina. b) Substitusi Verbal Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba. c) Substitusi Frasal Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan lingual yang berupa frasa. d) Substitusi Klausal Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa. 3) Pelesapan (Elipsis) Pelesapan (elipsis) adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan lain (Mulyana,2005: 28). Pelesapan merupakan penggantian unsur kosong (zero), yaitu suatu unsur yang sebenarnya ada tetapi sengaja dihilangkan atau disembunyikan (Harimurti Kridalaksana dalam Mulyana, 2005: 134).

13 Dalam hal ini yang dilesapkan dapat berupa kata, frasa, klausa, kalimat. Fungsi pelesapan dalam wacana antara lain, yaitu: (1) menghasilkan kalimat yang efektif, (2) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis, (3) mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi pembaca atau pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa, dan (5) untuk kepraktisan berbahasa terutama dalam berkomunikasi secara lisan. Gaya penulisan wacana yang menggunakan elipsis biasanya mengandaikan bahwa pembaca atau pendengar sudah mengetahui sesuatu, meskipun sesuatu itu tidak disebutkan 4) Perangkaian (Konjungsi) Parera mengatakan bahwa, markah perangkai ini merangkai satu kalimat dengan kalimat lain sehingga timbul koherensi dan kemasukakalan (2004: 227). Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu. Konjungsi disebut juga sarana perangkai unsur-unsur kebahasaan (Mulyana, 2005: 29). Terkait dengan hal tersebut makna perangkaian dapat berupa sebab akibat (sebab, karena, maka, makanya), pertentangan (tetapi, namun), kelebihan (malah), perkecualian (kecuali), konsesif (walaupun, meskipun), tujuan (agar, supaya), penambahan (dan, juga, serta), pilihan (atau, apa), harapan (moga -moga, semoga), urutan (lalu, terus, kemudian), perlawanan (sebaliknya), waktu (setelah, sesudah, usai, selesai), syarat (apabila, jika), cara (dengan cara, begitu), makna lainnya dalam hal ini yang ditemukan dalam tuturan. b. Aspek Leksikal Kohesi leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur

14 secara kohesif (Mulyana, 2005: 29). Wijana&Rohmadi (2008: 75) menyatakan bahwa ketaksaanleksikal adalah kegandaan makna yang ditimbulkan karena adanya butir-butir leksikal yang memiliki makna ganda baik karena penerapan pemakaiannya maupun karena hal-hal yang bersifat leksidental. Kushartanti (2005: 96) mengatakan bahwa kohesi leksikal adalah hubungan semantik antarunsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur leksikal atau kata. Adapun Mulyana berpendapat bahwa, kohesi leksikal merupakan hubungan leksikal antara bagian -bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif (2005: 134). Aspek leksikal bersangkutan dengan leksem, kata, atau leksikon dan bukan dengan gramatika. Leksikal merupakan kata sifat (adjektif) dari kata, sedangkan makna leksikal adalah makna leksem ketika leksem tersebut berdiri sendiri, baik dalam bentuk dasar maupun bentuk derivasi dan maknanya kurang lebih tetap seperti yang ada dalam kamus leksikon (Suwandi, 2011: 80). Menurut Halliday dan Hasan (dalam Haryanti, 2012) membagi alat kohesi leksikal menjadi enam, yaitu (1) perulangan, (2) kesinoniman, (3) keantoniman, (4) kehiponiman, (5) kemeroniman, dan (6) kolokasi. Seperti telah dijelaskan di atas, kohesi leksikal berkaitan dengan penggunaan unsur leksikal sebagai alat penaut informasi dalam sebuah wacana baik lisan maupun tertulis. Oleh karena itu, setiap jenis kohesi memiliki sifat relasi masing-masing, baik pertalian bentuk, pertalian referensi, maupun pertautan makna. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Halliday dan Hasan, Sumarlam, dkk. (2003: 35) menyatakan bahwa kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu: (1) repetisi (pengulangan), (2) sinonimi (padan kata), (3) kolokasi (sanding kata), (4) hiponimi (hubungan atas-bawah), (5) antonimi (lawan kata), dan (6) ekuivalensi (kesepadanan). 1) Repetisi (Pengulangan)

