BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI"

Transkripsi

1 2.1 Tinjauan Pustaka BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI Menurut penjelasan dari Humas PT KA Daop 2, Bambang S Prayitno, di Bandung, Senin (30/4/2012). Sebanyak 698 perlintasan sebidang itu meliputi kategori liar 81 persimpangan dan kategori resmi 617 persimpangan. Dari kategori resmi tersebut, yang tidak dijaga 495 perlintasan, yang dijaga masyarakat sebanyak 31, dan sisanya 91 dijaga oleh petugas PT KA. Bambang menjelaskan, wewenang untuk mengubah perlintasan kereta api dari sebidang menjadi tidak sebidang sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Caranya, bisa dengan membangun jembatan layang atau terowongan di bawahnya. Perlintasan sebidang dinilai sebagai sumber kecelakaan antara kereta api dengan kendaraan yang biasanya didahului pelanggaran palang pintu kereta. Underpass merupakan sarana transportasi yang dibuat sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah transportasi khususnya masalah kemacetan. Underpass ini di bangun dibawah jalan utama, pada perencanaan pembuatan underpass harus diperhatikan beberapa aspek sehingga pembuatan underpass dapat menjadi solusi terbaik dalam mengatasi masalah transportasi. Adapun aspek yang harus diperhatikan adalah LHR ( Lintas Harian Rata - rata ) yang melintasi jalan diatasnya, tingkat perekonomian disekitarnya dan jenis jalan (Tugas Akhir Indri dan Redhi, 2006). Perencanaan simpang tak sebidang diperlukan mengingat pengaturan dengan model simpang bersinyal maupun bundaran sudah tidak efektif lagi, hal ini dikarenakan volume lalu lintas yang ada sudah terlalu padat dan diperparah dengan adanya perlintasan kereta api tepat di tengah simpang. Dengan perencanaan underpass diharapkan kemacetan yang terjadi dapat teratasi.(skripsi Farid Wibisono dan Moch.Zaenal Arifin, 2008). 6

2 Dalam perhitungan tebal perkerasan pada jalan raya terdapat perbedaan antara perkerasan lentur yang menggunakan aspal sebagai bahan perkerasan dengan perkerasan kaku yang menggunakan perkerasannya. Perkerasan lentur merupakan perkerasan yang terdiri atas beberapa lapisan dimana pembebanannya yang terjadi didasarkan atas penyebaran gaya pada tiap lapisan perkerasan. Sedangkan pada perkerasan kaku, pembebanan yang terjadi seluruhnya diterima oleh pelat beton dimana beban berada. (Skripsi Joni, 2002) Permasalahan yang paling dominan dalam pemenuhan kebutuhan trasnportasi jalan yang aman dan nyaman adalah tersedianya prasarana jalan dengan jenis perkerasan jalan yang sesuai dengan kondisi lalu lintas yang ada. Artinya pemilihan jenis perkerasan jalan baru disesuaikan dengan jenis struktur prasarana jalan yang direncanakan. Pada jenis perkerasan kaku (rigid pavement), prinsip perencanaan didasarkan pada kemampuan pelat beton dalam menampung lalu lintas rencana, dimana tebal pelat dan mutu beton rencana menentukan kualitas perkerasan itu sendiri. (Skripsi Rahman Sontani, 2006) Peningkatan akses jalan diperlukan ketika terjadi dua hal, pertama jika kapasitas jalan yang ada sudah tidak mampu lagi menampung volume lalulintas yang melewati akses jalan tersebut dan yang kedua saat struktur perkerasan yang ada tidak mampu lagi mendukung repetisi beban lalu-lintas yang lewat di atasnya, atau terjadi kerusakan yang parah sehingga dibutuhkan rekonsturksi untuk mengembalikan kinerja jalan tersebut. (Tugas Akhir Arnis, 2010) Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat, dapat mengakibatkan bertambahnya jumlah kendaraan, sehingga otomatis akan menambah pergerakan arus lalu lintas di jalan. Pertumbuhan lalu lintas yang pesat, akan berpengaruh pada 7

3 kondisi lapisan perkerasan yang ada. (Tugas Akhir Septian Ady Pratama, 2012) 2.2 Dasar Teori Peraturan Mengenai Perlintasan Kereta Api Menurut Peraturan Direktur Jendral Perhubungan Darat Nomor: SK,770/KA.401/DRJD/2005 tentang Pedoman Teknis Perlintasan Sebidang Antara Jalan Dengan Jalur Kereta Api Pasal 1 ayat 1 dan 2 menyebutkan 1. Perlintasan sebidang antara jalan dengan jalur kereta api dibuat dengan prinsip tidak sebidang 2. Pengecualian terhadap prinsip tidak sebidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya bersifat sementara, yang dapat dilakukan dalam hal: a. Letak geografis yang tidak memungkinkan membangun perlintasan tidak sebidang; b.tidak membahayakan, tidak membebani serta tidak mengganggu kelancaran operasi kereta api dan lalu lintas jalan; Menurut pasal 8 ayat 3 Keputusan Menteri perhubungan tentang perpotongan dan atau persinggungan antara jalur kereta dengan bangunan lain, jalan di bawah jalur kereta api (underpass) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Konstruksi harus memenuhi persyaratan teknis jalan. 2. Jarak permukaan jalan di bawah jalur kereta api, minimal 5 meter dihitung dari permukaan jalan sampai gelagar jembatan kereta api paling bawah. 3. Letak sisi teratas konstruksi underpass minimal 1 meter di bawah kepala rel. 8

4 4. pembangunan lintas di bawah jalur kereta api diperhitungkan ruang bebas untuk mengantisipasi rencana pembangunan jalur ganda kereta api Konstruksi Underpass Ada beberapa macam konstruksi yang dipakai untuk perencanaan sebuah underpass yaitu : 1. Konstruksi Box Culvert Apabila konstruksi underpass memakai suatu box culvert, maka box culvert dimodelkan sebagai struktur portal diatas tumpuan jepit. Portal ini merupakan jenis portal tak bergoyang karena akibat pembebanan terjadi perubahan panjang bentang. Model struktur box culvert dapat dilihat pada gambar 2.1 Sumber: Google Gambar 2.1 Permodelan Struktur Box Culvert 9

5 2. Konstruksi Abutment Apabila dipakai konstruksi abutment, maka permodelan strukturnya harus dihitung tiap elemen underpass. Mulai dari atas yaitu dimensi lapis perkerasan kaku (rigid pavement), balok beton, konstruksi abutment, dan pondasi bila diperlukan untuk desain. Model struktur abutment dapat dilihat pada gambar 2.2 Sumber: Google Gambar 2.2 Permodelan Struktur Abutment Konstruksi yang akan dipakai harus mempertimbangkan faktor lokasi bangunan, karena lokasi ini akan berpengaruh besar pada aspek kemudahan pelaksanaan dan pengeluaran / biaya pembangunannya. Jalan merupakan sarana penting dalam roda perekonomian, maka diharapkan terganggunya arus lalu lintas dapat diminimaliskan sekecil mungkin. Dalam perencanaan banyak aspek yang harus dilihat dan dicermati sebagai dasar pemilihan suatu jenis struktur. Pada umumnya pedoman umum perencanaan bangunan atas, bangunan bawah, dan pondasi harus memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Kekuatan unsur struktural dan stabilitas keseluruhan 2. Kelayakan struktur 3. Keawetan 10

6 4. Kemudahan pelaksanaan konstruksi 5. Ekonomis dan dapat diterima 6. Bentuk estetika Pedoman tersebut sangat penting untuk dipahami supaya tercipta suatu desain underpass yang tepat. Fungsi jalan, jenis tanah, dan kondisi topografi merupakan faktor terpenting dalam suatu desain konstruksi underpass. Oleh karena itu kelengkapan data yang ada merupakan suatu kebutuhan Perkerasan Jalan Perkerasan merupakan bagian dari konstruksi jalan yang terletak di atas badan jalan yang berfungsi sebagai penerima beban lalu-lintas yang bekerja di atasnya, yang selanjutnya tekanan dari beban ini akan disebarkan kebagian tanah dasar yang ada di bawahnya. 1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapisan bahan konstruksi perkerasan, dimana lapisan satu dengan yang lainnya berurutan dari lapisan bawah ke lapisan yang paling atas, yang memiliki nama dan fungsi masing-masing seperti uraian berikut : Lapisan Tanah Dasar, merupakan permukaan tanah sebagai tanah asli yang dipadatkan yang berfungsi sebagai permukaan dasar untuk perletakan lapisan berikutnya. Lapisan Pondasi Bawah, adalah bagian perkerasan yang diletakkan di antara lapisan tanah dasar dan lapis pondasi atas, yang pada umumnya dari bahan material berbutir. Berfungsi sebagai penyebar beban yang diterima lapis pondasi atas untuk disalurkan ke lapisan tanah dasar. Lapis Pondasi Atas, adalah bagian lapisan yang terletak antara lapis pondasi bawah dengan lapis permukaan yang pada umumnya dari bahan material berbutir. Berfungsi untuk mendukung beban yang 11

7 disalurkan dari lapis permukaan untuk disebarkan ke lapis yang ada di bawahnya. Lapis Permukaan, bagian atas perkerasan yang menggunakan lapisan beraspal (penetrasi, burtu/burda, beton, hotmix, coldmix) yang menerima langsung beban lalu-lintas. Umur rencana diambil 10 tahun, untuk peningkatan atau pembangunan. 2. Perkerasan Kaku (Rigid Pavement) Perkerasan kaku merupakan lapisan perkerasan yang terbuat dari suatu lapisan pelat beton tanpa atau dengan tulangan yang dapat menahan beban kendaraan secara langsung dengan penyebaran gaya cukup besar sehingga tekanan yang terjadi terhadap lapisan dasar tanah menjadi relatif kecil. Dalam perencaaan perkerasan kaku, tebal plat beton dihitung agar mempu memikul tegangan yang ditimbulkan oleh : Beban roda kendaraan. Perubahan suhu, perubahan kadar air, dan perubahan volume dari lapis yang ada di bawahnya. Perencanaan didasarkan pada kekuatan tanah dasar (Modulus reaksi tanah dasar), kekuatan beban yang dinyatakan dalam kuat lentur tarik (flektural Strength MR). Umur rencana bisa diambil 20 tahun. Biaya awal relatif besar, namun biaya pemeliharaan pasca konstruksi relatif kecil Struktur dan Jenis Perkerasan Beton semen Perkerasan beton semen dibedakan ke dalam 4 jenis : 1. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan 2. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan 3. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan 4. Perkerasan beton prategang 12

8 Pada perkerasan beton semen, daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat beton. Sifat daya dukung dan keseragaman tanah dasar sangat mempengaruhi keawetan dan kekuatan perkerasan beton semen. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah kadar air pemadatan, kepadatan dan perubahan kadar air selama masa pelayanan. Lapis pondasi bawah pada perkerasan beton semen bukan merupakan bagian utama yang memikul beban, tetapi merupakan bagian yang berfungsi sebagai berikut: Mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar. Mencegah intrusi dan pemompaan pada sambungan, retakan dan tepi-tepi pelat. Memberikan dukungan yang mantap dan seragam pada pelat. Sebagai perkerasan lantai kerja selama pelaksanaan. Pelat beton semen mempunyai sifat yang cukup kaku serta dapat menyebarkan beban pada bidang yang luas dan menghasilkan tegangan yan rendah pada lapisan-lapisan di bawahnya. Bila diperlukan tingkat kenyamanan tinggi, permukaan perkerasan beton semen dapat dilapisi dengan campuran beraspal setebal 5 cm. Susunan lapisan perkerasan beton kaku pada umumnya dapat dilihat pada Gambar 2.3 Sumber : Pd T Gambar 2.3 Tipikal Struktur Perkerasan Beton Semen 13

