BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkerasan kaku (rigid pavement) atau perkerasan beton semen adalah perkerasan

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN. : 1 jalur, 2 arah, 2 lajur, tak terbagi

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. cara membandingkan hasil perhitungan manual dengan hasil perhitungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berfungsi mengendalikan limpasan air di permukaan jalan dan dari daerah. - Membawa air dari permukaan ke pembuangan air.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA. sarana perhubungan untuk distribusi barang dan jasa. Sistem jaringan ini diatur

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN

Perkerasan kaku Beton semen

BAB III METODE PERENCANAAN START

SEMINAR NASIONAL HAKI Tiara Convention Hall, Medan Mei 2014

BAB IV ANALISA KONSTRUKSI PERKERASAN JALAN BETON. genangan air laut karena pasang dengan ketinggian sekitar 30 cm. Hal ini mungkin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN ANALISIS. Data yang digunakan untuk analisa tugas akhir ini diperoleh dari PT. Wijaya

Bina Marga dalam SKBI : dan Pavement Design (A Guide. lalu-lintas rencana lebih dari satu juta sumbu kendaraan niaga.

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN KAKU PADA RUAS JALAN LINGKAR MAJALAYA MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA 2002

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. dalam perencanaan jalan, perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

Dwi Sulistyo 1 Jenni Kusumaningrum 2

BAB 3 METODOLOGI. a. Peninjauan pustaka yang akan digunakan sebagai acuan penulisan dan

PERHITUNGAN TEBAL LAPIS PERKERASAN KAKU (RIGID PAVEMENT) PADA PROYEK PELEBARAN GERBANG TOL BELMERA RUAS TANJUNG MULIA DAN BANDAR SELAMAT-MEDAN LAPORAN

ANALISIS PERBANDINGAN PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN KAKU DENGAN METODE BINA MARGA 2013 DAN AASHTO 1993 (STUDI KASUS JALAN TOL SOLO NGAWI STA

RANCANGAN RIGID PAVEMENT UNTUK OVERLAY JALAN DENGAN METODE BETON MENERUS DENGAN TULANGAN

Perencanaan perkerasan jalan beton semen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH NILAI CBR TANAH DASAR DAN MUTU BETON TERHADAP TEBAL PELAT PERKERASAN KAKU METODE BINA MARGA

Pd T Perencanaan perkerasan jalan beton semen

4.3 URAIAN MATERI III : KARAKTERISTIK MATERIAL BETON PERKERASAN KAKU ( RIGIT PAVEMENT) JALAN

Gambar Distribusi Pembebanan Pada Perkerasan Kaku dan Perkerasan Lentur

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

PERENCANAAN JALAN RING ROAD BARAT PEREMPATAN CILACAP DENGAN MENGGUNAKAN BETON

ANALISIS PERHITUNGAN PERKERASAN KAKU PADA PROYEK JALAN TOL MEDAN-KUALANAMU KABUPATEN DELI SERDANG LAPORAN

TINJAUAN ULANG PERHITUNGAN PERENCANAAN TEBALPERKERASAN KAKU(RIGID PAVEMENT) PROYEK

Abstrak BAB I PENDAHULUAN

TINJAUAN ULANG PERENCANAAN PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN KAKU (RIGID PAVEMENT) PROYEK JALAN

PERENCANAAN KONSTRUKSI JALAN RAYA RIGID PAVEMENT (PERKERASAN KAKU)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KOMPARASI HASIL PERENCANAAN RIGID PAVEMENT MENGGUNAKAN METODE AASHTO '93 DAN METODE Pd T PADA RUAS JALAN W. J. LALAMENTIK KOTA KUPANG

RUANG LINGKUP PENULISAN Mengingat luasnya perencanaan ini, maka batasan masalah yang digunakan meliputi :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perencanaan Ulang Jalan Raya MERR II C Menggunakan Perkerasan Kaku STA Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur

ANALISA TEBAL PERKERASAN KAKU BERDASARKAN METODE BINA MARGA DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM VISUAL BASIC SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. parameter yang tertulis dalam kriteria di bawah ini. Nilai-nilai yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA PERHITUNGAN TEBAL LAPISAN PERKERASAN KAKU DENGAN METODE SNI Pd T PADA PROYEK PELEBARAN JALAN BATAS KOTA MEDAN TEMBUNG LUBUK PAKAM

TINJAUAN KUAT TEKAN, KUAT TARIK BELAH DAN KUAT LENTUR BETON MENGGUNAKAN TRAS JATIYOSO SEBAGAI PENGGANTI PASIR UNTUK PERKERASAN KAKU (RIGID PAVEMENT)

GORONG-GORONG Anita Winarni Dwi Ratna Komala Novita Priatiningsih

BAB III LANDASAN TEORI. Dimensi, berat kendaraan, dan beban yang dimuat akan menimbulkan. dalam konfigurasi beban sumbu seperti gambar 3.

PERBANDINGAN HASIL PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN JALAN TIPE PERKERASAN KAKU ANTARA METODE AASHTO 1993 DENGAN METODE

PERENCANAAN JALAN DENGAN PERKERASAN KAKU MENGGUNAKAN METODE ANALISA KOMPONEN BINA MARGA (STUDI KASUS : KABUPATEN LAMPUNG TENGAH PROVINSI LAMPUNG)

Study of Comparative Methods of Flexible Pavement and Rigid Pavement Alfikri 1), Hendra Taufik 2) 1)

SKRIPSI PERBANDINGAN PERHITUNGAN PERKERASAN LENTUR DAN KAKU, DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (STUDI KASUS BANGKALAN-SOCAH)

BAB III METODE ANALISIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Kaku (Rigid Pavement) Pada Ruas Jalan Tol Solo - Ngawi, yaitu :

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR KONSTRUKSI JALAN RAYA. 1. Nama Proyek : Pembangunan Jalan Spine Road III Bukit Sentul

DAFTAR ISI.. KATA PENGANTAR i DAFTAR GAMBAR. DAFTAR TABEL.. DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN..

