BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya Lahirnya Undang-Undang Kepailitan yang mengubah ketentuan peraturan tentang kepailitan peninggalan kolonial 49 mendapat sambutan hangat masyarakat keuangan internasional. Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. 50 Arti pailit menurut Undang-Undang No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagaimana diatur dalam lampiran UUK Pasal 1 ayat (1) adalah: Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Sementara itu dalam Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang 49 Pada masa pemerintahan Kolonial hingga tahun 1998, peraturan kepailitan yang berlaku adalah Faillissementsverordening S.1905-217 jo. S.1906-348. Peraturan ini kemudian diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 1998, yang kemudian diterima dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi Undang-Undang No.1 Tahun 1998 tentang Kepailitan, dan direvisi menjadi Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 50 J. Djohansah, Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 23. 35 35
36 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 1 ayat (1) bahwa yang dimaksud Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebgaimana diatur dalam undang-undang ini. Menurut Retnowulan, yang dimaksud dengan kepailitan adalah eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu penyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib. 51 Dalam pengertian kepailitan seperti disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1. Kepailitan dimaksud untuk mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara perorangan. 2. Kepailitan hanya mengenai harta benda debitur, bukan pribadinya. Jadi, ia cakap untuk melakukan perbuatan hukum di luar hukum kekayaan. Misalnya, hak yang timbul dari kedudukannya sebagai orang tua (ibu/ayah). Secara sederhana, kepailitan dapat diartikan sebagai suatu penyitaan semua aset debitur yang dimasukkan kedalam permohonan pailit. Debitur pailit tidak serta merta kehilangan kemampuannya untuk melakukan tindakan hukum, akan tetapi kehilangan hal. 85. 51 Retnowulan, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan,(Seri Varia Yustisia, 1996),
37 untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan di dalam kepailitan terhitung sejak pernyataan kepailitan itu. 52 Hadirnya lembaga kepailitan ini diharapkan dapat berfungsi untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak kreditur yang memaksa dengan berbagai cara agar debitur membayar utangnya. Sehingga dengan adanya lembaga kepailitan memungkinkan debitur membayar utang-utangnya itu secara tenang, tertib dan adil yaitu: 53 a. Dilakukannya penjualan atas harta pailit yang ada yakni seluruh harta kekayaan yang tersisa dari debitur. b. Membagi hasil penjualann harta pailit tersebut kepada sekalian kreditur yang telah diperiksa sebagai kreditur yang sah masing-masing sesuai dengan: 1) Hak Preferensinya dan 2) Proporsional dengan hak tagihannya dibandingkan dengan besarnya hak tagihan kreditur konkuren lainnya. Hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan dari UUK, yaitu untuk menghindari terjadinya sita perorangan dan mendapat pembayaran secara proporsional sesuai haknya. 54 52 Peter Mahmud Marzuki, Hukum Kepailitan Menyongsong Era Global, (FH-UNDIP-ELIPS, 1996), hal. 4. 53 Rudhi Prasetyo, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 5. 54 Kartini Muljadi, Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 75-76.
38 Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) UUK yaitu, debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim pengadilan 55 menyatakan pailit, bukan dapat menyatakan pailit. Sehingga dalam hal ini tidak diberikan judgment yang luas seperti kasus-kasus lainnya, sungguhpun limited defence masih dibenarkan, mengingat yang berlaku adalah prosedur pembuktian sumir. Dalam Pasal 8 ayat (4) UUK menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana 56 bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi. Jika diperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UUK tersebut, maka jelas yang dimaksud dengan pembuktian sederhana adalah pembuktian mengenai: 57 a. Eksistensi dari suatu utang debitur yang dimohonkan kepailitan yang telah jatuh tempo; 55 Hakim dan Pengadilan yang dimaksud adalah Hakim dan Pengadilan Niaga, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat(7) UUK. 56 Yang berarti bahwa apabila terbukti secara sederhana bahwa debitur mempunyai lebih dari satu kreditor dan bahwa salah satu utangnya telah jatuh waktu dan dapat ditagih tetapi debitur tidak/belum membayar utangnya tersebut. Jadi tidak perlu ditagih terlebih dahulu seperti pada keadaan berhenti membayar yang lazim diartikan bahwa kreditor harus terlebih dahulu menagih piutang yang sudah jatuh waktu dan ternyata debitur meskipun sudah ditagih tetap tidak membayar. 57 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal.141.