9 2.2.4 Tanah Dasar Daya dukung tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu sesuai dengan SNI atau CBR laboratorium sesuai dengan SNI Masing-masing untuk tebal perkerasan lama dan perkerasan jalan baru. Apabila tanah dasar mempunyai nilai CBR lebih kecil dari 2%, maka harus dipasang pondasi bawah yang terbuat dari beton kurus (Lean-Mix Concrete) setebal 15 cm yang dianggap mempunyai nilai CBR tanah dasar efektif 15% Pondasi Bawah Bahan pondasi bawah dapat berupa : Bahan berbutir. Stabilisasi atau dengan beton kurus giling padat (Lean Rolled Concrete). Campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete) Tebal lapisan pondasi minimum 10 cm yang paling sedikit mempunyai mutu sesuai dengan SNI No dan AASHTO M-155 serta SNI Bila direncanakan perkerasan beton semen bersambung tanpa ruji/dowel, pondasi bawah harus menggunakan campuran beton kurus (CBK). Tebal lapisan pondasi bawah minimum yang disarankan dapat dilihat pada Gambar 2.4 dan CBR tanah dasar efektif didapat dari Gambar 2.5 Nilai CBR tanah dasar juga berfungsi untuk menentukan nilai CBR tanah dasar efektif yang kemudian digunakan untuk menentukan tebal pelat yang akan digunakan. 14

10 Sumber : Pd T Gambar 2.4 Tebal Pondasi Bawah Minimum Untuk Perkerasan Beton Semen Sumber : Pd T Gambar 2.5 CBR Tanah Dasar Efektif dan Tebal Pondasi Bawah Pondasi Bawah Material Berbutir Material berbutir tanpa pengikat harus memenuhi persyaratan sesuai dengan SNI Persyaratan dan gradasi pondasi bawah harus sesuai dengan kelas B. Sebelum pekerjaan dimulai, bahan pondasi bawah 15

11 harus diuji gradasinya dan harus memenuhi spesifikasi bahan untuk pondasi bawah, dengan penyimpangan ijin 3% - 5%. Ketebalan minimum lapis pondasi bawah untuk tanah dasar dengan CBR minimum 5% adalah 15 cm. Derajat kepadatan lapis pondasi bawah minimum 100 %, sesuai dengan SNI Pondasi Bawah Dengan Bahan Pengikat (Bound Sub-base) Pondasi bawah dengan bahan pengikat (BP) dapat digunakan salah satu dari : Stabilisasi material berbutir dengan kadar bahan pengikat yang sesuai dengan hasil perencanaan, untuk menjamin kekuatan campuran dan ketahanan terhadap erosi. Jenis bahan pengikat dapat meliputi semen, kapur, serta abu terbang dan/atau slag yang dihaluskan. Campuran beraspal bergradasi rapat (dense-graded asphalt). Campuran beton kurus giling padat yang harus mempunyai kuat tekan karakteristik pada umur 28 hari minimum 5,5 MPa (55 kg/cm2 ) Pondasi Bawah Dengan Campuran Beton Kurus (Lean-Mix Concrete) Campuran Beton Kurus (CBK) harus mempunyai kuat tekan beton karakteristik pada umur 28 hari minimum 5 MPa (50 kg/cm2) tanpa menggunakan abu terbang, atau 7 MPa (70 kg/cm2) bila menggunakan abu terbang, dengan tebal minimum 10 cm Lalu-lintas Penentuan beban lallu-lintas rencana untuk perkerasan beton semen, dinyatakan dalam jumlah sumbu kendaraan niaga (commercial vehicle), sesuai dengan konfigurasi sumbu pada lajur rencana selama umur rencana. 16

12 Lalu-lintas harus dianalisis berdasarkan hasil perhitungan volume lalulintas dan konfigurasi sumbu, menggunakan data terakhir atau data 2 tahun terakhir. Kendaraan yang ditinjau untuk perencanaan terdiri atas 4 jenis kelompok sumbu sebagai berikut : Sumbu tunggal roda tunggal (STRT) Sumbu tunggal roda ganda (STRG) Sumbu tandem roda ganda (STdRG) Sumbu tridem roda ganda (STrTG) Gambar 2.6 menggambarkan kendaraan dengan konfigurasi sumbu tunggal, sumbu tandem, dan sumbu tripel Sumber : Perencanaan Perkerasan, Silvia Sukirman Gambar 2.6 Konfigurasi Sumbu Kendaraan Lajur Rencana dan Koefisien Distribusi Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu-lintas dari suatu akses jalan raya yang menampung lalu-lintas kendaraan niaga terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur dan koefisien distribusi (C) kendaraan niaga dapat ditentukan dari lebar perkerasan sesuai Tabel

13 Tabel 2.1 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan dan Koefisien Distribusi (C) Kendaraan Niaga Pada Lajur Rencana Sumber: Pd T Umur Rencana Umur rencanan perkerasan jalan ditentukan atas pertimbangan klasifikasi fungsional jalan, pola lalu-lintas serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan yang dapat ditentukan antara lain dengan metode Benefit Cost Ratio, Internal Rate of Return, kombinasi dari metode tersebut atau cara lain yang tidak terlepas dari pola pengembangan wilayah. Umumnya perkerasan beton semen dapat direncanakan dengan umur rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun Pertumbuhan Lalu-lintas Volume lalu-lintas akan bertambah sesuai dengan umur renana atau sampai tahap dimana kapasitas jalan dicapai dengan faktor pertumbuhan lalulintas yang dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut : R = (1+i)UR 1 i..(2.1) Dimana : R = Faktor pertumbuhan lalu-lintas i = Laju pertumbuhan lalu-lintas per tahun dalam % UR = Umur rencana (tahun) Faktor pertumbuhan lalu-lintas (R) dapat juga ditentukan berdasarkan Tabel

14 Tabel 2.2 Faktor Pertumbuhan Lalu-lintas (R) Sumber : Pd T Apabila setelah waktu tertentu (URm tahun) pertumbuhan lalu-lintas tidak terjadi lagi, maka R dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: R = (1+i)UR i + (UR URm){1 + i URm 1}..(2.2) Dimana : R = Faktor pertumbuhan lalu-lintas i = laju pertumbuhan lalu-lintas per tahun dalam % URm = waktu tertentu dalam tahun, sebelum UR selesai Lalu-lintas Rencana Lalu-lintas rencana adalah jumlah komulatif sumbu kendaraan niaga pada lajur rencana selama umur rencana. Meliputi proporsi sumbu serta distribusi beban pada setiap jenis sumbu kendaraan. Beban pada suatu jenis sumbu secara tipikal dikelompokkan dalam interval 10 kn (1ton) bila jumlah sumbu kendaraan niaga selama umur rencana dihitung dengan rumus berikut : JSKN = JSKNH 365 R C..(2.3) Dimana : JSKN = Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur rencana. JSKNH = Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat jalan dibuka. 19

15 R = Faktor pertumbuhan komulatif dari persamaan 2.1 atau Tabel 2.2 atau persamaan 2.2 yang besarnya tergantung dari pertumbuhan lalu-lintas tahunan dan umur rencana. C = Koefisien distribusi kendaraan Faktor Keamanan Beban Pada penentuan beban rencana, beban sumbu dikalikan dengan faktor keamanan beban (F KB ). Faktor keamanan beban ini digunakan berkaitan adanya berbagai tingkat realibilitas perencanaan seperti terlihat seperti pada Tabel 2.3 Tabel 2.3 Faktor Keamanan Beban (F KB ) Sumber: Pd T Bahu Bahu dapat terbuat dari lapisan pondasi bawah dengan atau tanpa lapisan penutup beraspal atau lapisan beton semen. Perbedaan kekuatan antara bahu dengan jalur lalu-lintas akan memberikan pengaruh pada kinerja perkerasan. Hal tersebut dapat diatasi dengan bahu beton semen, sehingga akan meningkatkan kinerja perkerasan dan mengurangi tebal pelat. Yang dimaksud bahu beton semen adalah bahu yang dikunci dan diikatkan dengan lajur lalu-lintas dengan lebar minimum 1.50 m atau bahu yang menyatu dengan lajur lalu-lintas selebar 0.60 m yang juga dapat mencakup saluran dan kerb. 20

16 2.2.8 Sambungan Sambungan pada perkerasan beton semen ditujukan untuk : Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh penyusutan. Pengaruh lenting serta beban lalu-lintas. Mengakomodasi gerakan pelat. lain : Pada perkerasan beton semen terdapat beberapa jenis sambungan, antara Sambungan memanjang. Sambungan melintang. Sambungan isolasi. Semua sambungan harus ditutup dengan bahan penutup (joint sealer) kecuali pada sambungan isolasi terlebih dahulu harus diberi bahan pengisi (joint filler) Sambungan Memanjang Dengan Batang Pengikat (Tie Bar) Pemasangan sambungan memanjang ditujukan untuk mengendalikan terjadinya retak memanjang. Jarak antar sambungan memanjang sekitar 3-4 m. sambungan memanjang harus dilengkapi dengan batang ulir dengan mutu minimum BJTU-24 dan berdiameter 16 mm. Ukuran batang pengikat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : A t = 204 x b x h..(2.4) dan I = (38.3 x ϕ) +75..(2.5) Dimana : A t = Luas penampang tulangan per meter panjang sambungan (mm 2 ) b = Jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan dengan tepi perkerasan (m) 21

17 h = Tebal pelat (m) I = Panjang batang pengikat yang dipilih (mm) ϕ = Diameter batang pengikat yang dipilih (mm) Jarak batang pengikat yang digunakan adalah 75 cm. Tipikal sambungan memanjang dapat dilihat pada Gambar 2.7 Sumber : Pd T Gambar 2.7 Tipikal Sambungan Memanjang Sambungan Susut Melintang Kedalaman sambungan kurang lebih mencapai seperempat dari tebal pelat untuk perkerasan dengan lapis pondasi berbutir atau sepertiga dati tebal pelat untuk lapis pondasi stabilisasi semen sebagai mana diperlihatkan pada Gambar 2.8 dan Gambar 2.9 Sumber : Pd T

18 Gambar 2.8 Sambungan Susut Melintang Tanpa Ruji Sumber : Pd T Gambar 2.9 Sambungan Susut Melintang Dengan Ruji Jarak sambungan susut melintang untuk perkerasan beton bersambung tanpa tulangan sekitar 4-5 m, sedangkan untuk perkerasan beton bersambung dengan tulangan 8-15 m dan untuk sambungan perkerasan beton menerus dengan tulangan sesuai dengan kemampuan pelaksanaan. Sambungan ini harus dilengkapi dengan ruji/dowel polos panjang 45 cm, jarak antara ruji/dowel 30 cm, lurus dan bebas dari tonjolan tajam yang akan mempengaruhi gerakan bebas pada saat pelat beton menyusut. Setengah panjang ruji/dowel polos harus dicat atau dilumuri dengan bahan anti lengket untuk menjamin tidak ada ikatan dengan beton. Diameter ruji/dowel tergantung pda tebal pelat beton sebagaiman seperti terlihat pada Tabel 2.4 Tabel 2.4 Diameter Ruji Sumber : Pd T