2.4.5 Tanah Dasar Lapisan Pondasi Bawah Bahu Kekuatan Beton Penentuan Besaran Rencana Umur R

254x. JPH = 0.278H x 80 x 2.5 +

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN

LAPISAN STRUKTUR PERKERASAN JALAN

Selamat Datang. Tak kenal maka tak sayang Sudah kenal maka tambah sayang

4.4 URAIAN MATERI : METODE ANALISIS PERKERASAN KAKU Metode Analisis Perkerasan Kaku Berbagai cara dan metode analisis yang digunakan pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melebihi daya dukung tanah yang diijinkan (Sukirman, 1992).

Bab V Analisa Data. Analisis Kumulatif ESAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PERENCANAAN. Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen SKBI

PERENCANAAN AKSES JALAN UNDERPASS STASIUN KERETA API PADALARANG KABUPATEN BANDUNG BARAT DENGAN PERKERASAN KAKU SEPANJANG 1.85 km

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG, NOTASI, DAN SINGKATAN

PENGARUH BEBAN BERLEBIH TERHADAP TEBAL PERKERASAN KAKU METODE DEPKIMPRASWIL 2003

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LAHAN PENUMPUKAN CONTAINER DI PT. KBN MARUNDA

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN TUGAS AKHIR EVALUASI RANCANGAN JALAN TOL KANCI - PEJAGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hobbs (1995), ukuran dasar yang sering digunakan untuk

LAPIS PONDASI AGREGAT SEMEN (CEMENT TREATED BASE / CTB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kelebihan dari konstruksi perkerasan kaku adalah sifat kekakuannya yang. sementara kelemahan dalam menahan beban

ANALISIS KERUSAKAN DAN PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN JALAN KAKU DENGAN METODE BINA MARGA 2003 (Studi Kasus: Jl. Raya Bojonegara Serdang KM 2)

Perbandingan Konstruksi Perkerasan Lentur dan Perkerasan Kaku serta Analisis Ekonominya pada Proyek Pembangunan Jalan Lingkar Mojoagung

PERENCANAAN PERKERASAN KAKU (RIGID PAVEMENT) PADA RUAS JALAN BATAS KOTA PADANG SIMPANG HARU

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN RUAS JALAN ARIMBET-MAJU-UJUNG-BUKIT-IWUR PROVINSI PAPUA

A. LAPISAN PERKERASAN LENTUR

BAB III LANDASAN TEORI. bergradasi baik yang dicampur dengan penetration grade aspal. Kekuatan yang

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

SISTEM DRAINASE PERMUKAAN

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

MODUL 4 DRAINASE JALAN RAYA

PEMANFAATAN BAMBU UNTUK TULANGAN JALAN BETON

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Jalan Raya

METODE PELAKSANAAN DAN ESTIMASI (PERKIRAAN) BIAYA PADA LAPIS PERKERASAN JALAN BETON

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN

JENIS KERUSAKAN JALAN PADA PERKERASAN LENTUR LOKASI CIRI CIRI PENYEBAB AKIBAT CARA PENANGANAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

TUGAS AKHIR DIPLOMA IV. oleh : HENDRI ARDYANTO W NIM PROGRAM STUDI TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN JURUSAN TEKNIK SIPIL

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

> NORMAL CONCRETE MIX DESIGN <

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang dilakukan dalam penyusunan laporan Tugas Akhir ini berdasarkan studi kasus mahasiswa yang serupa, peraturan, maupun jurnal jurnal yang berkaitan dengan materi pembahasan. Berikut ini terdapat beberapa persamaaan dan perbedan dengan penelitian yang akan dilakukan. Persamaan dan perbedaan perancangan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini. Tabel 2. 1 Persamaan dan perbedaan perancangan Judul Tugas Akhir Hendr Ardyanto W Arnis Bayu Wicak Rachmatika Perancangan Ulang Perkerasan Kaku dan saluran Drainase Jalan Kerkhof Sta. 0+990 s/d Sta. 2+391 di Kota Cimahi Perancangan DED (Detailed Engineering Design) pada Ruas Jalan Lingkar Tanggerang Sta 0+550 - Sta2+450 Perancangan Konstruksi Perkerasan Kaku Ruas Jalan Lubug Begalung - Indarung (KM.PDG 6+00 - KM.PDG 11+250) di Kota Padang, Provinsi Sumbar Perancangan Peningkatan Ruas Jalan Ketapang - Pasir Padi (KM.PKP 3+842 s.d KM.PKP 10+332) di Kopta Pangkalpinal Provinsi Kep.Babel Lokasi Kajian Jalan Kerkhof Keluraha Leuwigajah, Cimahi Jalan Lubug Begalung - Indarung (KM.PDG 6+00 - KM.PDG 11+250) Kota Padang, Sumbar Jalan Lingkar Tanggerang Sta 0+550 - Sta2+450 Jalan Ketapang - Pasir Padi (KM.PKP 3+842 s.d KM.PKP 10+332) di Kopta Pangkalpinal Provinsi Kep.Babel Persamaan Perbedaan Objek perancangan perkerasan mengenai perancangan ulang perkerasan kaku Objek penelitian atau kajian mengenai perkerasan jalan Objek perancangan Objek perancangan perkerasan mengenai perkerasan mengenai peningkatan perkerasan peningkatan perkerasan lentur menjadi perkerasan lentur menjadi perkerasan kaku kaku dan perkerasan kaku menjadi perkerasan lentur Objek perancangan perkerasan mengenai pelebaran jalan dengan perkerasan lentur II - 1