39 b. Eksistensi dari dua atau lebih kreditor dari debitor yang dimohonkan kepailitan. Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK terserbut diatas dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Minimal Dua kreditor Menurut Pasal 2 ayat (1) UUK, salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah debitur harus mempunyai dua kreditor atau lebih. Dengan demikian, undang-undang ini hanya memungkinkan seorang debitor dinyatakan pailit apabila debitor memiliki paling sedikit dua kreditor. Syarat adanya dua atau lebih kreditor dikenal sebagai concursus creditorum. 58 Keharusan adanya dua kreditor yang disyaratkan dalam UUK merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata. 59 Alasan mengapa seorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit jika ia hanya mempunyai seorang kreditor adalah bahwa tidak ada keperluan untuk membagi aset debitor diantara pada kreditor. Kreditor berhak dalam perkara ini atas semua aset debitor, tidak ada concursus creditorum 60. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam kepailitan, yang terjadi sebenarnya sita umum terhadap semua harta kekayaan debitor yang diikuti dengan likuidasi paksa, untuk nanti perolehan dari likuidasi paksa tersebut dibagi secara prorate di antara kreditornya. Kecuali apabila ada di antara 58 Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal.64. 59 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hal.107 60 Dalam kepustakaan, concursus creditorum diartikan sebagai keberadaan dua atau lebih kreditor. Concursus creditorum merupakan syarat bagi kepailitan.
40 para kreditornya yang harus didahulukan menurut ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata. 61 2. Harus Ada Utang Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit ialah harus adanya utang. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tidak memberikan defenisi sama sekali mengenai utang. Oleh karena itu, telah menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam dan para hakim juga menafsirkan utang dalam pengertian yang berbeda-beda (baik secara sempit maupun secara luas). Apakah pengertian utang hanya terbatas pada utang yang lahir dari perjanjian utang piutang saja, contohnya perjanjian jual beli. 62 Kontroversi mengenai pengertian utang, akhirnya dapat disatuartikan dalam Pasal 1 ayat (6) UUK, yaitu utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi member hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Dari defenisi utang yang diberikan oleh UUK, jelaslah bahwa defenisi utang harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya 61 Harta kekayaan debitor pailit dibagi secara (1) Pari Passu, yaitu harta kekayaan debitor dibagi secara bersama-sama di antara para kreditornya; (2) Prorata, yaitu sesuai dengan besarnya imbangan piutang masing-masing kreditor terhadap utang debitor secara keseluruhan. 62 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 10.
41 meliputi utang yang timbul dari perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjammeminjam, tetapi juga utang yang timbul karena undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang. 3. Jatuh waktu dan Dapat Ditagih Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditor sudah mempunyai hak untuk menuntut debitor untuk memenuhi prestasinya. Syarat ini menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan yang sempurna (adanya schuld dan hafting). Dengan demikian, jelas bahwa utang yang lahir dari perikatan alaamiah (adanya schuld tanpa haftung) tidak dapat dimajukan untuk permohonan pernyataan pailit. Misalnya utang yang lahir dari perjudian. Meskipun utang yang lahir dari perjudian telah jatuh waktu, hal ini tidak melahirkan hak kepada kreditor untuk menagih utang tersebut. Dengan demikian, meskipun debitur mempunyai kewajiban untuk melunasi utang itu, kreditor tidak mempunyai alas hak untuk menuntut pemenuhan utang tersebut. Dengan demikian, kreditor tidak berhak mengajukan permohonan pailit atas utang yang lahir dari perjudian. 63 Putusan pernyataan pailit membawa akibat hukum terhadap debitor, Pasal 21 UUK menentukan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Fred B.G. Tumbuan menyatakan bahwa melalui sita umum akan dihindari 63 Ibid, hal.11.
