BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V PENUTUP. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB V PENUTUP. dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Sunda dan Islam dalam carita pantun Sunda Sri Sadana berlangsung secara

BAB V PENUTUP. ekonomi, kultural, sosial, dan modal simbolik. mampu untuk mengamankan kursi Sumenep-1 kembali.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

2016 EKSISTENSI MAHASISWI D ALAM BERORGANISASI D I LINGKUNGAN FAKULTAS PEND ID IKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perempuan atau laki-laki secara terpisah, tetapi bagaimana menempatkan

BAB IV MEMAKNAI HASIL PENELITIAN BUDAYA POLITIK SANTRI

BAB V PENUTUP. Simpulan dan Saran. Keduanya merupakan bagian penutup dari tesis ini.

BAB I PENDAHULUAN. manajemen dalam mengelola sumber daya yang dimiliki perusahaan secara

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

Issue Gender & gerakan Feminisme. Rudy Wawolumaja

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Transseksual merupakan permasalahan yang kompleks. Di satu sisi, di

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Melalui perjalanan panjang sejarah, seni sebagai bidang khusus dalam pemahamannya telah mengalami banyak perubahan.

BAB IV KESIMPULAN. atau isu-isu yang sering terjadi dalam kehidupan perempuan. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan

( aql) dan sumber agama (naql) adalah hal yang selalu ia tekankan kepada

BAB IV KESIMPULAN. publik. Secara lebih khusus, Mansfield Park menceritakan posisi perempuan pada

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB VI PENUTUP. manusia. Pada sisi lainnya, tembakau memberikan dampak besar baik bagi

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR GAMBAR... viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah.

BAB V PENUTUP. 1. Indonesia merupakan sebuah negara multikultural dan plural, yang terdiri dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan

8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB VI PENUTUP. terutama pada posisi jabatan struktural. Hal ini dapat diindikasikan bahwa terdapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY

Laki-laki, Perempuan, dan Kelompok Masyarakat Rentan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. baik. Berbagai jenis pekerjaan dijalani untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu masalah pokok yang dihadapi Pemerintah Indonesia sebagai negara

BAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial

BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai

BAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes

Transkripsi:

BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan terdalam dari perempuan pesantren tersebut dalam memposisikan dirinya sebagai pelaku budaya yang memiliki sikap dan caranya sendiri dalam menjalani kehidupannya di pesantren. Pada bahasan awal penelitian ini memang dipahami sebatas sebagai modal Kyai atau elit Islam dalam ikhtiarnya mempertahankan eksistensi semata, namun pada gilirannya setelah melihat secara mendalam bagaimana sebenarnya para perempuan tersebut melakoni hidupnya sebagai seorang perempuan pesantren maka kemudian ditemukan betapa sebenarnya pembacaan mengenai kepatuhan akan simbol-simbol Islam lewat tutur Kyai pada diri perempuan sebagai sebuah pasungan dan diskrimisasi sangat reduksionis. Perempuan perlu dilihat sebagai aktor utuh yang juga memiliki peluang-peluang perlawanan terhadap sistem yang dominatif. Lahirnya resistensi dalam diri perempuan pesantren sebagai konsekwensi logis atas dominasi kekuasaan otoratif seorang kyai juga tidak selalu berpotensi merusak tatanan sosio-kultural yang ada. Hadirnya tiap resistensi tersebut bahkan memiliki kemungkinannya sendiri untuk mencipta peristiwa-peristiwa impresif dan reflektif dalam kaitannya sebagai respon dari tekanan struktur patriarkhis pesantren. Baik resistensi yang sifatnya simbolik sampai pada resistensi yang sifatnya fisik-aktual merupakan potret bagaimana perempuan menyadari 171