2.2 Dasar teori 2.2.1 Perancangan Perkereasan Kaku dengan Metoda Pd T-14-2003 Metode perancangan yang digunakan adalah metode pd T-14-2003 yang merupakan adaptasi dari metode NAASRA (National Association of Australian State Road Authorities) dalam SKBI:2.3.28.1988 agar didapatkan hasil perencanaan tebal perkerasan dan ukuran tulangan yang lebih ekonomis dan sesuai dengan kondisi lapangan dan lingkungan, digunakannya metode ini juga karena karakteristik lalu lintas di indonesia tidak berbeda jauh dengan negara Australia. Namun kelemahan dari metode ini adalah lebih banyak dibutuhkannya input data dibandingkan dengan metode AASHTO. 1) Tanah Dasar Daya dukung tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu sesuai dengan SNI 03-1731-1989 atau CBR laboratorium sesuai dengan SNI 03-1744- 1989, masing-masing untuk perencanaan tebal perkerasan lama dan perkerasan jalan baru. Apabila tanah dasar mempunyai nilai CBR lebih kecil dari 2 %, maka harus dipasang pondasi bawah yang terbuat dari beton kurus (Lean-Mix Concrete) setebal 15 cm yang dianggap mempunyai nilai CBR tanah dasar efektif 5 %. Sumber: Pd T 14-2003 Gambar 2. 1 Tebal pondasi bawah minimum untuk perkerasan beton semen II - 2

Sumber: Pd T 14-2003 Gambar 2. 2 CBR tanah dasar efektif dan tebal pondasi bawah 2) Pondasi Bawah Bahan pondasi bawah dapat berupa : - Bahan berbutir. - Stabilisasi atau dengan beton kurus giling padat (Lean Rolled Concrete) - Campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete). Lapis pondasi bawah perlu diperlebar sampai 60 cm diluar tepi perkerasan beton semen. Untuk tanah ekspansif perlu pertimbangan khusus perihal jenis dan penentuan lebar lapisan pondasi dengan memperhitungkan tegangan pengembangan yang mungkin timbul. Pemasangan lapis pondasi dengan lebar sampai ke tepi luar lebar jalan merupakan salah satu cara untuk mereduksi prilaku tanah ekspansif. Tebal lapisan pondasi minimum 10 cm yang paling sedikit mempunyai mutu sesuai dengan SNI No. 03-6388-2000 dan AASHTO M-155 serta SNI 03- II - 3

1743-1989. Bila direncanakan perkerasan beton semen bersambung tanpa ruji, pondasi bawah harus menggunakan campuran beton kurus (CBK). Tebal lapis pondasi bawah minimum yang disarankan dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan CBR tanah dasar efektif didapat dari Gambar 2.2 a) Pondasi bawah material berbutir Material berbutir tanpa pengikat harus memenuhi persyaratan sesuai dengan SNI-03-6388-2000. Persyaratan dan gradasi pondasi bawah harus sesuai dengan kelas B. Sebelum pekerjaan dimulai, bahan pondasi bawah harus diuji gradasinya dan harus memenuhi spesifikasi bahan untuk pondasi bawah, dengan penyimpangan ijin 3% - 5%. Ketebalan minimum lapis pondasi bawah untuk tanah dasar dengan CBR minimum 5% adalah 15 cm. Derajat kepadatan lapis pondasi bawah minimum 100 %, sesuai dengan SNI 03-1743-1989. b) Pondasi bawah dengan bahan pengikat (Bound Sub-base) Pondasi bawah dengan bahan pengikat (BP) dapat digunakan salah satu dari : a. Stabilisasi material berbutir dengan kadar bahan pengikat yang sesuai dengan hasil perencanaan, untuk menjamin kekuatan campuran dan ketahanan terhadap erosi. Jenis bahan pengikat dapat meliputi semen, kapur, serta abu terbang dan/atau slag yang dihaluskan. b. Campuran beraspal bergradasi rapat (dense-graded asphalt). c. Campuran beton kurus giling padat yang harus mempunyai kuat tekan karakteristik pada umur 28 hari minimum 5,5 MPa (55 kg/cm² ). c) Pondasi bawah dengan campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete) Campuran Beton Kurus (CBK) harus mempunyai kuat tekan beton karakteristik pada umur 28 hari minimum 5 MPa (50 kg/cm²) tanpa menggunakan abu terbang, atau 7 MPa (70 kg/cm²) bila menggunakan abu terbang, dengan tebal minimum 10 cm. II - 4

d) Lapis pemecah ikatan pondasi bawah dan pelat Perencanaan ini didasarkan bahwa antara pelat dengan pondasi bawah tidak ada ikatan. Jenis pemecah ikatan dan koefisien geseknya dapat dilihat pada Tabel 2.2 Tabel 2. 2 Nilai koefisien gesekan No Lapis pemecah ikatan Koefisien Gesekan (µ) 1 Lapis resap ikat aspal di atas permukaan pondasi bawah 1.0 2 Laburan parafin tipis pemecah ikat 1.5 3 Karet kompon (A chlorinated rubber curing compound) 2.0 Sumber: Pd T 14-2003 3) Beton semen Kekuatan beton harus dinyatakan dalam nilai kuat tarik lentur (flexural strength) umur 28 hari, yang didapat dari hasil pengujian balok dengan pembebanan tiga titik (ASTM C-78) yang besarnya secara tipikal sekitar 3 5 MPa (30-50 kg/cm²). Kuat tarik lentur beton yang diperkuat dengan bahan serat penguat seperti serat baja, aramit atau serat karbon, harus mencapai kuat tarik lentur 5 5,5 MPa (50-55 kg/cm²). Kekuatan rencana harus dinyatakan dengan kuat tarik lentur karakteristik yang dibulatkan hingga 0,25MPa (2,5 kg/cm²) terdekat. Hubungan antara kuat tekan karakteristik dengan kuat tarik-lentur beton dapat didekati dengan rumus berikut : fcf = K (fc )0,50 dalam MPa atau.... (1) fcf = 3,13 K (fc )0,50 dalam kg/cm².. (2) Dengan pengertian : fc : kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm²) fcf : kuat tarik lentur beton 28 hari (kg/cm²) K : konstanta, 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 untuk agregat pecah. II - 5