42 dan diakhiri sita dan eksekusi oleh para kreditor secara sendiri-sendiri. 64 Dengan demikian para kreditor harus bertindak secara bersama-sama (concursus creditorum) sesuai dengan asas yang ditetapkan dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Pembentuk undang-undang memandang perlu untuk memungkinkan adanya eksekusi massal dengan cara melakukan sitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditor yang bersangkutan yang dijalankan dengan pengawasan seorang Hakim Pengawas. Putusan kepailitan adalah bersifat serta merta dan konstitutif yaitu meniadakan keadaan dan menciptakan keadaan hukum baru. Dalam putusan hakim tentang kepailitan ada 3 (tiga) hal yang esensial yaitu: 65 a. Pernyataan bahwa si debitur pailit; b. Pengangkatan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari Hakim Pengadilan dan; c. Kurator Semenjak pengadilan mengucapkan putusan kepailitan dalam sidang yang terbuka untuk umum terhadap debitur, maka hak dan kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai boedelnya. Akan tetapi si pailit masih berhak melakukan tindakan-tindakan atas harta kekayaannya, sepanjang tindakan itu membawa/ memberikan keuntungan/ manfaat bagi boedelnya. Dalam hal debitur atau 64 Fred B.G. Tumbuan, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal.125. 65 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (UMM pres, 2008), hal.103.
43 kreditur tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan (BHP) bertindak selaku kurator. Secara umum akibat pernyataan pailit adalah sebagai berikut: 66 1. Kekayaan debitor pailit yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum atas harta pihak yang dinyatakan pailit. Menurut Pasal 21 UUK, kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. 2. Kepailitan semata-mata hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri pribadi debitur pailit. Misalnya seseorang dapat tetap melangsungkan pernikahan meskipun ia telah dinyatakan pailit. 3. Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan (Pasal 24 UUK). 4. Semua perikatan debitor yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit (Pasal 25 UUK). 5. Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para kreditor dan debitor dan hakim pengawas memimpin dan menguasai pelaksanaan jalannya kepailitan. 66 Sutan Remy Sjahdeni, op. cit., hal.255-256
44 6. Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator (Pasal 26 ayat (1) UUK). 7. Selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitor pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan (Pasal 27 UUK). 8. Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan (Pasal 55 ayat (1) UUK). Kreditor yang mempunyai hak untuk menahan benda milik debitor, tidak kehilangan hak karena ada putusan pernyataan pailit (Pasal 61 UUK). 9. Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan (Pasal 56 ayat (1) UUK). B. Kreditor dalam Kepailitan Pada dasarnya, kedudukan para kreditor adalah sama (paritas creditorum). Oleh karena itu, mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu prorate parte). Namun demikian, asas tersebut mengenal pengecualian yaitu golongan kreditor yang
45 memegang hak agunan atas kebendaan dan golongan kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan UUK dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian, asas paritas creditorum berlaku bagi para kreditor konkuren saja. 67 Berkenaan dengan hak kreditor yang memegang hak jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 UUK, Peraturan Perundang-undangan mengintroduksi suatu lembaga baru yaitu penangguhan pelaksanaan hak eksekusi kreditor tersebut, untuk jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari terhitung mulai tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, para kreditor tersebut dalam Pasal 56 ayat (1) hanya dapat melaksanakan hak mereka selaku kreditor separatis dengan persetujuan dari kurator atau hakim pengawas. Maksud diadakannya lembaga penangguhan pelaksanaan hak kreditor separatis adalah untuk memungkinkan kurator mengurus boedel pailit secara teratur untuk kepentingan semua pihak yang tersangkut dalam kepailitan, termasuk kemungkinan tercapainya perdamaian atau untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit. Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang peradilan. Baik kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang menjadi agunan. Dalam Pasal 56 ayat (2) penangguhan eksekusi tersebut tidak berlaku terhadap tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk memperjumpakan utang. 67 Fred BG. Tumbuan, Op. cit., hal.128.
46 Istilah kreditor juga sering kali menimbulkan multitafsir. Apalagi di era Undang-undang No.4 Tahun 1998, yang tidak memberikan definisi terhadap kreditor. Secara umum, ada 3 (tiga) macam kreditor yang dikenal dalam KUH Perdata yaitu sebagai berikut. 1. Kreditor Konkuren Kreditor konkuren ini diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Kreditor yang dikenal juga dengan istilah kreditor bersaing. Kreditor konkuren memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitur, baik yang telah ada maupun yang aka nada di kemudian hari, setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang kepada para kreditor pemegang hak jaminan dan para kreditor dengan hak istimewa secara proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing kreditor konkuren tersebut (berbagi secara pari passu prorate parte). 68 2. Kreditor Preferen Kreditor preferen yaitu kreditor yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh 68 Sutan Remy Sjahdeni, op. cit., hal.12.