15 Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Menurut Keraf (dalam Sumarlam, dkk., 2003: 35) berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu: (1) repetisi epizeuksis, (2) tautotes, (3) anafora, (4) epistrofa, (5) simploke, (6) mesodiplosis, (7) epanelepsis, dan (8) anadiplosis. a) Repetisi Epizeuksis Repetisi epizeuksis ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. b) Repetisi Tautotes Repetisi tautotes ialah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah kontruksi. c) Repetisi Anafora Repetisi anafora ialah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. d) Repetisi Epistrofa Repetisi epistrofa ialah pengulangan satuan lingual kata atau frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut. e) Repetisi Simploke Repetisi simploke ialah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. f) Repetisi Mesodiplosis Repetisi mesodiplosis ialah pengulangan satuan lingual di tengahtengah baris atau kalimat secara berturut-turut. g) Repetisi Epanalepsis Repetisi epanalepsis ialah pengulangan satuan lingual, yang kata atau frasa terakhir dari baris atau kalimat itu merupakan pengulangan kata atau frasa pertama.

16 h) Repetisi Anadiplosis Repetisi Anad iplosis ialah pengulangan kata atau frasa terakhir dari baris atau kalimat itu menjadi kata atau frasa pertama pada baris atau kalimat berikutnya. 2) Sinonimi (Padan Kata) Sinonimi berasal dari kata sinonim yang berarti bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain, kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja (Kridalaksana dalam Suwandi,2011: 124). Wijana & Rohmadi (2008: 28) menyatakan bahwa sinonimi adalah hubungan atau relasi persamaan makna. Jadi, bentuk kebahasaan yang satu memiliki kesamaan makna dengan bentuk kebahasaan lain. Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan wacana dan berfungsi untuk menjalin makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana (Sumarlam, dkk., 2003: 39). Sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu : (1) sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), (2) kata dengan kata, (3) kata dengan frasa atau sebaliknya, (4) frasa dengan frasa, dan (5) klausa atau kalimat dengan klausa atau kalimat. Penguasaan sinonimi secara benar sangat berperan dalam kegiatan berbahasa, khususnya berkaitan dengan pilihan kata atau diksi (Suwandi, 2011: 127). 3) Antonimi ( Lawan Kata) Antonimi atau biasa disebut dengan lawan kata berasal dari bahasa Yunani Kuno anoma yang berarti nama dan anti yang bearti melawan. Dengan demikian antonim berarti nama lain untuk benda yang lain pula (Chaer dalam Suwandi, 2011: 129). Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain atau satuan lingual yang maknanya berlawanan beroposisi dengan satuan lingual yang lain (Sumarlam,dkk., 2003: 40).

17 Selanjutnya juga dijelaskan bahwa relasi makna antara dua buah katayang berantonim bersifat dua arah (Suwandi, 2011: 129). Maksud dari dua arah di sini, yaitu memiliki perbedaan atau dengan kata lain kedua kata tersebut berbanding terbalik maknanya. Terkait dengan penjelasan tersebut kita dapat menafsirkan kedua kata tersebut sangat jauh berbeda atau bertolak belakang makna yang dimiliki. Antonimi disebut juga dengan oposisi. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibe dakan menjadi lima macam, yaitu: (1) oposisi mutlak, (2) oposisi kutub, (3) oposisi hubungan, (4) oposisi hirarkial, dan (5) oposisi majemuk. a) Oposisi Mutlak Oposisi mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak (Sumarlam,d kk.,2003: 40). Pengertian antara kedua kata atau bentuk itu terdapat batas yang mutlak (Suwandi, 2011: 131). Mutlak dalam hal ini maksudnya tidak dapat diganggu gugat. b) Oposisi Kutub Oposisi kutub adalah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak tetapi bersifat gradasi. Artinya, terdapat tingkatan makna pada kata-kata tersebut (Sumarlam, dkk., 2003: 41). Selanjutnya Suwandi (2011: 132) menjelaskan bahwa ketidakmutlakan makna pada oposisi ternyata terletak pada adanya tingkat atau gradasi pada kata-kata tersebut. c) Oposisi Hubungan Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling melengkapi. Saling melengkapi disini dapat dimaksudkan kehadiran kata yang satu disebabkan oleh adanya kata yang lain (Sumarlam,dkk.,2003: 41). Pengertian lain dari oposisi hubungan atau antonim relasional adalah jenis antonim yang memperlihatkan kesimetrian dalam makna anggota pasangannya (Suwandi, 2011: 133).