19 Pola Sambungan Pola sambungan pada perkerasan beton semen harus mengikuti batasanbatasan sebagai berikut : Hindari bentuk panel yang tidak teratur, usahakan bentuk panel sepersegi mungkin. Perbandingan maksimum panjang panel terhadap lebar adalah 1:25. Jarak maksimum sambungan memanjang 3-4 m. Jarak maksimum sambungan melintang 25 kali tebal pelat, maksimum 5.0 m. Semua sambungan susut harus menerus sampai kerb dan mempunyai kedalaman seperempat dan sepertiga dari tebal perkerasan masing-masing untuk lapisan pondasi berbutir dan stabilisasi semen. Antar sambungan harus bertemu pada satu titik untuk menghindari terjadinya retak refleksi pada lajur yang bersebelahan. Sudut antar sambungan yang lebih kecil dari 60 derajat harus dihindari dengan mengatur 0.5 m panjang terakhir dibuat tegak lurus terhadap tepi perkerasan. Apabila sambungan berada dalam area 1.5 m dengan manhole atau bangunan yang lain, jarak sambungan harus diatur sedemikian rupa sehingga antara sambungan dengan manhole atau bangunan yang lain tersebut sudut tegak lurus. Hal tersebut berlaku untuk bangunan yang berbentuk bundar. Untuk bangunan segi empat, sambungan harus berada pada sudutnya atau diantara dua sudut. Semua bangunan lain seperti manhole harus dipisahkan dari perkerasan dengan sambungan muai selebar 12 mm yang meliputi keseluruhan tebal pelat. Perkerasan yang berdekatan dengan bangunan lain atau manhole harus ditebalkan 20% dari ketebalan normal dan berangsur-angsur berkurang sampai ketebalan normal sepanajang 1.5 m. 24

20 Panel yang tidak persegi empat dan yang mengelilingi manhole harus diberi tulangan berbentuk anyaman sebesar 0.15% terhadap penampang beton semen dan dipasang 5 cm dibawah permukaan atas. Tulangan harus dihentikan 7.5 cm dari sambungan Tipikal pola sambungan dapat dilihat pada Gambar 2.10 Sumber : Pd T Gambar 2.10 Potongan Melintang Perkerasan dan Lokasi Sambungan Penutup Sambungan Penutup sambungan dimaksudkan untuk mencegah masuknya air dan atau benda lain ke dalam sambungan perkerasan. Benda-benda lain yang masuk kedalam sambungan dapat menyebabkan kerusakan berupa gompal dan atau pelat beton yang saling menekan keatas (blow up) Perencanaan Tebal Pelat Perencanaan perkerasan beton semen didasarkan atas dua model kerusakan, yaitu : 1. Retak fatik (lelah) tarik lentur pada pelat. 25

21 2. Erosi pada pondasi bawah atau tanah dasar yang diaibatkan oleh lendutan berulang pada sambungan dan tempat retak yang direncanakan. Prosedur ini mempertimbangkan ada tidaknya ruji/dowel pada sambungan atau bahu beton. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan dianggap sebagai perkerasan bersambung yang dipasang ruji/dowel. Data lalu-lintas yang diperlukan adalah jenis sumbu dan distribusi beban serta jumlah sepetisi masing-masing jenis sumbu/kombinasi beban yang diperkirakan selama umur rencana. Tebal pelat taksiran dipilih dan total fatik serta kerusakan erosi dihitung berdasarkan komposisi lalu-lintas selama umur rencana. Jika kerusakan fatik atau erosi lebih dari 100%, tebal taksiran dinaikkan dan proses perencanaan diulangi. Tebal rencana adalah tebal taksiran yang paling kecil yang mempunyai total fatik dan atau total kerusakan erosi lebih kecil atau sama dengan 100%. Untuk menentukan besarnya nilai tegangan ekivalen dan faktor erosi untuk jenis perkerasan tanpa bahu beton dapat dilihat pada Tabel 2.5a sampai Tabel 2.5c. Untuk menentukan jumlah repetisi ijin untuk fatik dapat menggunakan Gambar 2.11 dan repetisi ijin untuk erosi dapat menggunakan Gambar

22 Tabel 2.5a Tegangan Ekivalen dan Faktor Erosi Untuk Perkerasan Tanpa Bahu Beton Sumber : Pd T

23 Tabel 2.5b Tegangan Ekivalen dan Faktor Erosi Untuk Perkerasan Tanpa Bahu Beton Sumber : Pd T

24 Tabel 2.5c Tegangan Ekivalen dan Faktor Erosi Untuk Perkerasan Tanpa Bahu Beton Sumber : Pd T

25 Sumber : Pd T Gambar 2.11 Repetisi Ijin Untuk Fatik 30

26 Sumber : Pd T Gambar 2.12 Repetisi Ijin Untuk Erosi Perencanaan Tulangan Tujuan utama penulangan untuk : Membatasi lebar retakan, agar kekuatan pelat tetap dapat dipertahankan. 31

27 Memungkinkan penggunaan pelat yang lebih panjang agar dapat mengurangi jumlah sambungan melintang sehingga dapat meningkatkan kenyamanan. Mengurangi biaya pemeliharaan. Jumlah tulangan yang diperlukan dipengaruhi oleh jarak sambungan susut. Sedangkan dalam hal beton bertulang menerus, diperlukan jumlah tulangan yang cukup untuk mengurangi sambungan susut Perkerasan Beton Semen Bersambung Dengan Tulangan Luas penampang tulangan dapat dihitung dengan persamaan berikut : A s = µ L M g 2 f s..(2.6) Dimana : A s = Luas penampang tulangan baja (mm 2 /m lebar pelat) f s = kuat tarik ijin tulangan (MPa). Biasanya 0.6 kali tegangan leleh. g = gravitasi (m/detik 2 ) h = tebal pelat beton (m) L = jarak antara sambungan yang tidak diikat dan/atau tepi bebas pelat (m) M = berat per satuan volume pelat (kg/m 3 ) µ = koefisien gesek antara pelat beton dan pondasi bawah sebagaimana pada Tabel

28 Tabel 2.6 Nilai Koefisien Gesekan Sumber : Pd T Luas penampang tulangan berbentuk anyaman empat persegi panjang dan panjang bujur sangkar ditunjukkan pada Tabel 2.7 Tabel 2.7 Ukuran dan Berat Tulangan Polos Anyaman Las Sumber : Pd T Drainase Analisis hidrologi dilakukan sehubungan dengan drainase permukaan sedangkan adanya air tanah akibat proses infiltrasi dan kapilarisasi yang akan memperngaruhi kondisi sub grade, stabilisasi lereng dan tembok penahan tanah, termasuk dalam drainase bawah permukaan. 33

29 Drainase permukaan adalah sistem drainase yang dibuat untuk mengendalikan air (limpasan) permukaan akibat hujan. Tujuan dari sistem drainase ini, untuk memelihara jalan agar tidak tergenang air hujan dalam waktu yang cukup lama (yang akan mengakibatkan kerusakan konstruksi jalan), tetapi harus segera dibuang melalui sarana drainase jalan. Saluran samping yang terletak di kiri dan kanan jalan, adalah saluran terbuka yang merupakan bagian dari drainase permukaan berfungsi mengumpulkan dan mengalirkan air hujan dari permukaan badan jalan yang dijumpai tidak terawat dan rusak, yaitu berupa sendimentasi, ditumbuhi semak rerumputan, dan sebagainya. Hal ini harus segera ditangani, karena jika diabaikan maka akan diikuti permasalahan lainnya dengan adanya kerusakan jalan yang secara tidak langsung mengakibatkan saluran tidak berfungsi Koefisien Pengaliran (C) Koefisien pengaliran (C) dipengaruhi kondisi permukaan tanah (tata guna lahan) pada daerah layanan dan kemungkinan perubahan tata guna lahan. Angka ini akan mempengaruhi debit yang mengalir, sehingga dapat diperkirakan daya tampung saluran. Harga koefisien pengaliran (C) dapat dilihat pada Tabel Faktor Limpasan (fk) Merupakan faktor atau angka yang dikalikan dengan koefisien runoff biasa dengan tujuan agar kinerja saluran tidak melebihi kapasitasnya akibat daerah pengairan yang terlalu luas. Harga faktor limpasan (fk) disesuaikan dengan kondisi permukaan tanah, dapat dilihat pada Tabel

30 Tabel 2.8 Harga Koefisien Pengaliran (C) dan Harga Faktor Limpasan (fk) Keterangan: Sumber : Pd T B Harga koefisien pengaliran (C) untuk daerah datar diambil nilai C yang terkecil dan untuk daerah lereng diambil nilai C yang terbesar. Harga faktor limpasan (fk) hanya digunakan untuk guna lahan sekitar saluran selain bagian jalan. Bila daerah pengaliran atau daerah layanan terdiri dari beberapa tipe kondsi permukaan yang mempunyai nilai C yang berbeda, harga C rata-rata ditentukan dengan persamaan berikut : C = C 1 A 1 +C 2 A 2 +C 3 A 3 fk A 1 + A 2 +A 3..(2.7) Dimana : C 1, C 2, C 3 = Koefisien pengaliran yang sesuai dengan tipe kondisi permukaan. A 1, A 2, A 3 = Luas daerah pengairan yang diperhitungkan sesuai dengan kondisi permukaan. 35

31 A 1 = I 1 x Panjang Ruas Jalan A 2 = I 2 x Panjang Ruas Jalan A 3 = I 3 x Panjang Ruas Jalan I 1 = Setengah lebar badan jalan I 2 = Lebar bahu jalan I 3 = Daerah sekitar Fk = faktor limpasan sesuai tata guna lahan Batasan luas daerah layanan tergantung dari daerah sekitar dan daerah sekelilingnya. Panjang daerah pengaliran yang diperhitungkan terdiri atas setengah lebar badan jalan (I 1 ), lebar bahu jalan (I 2 ), dan daerah sekitar (I 3 ) yang terbagi atas daerah perkotaan (daerah terbangun) yaitu ± 10 m dan untuk daerah luar kota yang didasarkan pada topografi daerah tersebut. Gambaran panjang daerah pengaliran dapat dilihat pada Gambar 2.13 Sumber : Pd T B Gambar 2.13 Panjang Daerah Pengaliran Yang Diperhitungkan (I 1, I 2, I 3 ) 36

32 Waktu Konsentrasi (Tc) Waktu konsentrasi merupakan waktu terpanjang yang dibutuhkan untuk seluruh daerah layanan dalam menyalurkan aliran air secara simultan (runoff) setelah melewati titik-titik tertentu. ini : Waktu konsentrasi untuk saluran terbuka dihitung dengan rumus berikut Tc = t 1 + t 2..(2.8) t 1 = l o nd i s (2.9) t 2 = L 60 v..(2.10) Dimana : Tc = waktu konsentrasi (menit) t 1 = waktu untuk mencapai awal saluran dari titik terjauh (menit) t 2 = waktu aliran dalam saluran sepanjang L dari ujung saluran (menit) l o = jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (m) L = Panjang saluran (m) nd = Koefisien hambatan (lihat Tabel 2.9) i s = kemiringan lahan eksisting pada lokasi saluran (%) (lihat persamaan 2.11) V = Kecepatan air rata-rata pada saluran drainase (m/detik) (lihat Tabel 2.10) 37