47 undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. 69 Tentunya dalam hal tersebut utang pajak menduduki pada posisi status kreditor preferen seperti yang diuraiakan diatas, bahwa kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai hak istimewa yang dapat mengeksekusi langsung harta kekayaan wajib pajak atau penanggung pajak pailit tanpa menunggu putusan pengadilan serta mendapat hak mendahului dibanding dengan kreditor lainnya, yaitu suatu hak yang diberikan oleh undang-undang khusunya dalam kasus utang pajak undang-undang yang mengatur adalah UU KUP dan UU PPSP kepada seorang berpiutang atau biasa disebut dengan fiskus sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Untuk mengetahui piutang-piutang mana yang diistimewakan dapat dilihat dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata. Menurut Pasal 1139, piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu, antara lain: a. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun tidak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda tersebut terlebih dahulu dari pendapatan penjualan benda tersebut terlebih dahulu dari semua piutang lainnya yang diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula daripada gadai dan hipotek; 69 Kartini Muljadi, Kreditor Preferens dan Kreditor Separatis Dalam Kepailitan, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hal.164-165.
48 b. Uang sewa dari benda-benda tidak bergerak, biaya-biaya perbaikan yang menjadi kewajiban si penyewa, beserta segala apa yang mengenai kewajiban memenuhi persetujuan sewa; c. Harta pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar; d. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang; e. Biaya untuk melakukan suatu pekerjaan pada suatu barang, yang masih harus dibayar kepada seorang tukang; f. Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah penginapan sebagai demikian kepada seorang tamu; g. Upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan; h. Apa yang harus dibayar kepada tukang batu, tukang kayu dan lain-lain tukang untuk pembangunan, penambahan dan perbaikan benda-benda tidak bergerak, asal saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga tahun dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap pada si berutang; i. Penggantian serta pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya. Adapun Pasal 1149 KUH Perdata menentukan bahwa piutang-piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak pada umumnya adalah yang disebutkan dibawah ini, piutang-piutang mana dilunasi dari pendapatan penjualan benda-benda itu menurut urutan sebagai berikut:
49 a. Biaya-biaya perkara, yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya ini didahulukan daripada gadai dan hipotek; b. Biaya-biaya penguburan, dengan tidak mengurangi kekuasaan hakim untuk menguranginya, jika biaya itu terlampau tinggi; c. Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan; d. Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang kenaikan upah menurut Pasal 1602 q KUH Perdata. e. Piutang karena penyerahan bahan-bahan makanan yang dilakukan kepada si berutang beserta keluarganya, selama waktu enam bulan yang terakhir. f. Piutang-piutang para pengusaha sekolah berasrama, untuk tahun yang penghabisan; g. Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka. 3. Kreditor Separatis Kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak sendiri. Golongan kreditor ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit debitor, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor. 70 Kreditor golongan inidapat menjual sendiri barang-barang 70 Elijana Tansah, Kapita Selekta Hukum Kepailitan, (Jakarta: FH-Atmajaya, 2000), hal.9.
50 yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak ada kepailitan. Dari hasil penjualan tersebut, mereka mengambil sebesar piutangnya, sedangkan jika ada sisanya disetorkan ke kas kurator sebagai boedel pailit. Sebaliknya bila hasil penjualan tersebut ternyata tidak mencukupi, kreditor tersebut untuk tagihan yang belum terbayar dapat memasukkan kekurangannya sebagai kreditor bersaing (concurrent). 71 Sistem hukum jaminan Indonesia mengenal 4 (empat) macam jaminan, antara lain: a. Gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 Bab XX KUH Perdata, yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak. Dalam sistem jaminan gadai, seorang pemberi gadai (debitor) wajib melepaskan penguasaan atas benda yang akan dijaminkan tersebut kepada penerima gadai (kreditor). b. Hipotek yang diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Bab XXI KUH Perdata, yang menurut Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang berlaku untuk kapal laut yang memiliki ukuran minimal dua puluh meter kubik (20m 3 ) dan sudah didaftar di Syahbandar Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan, sehingga memiliki kebangsaan sebagai kapal Indonesia dan diperlakukan sebagai benda tidak bergerak. Sedangkan yang tidak terdaftar dianggap sebagai benda bergerak, sehingga berlaku ketentuan Pasal 1977 KUH Perdata. c. Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah berserta Benda-Benda yang Berkaitan 71 Erman Rajagukguk, Penyelesaian Utang Piutang, (Bandung: Alumni, 2001), hal.192-193.