18 d) Oposisi Hierarkial Oposisi hierarkial adalah oposisi makna yang menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Oposisi hierarkial biasanya ditandai dengan kata-kata yang menunjuk nama-nama satuan ukuran (panjang, berat, isi), nama satuan hitungan, penanggalan dan sejenisnya (Sumarlam, dkk., 2003: 42). e) Oposisi Majemuk Oposisi majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata lebih dari dua (Sumarlam, dkk., 2003: 43). 4) Kolokasi (Sanding Kata) Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan (Sumarlam, dkk., 2003: 44). Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu. 5) Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah) Hiponimi berasal dari kata Yunani Kuno anoma yang berarti nama dan hypo yang berarti di bawah. Terkait dengan hal tersebut secara harfiah hiponimi dapat diartikan nama yang termasuk di bawah nama lain (Suwandi, 2011: 141). Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, dan kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain (Sumarlam,dkk., 2003: 45). Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut hipernim atau superordinat. 6) Ekuivalensi (Kesepadanan) Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma (Sumarlam, dkk., 2003: 46).

19 3. Hakikat Naskah Drama a. Pengertian Naskah Drama Kata drama berasal dari bahasa Greek, yaitu kata dran yang berarti berbuat (Morris dalam Tarigan, 1993: 69). Pendapat yang hampir sama juga terdapat dalam Encyclopedia Britanica (dalam Tarigan, 1993: 72) yang menyebutkan bahwa drama adalah terjemahan dari bahasa Greek draomai yang berarti sesuatu yang telah diperbuat. Kedua pendapat yang dikutip oleh Tarigan tersebut dikatakan hampir sama karena menurut Morris kata dran hanya berarti berbuat yang bisa dimaksudkan sedang atau belum tentu sudah terjadi, sedangkan dalam Encyclopedia Britanica yang melansir asal kata dari bahasa yang sama yaitu bahasa Greek (Yunani) mengartikan asal kata drama yaitu draomai yang artinya lebih spesifik lagi karena berarti sesuatu yang telah diperbuat. Sementara itu, Waluyo dan Wardani (2010: 1) dalam pendapat serupa juga menyatakan bahwa perkataan drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Tambahnya, dalam kehidupan sekarang drama mengandung arti yang lebih luas karena ditinjau apakah drama sebagai salah saatu genre sastra, ataukah drama itu sebagai cabang kesenian yang mandiri. Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa. Berdasarkan dua pendapat di atas tampak jelas adanya kesepakatan bahwa drama mengacu pada perbuatan atau gerak yang merupakan representasi dari sifat maupun sikap manusia. Sementara itu, dalam pendapat yang lain, Webster s New International Dictionary (dalam Tarigan, 1993: 71) menyatakan bahwa drama adalah suatu karangan, biasanya dalam prosa disusun untuk pertunjukan, dan dimaksudkan untuk memotret kehidupan atau tokoh, atau mengisahkan suatu cerita dengan gerak, dan biasanya dengan dialog yang bermaksud memetik beberapa hasil berdasarkan cerita atau lakon.

20 Dorothy Heathcote (dalam Kalidas, 2013: 445) menyatakan Drama adalah setiap tindakan atau situasi di mana kami terlibat mengambil peran aktif dan mana perhatian utama adalah sikap daripada karakter yang kita buat. Penjelasan lain dikemukakan oleh Tarigan (1993: 73) yang berpendapat bahwa kita harus memisahkan dua bagian pengertian drama, yaitu drama sebagai text play atau repertoir, dan drama sebagai theatre atau performance. Hubungan antara text play dengan theatre memang sangat erat. Kita dapat mengatakan bahwa setiap theatre membutuhkan text play. Dengan kata lain, setiap lakon atau pertunjukan harus mempunyai naskah yang akan dipentaskan. Sebaliknya, tidaklah otomatis setiap naskah merupakan teater, sebab ada saja kemungkinan suatu naskah sukar atau tidak mungkin dimainkan. Dengan demikian naskah seperti itu hanyalah berfungsi sebagai bahan bacaan saja, bukan untuk dipertunjukkan. Dalam pendapat yang hampir sama, Wiyanto (2002 : 21) menyatakan bahwa lakon drama bersumber pada kehidupan manusia. Naskah drama merupakan penyajian ulang kisah yang dialami manusia. Secara umum lakon berupa kejadian atau peristiwa seperti kelahiran, kematian, perkawinan dan perceraian, perbuatan sosial atau kejahatan, perdamaian atau peperangan, dan sebagainya. Berdasarkan beberapa pengertian tentang naskah drama di atas dapat disintesis bahwa naskah drama adalah salah satu jenis karya sastra yang berupa karangan yang berisi tentang cerita (lakon) dan bersumber pada konflik-konflik tertentu yang terjadi dalam kehidupan manusia dan mempunyai kemungkinan dipentaskan. Naskah drama merupakan bagian dari prosa yang memiliki ciri khas berbentuk dialog-dialog. b. Struktur Naskah Drama

