HASIL DAN PEMBAHASAN BaTiO 3 merupakan senyawa oksida keramik yang dapat disintesis dari senyawaan titanium (IV) dan barium (II). Proses sintesis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan, metode sintesis, dan senyawaan Ti dan Ba sebagai sumber ion Ti dan Ba. Umumnya proses sintesis berlangsung pada suhu tinggi jika reaktan yang digunakan adalah titanium dioksida dan barium karbonat. Suhu yang tinggi ini diperlukan sebagai sumber energi untuk memutus ikatan barium dengan oksigen pada barium karbonat dan juga membantu difusi ion Ba 2+ masuk ke dalam struktur titanium dioksida. Suhu tinggi menyebabkan proses sintesis menjadi tidak efisien dari segi biaya jika dilakukan pada skala besar (industri). Untuk itu beberapa peneliti telah mengembangkan beberapa metode sintesis sehingga sintesis dapat dilakukan pada suhu rendah di bawah 200 0 C. Salah satu tekniknya adalah dengan tidak menggunakan TiO 2 sebagai sumber ion Ti 4+ tetapi senyawaan Ti dalam bentuk garam seperti TiCl 4, Ti (oksalat), dan Ti (isopropoksida). Senyawaan ini dapat menyediakan ion Ti 4+ secara langsung dalam larutannya. Pada penelitian ini, TiCl 4 yang ditambahkan tetes demi tetes ke dalam air bebas ion suhu 0 0 C akan langsung menghasilkan endapan putih (TiO 2 ). Hal ini sesuai dengan reaksi: TiCl 4(l) + 2H 2 O (l) TiO 2(s) + 4HCl (l) Larutan ini bersifat sangat asam. Hasil pengukuran derajat keasaman menunjukkan ph larutan berkisar di bawah 1. Larutan dan endapan putih TiO 2 selanjutnya di aduk dengan pengaduk magnet dan setelah 45 menit larutan menjadi bening kembali. TiO 2 dalam larutan asam pekat (HCl) akan larut membentuk senyawa intermediet TiOCl 2 yang tidak berwarna (transparan). Menurut Holleman & Wiberg 2001 senyawa TiO 2 yang dapat larut dalam larutan asam kuat (HCl, H 2 SO 4 ) adalah TiO 2 dalam bentuk hidrous. Senyawa antara TiOCl 2 dapat stabil beberapa hari pada suhu di bawah 4 0 C dan akan berubah menjadi TiO 2 pada suhu 40 0 C atau suhu kamar setelah 24 jam. Reaksi TiCl 4 dalam air merupakan reaksi eksoterm (ditandai dengan larutan menjadi panas). Hal ini karena titanium dapat membentuk senyawa eksplosif [Ti(OH) 4 ]. Pembentukan senyawa ini dapat diminimalkan dengan
menggunakan air bebas ion dingin (0 0 C) atau penambahan asam (HCl, HNO 3 ) ke dalam air bebas ion sebelum ditambahkan TiCl 4. Barium hidroksida oktahidrat [Ba(OH) 2 8H 2 O] adalah senyawaan basa yang memiliki kelarutan sangat rendah. Kenaikan suhu tidak meningkatkan kelarutan secara signifikan. Pada pembuatan larutan Ba(OH) 2, masih terdapat kristal yang tidak larut walaupun suhu larutan dinaikkan hingga di atas 80 0 C. Larutan barium hidroksida tersebut jika ditambahkan larutan TiOCl 2 dingin akan langsung menghasilkan endapan putih. Hasil pengukuran dengan XRD terhadap