33 Tabel 2.9 Koefisien Hambatan (nd) Berdasarkan Kondisi Permukaan Sumber : Pd T B Tabel 2.10 Kecepatan Aliran No Jenis Bahan 1 Pasir halus 2 Lempung kepasiran 3 Lanau aluvial 4 Kerikil halus 5 Lempung kokoh 6 Lempung padat 7 Kerikil kasar 8 Batu-batu besar 9 Pasangan batu 10 Beton 11 Beton bertulang Kecepatan Aliran Air Yang Diijinkan (m/detik) Sumber : Pd T B Debit Aliran (Q) Untuk menghitung debit aliran air (Q) digunakan rumus berikut : Q = 1 36 Dimana : Q = Debit aliran (m 3 /detik) C I A..(2.10) C = Koefisien pengaliran rata-rata dari C 1, C 2, C 3 I = Intensitas curah hujan (mm/jam) A = Luas daerah layanan (km 2 ) terdiri atas A 1, A 2, A 3 38

34 Pemeriksaan Lahan Eksisting Penentuan kemiringan lahan eksisting pada lokasi pembangunan saluran didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan, dengan persamaan 2.11 i s = elev. 1 elev. 2 L..(2.11) Dimana : i s = kemiringan lahan eksisting pada lokasi saluran (%) elev 1 = tinggi tanah di bagian tertinggi (m) elev 2 = tinggi tanah di bagian terendah (m) L = Panjang saluran (m) Perhitungan Dimensi Saluran Tentukan perkiraan dimensi saluran sesuai ruang yang tersedia dan koefisen Manning (n) dari Tabel 2.11 Tabel 2.11 Koefisien Manning Sumber : Pd T B 39

35 Tentukan kemiringan saluran berdasarkan bahan atau mengikuti kemiringan perkerasan jalan untuk menentukan kecepatan air dalam saluran. Tentukan kecepatan saluran dengan Persamaan 2.12 V (m 3 /detik) = 1 n R2/3 i s 1/2..(2.12) Hitung tinggi jagaan (W) saluran dengan Persamaan Median Jalan W m = 0.5..(2.13) Median jalan direncanakan dengan tujuan untuk meningkatkan keselamatan, kelancaran, dan kenyamanan bagi pemakai jalan maupun lingkungan. Median jalan hanya berfungsi sebagai berikut : 1. Memisahkan dua aliran lalu-lintas yang berlawanan arah. 2. Menghalangi lalu-lintas yang belok kanan. 3. Lapak tunggu bagi penyebrang jalan. 4. Penempatan fasilitas untuk mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah berlawanan. 5. Penempatan fasilitas pendukung jalan. 6. Cadangan lajur. 7. Tempat prasarana kerja sementara. 8. Dimanfaatkan sebagai jalur hijau Penempatan Median jalan Median ditempatkan pada sumbu jalan. Sisi tepi median harus saling sejajar dengan garis membujur jalan, kecuali pada daerah menjelang bukaan median. Penempatan median dalam potongan melintang jalan seperti pada Gambar

36 Sumber : Pd T B Gambar 2.14 Potongan Melintang Jalan Tipe Median Jalan Ada tiga tipe median yang bisa digunakan, yaitu : 1. Median datar, yaitu median yang dibatasi oleh dua buah marka membujur garis utuh, jarak dua buah marka membujur garis utuh bisa dikategorikan sebagai median jika jarak tersebut > 18 cm, di dalamnya dilengkapi marka serong. Ketentuan penggunaan marka sebagai median mengikuti pedoman perencanaan marka yang berlaku. Contoh median membujur garis utuh dapat dilihat pada Gambar

37 Sumber : Pd T B Gambar 2.15 Median Datar 2. Median yang ditinggikan, yaitu median yang dibuat lebih tinggi dari permukaan jalan. Pada sisi luar median harus dilengkapi dengan kerb. Median yang ditinggikan harus mengikuti ketentuan sebagai berikut : a. Median yang ditinggikan dipasang apabila lebar lahan yang tersedia untuk penempatan median kurang dari 5.0 m. Potongan melintang jalan dapat dilihat pada Gambar 2.16 Sumber : Pd T B Gambar 2.16 Median Yang Ditinggikan 42

38 b. Tinggi median dari permukaan jalan adalah antara 18 cm dan 25 cm. Detail potongan penempatan median yang ditinggikan dapat dilihat pada Gambar 2.17 Sumber : Pd T B Gambar 2.17 Sisi Luar Median Yang Dilengkapi Kerb c. Spesifikasi kerb yang dipasang harus mengikuti SNI Sudut bagian muka permukaan kerb tidak boleh tajam. Detail potongan kerb dapat dilihat pada Gambar 2.18 Sumber : Pd T B Gambar 2.18 Penampang Melintang Kerb 3. Median yang diturunkan, yaitu median yang dibuat lebih rendah dari permukaan jalur lalu-lintas. Pemasangan median ini mengikuti ketentuan sebagai berikut : 43

39 a. Median yang diturunkan dipasang apabila lebar lahan yang disediakan untuk median lebih atau sama dengan 5.0 m. b. Kemiringan permukaan median antara 6-15 %, dimulai dari sisi luar ke tengah median dan secara fisik berbentuk cekungan, seperti terlihat pada Gambar 2.19 c. Permukaan median tidak diperkeras dan dapat diberi material yang mampu meredam laju kecepatan kendaraan yang lepas kendali. Sumber : Pd T B Gambar 2.19 Median Yang Diturunkan Lebar Median Jalan Lebar median dihitung dari antara kedua marka membujur garis utuh termasuk lebar marka tersebut. Minimum lebar median ditetapkan berdasarkan ada tidaknya bukaan yang direncanakan pada median tersebut, seperti diuraikan pada Tabel 2.12dan Tabel 2.13 Tabel 2.12 Lebar Minimum Median Tanpa Bukaan (Tipe Ditinggikan) Sumber : Pd T B 44

40 Tabel 2.13Lebar Minimum Median Dengan Bukaan (Tipe Ditinggikan/Diturunkan) Sumber : Pd T B Bukaan Median Jalan Jarak bukaan (d1) dan lebar bukaan (d2) diatur sebagaimana dalam Tabel Jarak bukaan dimulai dari titik tengah lebar bukaan sampai titik tengah lebar bukaan berikutnya tanpa melihat arah lalu-lintas di bukaan, sesuai dengan Gambar 2.20 sedangkan lebar bukaan dapat dilihat pada Gambar 2.21 Tabel 2.14 Jarak Minimum Antara Bukaan dan Lebar Bukaan Sumber : Pd T B Sumber : Pd T B Gambar 2.20 Jarak Antar Bukaan 45

41 Sumber : Pd T B Gambar 2.21 Lebar Bukaan Lampu Penerangan Jalan Umum Lampu penerangan jalan adalah bagian dari bangunan pelengkap jalan yang dapat diletakkan/dipasang di kiri/kanan jalan dan atau di tengah (di bagian median jalan) yang digunakan untuk menerangi jalan maupun lingkungan di sekitar jalan yang diperlukan termasuk persimpangan jalan, jalan layang, jembatan, dan di bawah tanah (underpass, terowongan). Lampu penerangan yang dimaksud adalah suatu unit pelengkap yang terdiri dari sumber cahaya (lampu/luminer), elemen-elemen optik (pemantul/reflector, pembias/refractor, penyebar/difusser). Elemen-elemen elektrik (konektor ke sumber tenaga/power supply, dll.), struktur penopang yang terdiri dari lengan penopang, tiang penopang vertikal dan pondasi tiang lampu. 46

42 Sistem penempatan lampu penerangan jalan adalah susunan penempatan/penataan lampu yang satu terhadap lampu yang lain. Sistem penempatan ada 2 sistem, yaitu : Sistem Penempatan Menerus Sistem penempatan menerus adalah sistem penempatan lampu penerangan jalan yang menerus/kontinyu di sepanjang jalan/jembatan. Sistem Penempatan Parsial (setempat) Sistem penempatan parsial adalah sistem penempatan lampu penerangan jalan pada suatu daerah-daerah tertentu atau pada suatu panjang jarak tertentu sesuai dengan keperluannya Spesifikasi Lampu Penerangan Jalan 1. Jenis Lampu Penerangan Jalan Jenis lampu penerangan jalan ditinjau dari karakteristik dan penggunaannya dapat dilihat pada Tabel

43 Tabel 2.15 Jenis Lampu Penerangan Jalan Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/

44 2. Kriteria Perencanaan a. Penempatan lampu penerangan jalan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan : Penerangan yang merata Keamanan dan kenyamanan bagi pengendara Arah dan petunjuk (guide) yang jelas. Pada sistem penempatan parsial, lampu penerangan jalan harus memberikan adaptasi yang baik bagi pengelihatan pengendara sehingga efek kesilauan dan ketidaknyamanan pengelihatan dapat dikurangi. b. Pemilihan jenis lampu penerangan jalan didasarkan efektifitas dan nilai ekonomi lampu, yaitu nilai efektifitas (lumen/watt) lampu yang tinggi umur rencana yang panjang. c. Perbandingan kemerataan pencahayaan (Uniformity Ratio) dapat dilihat pada Tabel 2.16 Tabel 2.16 Perbandingan Kemerataan Cahaya Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 d. Kualitas penerangan Kualitas penerangan pada suatu jalan menurut klasifikasi fungsi jalan ditentukan seperti pada Tabel

45 Tabel 2.17 Kualitas Penerangan Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/ Kriteria Penempatan a. Sistem penempatan lampu penerangan jalan yang disarankan adalah seperti terlihat pada Tabel

46 Tabel 2.18 Sistem Penempatan Lampu Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 b. Gambaran umum perencanaan dan penempatan lampu penerangan jalan dapat dilihat pada Gambar 2.22 Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.22 Gambaran Umum Perencanaan dan Penempatan Lampu 51

47 Dimana : h = tinggi tiang lampu L = lebar badan jalan, termasuk median jika ada e = jarak interval antar tiang lampu s1+s2 = proyeksi kerucut cahaya lampu s1 = jarak tiang lampu ke tepi perkerasan s2 = jarak dari tepi perkerasan ke titik penyinaran terjauh i = sudut inklinasi pencahayaan/penerangan c. Besaran-besaran kriteria penempatan dapat dilihat pada Tabel 2.19 Tabel 2.19 Besaran Kriteria Penempatan No URAIAN BESARAN-BESARAN 1. Tinggi Tiang Lampu (H) - Lampu standar m Tinggi Tiang rata-rata digunakan 13 m - Lampu Menara m Tinggi Tiang rata-rata digunakan 30 m 2. Jarak Interval Tiang Lampu (e) - Jalan Arteri - Jalan Koletor - Jalan Lokal - minimum jarak interval tiang 3.0 h 3.5 h 3.5 h 4.0 h 5.0 h 6.0 h 30 m 3. Jarak dari Tiang Lampu ke Tepi Minimum 0.7 m Perkerasan (s1) 4. Jarak dari Tepi Perkerasan ke Titik Minimum L/2 Penerangan Terjauh (s2) 5. Sudut Inklinasi (i) Keterangan : h = Tinggi tiang lampu (meter) L = Lebar badan jalan (meter) Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/