21 Sebagai salah satu genre sastra, drama berupa naskah dibangun oleh struktur fisik dan struktur batin. Adapun struktur fisiknya berupa kebahasaan,dan struktur batinnya yaitu semantik atau makna. Wujud fisik sebuah naskah drama adalah dialog dan ragam tutur. Ragam tutur itu adalah ragam sastra. Oleh sebab itu, bahasa dan maknanya tunduk pada konvensi sastra, yang menurut Teeuw (dalam Waluyo. 2002: 7) dipaparkan sebagai berikut: 1) Teks sastra memiliki unsur atau struktur batin atau intern structure relation, yang bagianbagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; 2) Naskah sastra juga memiliki struktur luar atau extern structure relation, yang terikat oleh bahasa pengarangnya; 3) Sistem sastra juga merupakan model dunia sekunder, yang sangat kompleks dan bersusun-susun. Untuk memahami teks naskah drama secara lengkap dan terinci, maka struktur drama akan dijelaskan sebagai berikut. 1) Alur dan Plot Dalam sebuah drama (naskah drama) alur menduduki posisi sentral karena bertindak sebagai koridor agar cerita dapat berjalan sesuai skenario yang dibuat. Alur atau plot merupakan jalinan cerita atau kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan (Waluyo, 2002: 8). Sementara itu, menurut Semi (1993: 161) alur adalah rentetan peristiwa yang terjadi dari awal hingga akhir. Alur drama mempunyai kekhususan dibandingkan dengan alur fiksi, kekhususan itu ditimbulkan oleh karakteristik drama itu sendiri. Wiyanto (2002: 25) merincikan plot drama dalam enam tahap sebagai berikut: eksposisi yaitu tahap perkenalan. Wujud perkenalan berupa penjelasan untuk mengantarkan penonton pada situasi awal lakon sebuah drama; konflikyaitu persoalan pokok yang berlanjut menjadi sebuah insiden atau kejadian; komplikasi yaitu keberlanjutan dari insiden-insiden dan menimbulkan konflikkonflik yang semakin banyak; krisis yaitu tahap dimana konflik

22 sampai pada puncak atau klimaks; resolusi yaitu tahap penyelesaian konflik yang mulai tampak jelas; keputusan yaitu berakhirnya semua konflik. 2) Penokohan dan Perwatakan Penokohan erat hubungannya dengan perwatakan. Hal ini tampak dalam susunan tokoh (drama personae). Susunan tokoh adalah daftar tokoh-tokoh yang berperan dalam drama. Dalam susunan tokoh yang terlebih dulu dijelaskan adalah nama, unsur, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan, dan keadaan kejiwaannya (Waluyo, 2002: 14). Jenis penokohan dapat digolongkan sebagai berikut: a) The foil adalah tokoh yang kontras dengan tokoh lainnya. Atau dengan kata lain tokoh yang membantu menjelaskan tokoh lainnya. The foil juga disebut dengan minor character yang berfungsi sebagai pembantu saja, atau memerankan suatu bagian penting dalam lakon itu, tetapi secara insidental bertindak sebagai seorang pembantu; b) The type character adalah tokoh yang dapat berperan dengan tepat dan tangkas. Tokoh tersebut berperan sebagai orang kampung atau sebagai orang berkedudukan. Kemampuan tokoh yang serba bisa ini yang membuat tokoh individual yang sebenarnya itu semakin menjadi luar biasa, semakin menarik hati; c) The static character adalah tokoh yang tetap saja keadaanya, baik pada awal maupun pada akhir suatu lakon; d) The character who develops in the course of the play tokoh yang mengalami perkembangan selama pertunjukan (Tarigan, 1993: 76). 3) Dialog atau Percakapan Ciri khas suatu drama adalah naskah itu berbentuk cakapan atau dialog. Ragam bahasa dalam dialog tokoh-tokoh drama adalah bahasa lisan yang komunikatif dan bukan ragam tulis. Hal ini disebabkan karena drama adalah kenyataan yang diangkat ke atas pentas. Dialog dalam naskah drama juga harus bersifat estetis,