Kuat tarik lentur dapat juga ditentukan dari hasil uji kuat tarik belah beton yang dilakukan menurut SNI 03-2491-1991 sebagai berikut : fcf = 1,37.fcs, dalam MPa atau..... (3) fcf = 13,44.fcs, dalam kg/cm²......... (4) Dengan pengertian : fcs : kuat tarik belah beton 28 hari Beton dapat diperkuat dengan serat baja (steel-fibre) untuk meningkatkan kuat tarik lenturnya dan mengendalikan retak pada pelat khususnya untuk bentuk tidak lazim. Serat baja dapat digunakan pada campuran beton, untuk jalan plaza tol, putaran dan perhentian bus. Panjang serat baja antara 15 mm dan 50 mm yang bagian ujungnya melebar sebagai angker dan/atau sekrup penguat untuk meningkatkan ikatan. Secara tipikal serat dengan panjang antara 15 dan 50 mm dapat ditambahkan ke dalam adukan beton, masing-masing sebanyak 75 dan 45 kg/m³. Semen yang akan digunakan untuk pekerjaan beton harus dipilih dan sesuai dengan lingkungan dimana perkerasan akan dilaksanakan. 4) Lalu-lintas Penentuan beban lalu-lintas rencana untuk perkerasan beton semen, dinyatakan dalam jumlah sumbu kendaraan niaga (commercial vehicle), sesuai dengan konfigurasi sumbu pada lajur rencana selama umur rencana. Lalu-lintas harus dianalisis berdasarkan hasil perhitungan volume lalulintas dan konfigurasi sumbu, menggunakan data terakhir atau data 2 tahun terakhir. Kendaraan yang ditinjau untuk perencanaan perkerasan beton semen adalah yang mempunyai berat total minimum 5 ton. Konfigurasi sumbu untuk perencanaan terdiri atas 4 jenis kelompok sumbu sebagai berikut : II - 6

- Sumbu tunggal roda tunggal (STRT). - Sumbu tunggal roda ganda (STRG). - Sumbu tandem roda ganda (STdRG). - Sumbu tridem roda ganda (STrRG). A. Lajur rencana dan koefisien distribusi Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya yang menampung lalu-lintas kendaraan niaga terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur dan koefsien distribusi (C) kendaraan niaga dapat ditentukan dari lebar perkerasan sesuai Tabel 2.3 Tabel 2. 3 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan dan koefisien distribusi (C) kendaraan niaga pada lajur rencana Lebar perkerasan (Lp) Lp < 5,50 m 5,50 m Lp < 8,25 m 8,25 m Lp < 11,25 m 11,23 m Lp < 15,00 m 15,00 m Lp < 18,75 m 18,75 m Lp < 22,00 m Jumlah lajur (nl) 1 lajur 2 lajur 3 lajur 4 lajur 5 lajur 6 lajur Koefisien distribusi 1 Arah 2 Arah 1 0,70 0,50 - - - 1 0,50 0,475 0,45 0,425 0,40 Sumber: Pd T 14-2003 II - 7

B. Umur rencana Umur rencana ditentukan atas pertimbangan klasifikasi fungsional jalan, pola lalu-lintas serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan, yang dapat ditentukan antara lain dengan metode Benefit Cost Ratio, Internal Rate of Return, kombinasi dari metode tersebut atau cara lain yang tidak terlepas dari pola pengembangan wilayah. Umumnya perkerasan beton semen dapat direncanakan dengan umur rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun. C. Pertumbuhan lalu-lintas Volume lalu-lintas akan bertambah sesuai dengan umur rencana atau sampai tahap di mana kapasitas jalan dicapai denga faktor pertumbuhan lalu-lintas yang dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut : R = ( ) (5) Dengan pengertian : R : Faktor pertumbuhan lalu lintas i : Laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam % UR: Umur rencana (tahun) Faktor pertumbuhan lalu-lintas ( R ) dapat juga ditentukan berdasarkan Tabel 2.4 Tabel 2. 4 Faktor pertumbuhan lalu lintas Umur Rencana Laju Pertumbuhan (i) per tahun (%) (Tahun) 0 2 4 6 8 10 5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1 10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9 15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8 20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3 25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3 30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5 35 35 50 73,7 111,4 172,3 271 40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6 Sumber: Pd T 14-2003 II - 8

D. Lalu-lintas rencana Lalu-lintas rencana adalah jumlah kumulatif sumbu kendaraan niaga pada lajur rencana selama umur rencana, meliputi proporsi sumbu serta distribusi beban pada setiap jenis sumbu kendaraan. Beban pada suatu jenis sumbu secara tipikal dikelompokkan dalam interval 10 kn (1 ton) bila diambil dari survai beban. Jumlah sumbu kendaraan niaga selama umur rencana dihitung dengan rumus berikut : JSKN = JSKNH x 365 x R x C. (7) Dengan pengertian : JSKN : Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur rencana. JSKNH : Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat jalan dibuka. R : Faktor pertumbuhan komulatif dari Rumus (5) atau Tabel 2.4 C : Koefisien distribusi kendaraan E. Faktor keamanan beban Pada penentuan beban rencana, beban sumbu dikalikan dengan faktor keamanan beban ( ). Faktor keamanan beban ini digunakan berkaitan adanya berbagai tingkat realibilitas perencanaan seperti telihat pada Tabel 2.5 Tabel 2. 5 Faktor keamanan beban N0 Penggunaan Nilai 1 Jalan bebas hambatan utama (major freeway) dan jalan berlajur 1,2 banyak, yang aliran lalu lintasnya tidak terhambat serta volume kendaraan niaga yang tinggi. Bila menggunakan data lalu-lintas dari hasil survai beban (weight-inmotion) dan adanya kemungkinan route alternatif, maka nilai faktor keamanan beban dapat dikurangi menjadi 1,15. 2 Jalan bebas hambatan (freeway) dan jalan arteri dengan volume 1,1 kendaraan niaga menengah. 3 Jalan dengan volume kendaraan niaga rendah. 1,0 Sumber: Pd T 14-2003 II - 9