48 Penataan/pengaturan letak lampu penerangan jalan diatur sebagaimana terlihat pada Tabel 2.20 Tabel 2.20 Penataan Penempatan Lampu Penerangan PENATAAN PENEMPATAN LAMPU PENERANGAN TEMPAT PENATAAN/PENGATURAN LETAK Jalan Satu Arah - di Kiri atau Kanan jalan - di Kiri dan Kanan jalan berselangseling - di Kiri dan Kanan jalan berhadapan - di bagian tengah / Median jalan Jalan Dua Arah - di bagian tengah/median jalan - kombinasi antara di kiri dan kanan berhadapan dengan di bagian tengah Median jalan - katenasi Persimpangan - dapat dilakuka dengan menggunakan lampu Menara dengan beberapa lampu, umumnya ditempatkan di pulau-pulau, di median jalan, diluar daerah persimpangan (dalam damija ataupun dawasja) KETENTUAN-KETENTUAN YANG DISARANKAN - di Kiri atau Kanan jalan L < 1.2 h - di Kiri dan Kanan Jalan 1.2 h < L < 1.0 h berselang-seling - di Kiri dan Kanan Jalan 1.6 h < L < 2.4 h Berhadapan - di Median Jalan 3L < 0.8 h Keterangan : h = tinggi tiang lampu (meter), L = lebar badan jalan (meter) Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/

49 Terdapat 2 jenis lampu penerangan jalan berdasarkan jenis sumber cahayanya, yaitu lampu merkuri dan lampu sodium seperti yang terlihat pada Gambar 2.23 Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.23 Jenis Lampu Penerangan Berdasarkan Jenis Sumber Cahaya Sedangkan lampu penerangan jalan beradasarkan bentuk tiang terbagi menjadi 4 jenis, yaitu : 1. Tiang lampu dengan lengan tunggal seperti terlihat pada Gambar tiang lampu ini pada umumnya diletakkan pada sisi kiri atau kanan jalan. 54

50 Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.24 Lampu Lengan Tunggal 2. Tiang lampu dengan lengan ganda seperti yang terlihat pada Gambar Tiang lampu ini khusus diletakkan di bagian tengah/median jalan, dengan catatan jika kondisi jalan yang akan diterangi masih mampu dilayani oleh satu tiang. 55

51 Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.25 Lampu Lengan Ganda 3. Tiang lampu tegak (tanpa lengan) seperti yang terllihat pada Gambar tiang lampu ini diperlukan untuk menopang lampu menara, yang pada umumnya ditempatkan di persimpangan-persimpangan jalan 56

52 ataupun tempat-tempat yang luas seperti interchange, tempat parkir, dll. Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.26 Lampu Tanpa Lengan 4. Lampu tanpa tiang seperti yang terlihat pada Gambar Lampu ini adalah lampu yang diletakkan pada dinding ataupun langit-langit suatu konstruksi seperti dibawah konstruksi jembatan, di bawah konstruksi jalan layang atau di dinding maupun langit-langit terowongan, dll. 57

53 Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.27 Lampu Tanpa Tiang 5. Pondasi lampu penerangan standar dapat dilihat pada Gambar 2.28 Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.28 Pondasi Lampu Penerangan Standar 58

54 Gambaran umum penempatan lampu penerangan jalan berdasarkan pemilihan letaknya dapat dilihat pada Gambar 2.29 Sumber : Spesifikasi Penerangan Jalan Perkotaan, No.12/S/BNKT/1991 Gambar 2.29 Tipikal Penempatan Lampu Trotoar Fasilitas pejalan kaki adalah semua bangunan yang disediakan untuk pejalan kaki guna memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan dan kenyamanan pejalan kaki. Dimensi trotoar mengacu pada ketentuan dari ruang bebas trotoar adalah sebagai berikut : a. Tinggi ruang bebas trotoar tidak kurang dari 2.5 m. b. Kedalaman bebas trotoar tidak kurang dari 1 m dari permukaan trotoar. c. Kebebasan samping trotoar tidak kurang dari 0.3 m. d. Perencanaan pemasangan utilitas selain harus memenuhi ruang bebas trotoar, harus juga memenuhi ketentuan dalam buku petunjuk pelaksanaan pemasangan utulitas. Ruang bebas trotoar dapat dilihat pada Gambar

55 Sumber : Petunjuk Perencanaan Trotoar, No. 007/T/BNKT/1990 Gambar 2.30 Ruang Bebas Trotoar Lebar minimum trotoar menurut penggunaan lahan dan sekitarnya menurut BNKT No.007 Tahun 1990 dapat dilihat pada Tabel 2.21 Tabel 2.21 Lebar Minimum Trotoar Sumber : Petunjuk Perencanaan Trotoar, No. 007/T/BNKT/1990 Konstruksi trotoar dapat dilihat pada Gambar

56 Sumber : Petunjuk Perencanaan Trotoar, No. 007/T/BNKT/1990 Gambar 2.31 Konstruksi Trotoar Kerb Kerb adalah bangunan pelengkap jalan yang dipasang sebagai pembatas jalur lalu-lintas dengan bagian jalan lainnya dan berfungsi juga sebagai penghalang/mencegah kendaraan keluar dari jalur lalu-lintas, pengaman terhadap pejalan kaki, mempertegas tepi perkerasan jalan, dan estetika. Pembuatan kerb bisa secara cor di tempat ataupun pabrikasi dalam bentukbentuk standar, namun demikian masih dimungkinkan bentuk-bentuk di luar standar untuk kerb yang ditempatkan kerb standar, seperti di ujung lengkungan (nouse) atau bentuk lingkaran dengan R kecil. Jenis atau Bentuk kerb pada umumnya adalah seperti pada Gambar 2.32 Sumber : Standar Spesifikasi Kerb, No. 011/S/BNKT/1990 Gambar 2.32 Jenis/Bentuk Kerb Ukuran yang ditentukan berdasarkan jenis dan bentuk kerb dapat dilihat pada Gambar 2.33 dan Tabel

57 Sumber : Standar Spesifikasi Kerb, No. 011/S/BNKT/1990 Gambar 2.33 Dimensi Kerb Tabel 2.22 Dimensi Kerb Sumber : Standar Spesifikasi Kerb, No. 011/S/BNKT/1990 Kerb dengan bukaan dipasang pada setiap jarak 6 m. Kerb dengan bukaan dapat dilihat pada Gambar 2.34 Sumber : Standar Spesifikasi Kerb, No. 011/S/BNKT/1990 Gambar 2.34 Kerb Dengan Bukaan 62

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkerasan kaku (rigid pavement) atau perkerasan beton semen adalah perkerasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkerasan kaku (rigid pavement) atau perkerasan beton semen adalah perkerasan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendahuluan Perkerasan kaku (rigid pavement) atau perkerasan beton semen adalah perkerasan yang menggunakan semen sebagai bahan pengikatnya. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Jalan dan Klasifikasi Jalan Raya 2.1.1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Jalan 2.1.1 Istilah Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut : 1. Jalan adalah prasarana

Lebih terperinci

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN 1. GAMBAR KONSTRUKSI JALAN a) Perkerasan lentur (flexible pavement), umumnya terdiri dari beberapa lapis perkerasan dan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Gambar 6 Jenis Perkerasan Lentur Tanah

Lebih terperinci

BAB III METODE PERENCANAAN START

BAB III METODE PERENCANAAN START BAB III METODE PERENCANAAN START Jl RE Martadinata Permasalahan: - Klasifikasi jalan Arteri, kelas 1 - Identifikasi kondisi jalan - Identifikasi beban lalu-lintas - Genangan air pada badan jalan Standar

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL HAKI Tiara Convention Hall, Medan Mei 2014

SEMINAR NASIONAL HAKI Tiara Convention Hall, Medan Mei 2014 SEMINAR NASIONAL HAKI Tiara Convention Hall, Medan 30 31 Mei 2014 Perencanaan Perkerasan Kaku (Rigid Pavement) Pada Pelebaran Jl Amir Hamzah Binjai Yetty Riris Rotua Saragi Program Studi Teknik Sipil,

Lebih terperinci

BAB V MEDIAN JALAN. 5.2 Fungsi median jalan

BAB V MEDIAN JALAN. 5.2 Fungsi median jalan BAB V MEDIAN JALAN 5.1 Macam-macam Median Jalan 1. Pemisah adalah suatu jalur bagian jalan yang memisahkan jalur lalulintas. Tergantung pada fungsinya, terdapat dua jenis Pemisah yaitu Pemisah Tengah dan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. cara membandingkan hasil perhitungan manual dengan hasil perhitungan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. cara membandingkan hasil perhitungan manual dengan hasil perhitungan BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Program Perhitungan validasi program bertujuan untuk meninjau layak atau tidaknya suatu program untuk digunakan. Peninjauan validasi program dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN KAKU PADA RUAS JALAN LINGKAR MAJALAYA MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA 2002

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN KAKU PADA RUAS JALAN LINGKAR MAJALAYA MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA 2002 PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN KAKU PADA RUAS JALAN LINGKAR MAJALAYA MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA 2002 ERA APRILLA P NRP : 0121080 Pembimbing :Ir. SILVIA SUKIRMAN FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN. : 1 jalur, 2 arah, 2 lajur, tak terbagi

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN. : 1 jalur, 2 arah, 2 lajur, tak terbagi BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Perencanaan Jalan berikut : Perhitungan perkerasan kaku akan dilakukan dengan rencana data sebagai Peranan jalan Tipe jalan Rencana jenis perkerasan Lebar jalan Bahu

Lebih terperinci

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B PEDOMAN Konstruksi dan Bangunan Pd. T-17-2004-B Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Daftar isi Daftar isi Daftar tabel. Daftar gambar Prakata. Pendahuluan. i ii ii iii

Lebih terperinci

Perkerasan kaku Beton semen

Perkerasan kaku Beton semen Perkerasan kaku Beton semen 1 Concrete pavement profile 2 Tahapan Perencanaan Perkerasan Kaku (Rigid Pavement) 3 Parameter perencanaan tebal perkerasan kaku Beban lalu lintas Kekuatan tanah dasar Kekuatan

Lebih terperinci

Gambar Distribusi Pembebanan Pada Perkerasan Kaku dan Perkerasan Lentur

Gambar Distribusi Pembebanan Pada Perkerasan Kaku dan Perkerasan Lentur RIGID PAVEMENT Rigid pavement atau perkerasan kaku adalah jenis perkerasan jalan yang menggunakan beton sebagai bahan utama perkerasn tersebut, merupakan salah satu jenis perkerasan jalan yang digunakn

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. dalam perencanaan jalan, perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang dapat

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. dalam perencanaan jalan, perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang dapat BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Perkerasan Jalan Raya Kelancaran arus lalu lintas sangat tergantung dari kondisi jalan yang ada, semakin baik kondisi jalan maka akan semakin lancar arus lalu lintas. Untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendahuluan Jenis perkerasan jalan, dapat berupa Perkerasan lentur (flexible pavement), Perkeraaan kaku (rigid pavement), dan Perkerasan Komposit, yang menggabungkan perkerasan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA KONSTRUKSI PERKERASAN JALAN BETON. genangan air laut karena pasang dengan ketinggian sekitar 30 cm. Hal ini mungkin