endapan putih, diperoleh pola difraksi dengan nilai 2 theta (2θ) yang mendekati nilai 2θ untuk senyawa TiO 2 (Gambar 8). Nilai 2θ dengan intensitas tertinggi terdapat pada 25.582. Nilai ini mendekati nilai 2θ dari standar senyawa TiO 2 (Lampiran 3) Gambar 8 Pola difraksi sinar-x serbuk kristal dari campuran antara larutan Ba(OH) 2 dengan larutan TiOCl 2 Pada percobaan lain, basa KOH (mol KOH/BaTi = 5) ditambahkan ke dalam campuran larutan Ba(OH) 2 dan TiOCl 2 (mol Ba/Ti = 1), kemudian endapan dipanaskan di dalam tanur pada suhu 600 0 C selama 2 jam. Dari hasil karakterisasi kristal dengan XRD (Gambar 9), diperoleh pola difraksi dengan intensitas tinggi pada nilai 2θ 31.899, 45.179, dan 56.541. Nilai 2θ ini spesifik untuk senyawa BaTiO 3. Intensitas yang tinggi juga ditemukan pada nilai 2θ 28.64. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembentukan BaTiO 3 tidak terjadi dalam satu tahap dan juga terbentuk fasa-fasa pengotor. Terjadinya fasa pengotor diakibatkan oleh reaksi non stoikiometri pada sistem BaO-TiO 2. Fasa-fasa pengotor yang stabil pada suhu proses di atas adalah Ba 2 TiO 4, BaTi 4 O 9, dan BaTi 3 O 7. Berdasarkan data standar JCPDS untuk fasa-fasa pengotor dari BaTiO 3, maka yang paling
sesuai dengan intensitas pada 2θ 28,64 adalah BaTi 4 O 9. BaTi 4 O 9 dihasilkan dari reaksi non stoikiometri antara BaTiO 3 dengan TiO 2. Keberadaan TiO 2 di dalam serbuk juga terdeteksi dengan adanya intensitas pada 2θ 27.446. Kondisi lingkungan yang terbuka ternyata menyebabkan ion Ba 2+ dapat bereaksi dengan CO 2 membentuk BaCO 3, terlihat dari nilai 2θ pada 24.338. Gambar 9 Pola difraksi sinar-x kristal dari larutan dengan [mol KOH/BaTi = 5] yang dipanaskan pada suhu 600 0 C selama 2 jam Penambahan basa KOH dalam sintesis BaTiO 3 adalah salah satu contoh dari pengembangan metode sintesis. Menurut Lee et al 2003 KOH memiliki beberapa peranan dalam proses sintesis yaitu 1) membantu proses pelarutan TiO 2 menjadi Ti(OH) 4-x x yang selanjutnya dengan ion Ba akan membentuk inti BaTiO 3, 2) meningkatkan ph larutan. ph larutan berhubungan langsung dengan reaktivitas ion Ba dan pembentukan kristal BaTiO 3 hanya dapat terjadi ketika ph larutan lebih dari 13.0. Larutan TiOCl 2 yang bersifat asam (ph < 1) ketika ditambahkan ke dalam larutan Ba(OH) 2 (ph > 13) akan menghasilkan larutan dengan ph mendekati normal. ph yang rendah menyebabkan reaktivitas ion Ba rendah sehingga endapan putih yang diperoleh bukanlah BaTiO 3 tetapi TiO 2 (Gambar 8). Energi yang dihasilkan dari reaksi netralisasi tidak membantu reaksi antara ion Ba dan Ti untuk menghasilkan BaTiO 3 tetapi hanya menyebabkan TiOCl 2 berubah menjadi TiO 2. Hal ini diduga karena proses pencampuran dilakukan dalam wadah terbuka sehingga energi netralisasi terlepas dari sistem.