keberadaan self dalam tubuhnya dan bukan other. Yang terpenting dari semua penelitian ini adalah jikapun seorang perempuan Islam yang aktif mengkonsumsi dan mengimplementasi simbol-simbol Islam serta ajaran-ajarannya, seperti cadar dan jilbab, dianggap mengalami bentuk-bentuk diskriminasi, opresi, marginalisasi dan subordinasi, semua itu tidak melulu berkait-erat dengan aroganisme jenis kelamin laki-laki. Sekurang-kurangnya strukturlah yang mendudukan laki-laki dan perempuan menjadi terlalu timpang baik pada dimensi kultural maupun agama. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa (pertama) terdapat bangunan budaya di mana di dalamnya menggeliat kuat sistem dominasi patriarkhi yang terepresentasi dalam diri Kyai sebagai pemimpin tradisional masyarakat desa. Kyai yang terlegitimasi secara kultural-tradisional pada masyarakat Sunda menjadi pemegang kekuasaan dominan untuk mengatur tiap laku-hidup perempuan dalam sistem sosial masyarakatnya. Sudah bisa dipastikan bahwa kebertahanan sang Kyai hingga kini dalam struktur sosial yang ada dipengaruhi oleh sulit tercerabutnya konstruksi yang telah melekat dalam benak masyarakat akan kemuliaan sosok Kyai. Wacana-wacana dan mitos-mitos suci yang dibentuk-bangunkan di tengah-tengah masyarakat telah mencipta kantungkantung kepercayaan di segala kalangan termasuk di kalangan perempuannya. Oleh sebab itu dominasi kultural Islam dan konstruksi teks suci selalu efektif diletakkan pada diri perempuan karena perempuanlah yang secara struktural menempati posisi lemah dan mudah dikendalikan dibanding laki-laki. Tidaklah heran bila pada akhirnya perempuan menyimpan lumbung kekuatan yang 172

diandalkan para Kyai untuk menopang eksistensinya di dalam masyarakat yang meskipun telah memiliki pemimpin formal mereka tetap mengakui Kyai sebagai pengatur utama kehidupan sosial-agama mereka. Yang (kedua) adalah strategi Kyai dalam mempertahankan eksistensi dan dominasi kekuasaan dibangun dengan cara menjaga keutuhan lingkaran relasi sosial di dalam maupun luar pesantren. Tidak bisa ditolak bahwa Interaksi pun turut andil dalam pembentukan identitas, moralitas, religiusitas, dan kultur kita. Hubungan informal dibangun para Kyai dengan warga masyarakat tidak selalu mengandalkan pada intimitas aktivitas keagamaan yakni juga melalui aktivitas ekonomi memungkinkannya untuk tetap mengikat loyalitas para pengikut serta menjaga dukungan dan kepercayaan terhadapnya. Hubungan sosial-emosional diantara para santri adalah yang paling utama dalam penguatan otoritas kekiyaian. Dengan adanya pesantren dan santri, kyai setidaknya memiliki suara tetap yang selalu setia mengikuti setiap tutur-katanya, dan tentu saja hal tersebut akhirnya juga dapat mengkilapkan kewibawaan serta kharismanya di mata warga masyarakat. Selain dengan para santri, hubungan baik juga dijalin seorang kyai dengan kerabat di pesantren. Tradisi perkawinan endogamy yang terjadi disana turut mengawetkan posisi serta kuasa seseorang lewat garis kekerabatannya. Para Kyai yang dialiri darah dari garis keturunan pendiri pesantren mendapat posisi lebih tinggi secara struktural dibanding dengan kyai yang tidak sama sekali memiliki garis keturunan pendiri pesantren, ia hanya akan menjadi pengajar biasa atau sekurang-kurangnya menjadi Pembina di asrama putra. Jalinan sosial di antara masyarakat, para santri dan kerabat juga alumni menciptakan beberapa 173