23 artinya memiliki keindahan bahasa. Kadang-kadang juga dituntut agar bersifat filosofis dan mampu mempengaruhi keindahan. Selain estetis, unsur lain yang perlu diperhatikan adalah adanya unsur komunikatif, irama naskah yang juga harus diperhatikan sedemikian rupa, serta kesan dialog yang harus dibuat hidup, artinya mewakili tokoh yang dibawakan (Waluyo, 2002: 21-22). Sementara itu, dalam pendapat senada Wiyanto (2002: 28) menyatakan bahwa dialog dalam naskah drama berfungsi sebagai berikut: a) Sebagai bentuk perwujudan jalan cerita dalam naskah drama; b) Sebagai pendukung karakter seorang tokoh yang diperankan; c) Melalui dialog penonton dapat menangkap hal-hal yang tersirat di balik dialog para tokoh; d) Dialog dapat menunjukkan plot lakon drama. 4) Latar atau Setting Setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu adegan (Wiyanto, 2002: 28). Dalam sebuah naskah drama setting harus dilukiskan dengan jelas. Hal ini untuk mempermudah dalam pementasan drama. Dalam penjelasan yang lain, Waluyo (2002: 23) menyatakan bahwa tempat kejadian cerita sering pula disebut latar cerita. Setting biasanya meliputi tiga dimensi, yaitu tempat, ruang, dan waktu. Pada dasarnya kedua pendapat tersebut bermuara pada kesimpulan yang sama, yang menyatakan bahwa latar adalah bagian sentral pendukung cerita yang menjadikan sebuah naskah drama diketahui tempat, ruang, dan waktunya pada masing-masing adegan sehingga mempermudah pementasan dan pemahaman pembaca atau penonton. 5) Tema Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama.tema berhubungan dengan premis dari drama tersebut

24 yang berhubungan pula dengan nada dasar dari sebuah drama dan sudut pandangan yang dikemukakan oleh pengarangnya. Premis dapat juga disebut sebagai landasan pokok yang menentukan arah tujuan lakon dan merupakan landasan bagi pola konstruksi lakon (Waluyo, 2002: 24-26). Tema adalah pikiran pokok yang mendasari lakon drama (Wiyanto, 2006: 23). Tema hadir melalui plot, karakter, dan bahasa yang terbentuk dalam satu kesatuan utuh. Kesinambungan buah pikiran ini kemudian dipahami sebagai kekayaan rohani yang mengandung nilai-nilai moral kehidupan. 6) Amanat Amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca naskah atau penonton drama (Wiyanto, 2002: 24). Amanat berhubungan dengan makna dari sebuah karya. Seorang pengarang drama sadar atau tidak sadar pasti menyampaikan amanat dalam karyanya. Waluyo dan Wardani (2010: 28) menyatakan bahwa jika tema bersifat sangat lugas, objektif, dan khusus, maka amanat lebih bersifat kias, subjektif, dan umum. Setiap pembaca dapat berbedabeda menafsirkan makna karya itu bagi dirinya, dan semuanya cenderung dibenarkan. Jika meminjam istilah Horace dulce et utile maka amanat itu menyorot pada masalah utile atau manfaat yang dapat dipetik dari karya drama itu. 7) Petunjuk Teknis Dalam naskah drama diperlukan juga petunjuk teknis, yang sering pula disebut teks samping. Teks samping ini memberikan petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana pentas, suara, musik, keluar masuknya aktor atau aktris, keras lemahnya dialoh, warna suara, perasaan yang mendasari dialog, dan sebagainya. Teks samping ini biasanya ditulis dengan tulisan berbeda dari dialog (misalnya

25 dengan huruf miring atau huruf besar semua) (Waluyo dan Wardani, 2010: 23). 4. Hakikat Bahan Ajar a. Pengertian Bahan Ajar Belajar merupakan kegiatan utama dalam pendidikan. Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan, dan sikap. Proses belajar tentunya tidak pernah terlepas dari bahan ajar. Proses pengajaran yang berlangsung dengan baik tentunya akan membawa keberhasilan yang baik pula bagi para siswanya. Menurut Ismawati (2013: 39) berpendapat bahwa bahan ajar adalah sesuatu yang mengandung pesan yang akan disajikan dalam proses pembelajaran, bahan ajar dikembangkan berdasarkan tujuan pembelajaran. Pembelajaran di sekolah yang dilakukan oleh siswa tidak akan terlepas dari bahan ajar. Menurut Lestari (2013: 1), bahan ajar dapat juga diartikan sebagai segala bentuk bahan yang disusun secara sistematis yang memungkinkan siswa dapat belajar dengan rancangan sesuai kurikulum yang berlaku. Bahan ajar tidak hanya memuat keterampilan dan sikap yang perlu dipelajari siswa untuk mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan pemerintah. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar merupakan suatu alat pembelajaran berupa buku, gambar, atau alat bantu visual yang dapat membantu siswa dalam proses pembelajaran. Terkait dengan penelitian analisis wacana tekstual dan kontekstual dalam naskah drama Ayahku Pulang haruslah disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam silabus mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian,