Gambar 10 menunjukkan pola difraksi XRD ketika perbandingan mol [KOH/BaTi] dinaikkan menjadi 20. Terlihat perbedaan yang sangat jelas jika dibandingkan dengan pola difraksi XRD untuk penambahan KOH dengan perbandingan mol [KOH/BaTi] = 5. Intensitas fasa-fasa pengotor pada 2θ 28 berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan intensitas pada 2θ 31. Konsentrasi KOH yang tinggi diduga menghambat proses pembentukan fasa pengotor dan membantu efektivitas pembentukan inti BaTiO 3. Gambar 10 Pola difraksi sinar-x kristal dari larutan dengan [mol KOH/BaTi = 20] yang dipanaskan pada suhu 600 0 C selama 2 jam Hal lain yang teramati ketika konsentrasi KOH ditingkatkan adalah proses penggerombolan kristal berlangsung lebih cepat. Endapan putih dalam larutan terpisah dengan jelas dari bagian cairannya. Sedangkan untuk konsentrasi KOH lebih rendah endapan putih berbentuk koloid dalam larutannya dan tidak terpisahkan dengan batas yang jelas dengan cairan. Hal ini dapat dijelaskan dari sudut pandang efek muatan listrik pada permukaan partikel BaTiO 3. Permukaan partikel BaTiO 3 memiliki muatan negatif. Peningkatan konsentrasi KOH akan meningkatkan jumlah ion OH - sehingga partikel BaTiO 3 akan terisolasi akibat adanya gaya tolak antar permukaan partikel BaTiO 3 dengan ion OH -. Akibatnya proses penggerombolan terjadi. Selain konsentrasi KOH, waktu pemanasan larutan juga berpengaruh terhadap sintesis BaTiO 3. Semakin lama waktu pemanasan, fasa-fasa pengotor BaTiO 3 menjadi berkurang. Energi dari pemanasan dengan waktu yang semakin lama dapat mengubah fasa-fasa pengotor mengalami reaksi lebih lanjut menjadi senyawa BaTiO 3. Dari Gambar 11, intensitas pada 2θ 28 sangat rendah sedangkan intensitas pada 2θ 31 meningkat dibandingkan dengan pada
pemanasan selama dua jam. Di samping mampu menghilangkan fasa-fasa pengotor, suhu akan menyebabkan kristal BaTiO 3 yang diperoleh dalam bentuk struktur yang stabil pada suhu tersebut. Struktur kristal BaTiO 3 yang diperoleh adalah kubus. Hal ini dapat dilihat dari kurva pada 2θ 44 47. Pada kurva tidak terdeteksi adanya pemisahan puncak menjadi dua. Struktur kubus BaTiO 3 hanya memiliki satu puncak pada 2θ tersebut sedangkan pada struktur tetragonal kurva akan mengalami pemisahan menjadi dua puncak. Gambar 11 Pola difraksi sinar-x kristal dari larutan dengan [mol KOH/BaTi = 20] yang dipanaskan pada suhu 600 0 C selama 4 jam Dari hasil di atas terlihat bahwa kenaikan suhu meningkatkan laju reaksi sintesis BaTiO 3. Tetapi suhu juga menyebabkan reaksi tidak berlangsung dalam satu tahap reaksi sederhana. Suhu memberikan sumbangan energi yang besar untuk menghasilkan reaksi non stoikiometri. Reaksi non stoikiometri akan menghasilkan fasa-fasa pengotor di samping produk utama BaTiO 3. Selain itu juga sintesis pada suhu yang tinggi tidak efisien dan efektif jika dilakukan sintesis dalam skala industri. Untuk mengatasi agar reaksi sintesis dapat berlangsung pada suhu rendah (100 0 C) maka dapat digunakan metode hidrotermal. Metode hidrotermal adalah salah satu metode yang sedang berkembang saat ini dalam sintesis senyawa anorganik. Prinsipnya adalah larutan dipanaskan pada suhu rendah (bergantung titik didih pelarut yang digunakan) dalam wadah khusus (teflon atau stainless steel) tertutup selama beberapa jam. Pemanasan cairan dalam wadah tertutup akan menyebabkan tekanan di dalam wadah naik