5) Bahu Bahu dapat terbuat dari bahan lapisan pondasi bawah dengan atau tanpa lapisan penutup beraspal atau lapisan beton semen. Perbedaan kekuatan antara bahu dengan jalur lalu-lintas akan memberikan pengaruh pada kinerja perkerasan. Hal tersebut dapat diatasi dengan bahu beton semen, sehingga akan meningkatkan kinerja perkerasan dan mengurangi tebal pelat Yang dimaksud dengan bahu beton semen dalam pedoman ini adalah bahu yang dikunci dan diikatkan dengan lajur lalu-lintas dengan lebar minimum 1,50 m, atau bahu yang menyatu dengan lajur lalu-lintas selebar 0,60 m, yang juga dapat mencakup saluran dan kereb. 6) Perkerasan beton semen untuk kelandaian yang curam Untuk jalan dengan kemiringan memanjang yang lebih besar dari 3%, perencanaan serta prosedur mengacu pada Butir 6 dan harus ditambah dengan angker panel (panel anchored) dan angker blok (anchor block). Jalan dengan kondisi ini harus dilengkapi dengan angker yang melintang untuk keseluruhan lebar pelat sebagaimana diuraikan pada Tabel 2.6 dan diperlihatkan pada Gambar 2.3 dan Gambar 2.4. Sumber: Pd T 14-2003 Sumber: Pd T 14-2003 Gambar 2. 3 Angker panel Gambar 2. 4 Angker blok II - 10

Tabel 2. 6 Penggunaan angker panel dan angker blok pada jalan dengan kemiringan memanjang yang curam Kemiringan (%) Angker panel Angker blok 3 6 Setiap panel ketiga Pada bagian awal kemiringan 6 10 Setiap panel ke dua Pada bagian awal kemiringan > 10 Setiap panel Pada bagian awal kemiringan dan pada setiap interval 30 meter berikutnya Sumber: Pd T 14-2003 7) Prosedur perencanaan Prosedur perencanaan perkerasan beton semen didasarkan atas dua model kerusakan yaitu : 1) Retak fatik (lelah) tarik lentur pada pelat. 2) Erosi pada pondasi bawah atau tanah dasar yang diakibatkan oleh lendutan berulang pada sambungan dan tempat retak yang direncanakan. Prosedur ini mempertimbangkan ada tidaknya ruji pada sambungan atau bahu beton. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan dianggap sebagai perkerasan bersambung yang dipasang ruji. Data lalu-lintas yang diperlukan adalah jenis sumbu dan distribusi beban serta jumlah repetisi masing-masing jenis sumbu/kombinasi beban yang diperkirakan selama umur rencana. 1. Perencanaan tebal pelat Tebal pelat taksiran dipilih dan total fatik serta kerusakan erosi dihitung berdasarkan komposisi lalu-lintas selama umur rencana. Jika kerusakan fatik atau erosi lebih dari 100%, tebal taksiran dinaikan dan proses perencanaan diulangi. Tebal rencana adalah tebal taksiran yang paling kecil yang mempunyai total fatik dan atau total kerusakan erosi lebih kecil atau sama dengan 100%. Langkah-langkah perencanaan tebal pelat diperlihatkan pada Gambar 2.5 II - 11

Gambar 2. 5 Sistem perencanaan perkerasan beton semen metoda Bina Marga Pd. T-14-2003 II - 12

Sumber: Pd T 14-2003 Gambar 2. 6 Analisis fatik dan beban repetisi ijin berdasarkan rasio tegangan, dengan/tanpa bahu beton II - 13

Sumber: Pd T 14-2003 Gambar 2. 7 Analisis erosi dan jumlah repetisi beban ijin, berdasarkan faktor erosi, tanpa bahu beton II - 14

Sumber: Pd T 14-2003 Gambar 2. 8 Analisi erosi dan jumlah repetisi beban berdasarkan faktor erosi, dengan bahu beton II - 15

2. Perencanaan tulangan Tujuan utama penulangan untuk : - Membatasi lebar retakan, agar kekuatan pelat tetap dapat dipertahankan - Memungkinkan penggunaan pelat yang lebih panjang agar dapat mengurangi jumlah sambungan melintang sehingga dapat meningkatkan kenyamanan - Mengurangi biaya pemeliharaan Jumlah tulangan yang diperlukan dipengaruhi oleh jarak sambungan susut, sedangkan dalam hal beton bertulang menerus, diperlukan jumlah tulangan yang cukup untuk mengurangi sambungan susut. a. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan Pada perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan, ada kemungkinan penulangan perlu dipasang guna mengendalikan retak. Bagianbagian pelat yang diperkirakan akan mengalami retak akibat konsentrasi tegangan yang tidak dapat dihindari dengan pengaturan pola sambungan, maka pelat harus diberi tulangan. Penerapan tulangan umumnya dilaksanakan pada : a. Pelat dengan bentuk tak lazim (odd-shaped slabs), Pelat disebut tidak lazim bila perbadingan antara panjang dengan lebar lebih besar dari 1,25, atau bila pola sambungan pada pelat tidak benar-benar berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang. b. Pelat dengan sambungan tidak sejalur (mismatched joints). c. Pelat berlubang (pits or structures) b. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan Luas penampang tulangan dapat dihitung dengan persamaan berikut : Dengan pengertian: As : luas penampang tulangan baja (mm²/m lebar pelat) II - 16

fs : kuat-tarik ijin tulangan (MPa). Biasanya 0,6 kali tegangan leleh. g : gravitasi (m/detik²). h : tebal pelat beton (m) L : jarak antara sambungan yang tidak diikat dan/atau tepi bebas pelat (m) M : berat per satuan volume pelat (kg/m³) μ : koefisien gesek antara pelat beton dan pondasi bawah Luas penampang tulangan berbentuk anyaman empat persegi panjang dan bujur sangkar ditunjukkan pada Tabel 2.7. Tabel 2. 7 Ukuran dan berat tulangan polos anyaman las Tulangan memanjang Tulangan melintang Luas Penampang Tulangan Berat per Satuan Luas (kg/m²) Diameter Jarak Diameter Jarak Memanjang Melintang (mm) (mm) (mm) (mm) (mm²/m) (mm²/m) Empat persegi panjang 12,5 100 8 200 1227 251 11,606 11,2 100 8 200 986 251 9,707 10 100 8 200 785 251 8,138 9 100 8 200 636 251 6,967 8 100 8 200 503 251 5,919 7,1 100 8 200 396 251 5,091 9 200 8 250 318 201 4,076 8 200 8 250 251 201 3,552 Bujur sangkar 8 100 8 100 503 503 7,892 10 200 10 200 393 393 6,165 9 200 9 200 318 318 4,994 8 200 8 200 251 251 3,946 7,1 200 7,1 200 198 198 3,108 6,3 200 6,3 200 156 156 2,447 5 200 5 200 98 98 1,542 4 200 4 200 63 63 0,987 II - 17

c. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan i) Penulangan memanjang Tulangan memanjang yang dibutuhkan pada perkerasan beton semen bertulang menerus dengan tulangan dihitung dari persamaan berikut : Dengan pengertian : Ps : persentase luas tulangan memanjang yang dibutuhkan terhadap luas penampang beton (%) fct : kuat tarik langsung beton = (0,4 0,5 fcf) (kg/cm²) fy : tegangan leleh rencana baja (kg/cm²) n : angka ekivalensi antara baja dan beton (Es/Ec), dapat dilihat pada Tabel 2.8 atau dihitung dengan rumus μ : koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya Es : modulus elastisitas baja = 2,1 x 106 (kg/cm²) Ec : modulus elastisitas beton = 1485 f c (kg/cm²) Tabel 2. 8 Hubungan kuat tekan beton dan angka ekivalen baja dan beton ( n ) Fc (kg/cm²) n 175-225 10 235-285 8 290 - ke atas 6 Sumber: Pd T 14-2003 Persentase minimum dari tulangan memanjang pada perkerasan beton menerus adalah 0,6% luas penampang beton. Jumlah optimum tulangan memanjang, perlu dipasang agar jarak dan lebar retakan dapat dikendalikan. Secara teoritis jarak antara retakan pada perkerasan beton menerus dengan tulangan dihitung dari persamaan berikut : II - 18

Dengan pengertian : Lcr : jarak teoritis antara retakan (cm). p : perbandingan luas tulangan memanjang dengan luas penampang beton. u : perbandingan keliling terhadap luas tulangan = 4/d. fb : tegangan lekat antara tulangan dengan beton = (1,97 f c)/d. (kg/cm²) εs : koefisien susut beton = (400.10-6). fct : kuat tarik langsung beton = (0,4 0,5 fcf) (kg/cm²) n : angka ekivalensi antara baja dan beton = (Es/Ec). Ec : modulus Elastisitas beton =14850 f c (kg/cm²) Es : modulus Elastisitas baja = 2,1x106 (kg/cm²) Untuk menjamin agar didapat retakan-retakan yang halus dan jarak antara retakan yang optimum, maka : - Persentase tulangan dan perbandingan antara keliling dan luas tulangan harus besar - Perlu menggunakan tulangan ulir (deformed bars) untuk memperoleh tegangan lekat yang lebih tinggi. Jarak retakan teoritis yang dihitung dengan persamaan di atas harus memberikan hasi antara 150 dan 250 cm. Jarak antar tulangan 100 mm - 225 mm. Diameter batang tulangan memanjang berkisar antara 12 mm dan 20 mm. ii) Penulangan melintang Luas tulangan melintang (As) yang diperlukan pada perkerasan beton menerus dengan tulangan dihitung menggunakan persamaan (8). Tulangan melintang direkomendasikan sebagai berikut: a. Diameter batang ulir tidak lebih kecil dari 12 mm. b. Jarak maksimum tulangan dari sumbu-ke-sumbu 75 cm. II - 19

iii) Penempatan tulangan Penulangan melintang pada perkerasan beton semen harus ditempatkan pada kedalaman lebih besar dari 65 mm dari permukaan untuk tebal pelat 20 cm dan maksimum sampai sepertiga tebal pelat untuk tebal pelat > 20 cm. Tulangan arah memanjang dipasang di atas tulangan arah melintang. 2.2.2 Perencanaan Sistem Drainase Jalan Berdasarkan pd T-02-2006-B Sistem Drainase serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan ke badan air atau tempat peresapan buatan. Bangunan sistem drainase dapat terdiri atas saluran penerima, saluran pembawa air berlebih, saluran pengumpul dan badan air penerima. Perencanaan sistem drainase jalan didasarkan kepada keberadaan air permukaan dan bawah permukaan sehingga perencanaan drainase jalan dibagi menjadi dua yaitu : Drainase permukaan ( surface rainage ) drainase bawah permukaan ( sub surface rainage ) Namun perencanaan kedua jenis drainase di atas harus memiliki keterpaduan tujuan agar perencanaan drainase jalan tercapai. Keberadaan sungai dan bangunan air lainnya yang terdapat di lokasi harus diperhatikan. Badan sungai yang terpotong oleh rute jalan harus ditanggulangi dengan perencanaan gorong-gorong, dimana debit yang dihitunga dalah debit sungai yang menggunakan SNI A3-1724-1989T, ata Cara Perencanaan Hidrologi dan Hidrolika untuk bangunan di Sungai. Langkah umump perencanaan sistem drainase jalan: a. Perencanaan dimulai dengan memplot rute jalan yang akan ditinjau di peta topografi yang akan menentukan batas-batas daerah layanan maupun datadata lain untuk mengenal/mengetahui daerah layanan, sehingga dapat diperkirakan kebutuhan penempatan bangunan drainase penunjang, II - 20

menentukan penempatan awal bangunan seperti saluran samping jalan, fasilitas penahan air hujan dan bangunan pelengkap. b. Perencanaan sistem drainase jalan harus memperhatikan pengaturan air yang ada di permukaan(drainase permukaan) maupun yang ada di bawah permukaan. Perencanaan-perencanaan tersebut harus mengikuti ketentuan teknis yang ada tanpa mengganggu stabilitas konstruksi jalan. 2.2.2.1 Sistem drainase permukaan jalan Sistem drainase permukaan berfungsi untuk mengendalikan limpasan air hujan di permukaan jalan dan dari daerah sekitamya agar tidak merusak konstruksi jalan, seperti kerusakan karena air banjir yang melimpas di atas perkerasan jalan atau kerusakan pada badan jalan akibat erosi Sistem drainase jalan harus meperhitungkan debit pengaliran dari saluran samping jalan yang memanfaatkan saluran samping jalan tersebut untuk menuju badan air atau resapan buatan Suatu sistem drainase permukaan jalan terdiri atas kemiringan melintang Perkerasan dan bahu jalan, saluran samping jalan, drainase lereng dan gorong-gorong. Sumber: Pd T 14-2003 Gambar 2. 9 Tipikal sistem drainase jalan II - 21

