BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konjungtivitis adalah peradangan yang terjadi pada konjungtiva secara umum dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab endogen maupun eksogen seperti bakteri, virus, jamur, parasit, reaksi imunologi, bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional dan penyakit sistemik lainnya, dengan tanda mata merah yang dapat terjadi akut maupun kronik (Riordan-Eva dan Whitcher, 2007). Salah satu jenis konjungtivitis adalah konjungtivitis alergi. Konjungtivitis alergi, menurut Bonini et al. (2000) dan Kosrirukvongs (2001), paling sering menyerang laki-laki di bawah usia 15 tahun, lalu setelah usia 15 tahun akan lebih dominan menyerang perempuan, dengan persentase 88% pasien memiliki riwayat rhinitis alergi, 17% memiliki riwayat asma dan 11% memiliki riwayat dermatitis atopi. Sebanyak 15-20% dari populasi Amerika Serikat mengalami konjungtivitis alergi, sedangkan di Swedia 19% dari populasi anak usia 12-13 tahun mengalami konjungtivitis alergi, dengan 92% dari populasi konjungtivitis alergi usia 12-13 tahun tersebut memiliki riwayat rhinitis alergi juga (Nathan et al., 1997; Hesselmar et al., 2011 dalam Katelaris, 2011). Di Asia Tenggara yang beriklim tropis, pernah dilakukan survei oleh International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) dan Allergies in Asia Pacific (AIAP) yang mencakup Malaysia, 1
2 Filipina dan Singapura. ISAAC yang menggunakan responden berusia 13-14 tahun mendapatkan hasil sekitar 11-18% responden yang mengalami keluhan mata pada rhinitis alergi. AIAP pada tahun 2009 yang menggunakan responden berusia di atas 18 tahun mendapatkan hasil sekitar 21-43% responden mengalami episode mata merah gatal dan sekitar 24-62% mengalami gejala mata berair (Katelaris, 2011). Konjungtivitis alergi belum termasuk 10 besar penyakit mata utama berdasarkan survei Kesehatan Mata Nasional tahun 1994 (Winarto, 2001 dalam Wistiani dan Notoatmojo, 2011). Di Indonesia persentase penderita konjungtivitis alergi belum diketahui secara pasti. Salah satu penelitian yang dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kariadi Semarang oleh Wistiani dan Notoatmojo (2011), hanya didapatkan 1 anak (2,3%) yang mengalami konjungtivitis alergi dari 44 anak bermanifestasi alergi yang datang ke RSUD Kariadi. Biasanya konjungtivitis alergi kurang terdiagnosis sehingga ketika seseorang baru mengalami episode konjungtivitis alergi yang cukup parah, baru orang tersebut datang memeriksakan diri. Konjungtivitis alergi ini sering muncul sebagai komorbid bersama rhinitis alergi, asma dan dermatitis alergi, yang mana ketiganya lebih sering didiagnosis dan diterapi, sedangkan keluhan konjungtivitis alerginya kurang diperhatikan (Katelaris, 2011; Rosario dan Bielory, 2011). Apabila konjungtivitis alergi dibiarkan hingga parah pasien dapat kehilangan penglihatan (La Rosa et al., 2013).
3 Penegakan diagnosis konjungtivitis alergi cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik mata sehingga bisa dibedakan jenis-jenisnya. Konjungtivitis alergi dapat dibagi menjadi beberapa subkategori antara lain Seasonal Allergic Conjuctivitis (SAC), Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC), Vernal Keratoconjunctivitis (VKC), Atopic Keratoconjunctivitis (AKC) dan Giant Papillary Conjunctivitis (GPC), walaupun ada juga yang memasukkan contact dermatoconjunctivitis ke dalam konjungtivitis alergi. Untuk SAC dan PAC ada juga yang mengklasifikasi menjadi satu saja dengan sebutan Allergic Conjunctivitis (AC). Daerah dengan jumlah alergen musiman beragam sering sekali ditemukan konjungtivitis alergi, sedangkan pada daerah tropis dan iklim sedang lebih sering dijumpai subtipe VKC (International Ocular Inflammation Society, 2006 dalam Sanchez et al., 2011). Sudah banyak pengklasifikasian derajat konjungtivitis alergi berdasarkan gejala maupun tanda yang ditemukan berdasarkan pemeriksaan fisik. Salah satu sistem penilaian derajat konjungtivitis alergi adalah 5-5-5 Exacerbation Grading Scale for Allergic Conjunctivitis yang diperkenalkan di Jepang dan telah dievaluasi dengan predikat berguna (useful) untuk menilai keparahan setiap tipe konjungtivitis alergi (AC, AKC dan VKC) dan bisa digunakan untuk mengevaluasi terapi. Sistem penilaian derajat ini berdasarkan hasil pemeriksaan fisik saja, tidak melibatkan gejala subyektif yang dirasakan pasien dan sistem penilaian derajat hanya melihat gambaran
4 makroskopis hallmark alergi yang sebenarnya hallmark tersebut terbentuk karena aktivitas sel inflamatorik (Shoji et al., 2009). Reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang berperan dalam kejadian konjungtivitis alergi ini dipengaruhi oleh berbagai macam sel, sitokin, kemokin dan imunoglobulin. Salah satu sel yang berpengaruh terhadap kejadian konjungtivitis alergi adalah eosinofil. Beberapa penelitian mengenai hubungan antara eosinofil dengan kejadian konjungtivitis alergi antara lain Bonini et al. (1997) yang menyatakan bahwa pada biopsi konjungtiva, cairan air mata (tear fluid) dan darah perifer ditemukan eosinofil, kemudian Kari et al. (2011) menyatakan bahwa eosinofil juga ditemukan di goresan konjungtiva (conjunctival scraping). Eosinofil menghasilkan berbagai macam substansi yang berperan dalam kerusakan jaringan mata dalam kejadian konjungtivitis alergi. Pemeriksaan untuk mengetahui adanya eosinofil dalam mukosa konjungtiva mata perlu dilakukan untuk menilai tingkat kerusakan jaringan yang ditimbulkan dan menilai seberapa efektif pengobatan yang dahulu pernah diberikan kepada pasien yang sebelumnya pernah mengalami episode konjungtivitis alergi (Shoji et al., 2009; Bonini et al., 1997). Untuk itu, penulis ingin mengetahui pola keteraturan jumlah eosinofil dan derajat konjungtivitis alergi berdasarkan 5-5-5 Exacerbation Grading Scale.
5 B. Rumusan Masalah Adakah pola keteraturan jumlah eosinofil mukosa konjungtiva dan derajat konjungtivitis alergi berdasarkan 5-5-5 Exacerbation Grading Scale? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola keteraturan jumlah eosinofil mukosa konjungtiva dan derajat konjungtivitis alergi berdasarkan 5-5-5 Exacerbation Grading Scale. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah serta dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian lanjut mengenai jumlah eosinofil pada setiap derajat konjungtivitis alergi. 2. Manfaat Aplikatif Penelitian ini diharapkan dapat membantu mempertimbangkan terapi spesifik terhadap konjungtivitis alergi berdasarkan jumlah eosinofil yang ditemukan.