basis legitimasi sebagai alat pengakuan atas otoritas seorang Kyai. Basis legitimasi yang berhasil ditemukan dari kerja penelitian ini adalah; Legitimasi dari traditional domination yang ada di pesantren yakni yang bersumber dari tradisi agama, di mana kyai dianggap memiliki kedudukan yang mulia sebagai mediator antara Tuhan dan manusia. Boleh dikata legitimasi yang berasal dari agama ini adalah yang cukup efektif merangkul pengakuan dari masyarakat atas kuasa Kyai sebagai pengatur umat manusia. Selanjutnya adalah legitimasi yang bersumber dari legal-rational domination dimana kedudukan Kyai sebagai pemimpin di masyarakat di dapat dari sistem institusional pesantren.. Pesantren memberi kewenangan terhadap Kyai tertentu untuk menjadi pemimpin yang kemudian diakui oleh masyarakat setempat. Dia legitimate untuk berkuasa dan mengatur masyarakat karena keyakinan-keyakinan lama terhadap sistem pesantren. Yang terakhir adalah legitimasi yang bersumber dari charismatic domination; dimana legitimasi ini didapat dari simpati serta apresiasi masyarakat karena pribadi dan karakter yang dimiliki seorang kyai. Seorang kyai yang mudah mencair dan terbuka pada ummatnya jauh lebih disukai dari pada seorang kyai yang kaku dan tertutup. Temuan yang (ketiga) adalah bertalian dengan persoalan terpenting dari penggarapan penelitian ini, yakni mengupas mengenai sejauh apa penerimaan perempuan dalam posisinya terhadap figur dan tutur kyai di dalam dan luar pesantren. Persoalan konstruksi para Kyai pada laku-hidup perempuan yang barangkali membuat diri mereka tidak memiliki posisi tawar di ranah publik sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di ranah domestik. Boleh jadi, 174

bila struktur patriarkhis yang terepresentasi dari dalam diri kyai serta laki-laki pada umumnya di dalam dimensi agama mengasingkan para perempuan dan seolah menjadikannnya sebagai alat politik penopang kekuasaan Kyai atau lakilaki semata, hal tersebut tidak sama sekali terepresentasi ketika di dalam rumah. Pada kenyataannya perempuan selalu berhasil mempengaruhi setiap keputusankeputusan suami mereka dengan mengandalkan posisi strategisnya di dalam rumah. Mereka menggunakan tubuhnya yang disangkakan lemah dan tidak berdaya untuk melakukan politik balik, bahkan pada akhirnya para laki-lakilah yang kemudian terasing dari rumah dan anak mereka. Penelitian ini juga telah berhasil membongkar ihwal relasi perempuan -laki-laki di dalam ranah yang lebih internal-emosional yang mana menegasi anggapan-anggapan semula mengenai hubungan asimetris yang menindas. Persoalan dualisme identitas juga turut terbacakan di sana. Dominasi politik identitas yang digarap-kerjakan oleh Kyai pada perempuan untuk tujuan perlawanan simbolis atas arogansi Barat, direproduksi perempuan sebagai semacam kekuatan lain untuk melakukan survival strategy. Sensibilitas yang berbeda dari riset ini tidak bermaksud menolak permainan dominasi politik identitas yang berasal dari Kyai atau para pemimpin agama, tapi hendak membebaskannya dari berbagai bentuk pembatasan pemaknaan. Kedudukan penelitian ini dalam hubungannya dengan studi-studi yang ada adalah sebagai pembanding atas penelitian-penelitian gender dan kekuasaan sebelumnya di mana kebanyakan hanya memfokuskan diri pada persoalan pengasingan, penindasan, pemasungan dan kekerasan pada perempuan. Jarang 175

sekali atau barangkali belum ada yang kemudian menganalisa mengenai strategi Kyai yang ternyata menggunakan perempuan sebagai modalnya untuk mempertahankan eksistensi di ruang sosial. Sedang perempuan yang dijadikan instrumen serta objek dominasi Kyai tidak serta merta menjadi kaum yang berposisi pasif, perempuan dalam penelitian ini dibaca sebagai aktor yang samasama memiliki siasat-siasat seperti Kyai. Yang membedakan adalah bila Kyai memiliki modal-modal yang diperebutkan namun perempuan tidak memiliki modal apapun selain modal-modal yang sifatnya kodrati seperti salah satunya Rahim. Kodrat-kodrat tersebut kemudian memunculkan anggapan bahwa perempuan adalah kaum lemah dan harus selalu dilindungi. Melalui pewacanaan demikianlah perempuan memanfaatkan posisi lemahnya untuk melakukan perlawanan-perlawanan. 176