26 penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Dalam mengembangkan silabus, terdapat delapan prinsip, yaitu: (1) ilmiah, (2) relevan, (3) sistematis, (4) konsisten, (5) memadai, (6) aktual dan kontekstual, (7) fleksibel serta (8) menyeluruh. Yang dimaksud dengan bahan ajar yang relevan adalah bahan ajar yang memiliki cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spritual peserta didik (Depdiknas, 2006: 1415). Terkait dengan penelitian mengenai analisis wacana tekstual dan kontekstual dalam naskah Ayahku Pulang hal ini harus disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat di silabus. b. Karakter Bahan Ajar Pentingnya mengetahui karakter bahan ajar agar dalam persiapan sebelum mengajar bahan ajar dapat dibuat sesuai dan tepat dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Yaumi (2013: 257) menjelaskan bahwa kriteria bahan pembelajaran yang baik yaitu: (1) konten informasi yang dikembangkan dalam bahan pembelajaran dihubungkan dengan pengalaman peserta didik (tentu saja harus diawali dengan analisis kebutuhan), (2) peserta didik menyadari tentang pentingnya informasi yang disajikan dalam bahan pembelajaran, (3) informasi yang dituangkan dalam bahan pembelajaran tersedia dan mudah diperoleh paling tidak dalam bahan yang dikembangkan, (4) bahan pembelajaran terorganisasi dengan baik sehingga memudahkan bagi peserta didik untuk mempelajarinya, (5) gaya penulisan sangat jelas dan dapat dipahami dengan baik, (6) penggunaan kosakata dan bahasa sesuai dengan umur dan tingkat sekolah dan berterima di kalangan umum, serta (6) kata-kata sulit dan istilah-istilah teknik dijabarkan dan dijelaskan dalam bahan pembelajaran yang dikembangkan.

Sesuai dengan pedoman penulisan modul yang dikeluarkan oleh Direktorat Guruan Menengah Kejuruan Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional tahun 2003, bahan ajar memiliki beberapa karakteristik, yaitu: (1) self instructional, merupakan bahan ajar yang mampu membuat siswa membelajarkan diri sendiri dengan bahan ajar yang dikembangkan; (2) self contained, yaitu seluruh materi pelajaran dari satu unit kompetensi atau subkompetensi yang dipelajari terdapat di dalam satu bahan ajar secara 27 utuh; (3) stand alone, yaitu bahan ajar yang dikembangkan tidak tergantung pada bahan ajar lain atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan bahan ajar lain; (4) adaptive, yaitu bahan ajar hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi; dan (5) user friendly, yaitu setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan pemakainya, termasuk kemudahan pemakai dalam merespons dan mengakses sesuai dengan keinginan (Widodo dan Jasmadi dalam Lestari, 2013: 2). Ismawati (2013: 38) membagi prinsip-prinsip pengembangan bahan ajar menjadi sembilan, yaitu: 1) Berorientasi pada tujuan, pengembangan bahan ajar dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan kurikulum mencapai jenjang tertentu dengan empat aspek, yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai -nilai; 2) Relevansi, dalam pengembangan bahan ajar meliputi tujuan, isi, dan sistem yang harus sesuai dengan kebutuhan siswa, kondisi masyarakat, dan sejalan dengan perkembangan iptek; 3) Efisien dan efektivitas, maksudnya dari segi waktu dana, SDM yang dapat mencapai hasil yang optimal; 4) Fleksibilitas, maksudnya mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi, dikurangi, ditambah sesuai kebutuhan, tidak statis dan kaku; 5) Kontinuitas (kesinambungan), artinya bahan ajar disusun berkesinambungan, berurutan, dan memiliki pertalian fungsional. Bahan ajar tidak terlepas-lepas atau seolah-olah berdiri sendiri;