Suatu sistem drainase jalan pada daerah yang memiliki perkerasan yang bersifat lolos air ataupun retak yang memungkinkan air untuk terserap ke dalam badan jalan, maka sistem drainase yang digunakan seperti pada Gamba3 Sumber: Pd T 14-2003 Gambar 2. 10 Sistem drainase yang diberlakukan pada kondisi infiltrasi tinggi 2.2.2.2 Ketentuan Teknis Hal-hal yang perlu diperhatikana pada perencanaan drainase permukaan diuraikan dibawah ini: 1) Plot rute jatan di peta topografi (L) a. Plot rute jalan rencana pada topografi diperlukan untuk mengetahui gambaran topografi atau daerah kondisi sepanjang trase jalan yang akan dilalui dapat dipelajari b. Kondisi terrain pada daerah layanan diperlukan untuk menentukan bentuk dan kemiringan yang akan mempengaruhi pola aliran 2) Inventarisasi data bangunan drainase( gorong-gorong, jembatan, dll.) Eksisting meliputi lokasi, dimensi, arah aliran pembuangan dan kondisi. Data ini digunakan agar perencanaan sistem drainase jalan tidak mengganggu sistem drainase yang telah ada 3) Segmen panjang segmen saluran (L) Penentuan panjang segmen saluran( L) didasarkan pada; II - 22

a. Kemiringan rute jalan; disarankan kemiringan saluran mendekati kemiringan rute jalan b. Adanya tempat buangan air seperti badan air (misalnya sungai, waduk, dll) c. Langkah coba-coba sehingga dimensi saluran paling ekonomis 4) Luas daerah layanan( A) a. Perhitungan luas daerah layanan didasarkan pada panjang segmen jalan yang ditinjau b. luas daerah layanan( A) untuk saluran samping jalan perlu diketahui agar dapat diperkirakan daya tampungnya terhadap curah hujan atau untuk memperkirakan volume limpasan permukaan yang akan ditampung saluran samping jalan c. luas daerah layanan terdiri atas luas setengah badanj alan (A1), luas bahu jalan (A2) dan luas daerah di sekitar (A3) d. batasan luas daerah layanan tergantung dari daerah sekitar dan topografi dan daerah sekelilingnya. Panjang daerah pengaliran yang diperhitungkan terdiri atas setengah lebar badan jalan (l1), lebar bahu jalan (l2), dan daerah sekitar (l3) yang terbagi atas daerah perkotaan yaitu ±10 m dan untuk daerah luar kota yang didasarkan pada topografi daerah tersebut e. jika dipelukan, pada daerah perbukitan, direncanakan beberapa saluran (Lihat sub bab drainase lereng) untuk menampung limpasan dari daerah bukit dengan batas daerah layanan adalah puncak bukit tersebut tanpa merusak stabifitas lereng. Sehingga saluran tersebut hanya menampung air dari luas daerah layanan daerah sekitar (A3) II - 23

Sumber: Pd T 14-2003 Gambar 2. 11 Daerah pengatiran saluran samping jalan Sumber: Pd T 14-2003 Gambar 2. 12 panjang daerah pengaliran yang diperhitungkan (l1,l2,l3) II - 24

5) Koefisien pengaliran( C) Koefisien pengaliran(c ) dipengaruhi kondisi permukaan tanah (tata guna lahan). Pada daerah layanan dan kemungkinan perubahan tata guna lahan. A ngka ini akan mempengaruhi debit yang mengalir sehingga dapat diperkirakan daya tampung saluran. Untuk itu dipelukan peta topografi dan melakukan survai lapangan agar corak topografi daerah proyek dapat lebih diperjelas. Diperlukan pula jenis sifat erosi dan tanah pada daerah sepanjang trase jalan rencana, antara lain tanah dengan permeabilitas tinggi (sifat lulus air) atau tanah dengan tingkat erosi permukaan. Secara visual akan nampak pada daerah yang menunjukkan alur-alur pada permukaan. 6) Faktor limpasan (fk) a. Merupakan faktor atau angka yang dikalikan dengan koefisien pengairan dengan tujuan agar kinerja saluran tidak melebihi kapasitasnya akibat daerah pengaliran yang terlalu luas. Harga faktor limpasan (fk) disesuaikan dengan kondisi permukaan tanah Lihat Tabel 2.9 Tabel 2. 9 Harga koefisien pengaliran (C) dan harga faktor limpasan (FK) No Kondisi Permukaan Tanah Koefisien Pengairan ( C ) Faktor Limpasan (fk) BAHAN 1 Jalan Beton & Jalan Aspal 0,70-0.95-2 Jalan Kerikil & Jalan Tanah 0,40-0,70-3 Bahu Jalan - Tanah Berbutir Halus 0,40-0,65 - Tanah Berbutir Kasar 0,10-0,20 - Batuan Masif Keras 0,70-0,85 - Batuan Masif Lunak 0,60-0,75 - TATA GUA LAHAN 1 Daerah Perkotaan 0,70-0,95 2,0 II - 25

2 Daerah Pinggir Kota 0,60-0,70 1,5 3 Daerah Industri 0,60-0,90 1,2 4 Permukiman Padat 0,40-0,60 2,0 5 Permukiman Tidak Padat 0,40-0,60 1,5 6 Taman dan Kebun 0,20-0,40 0,2 7 Persawahan 0,45-0,60 0,5 8 Perbukitan 0,70-0,80 0,4 9 Pegunungan 0,75-0,90 0,3 Harga koefisien pengaliran (C ) untuk daerah datar diambil nilai C yang terkecil danuntuk daerah lereng diambil nilai C yang besar. Harga faktor limpasan (Fk) hanya digunakan untuk lahan sekitar saluran selain bagian jalan. b. Bila daerah pengaliran atau daerah layanan terdiri dari beberapa tipe kondisi permukaan yag mempunyai nilai C yang berbeda. Harga C rata-rata ditentukan dengan persamaan berikut : dengan pengertian : =. +. +.. k + + C 1, C 2, C 3 = A 1, A 2, A 3 = Fk = koefisien pengairan yang sesuai dengan tipe kondisi permukaan luas daerah pengaliran yang diperhitungkan sesuai dengan kondisi permukaan faktor limpasan sesuai guna lahan II - 26