bergantung berapa lama waktu pemanasan. Tekanan adalah bentuk lain dari energi. Tekanan yang tinggi dapat membantu reaksi senyawa anorganik (difusi atau pemutusan ikatan atom-atom dalam reaktan). Pada pengukuran XRD serbuk kristal BaTiO 3 hasil sintesis dengan metode hidrotermal, yaitu larutan reaktan yang dipanaskan dalam autoklaf suhu 105 0 C selama 2 jam, ternyata dapat menghilangkan fasa-fasa pengotor yang umumnya terbentuk ketika suhu reaksi berlangsung pada suhu tinggi. Fasa-fasa pengotor pada 2θ 28 tidak ditemukan lagi (Gambar 12). Fasa pengotor ini tidak terbentuk karena selama reaksi tidak terbentuk TiO 2. Suhu yang rendah menyebabkan tidak cukup energi untuk menghasilkan reaksi non stoikiometri. BaTiO 3 pada suhu rendah terbentuk secara langsung dari ion Ba 2+, Ti 4+, dan OH -. Intensitas pada 2θ yang menunjukkan senyawa BaTiO 3 lebih tinggi jika dibandingkan dengan kristal yang diperoleh pada suhu tinggi. Adanya puncak pada 2θ 24.259 menunjukkan bahwa reaksi dalam wadah autoklaf masih memungkinkan adanya CO 2 sehingga dapat terjadi reaksi dengan Ba membentuk BaCO 3. Dari hasil analisis dengan FTIR terlihat puncak serapan pada bilangan gelombang 1573 cm -1 yang khas untuk ion CO 3 (Lampiran 8). Energi (suhu) reaksi tidak cukup tinggi untuk mengubah BaCO 3 menjadi BaO. Senyawa BaO dan TiO 2 dapat menghasilkan BaTiO 3. Tetapi sistem ini (BaO-TiO 2 ) membutuhkan energi yang besar agar dapat bereaksi membentuk BaTiO 3. Gambar 12 Pola difraksi sinar-x kristal dari larutan dengan [mol KOH/BaTi = 20] yang diautoklaf pada suhu 105 0 C selama 2 jam Struktur kubus dan tetragonal merupakan dua struktur yang berbeda pada sudut dan panjang ikatan. Pada struktur tertragonal BaTiO 3 atom Ti mengalami distorsi dari pusat struktur, sehingga panjang ikatan akan berubah. Metode
hidrotermal yang memanfaatkan tekanan tinggi dapat menyebabkan terjadinya distorsi ini sehingga kristal BaTiO 3 memiliki struktur tetragonal. Struktur tetragonal BaTiO 3 dapat dilihat dari puncak kurva XRD pada 2θ 44 47. Pada 2θ tersebut terjadi pemecahan puncak menjadi dua yaitu pada 2θ 44.941 dan 46.761. Intensitas kedua puncak pada 2θ tersebut sangat kecil. Ini menunjukkan tekanan yang dihasilkan selama dua jam di dalam autoklaf tidak cukup tinggi untuk terjadinya distorsi seluruh kristal BaTiO 3 hasil sintesis. Kristal yang diperoleh merupakan campuran struktur antara kubus dan tetragonal dengan yang dominan adalah struktur kubus. Hasil pengukuran morfologi dan ukuran kristal dengan mikroskop elektron payaran, terlihat bahwa terjadi proses penggerombolan dalam pembentukan kristal BaTiO 3. Pada Gambar 13 terlihat partikel kristal BaTiO 3 menempel pada permukaan kristal BaTiO 3 yang sudah ada. Hal ini akan menurunkan derajat keseragaman dan memperbesar ukuran kristal. Dari hasil pengukuran dengan pembesaran 1000x didapatkan ukuran kristal sekitar 10 µm. Gambar 13 SEM kristal dari larutan dengan [mol KOH/BaTi = 20] yang diautoklaf pada suhu 105 0 C selama 2 jam
Kristal BaTiO 3 hasil sintesis merupakan campuran struktur kubus dan tetragonal. Struktur ini memiliki sifat yang berbeda antara kubus dengan tetragonal. Sifat listrik adalah salah satu sifat yang dipengaruhi oleh struktur kristal. Hal ini berhubungan dengan orientasi (arah) elektron pada bagian terkecil (unit sel) dari struktur dan pada keseluruhan struktur kristal. Terdapat kesamaan sifat ferroelektrik pada struktur kubus dan tetragonal BaTiO 3. Pengukuran dengan kapasitansi meter diperoleh nilai kapasitan kristal BaTiO 3 sebesar 8,189 nf pada frekuensi 1 khz. Besarnya kapasitan sangat bergantung pada ketebalan, luas area sampel yang diukur, dan frekuensi yang digunakan. Frekuensi akan mengatur arah orientasi elektron pada sampel yang diukur. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai konstanta dielektrik BaTiO 3 sebesar 1047.