BAB IV ANALISA KONSTRUKSI PERKERASAN JALAN BETON. genangan air laut karena pasang dengan ketinggian sekitar 30 cm. Hal ini mungkin BAB IV ANALISA KONSTRUKSI PERKERASAN JALAN BETON 4.1 Menentukan Kuat Dukung Perkerasan Lama Seperti yang telah disebutkan pada bab 1, di Jalan RE Martadinata sering terjadi genangan air laut karena pasang

Lebih terperinci

PERHITUNGAN TEBAL LAPIS PERKERASAN KAKU (RIGID PAVEMENT) PADA PROYEK PELEBARAN GERBANG TOL BELMERA RUAS TANJUNG MULIA DAN BANDAR SELAMAT-MEDAN LAPORAN

PERHITUNGAN TEBAL LAPIS PERKERASAN KAKU (RIGID PAVEMENT) PADA PROYEK PELEBARAN GERBANG TOL BELMERA RUAS TANJUNG MULIA DAN BANDAR SELAMAT-MEDAN LAPORAN PERHITUNGAN TEBAL LAPIS PERKERASAN KAKU (RIGID PAVEMENT) PADA PROYEK PELEBARAN GERBANG TOL BELMERA RUAS TANJUNG MULIA DAN BANDAR SELAMAT-MEDAN LAPORAN Ditulis untuk Menyelesaikan Mata Kuliah Tugas Akhir

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA. sarana perhubungan untuk distribusi barang dan jasa. Sistem jaringan ini diatur

BAB II STUDI PUSTAKA. sarana perhubungan untuk distribusi barang dan jasa. Sistem jaringan ini diatur BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Hirarki Jalan Jaringan jalan raya merupakan prasarana transportasi darat yang berperan sebagai sarana perhubungan untuk distribusi barang dan jasa. Sistem jaringan ini diatur dalam

Lebih terperinci

Perencanaan perkerasan jalan beton semen

Perencanaan perkerasan jalan beton semen Perencanaan perkerasan jalan beton semen 1 Ruang Lingkup Pedoman ini mencakup dasar-dasar ketentuan perencanaan perkerasan jalan, yaitu : - Analisis kekuatan tanah dasar dan lapis pondasi. - Perhitungan

Lebih terperinci

Abstrak BAB I PENDAHULUAN

Abstrak BAB I PENDAHULUAN Abstrak Jalan Raya MERR II merupakan alternatif pilihan yang menghubungkan akses Ruas Tol Waru Bandara Juanda menuju ke utara melalui jalan MERR II ke Kenjeran menuju akses Suramadu. Untuk menunjang hal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS. Data yang digunakan untuk analisa tugas akhir ini diperoleh dari PT. Wijaya

BAB IV HASIL DAN ANALISIS. Data yang digunakan untuk analisa tugas akhir ini diperoleh dari PT. Wijaya BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1. Persiapan data dari sumbernya Data yang digunakan untuk analisa tugas akhir ini diperoleh dari PT. Wijaya Karya sebagai kontraktor pelaksana pembangunan JORR W2 dan PT. Marga

Lebih terperinci

Perencanaan Ulang Jalan Raya MERR II C Menggunakan Perkerasan Kaku STA Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur

Perencanaan Ulang Jalan Raya MERR II C Menggunakan Perkerasan Kaku STA Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur Perencanaan Ulang Jalan Raya MERR II C Menggunakan Perkerasan Kaku STA 3+500 6+450 Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur Oleh : SHEILA MARTIKA N. (NRP 3109030070) VERONIKA NURKAHFY (NRP 3109030094) Pembimbing

Lebih terperinci

PERENCANAAN AKSES JALAN UNDERPASS STASIUN KERETA API PADALARANG KABUPATEN BANDUNG BARAT DENGAN PERKERASAN KAKU SEPANJANG 1.85 km

PERENCANAAN AKSES JALAN UNDERPASS STASIUN KERETA API PADALARANG KABUPATEN BANDUNG BARAT DENGAN PERKERASAN KAKU SEPANJANG 1.85 km PERENCANAAN AKSES JALAN UNDERPASS STASIUN KERETA API PADALARANG KABUPATEN BANDUNG BARAT DENGAN PERKERASAN KAKU SEPANJANG 1.85 km UNDERPASS ACCESS ROAD PLANNING IN PADALARANG TRAIN STATION WEST BANDUNG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Berikut tinjauan pustaka yang kami jadikan referensi dan masukan dalam penyusunan tugas akhir kami, dibawah ini : No. Nama Penulis 1. Lalan

Lebih terperinci

Dwi Sulistyo 1 Jenni Kusumaningrum 2

Dwi Sulistyo 1 Jenni Kusumaningrum 2 ANALISIS PERBANDINGAN PERENCANAAN PERKERASAN KAKU DENGAN MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA DAN METODE AASHTO SERTA MERENCANAKAN SALURAN PERMUKAAN PADA RUAS JALAN ABDUL WAHAB, SAWANGAN Dwi Sulistyo 1 Jenni

Lebih terperinci

ANALISIS PERHITUNGAN PERKERASAN KAKU PADA PROYEK JALAN TOL MEDAN-KUALANAMU KABUPATEN DELI SERDANG LAPORAN

ANALISIS PERHITUNGAN PERKERASAN KAKU PADA PROYEK JALAN TOL MEDAN-KUALANAMU KABUPATEN DELI SERDANG LAPORAN ANALISIS PERHITUNGAN PERKERASAN KAKU PADA PROYEK JALAN TOL MEDAN-KUALANAMU KABUPATEN DELI SERDANG LAPORAN Ditulis untuk Menyelesaikan Mata Kuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma III

Lebih terperinci

ANALISIS PERBANDINGAN PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN KAKU DENGAN METODE BINA MARGA 2013 DAN AASHTO 1993 (STUDI KASUS JALAN TOL SOLO NGAWI STA

ANALISIS PERBANDINGAN PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN KAKU DENGAN METODE BINA MARGA 2013 DAN AASHTO 1993 (STUDI KASUS JALAN TOL SOLO NGAWI STA ANALISIS PERBANDINGAN PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN KAKU DENGAN METODE BINA MARGA 2013 DAN AASHTO 1993 (STUDI KASUS JALAN TOL SOLO NGAWI STA 0+900 2+375) Laporan Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelompokan Jalan Menurut Undang Undang No. 38 Tahun 2004 tentang jalan, ditinjau dari peruntukannya jalan dibedakan menjadi : a. Jalan khusus b. Jalan Umum 2.1.1. Jalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkerasan Jalan Raya Kelancaran arus lalu lintas sangat tergantung dari kondisi jalan yang ada, semakin baik kondisi jalan maka akan semakin lancar arus lalu lintas. Untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalulintas umum,yang berada pada permukaan tanah, diatas

Lebih terperinci

Pd T Perencanaan perkerasan jalan beton semen

Pd T Perencanaan perkerasan jalan beton semen Perencanaan perkerasan jalan beton semen DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Daftar isi Halaman Daftar isi........ i Prakata. ii Pendahuluan... iv 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan Normatif.... 1 3

Lebih terperinci

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN Penampang melintang jalan adalah potongan melintang tegak lurus sumbu jalan, yang memperlihatkan bagian bagian jalan. Penampang melintang jalan yang akan digunakan harus

Lebih terperinci

Penempatan marka jalan

Penempatan marka jalan Penempatan marka jalan 1 Ruang lingkup Tata cara perencanaan marka jalan ini mengatur pengelompokan marka jalan menurut fungsinya, bentuk dan ukuran, penggunaan serta penempatannya. Tata cara perencanaan

Lebih terperinci

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B PEDOMAN Konstruksi dan Bangunan Pd. T-15-2004-B Perencanaan Separator Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Daftar isi Daftar isi Daftar tabel. Daftar gambar Prakata. Pendahuluan. i ii ii iii

Lebih terperinci

Bina Marga dalam SKBI : dan Pavement Design (A Guide. lalu-lintas rencana lebih dari satu juta sumbu kendaraan niaga.

Bina Marga dalam SKBI : dan Pavement Design (A Guide. lalu-lintas rencana lebih dari satu juta sumbu kendaraan niaga. BAB II 2.1 Uraian Umum Sebelum melakukan perencanaan, terlebih dahulu diketahui secara garis besar tentang perkerasan kaku, prosedur perencanaan kaku didasarkan atas perencanaan yang dikembangkan oleh

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI. a. Peninjauan pustaka yang akan digunakan sebagai acuan penulisan dan

BAB 3 METODOLOGI. a. Peninjauan pustaka yang akan digunakan sebagai acuan penulisan dan BAB 3 METODOLOGI 3.1 Pendekatan Penelitian Adapun rencana tahapan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: a. Peninjauan pustaka yang akan digunakan sebagai acuan penulisan dan pembuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalan merupakan infrastruktur dasar dan utama dalam menggerakan roda perekonomian nasional dan daerah, mengingat penting dan strategisnya fungsi jalan untuk mendorong

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN PENAMPANG MELINTANG

BAB II KOMPONEN PENAMPANG MELINTANG BAB II KOMPONEN PENAMPANG MELINTANG Memperhatikan penampang melintang jalan sebagaimana Bab I (gambar 1.6 dan gambar 1.7), maka akan tampak bagian-bagian jalan yang lazim disebut sebagai komponen penampang

Lebih terperinci

Berfungsi mengendalikan limpasan air di permukaan jalan dan dari daerah. - Membawa air dari permukaan ke pembuangan air.

Berfungsi mengendalikan limpasan air di permukaan jalan dan dari daerah. - Membawa air dari permukaan ke pembuangan air. 4.4 Perhitungan Saluran Samping Jalan Fungsi Saluran Jalan Berfungsi mengendalikan limpasan air di permukaan jalan dan dari daerah sekitarnya agar tidak merusak konstruksi jalan. Fungsi utama : - Membawa

Lebih terperinci

SPESIFIKASI LAMPU PENERANGAN JALAN PERKOTAAN NO. 12/S/BNKT/ 1991 DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA DIREKTORAT PEMBINAAN JALAN KOTA

SPESIFIKASI LAMPU PENERANGAN JALAN PERKOTAAN NO. 12/S/BNKT/ 1991 DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA DIREKTORAT PEMBINAAN JALAN KOTA SPESIFIKASI LAMPU PENERANGAN JALAN PERKOTAAN NO. 12/S/BNKT/ 1991 DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA DIREKTORAT PEMBINAAN JALAN KOTA PRAKATA Dalam rangka mewujudkan peranan penting jalan dalam mendorong perkembangan

Lebih terperinci

Penampang Melintang Jalan Tipikal. dilengkapi Trotoar

Penampang Melintang Jalan Tipikal. dilengkapi Trotoar Penampang melintang merupakan bentuk tipikal Potongan jalan yang menggambarkan ukuran bagian bagian jalan seperti perkerasan jalan, bahu jalan dan bagian-bagian lainnya. BAGIAN-BAGIAN DARI PENAMPANG MELINTANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perencanaan dan perancangan secara umum adalah kegiatan awal dari rangkaian fungsi manajemen. Inti dari sebuah perencanaan dan perancangan adalah penyatuan pandangan