7) Waktu konsentrasi (Tc) a. Waktu paling lama yang dibutuhkan untuk seluruh daerah layanan dalam menyalurkan aliran air secara simultan setelah melewati titik-titik tertentu. b. Waktu konsentrasi untuk saluran terbuka dihitung dengan rumus di bawah ini. Tc = t 1 + t 2 = 2 3 x 3,28 x x, = 60 x dengan pengertian: Tc = waktu konsentrasi (menit) t 1 t 2 l o L =waktu untuk mencapai awal saluran dari titik terjauh (menit) = waktu aliran dalam saluran sepanjang L menit) = jarak titik terjauh ke inlet drainase (m) = panjang saluran (m) nd = koefisien hambatan (lihat Tabel 2.2) ls = kemiringan saluran memanjang V = kecepatan air rata-rata pada saluran drainase (m/detik) Tabel 2. 10 Koefisien hambatan (nd) berdasarkank ondisi permukaan No Kondisi Lapis Permukaan nd 1 Lapis semen dan aspal beton 0,013 2 Permukaan licin dan kedap air 0,020 II - 27

3 Permukaan licin dan kokoh 0,100 4 Tanah dengan rumput tipis dan gundul dengan permukaan sedikit kasar 0,200 5 Padang rumputdan rerumputan 0,400 6 Hutan Gundul 0,600 7 Hutan rimbun dan hutan gundul rapat dengan hamparan rumput jarang sampat rapat 0,800 8) Menghitung Debit Aliran (Q) Q aliran = (C*I*A) / 3,6 Keterangan : V = Kecepatan aliran (m/dt) Q = Debit (m 3 /dt) C = koefisien limpasan atau pengaliran (tak berdimensi) I = Intensitas curah hujan (mm/jam) A = Luas daerah tangkapan hujan (km 2 ) 9) Menghitung Debit Saluran (Qs) Perhitungan debit menggunakan rumus umum perhitungan debit untuk dimensi saluran dihitung dengan rumus : Q F V dimana : F = Luas penampang basah (m 2 ) V = Kecepatan aliran (m/dt) Q = Debit (m 3 /dt) Kecepatan aliran drainase (V) dihitung dengan menggunakan rumus Manning : II - 28

dimana : V n 2 1 V 1 3 2 R n S = Kecepatan aliran (m/det) = Koefisien kekasaran permukaan saluran menurut Manning Sedangkan untuk mendapatkan nilai jari-jari hidraulik digunakan rumus : dimana : F = Luas penampang basah (m 2 ) P F R P = Keliling penampang basah (m) S = Kemiringan memanjang normal perkerasan jalan (%) 10) Merencanakan Kemiringan Saluran Rumus dikembangkan dari tujuh rumus yang berbeda, berdasarkan data percobaan Bazin yang selanjutnya dicocokkan dengan 170 percobaan. Akibat sederhananya rumus ini dan hasilnya yang memuaskan dalam pemakaian praktis, rumus Manning menjadi sangat banyak dipakai dibandingkan dengan rumus aliran seragam lainnya. Setelah perhitungan (V) rata-rata dengan rumus Manning diatas, selanjutnya dilakukan pengontrolan dengan (Vmin) & (Vmaks) ijin, Vmin ijin V saluran V maks ijin. a. Kecepatan minimum yamg diijinkan (Vmin) Kecepatan minimum yang diijinkan, adalah keceptan terkecil yang tidak menimbulkan pengendapan (sedimentasi) dan tidak merangsang tumbuhnya tanaman aquatic serta lumut. Pada umumnya menurut Van Te Chow antara 0.60 sampai 0.90 m/det atau diambil rata-rata 0.75 m/det yang dapat mencegah tumbuhnya tumbuh-tumbuhan yang dapat memperkecil daya angkut saluran. b. Kecepatan maksimum yang dijinkan (Vmaks) II - 29

Kecepatan maksimum adalah kecepatan pengaliran tebesar yang tidak akan menyebabkan erosi di permukaan saluran. Untuk saluran pasangan, kecepatan maksimum ini antara 2.5 m/det-3.5 m/det, sedangkan untuk saluran alam (saluran tanah) ± 2.0 m/det Tak Diperkeras Dibuat Ditempat Dipasang Ditempat Sumber : Menurut Manning Tabel 2. 11 Koefisien kekasaran Jenis Sarana Drainase Tanah 0.020-0.025 Pasir dan Kerikil 0.025-0.040 Dasar Saluran Batuan 0.025-0.035 Semen Mortar 0.010-0.035 Beton 0.013-0.018 Batu Belah Pasangan Batu Adukan Basah 0.015-0.030 Pasangan Batu dengan dasar kerikil 0.020-0.026 Pasangan Batu Adukan Kering 0.025-0.035 Pipa Beton Sentrifugal 0.011-0.014 Pipa Beton 0.012-0.016 Pipa Bergelombang 0.016-0.025 n 11) Menentukan Tinggi Jagaan Penampang Tinggi jagaaan (W) untuk saluran drainase adalah salah satu syarat penentuan dimensi saluran yang paling efektif dan efisien. Tinggi jagaan saluran berfungsi untuk menjaga saluran dari kelebihan debit aliran yang melewati area tersebut, sehingga menjaga keamanan ari saluran drainasenya itu sendiri. Untuk menentukan tinggi jagaan penampang saluran dipakai rumus : W= 0,5 h Dengan pengertian : W = tinggi jagaan (m) h = kedalaman air yang tergenang dalam saluran II - 30

II - 31