6) Keseimbangan antara program dan subprogram, antara aspekaspek perilaku yang ingin dikembangkan (pengetahuan, keterampilan, dan sikap). Keseimbangan teori dan praktik; 7) Keterpaduan, maksudnya keterpaduan dalam proses pembelajaran yang mencakup interaksi antarsiswa dan guru. Keterpaduan teori dan praktik; 8) Mutu, artinya bahan ajar berorientasi pada pendidikan mutu. Pembelajaran bermutu ditentukan oleh kualitas guru, kualitas kegiatan belajar mengajar, peralatan dan sarana yang ada; serta 9) Adekuasi (kecukupan), artinya materi dalam bahan ajar cukup untuk mencapai kompetensi dasar yang ditetapkan. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas mengenai karakteristik bahan ajar yang dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran, dapat disimpulkan menjadi lima yakni: (1) berorientasi pada tujuan, (2) struktur berdasarkan kebutuhan siswa dan kompetensi akhir yang dicapai, (3) gaya penulisan komunikatif dan semi formal, (4) fleksibel, dan (5) menimbulkan minat baca. c. Jenis-Jenis Bahan Ajar Bahan ajar memiliki jenis yang beragam, baik dalam bentuk cetak maupun noncetak. Menurut Prastowo (dalam Lestari, 2013: 5), bahan ajar cetak yang sering dijumpai antara lain: (1) handout, yaitu bahan tertulis yang disiapkan untuk memperkaya pengetahuan peserta didik; (2) buku, merupakan buku yang berisi ilmu pengetahuan hasil analisis terhadap kurikulum dalam bentuk tertulis; (3) modul, merupakan bahan ajar yang ditulis dengan tujuan agar siswa dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru; dan (4) lembar kerja siswa (LKS), yaitu materi ajar yang sudah dikemas sedemikian rupa, sehingga siswa diharapkan dapat materi ajar tersebut secara mandiri. Selain bahan ajar dalam bentuk cetak, ada juga bahan ajar dalam bentuk noncetak. Bahan ajar noncetak meliputi: (1) bahan ajar dengar (audio) seperti kaset, radio, piringan hitam, dan compact disc audio; (2) bahan ajar pandang dengar (audio visual) seperti video 28

29 compact disc dan film; (3) bahan ajar multimedia interaktif (interactive teaching materials) seperti CAI (Computer Assisted Instruction), compact disc (CD) multimedia pembelajaran interaktif; serta (4) bahan ajar berbasis web (web based learning materials). Sejalan dengan pendapat di atas, Mutiara, Zuhairi, dan Sri (dalam Yaumi, 2013:250) juga membagi bahan pembelajaran ke dalam dua jenis, yaitu bentuk bahan cetak (printed materials) dan bukan bahan cetak (non-printed materials). Bahan cetak biasanya dalam bentuk buku kerja modular, sedangkan bentuk bukan cetak dapat berupa audio (seperti kaset- kaset audio dan program radio), video (seperti kaset-kaset video, CD-ROM, dan program televisi), dan komputer (seperti bahan pembelajaran berbasis komputer interaktif). d. Fungsi Bahan Ajar Menurut Prastowo (dalam Lestari 2013: 7), fungsi bahan ajar dapat dibedakan menjadi tiga berdasarkan strategi pembelajarannya, yaitu fungsi dalam pembelajaran klasikal, pembelajaran individual, dan pembelajaran kelompok. Dalam pembelajaran klasikal, bahan ajar berfungsi sebagai satu-satunya sumber informasi serta pengawas dan pengendali proses pembelajaran (dalam hal ini, siswa bersifat pasif dan belajar sesuai kecepatan siswa dalam belajar), selain itu, bahan ajar juga berfungsi sebagai bahan pendukung proses pembelajaran yang diselenggarakan. Bahan ajar berfungsi sebagai alat evaluasi pencapaian hasil pembelajaran. Bagi guru, bahan ajar berfungsi untuk mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan pada siswa. Bagi siswa, melalui bahan ajar siswa akan lebih tahu kompetensi apa saja yang harus dikuasai selama program pembelajaran berlangsung. Fungsi bahan ajar dalam pembelajaran individual antara lain: (1) sebagai media utama dalam proses pembelajaran, (2) sebagai alat yang digunakan untuk menyusun dan mengawasi proses peserta didik