Lebih terperinci

BAB 3 LANDASAN TEORI. perencanaan underpass yang dikerjakan dalam tugas akhir ini. Perencanaan

BAB 3 LANDASAN TEORI. perencanaan underpass yang dikerjakan dalam tugas akhir ini. Perencanaan BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1. Geometrik Lalu Lintas Perencanan geometrik lalu lintas merupakan salah satu hal penting dalam perencanaan underpass yang dikerjakan dalam tugas akhir ini. Perencanaan geometrik

Lebih terperinci

RANCANGAN RIGID PAVEMENT UNTUK OVERLAY JALAN DENGAN METODE BETON MENERUS DENGAN TULANGAN

RANCANGAN RIGID PAVEMENT UNTUK OVERLAY JALAN DENGAN METODE BETON MENERUS DENGAN TULANGAN 26 RANCANGAN RIGID PAVEMENT UNTUK OVERLAY JALAN ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah melakukan design jalan dengan menggunakan rigid pavement metode Beton Menerus Dengan Tulangan (BMDT) berdasarkan data-data

Lebih terperinci

PENGARUH NILAI CBR TANAH DASAR DAN MUTU BETON TERHADAP TEBAL PELAT PERKERASAN KAKU METODE BINA MARGA

PENGARUH NILAI CBR TANAH DASAR DAN MUTU BETON TERHADAP TEBAL PELAT PERKERASAN KAKU METODE BINA MARGA Vol. 1,. 1, April 2017: hlm 244-250 PENGARUH NILAI TANAH DASAR DAN MUTU BETON TERHADAP TEBAL PELAT PERKERASAN KAKU METODE BINA MARGA Ni Luh Putu Shinta 1, Widodo Kushartomo 2, Mikhael Varian 3 1 Program

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hobbs (1995), ukuran dasar yang sering digunakan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hobbs (1995), ukuran dasar yang sering digunakan untuk 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Arus Lalu Lintas Menurut Hobbs (1995), ukuran dasar yang sering digunakan untuk mendefinisikan arus lalu lintas adalah konsentrasi aliran dan kecepatan. Aliran dan volume

Lebih terperinci

PERENCANAAN KONSTRUKSI JALAN RAYA RIGID PAVEMENT (PERKERASAN KAKU)

PERENCANAAN KONSTRUKSI JALAN RAYA RIGID PAVEMENT (PERKERASAN KAKU) PERENCANAAN KONSTRUKSI JALAN RAYA RIGID PAVEMENT (PERKERASAN KAKU) Jenis Perkerasan Kaku Perkerasan Beton Semen Bersambung Tanpa tulangan Perkerasan Beton Semen Bersambung dengan tulangan Perkerasan Beton

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG, NOTASI, DAN SINGKATAN

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG, NOTASI, DAN SINGKATAN DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG, NOTASI, DAN SINGKATAN i ii iii iv vii xiii xiv xvii xviii BAB

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bagian pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas yang berada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang dilakukan dalam penyusunan laporan Tugas Akhir ini berdasarkan studi kasus mahasiswa yang serupa, peraturan, maupun jurnal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjaun Umum Jembatan adalah suatu struktur yang melintasi suatu rintangan baik rintangan alam atau buatan manusia (sungai, jurang, persimpangan, teluk dan rintangan lain) dan

Lebih terperinci

RUANG LINGKUP PENULISAN Mengingat luasnya perencanaan ini, maka batasan masalah yang digunakan meliputi :

RUANG LINGKUP PENULISAN Mengingat luasnya perencanaan ini, maka batasan masalah yang digunakan meliputi : PENDAHULUAN Pelabuhan teluk bayur merupakan salah satu sarana untuk mendistribusikan barang, orang dan hasil industri dari Padang menuju tempat lainnya melalui jalur laut. Kendaraan yang masuk kekawasan

Lebih terperinci

SKRIPSI PERBANDINGAN PERHITUNGAN PERKERASAN LENTUR DAN KAKU, DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (STUDI KASUS BANGKALAN-SOCAH)

SKRIPSI PERBANDINGAN PERHITUNGAN PERKERASAN LENTUR DAN KAKU, DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (STUDI KASUS BANGKALAN-SOCAH) SKRIPSI PERBANDINGAN PERHITUNGAN PERKERASAN LENTUR DAN KAKU, DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (STUDI KASUS BANGKALAN-SOCAH) Disusun oleh : M A R S O N O NIM. 03109021 PROGAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS

Lebih terperinci

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN PENDAHULUAN Angkutan jalan merupakan salah satu jenis angkutan, sehingga jaringan jalan semestinya ditinjau sebagai bagian dari sistem angkutan/transportasi secara keseluruhan. Moda jalan merupakan jenis

Lebih terperinci

PERENCANAAN JALAN DENGAN PERKERASAN KAKU MENGGUNAKAN METODE ANALISA KOMPONEN BINA MARGA (STUDI KASUS : KABUPATEN LAMPUNG TENGAH PROVINSI LAMPUNG)

PERENCANAAN JALAN DENGAN PERKERASAN KAKU MENGGUNAKAN METODE ANALISA KOMPONEN BINA MARGA (STUDI KASUS : KABUPATEN LAMPUNG TENGAH PROVINSI LAMPUNG) PERENCANAAN JALAN DENGAN PERKERASAN KAKU MENGGUNAKAN METODE ANALISA KOMPONEN BINA MARGA (STUDI KASUS : KABUPATEN LAMPUNG TENGAH PROVINSI LAMPUNG) Ida Hadijah a, Mohamad Harizalsyah b Jurusan Teknik Sipil,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN JALAN TIPE PERKERASAN KAKU ANTARA METODE AASHTO 1993 DENGAN METODE

PERBANDINGAN HASIL PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN JALAN TIPE PERKERASAN KAKU ANTARA METODE AASHTO 1993 DENGAN METODE Jurnal Talenta Sipil, Vol.1 No.1, Februari 2018 e-issn 2615-1634 PERBANDINGAN HASIL PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN JALAN TIPE PERKERASAN KAKU ANTARA METODE AASHTO 1993 DENGAN METODE Pd.T.14-2003 PADA PERENCANAAN

Lebih terperinci

Nama : Mohammad Zahid Alim Al Hasyimi NRP : Dosen Konsultasi : Ir. Djoko Irawan, MS. Dr. Ir. Djoko Untung. Tugas Akhir

Nama : Mohammad Zahid Alim Al Hasyimi NRP : Dosen Konsultasi : Ir. Djoko Irawan, MS. Dr. Ir. Djoko Untung. Tugas Akhir Tugas Akhir PERENCANAAN JEMBATAN BRANTAS KEDIRI DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM BUSUR BAJA Nama : Mohammad Zahid Alim Al Hasyimi NRP : 3109100096 Dosen Konsultasi : Ir. Djoko Irawan, MS. Dr. Ir. Djoko Untung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Geometrik Jalan Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal sehingga

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau jalan rel atau jalan bagi pejalan kaki.(www.thefreedictionary.com/underpass;

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau jalan rel atau jalan bagi pejalan kaki.(www.thefreedictionary.com/underpass; BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Underpass Underpass adalah tembusan di bawah sesuatu terutama bagian dari jalan atau jalan rel atau jalan bagi pejalan kaki.(www.thefreedictionary.com/underpass; 2014). Beberapa

Lebih terperinci

STANDAR JEMBATAN DAN SNI DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN LATIHAN

STANDAR JEMBATAN DAN SNI DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN LATIHAN STANDAR JEMBATAN DAN SNI DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN LATIHAN 1 BAB I JEMBATAN PERKEMBANGAN JEMBATAN Pada saat ini jumlah jembatan yang telah terbangun di Indonesia

Lebih terperinci

2.4.5 Tanah Dasar Lapisan Pondasi Bawah Bahu Kekuatan Beton Penentuan Besaran Rencana Umur R

2.4.5 Tanah Dasar Lapisan Pondasi Bawah Bahu Kekuatan Beton Penentuan Besaran Rencana Umur R DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN... iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv KATA PENGANTAR... v ABSTRAK... ix DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL...

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pembebanan Pada Pelat Lantai

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pembebanan Pada Pelat Lantai 8 BAB III LANDASAN TEORI A. Pembebanan Pada Pelat Lantai Dalam penelitian ini pelat lantai merupakan pelat persegi yang diberi pembebanan secara merata pada seluruh bagian permukaannya. Material yang digunakan

Lebih terperinci

Dinding Penahan Tanah

Dinding Penahan Tanah Mata Kuliah : Struktur Beton Lanjutan Kode : TSP 407 SKS : 3 SKS Dinding Penahan Tanah Pertemuan - 7 TIU : Mahasiswa dapat mendesain berbagai elemen struktur beton bertulang TIK : Mahasiswa dapat mendesain

Lebih terperinci

BAB III ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR

BAB III ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR BAB III ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR 3.1. ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR PELAT Struktur bangunan gedung pada umumnya tersusun atas komponen pelat lantai, balok anak, balok induk, dan kolom yang merupakan

Lebih terperinci

PEDOMAN. Perencanaan Trotoar. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN 1-27

PEDOMAN. Perencanaan Trotoar. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN 1-27 PEDOMAN Konstruksi dan Bangunan Perencanaan Trotoar DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN JALAN DAN JEMBATAN 1-27 Daftar Isi Daftar Isi Daftar Tabel

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS 4.1. Menghitung Tebal Perkerasan Lentur 4.1.1. Data Parameter Perencanaan : Jenis Perkerasan Tebal perkerasan Masa Konstruksi (n1) Umur rencana (n2) Lebar jalan : Perkerasan

Lebih terperinci

BAB II PENAMPANG MELINTANG JALAN

BAB II PENAMPANG MELINTANG JALAN BAB II PENAMPANG MELINTANG JALAN Penampang melintang jalan adalah potongan suatu jalan tegak lurus pada as jalannya yang menggambarkan bentuk serta susunan bagian-bagian jalan yang bersangkutan pada arah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Jalan Raya

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Jalan Raya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Perkembangan Teknologi Jalan Raya Sejarah perkembangan jalan dimulai dengan sejarah manusia itu sendiri yang selalu berhasrat untuk mencari kebutuhan hidup dan berkomunikasi dengan

Lebih terperinci

OLEH : ANDREANUS DEVA C.B DOSEN PEMBIMBING : DJOKO UNTUNG, Ir, Dr DJOKO IRAWAN, Ir, MS

OLEH : ANDREANUS DEVA C.B DOSEN PEMBIMBING : DJOKO UNTUNG, Ir, Dr DJOKO IRAWAN, Ir, MS SEMINAR TUGAS AKHIR OLEH : ANDREANUS DEVA C.B 3110 105 030 DOSEN PEMBIMBING : DJOKO UNTUNG, Ir, Dr DJOKO IRAWAN, Ir, MS JURUSAN TEKNIK SIPIL LINTAS JALUR FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT

Lebih terperinci

Persyaratan Teknis jalan

Persyaratan Teknis jalan Persyaratan Teknis jalan Persyaratan Teknis jalan adalah: ketentuan teknis yang harus dipenuhi oleh suatu ruas jalan agar jalan dapat berfungsi secara optimal memenuhi standar pelayanan minimal jalan dalam

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.2 TAHAPAN PENULISAN TUGAS AKHIR Bagan Alir Penulisan Tugas Akhir START. Persiapan

BAB III METODOLOGI. 3.2 TAHAPAN PENULISAN TUGAS AKHIR Bagan Alir Penulisan Tugas Akhir START. Persiapan METODOLOGI III - 1 BAB III METODOLOGI 3.1 TAHAP PERSIAPAN Tahap persiapan merupakan rangkaian kegiatan sebelum memulai pengumpulan dan pengolahan data. Pada tahap ini disusun hal-hal penting yang harus

Lebih terperinci

LAPISAN STRUKTUR PERKERASAN JALAN

LAPISAN STRUKTUR PERKERASAN JALAN LAPISAN STRUKTUR PERKERASAN JALAN MAKALAH Disusun untuk Memenuhi Tugas Rekayasa Perkerasan Jalan DOSEN PEMBIMBING Donny DJ Leihitu ST. MT. DISUSUN OLEH NAMA : KHAIRUL PUADI NPM : 11.22201.000014 PROGRAM

Lebih terperinci

KOMPARASI HASIL PERENCANAAN RIGID PAVEMENT MENGGUNAKAN METODE AASHTO '93 DAN METODE Pd T PADA RUAS JALAN W. J. LALAMENTIK KOTA KUPANG

KOMPARASI HASIL PERENCANAAN RIGID PAVEMENT MENGGUNAKAN METODE AASHTO '93 DAN METODE Pd T PADA RUAS JALAN W. J. LALAMENTIK KOTA KUPANG KOMPARASI HASIL PERENCANAAN RIGID PAVEMENT MENGGUNAKAN METODE AASHTO '9 DAN METODE Pd T-- PADA RUAS JALAN W. J. LALAMENTIK KOTA KUPANG Lodofikus Dumin, Ferdinan Nikson Liem, Andreas S. S. Maridi Abstrak

Lebih terperinci

PERANCANGAN JEMBATAN KATUNGAU KALIMANTAN BARAT

PERANCANGAN JEMBATAN KATUNGAU KALIMANTAN BARAT PERANCANGAN JEMBATAN KATUNGAU KALIMANTAN BARAT TUGAS AKHIR SARJANA STRATA SATU Oleh : RONA CIPTA No. Mahasiswa : 11570 / TS NPM : 03 02 11570 PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ATMA

Lebih terperinci

Bab 4 KAJIAN TEKNIS FLY OVER

Bab 4 KAJIAN TEKNIS FLY OVER Bab 4 KAJIAN TEKNIS FLY OVER 4.1. DESAIN JEMBATAN/JALAN LAYANG Sistem jembatan/jalan layang direncanakan berdasarkan kriteria sebagai berikut : Estimasi biaya konstruksi ekonomis. Kemudahan pelaksanaan.

Lebih terperinci

BAB I. SEJARAH PERKERASAN JALAN.

BAB I. SEJARAH PERKERASAN JALAN. BAB I. SEJARAH PERKERASAN JALAN. 1.1 SEJARAH PERKERASAN JALAN. A. Sebelum Manusia Mengenal Hewan Sebagai Alat Angkut. Setelah manusia diam (menetap) berkelompok disuatu tempat mereka mengenal artinya jarak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Supriyadi (1997) struktur pokok jembatan antara lain : Struktur jembatan atas merupakan bagian bagian jembatan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Supriyadi (1997) struktur pokok jembatan antara lain : Struktur jembatan atas merupakan bagian bagian jembatan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komponen Jembatan Menurut Supriyadi (1997) struktur pokok jembatan antara lain : 1. Struktur jembatan atas Struktur jembatan atas merupakan bagian bagian jembatan yang memindahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi pada zaman sekarang,

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi pada zaman sekarang, BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi pada zaman sekarang, terutama di daerah perkotaan terus memacu pertumbuhan aktivitas penduduk. Dengan demikian, ketersediaan

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN STRUKTUR

BAB III PEMODELAN STRUKTUR BAB III Dalam tugas akhir ini, akan dilakukan analisis statik ekivalen terhadap struktur rangka bresing konsentrik yang berfungsi sebagai sistem penahan gaya lateral. Dimensi struktur adalah simetris segiempat

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Umum Fasilitas pejalan kaki adalah seluruh bangunan pelengkap yang disediakan untuk pejalan kaki guna memberikan pelayanan demi kelancaran, keamanan dan kenyamanan, serta keselamatan

Lebih terperinci

PERENCANAAN JEMBATAN MALANGSARI MENGGUNAKAN STRUKTUR JEMBATAN BUSUR RANGKA TIPE THROUGH - ARCH. : Faizal Oky Setyawan

PERENCANAAN JEMBATAN MALANGSARI MENGGUNAKAN STRUKTUR JEMBATAN BUSUR RANGKA TIPE THROUGH - ARCH. : Faizal Oky Setyawan MENGGUNAKAN STRUKTUR JEMBATAN BUSUR Oleh : Faizal Oky Setyawan 3105100135 PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA METODOLOGI HASIL PERENCANAAN Latar Belakang Dalam rangka pemenuhan dan penunjang kebutuhan transportasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Ruas jalan Cicendo memiliki lebar jalan 12 meter dan tanpa median, ditambah lagi jalan ini berstatus jalan arteri primer yang memiliki minimal kecepatan 60 km/jam yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jalan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan

Lebih terperinci

Perencanaan Geometrik Jalan

Perencanaan Geometrik Jalan MODUL PERKULIAHAN Perencanaan Geometrik Jalan Pengantar Perencanaan Geometrik Jalan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Teknik Sipil Tatap Muka Kode MK 02 Disusun Oleh Reni Karno Kinasih, S.T., M.T Abstract

Lebih terperinci

PERENCANAAN UNDERPASS SIMPANG TUJUH JOGLO SURAKARTA

PERENCANAAN UNDERPASS SIMPANG TUJUH JOGLO SURAKARTA Lembar Pengesahan ii LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN UNDERPASS SIMPANG TUJUH JOGLO SURAKARTA ( DESIGN OF SIMPANG TUJUH JOGLO SURAKARTA UNDERPASS) Disusun Oleh : FARID WIBISONO L2A0 002 059 MOCH.

Lebih terperinci

a home base to excellence Mata Kuliah : Struktur Beton Lanjutan Kode : TSP 407 Pelat Pertemuan - 2

a home base to excellence Mata Kuliah : Struktur Beton Lanjutan Kode : TSP 407 Pelat Pertemuan - 2 Mata Kuliah : Struktur Beton Lanjutan Kode : TSP 407 SKS : 3 SKS Pelat Pertemuan - 2 TIU : Mahasiswa dapat mendesain berbagai elemen struktur beton bertulang TIK : Mahasiswa dapat mendesain sistem pelat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meskipun istilah aliran lebih tepat untuk menyatakan arus lalu lintas dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meskipun istilah aliran lebih tepat untuk menyatakan arus lalu lintas dan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Arus Lalu lintas Ukuran dasar yang sering digunakan untuk mendefenisikan arus lalu lintas adalah konsentrasi aliran dan kecepatan. Aliran dan volume sering dianggap sama,

Lebih terperinci

PERENCANAAN JALAN RING ROAD BARAT PEREMPATAN CILACAP DENGAN MENGGUNAKAN BETON

PERENCANAAN JALAN RING ROAD BARAT PEREMPATAN CILACAP DENGAN MENGGUNAKAN BETON 25 PERENCANAAN JALAN RING ROAD BARAT PEREMPATAN CILACAP DENGAN MENGGUNAKAN BETON Gud Purmala Putra 1), Eko Darma 2), Soedarmin 3) 1,2,3) Teknik Sipil Universitas Islam 45 Bekasi Jl. Cut Meutia No. 83 Bekasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Supriyadi (1997) struktur pokok jembatan antara lain seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Supriyadi (1997) struktur pokok jembatan antara lain seperti BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komponen Jembatan Menurut Supriyadi (1997) struktur pokok jembatan antara lain seperti dibawah ini. Gambar 2.1. Komponen Jembatan 1. Struktur jembatan atas Struktur jembatan

Lebih terperinci

Pengertian struktur. Macam-macam struktur. 1. Struktur Rangka. Pengertian :

Pengertian struktur. Macam-macam struktur. 1. Struktur Rangka. Pengertian : Pengertian struktur Struktur adalah sarana untuk menyalurkan beban dalam bangunan ke dalam tanah. Fungsi struktur dalam bangunan adalah untuk melindungi suatu ruang tertentu terhadap iklim, bahayabahaya

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. memberikan pelayanan yang optimal bagi pejalan kaki.

BAB III LANDASAN TEORI. memberikan pelayanan yang optimal bagi pejalan kaki. BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Definisi Jalur Pejalan Kaki Pejalan kaki merupakan salah satu pengguna jalan yang memiliki hak dalam penggunaan jalan. Oleh sebab itu, fasilitas bagi pejalan kaki perlu disediakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinikan sebagai pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan

Lebih terperinci

SISTEM DRAINASE PERMUKAAN

SISTEM DRAINASE PERMUKAAN SISTEM DRAINASE PERMUKAAN Tujuan pekerjaan drainase permukaan jalan raya adalah : a. Mengalirkan air hujan dari permukaan jalan agar tidak terjadi genangan. b. Mengalirkan air permukaan yang terhambat

Lebih terperinci

JEMBATAN RANGKA BAJA. bentang jembatan 30m. Gambar 7.1. Struktur Rangka Utama Jembatan

JEMBATAN RANGKA BAJA. bentang jembatan 30m. Gambar 7.1. Struktur Rangka Utama Jembatan JEMBATAN RANGKA BAJA 7.2. Langkah-Langkah Perancangan Struktur Jembatan Rangka Baja Langkah perancangan bagian-bagian jembatan rangka baja adalah sbb: a. Penetapan data teknis jembatan b. Perancangan pelat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau yang terpisahkan oleh laut dan selat. Kondisi geografis tersebut mengakibatkan terus meningkatnya

Lebih terperinci

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN FLEXIBLE PAVEMENT DAN RIGID PAVEMENT. Oleh : Dwi Sri Wiyanti

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN FLEXIBLE PAVEMENT DAN RIGID PAVEMENT. Oleh : Dwi Sri Wiyanti KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN FLEXIBLE PAVEMENT DAN RIGID PAVEMENT Oleh : Dwi Sri Wiyanti Abstract Pavement is a hard structure that is placed on the subgrade and functionate to hold the traffic weight that

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkerasan jalan beton semen atau secara umum disebut perkerasan kaku, terdiri atas plat (slab) beton semen sebagai lapis pondasi dan lapis pondasi bawah (bisa juga

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Lapisan pondasi bawah (subbase course) Lapisan pondasi atas (base course) Lapisan permukaan / penutup (surface course)

BAB II DASAR TEORI. Lapisan pondasi bawah (subbase course) Lapisan pondasi atas (base course) Lapisan permukaan / penutup (surface course) BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Jalan Jalan adalah suatu elemen pada transportasi yang dijadikan tempat kegiatan pemindahan penumpang dan barang dari suatu tempat ke tempat lain (Tenriajeng 2012:2).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Jembatan Jembatan adalah suatu konstruksi yang gunanya untuk meneruskan jalan melalui suatu rintangan yang berada lebih rendah. Rintangan ini biasanya jalan lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian umum Salah satu bagian program pemerintah adalah pembangunan jalan raya, sehingga jalan yang dibangun dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada pemakai jalan

Lebih terperinci