30 dalam memperoleh informasi, dan (3) sebagai penunjang media pembelajaran individual lainnya. Dalam pembelajaran kelompok, fungsi bahan ajar yaitu sebagai bahan yang terintegrasi dengan proses belajar kelompok, dengan cara memberikan informasi tentang latar belakang materi, informasi tentang peran orang-orang yang terlibat dalam belajar kelompok, serta petunjuk tentang proses pembelajaran kelompoknya sendiri; selain itu, bahan ajar dalam pembelajaran kelompok juga berfungsi sebagai bahan pendukung bahan belajar utama, dan apabila dirancang sedemikian rupa, maka dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Adapun hasil penelitian yang relevan, yaitu pertama penelitian Palupi (2014) dalam penelitian yang berjudul Analisis Tekstual dan Kontekstual Naskah Drama Pesta Para Pencuri Karya Jean Anoulih Saduran Rachman Sabur dan Relevansinya Sebagai Bahan Ajar di SMA. Dalam penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa secara tekstual naskah Pesta Para Pencuri sebagai sebuah wacana menampakkan kepaduan dan keserasian makna. Penelitian yang kedua, yaitu penelitian Rakhmawati (2015) dengan judul Analisis Wacana Tekstual dan Kontekstual dalam Naskah Drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil Karya Arifin C. Noer. Dalam penelitian tersebut ditemukan dari aspek gramatikal yang terdapat dalam naskah drama, data pengacuan merupakan data yang dominan atau yang paling banyak ditemukan dalam wacana tersebut. Dari analisis leksikal dalam naskah drama tersebut, data repetisi merupakan data yang paling banyak atau yang dominan ditemukan dalam wacana naskah drama tersebut. Dari kedua penelitian di atas, maka dapat dilihat relevansinya antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu sama-sama membahas mengenai analisis wacana tekstual dan kontekstual. Mengenai perbedaannya hanya pada kajian yang dianalisis. Jika pada penelitian kedua yang dianalisis berupa novel dan

31 pada penelitian ketiga pada lirik lagu. Namun, secara keseluruhan ketiga penelitian tersebut mengacu pada analisis wacana tekstual dan kontekstual. B. Kerangka Berpikir Drama merupakan salah satu jenis karya sastra berupa dialogdialog yang dipentaskan. Tentunya sebelum drama tersebut dipentaskan para pemain drama tersebut harus memahami isi dari naskah drama berupa dialog-dialog tersebut. Sebuah naskah drama tentunya memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Hal ini tergantung dari bagaimana pengarang menginterpretasikan penggunaan bahasa sesuai dengan jalan cerita yang ia ciptakan. Peneliti ingin menganalisis naskah drama Ayahku Pulang lebih lanjut melalui kajian wacana. Kajian wacana naskah drama Ayahku Pulang dilakukan untuk mengetahui kepaduan wacana dalam naskah tersebut. Kohesi dan koherensi merupakan hal yang paling penting dalam terciptanya suatu keutuhan sebuah wacana. Penanda yang digunakan untuk mencapai kekohesifan wacana meliputi kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Aspek gramatikal merujuk pada hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam satuan-satuan yang lebih besar. Aspek gramatikal dalam hal ini ada empat macam, yaitu: (1) pengacuan, (2) penyulihan, (3) pelesapan, dan (4) perangkaian. Adapun aspek leksikal merupakan hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Aspek leksikal dalam hal ini ada lima macam, yaitu: (1) pengulangan, (2) padan kata, (3) sanding kata, (4) hubungan atas bawah, dan (5) kesepadanan. Dari kedua aspek tersebut baik gramatikal maupun leksikal diharapkan dapat membantu peneliti sebagai alat analisis wacana. Dari penelitian analisis wacana terhadap kohesi gramatikal dan leksikal dalam naskah drama Ayahku Pulang ini akan diperoleh penggunaan unsur-unsur kohesi gramatikal dan leksikal. Terkait dengan hal tersebut maka diharapkan analisis wacana kohesi gramatikal dan

leksikal dapat dikembangkan sebagai bahan ajar di Sekolah Menengah Atas. 32 Wacana Naskah Drama Ayahku Pulang Karya Usmar Ismail Kohesi Gramatikal Leksikal 1. Pengacuan (Referensi) 2.Penyulihan(Substitusi) 3. Pelesapan (Elipsis) 4.Perangkaian(konjungsi) 1. Pengulangan(Repetisi) 2. Padan kata (Sinonimi) 3. Lawan kata(antonimi) 4. Sanding kata (Kolokasi) 5. Hubungan atas bawah (Hiponimi) 6. Kesepadanan (Ekuivalensi) Keutuhan Wacana pada Naskah Drama Ayahku Pulang karya Usmar Ismail Relevansi sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia di SMA Gambar 1. Kerangka Berpikir