51 dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di atas tanah. d. Jaminan Fidusia yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999. Undang-undang ini tidak memberikan rumusan positif mengenai kebendaan yang dapat dijaminkan secara fidusia. Pasal 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia, menetapkan bahwa jaminan fidusia tidak berlaku terhadap; 1) Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian bangunan di atas tanah milik orang lain yang tidak dibebani hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia; 2) Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20m 3 atau lebih; 3) Hipotek atas pesawat terbang; dan 4) Gadai Maka jelas bahwa jaminan fidusia meliputi seluruh kebendaan yang tidak dapat dijaminkan dengan tiga jenis jaminan kebendaan tersebut diatas. Dengan demikian, antara fidusia dan hak tanggungan, hipotek, dan gadai tidak akan berbenturan karena sudah memiliki kaplingnya sendiri-sendiri.
52 Jika terdapat kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi dari kedudukan kreditor separatis, kurator atau kreditor diistimewakan tersebut bahkan dapat meminta seluruh haknya secara penuh dari kreditor separatis yang diambil dari hasil penjualan aset jaminan utang, baik jika dijual oleh kreditor separatis sendiri ataupun jika dijual oleh kurator. C. Kedudukan Fiskus dalam Kepailitan Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, DJP mempunyai kewenangan untuk menagih utang pajak yang tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan tindakan penagihan aktif diperlukan manajemen administrasi pencairan piutang pajak. Dengan demikian diperlukan perencanaan penagihan yang terstruktur dan tindakan penagihan yang profesional sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak. Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut seperti yang termaktub dalam UU KUP Pasal 21 ayat (3a). Hal ini menetapkan
53 kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak terkait barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. 72 KUH Perdata telah menetapkan utang pajak untuk didahulukan daripada kreditor lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1137 KUH Perdata sebagai berikut Hak dari Kas Negara, Kantor lelang dan lain-lain badan umum yang dibentuk Pemerintah, untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu, dan jangka waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang khusus yang mengenai hal-hal itu. Dengan demikian maka menurut Pasal 1137 KUH Perdata tersebut maka kedudukan utang pajak sebagai pemegang hak istimewa dengan hak mendahulu yang merujuk pada pengaturan dalam undang-undang khusus, yaitu Undang-Undang Perpajakan. Suatu utang atau tagihan pajak harus dilunasi oleh wajib pajak atau Penanggung Pajak. Dengan adanya tagihan pajak, negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak tersebut atas barang-barang milik Penanggung Pajak, sebagaimana bunyi Pasal 21 ayat (1) UU KUP yakni Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak. Adapun maksud dari adanya hak mendahulu negara ini dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU KUP, yaitu untuk menetapkan kedudukan negara sebagai Kreditor preferen yang mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik 72 Irwan Aribowo, http://www.bppk.depkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/19557- kreditur-preferen-dalam-pajak,-apakah-sama-dalam-versi-kepailitan, diakses tanggal 28 agustus 2014
54 Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pelaksanaan hak mendahului negara atas utang pajak tersebut adalah dengan dilakukan pembayaran atas utang pajak terlebih dahulu, pembayaran kepada Kreditor lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Ketentuan tentang hak mendahului meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak. Termasuk dalam hal ini penjelasan yang ada di dalam Pasal 19 ayat (6) UU PPSP yang menyatakan sebagai berikut: "Ayat ini menetapkan kedudukan Negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barangbarang milik Penanggung Pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud, atau biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Hasil penjualan barang-barang milik Penanggung Pajak terlebih dahulu untuk membayar biaya-biaya tersebut di atas dan sisanya dipergunakan untuk melunasi utang pajak. Melihat uraian peraturan tersebut diatas, konteks negara sebagai kreditur preferen ini muncul ketika utang pajak dihadapkan pada barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dijual di muka umum. Pilihannya adalah untuk melunasi utang pajak terlebih dahulu ataukah melunasi kreditur lainnya yang juga memiliki hak atas penjualan barang-barang milik Penanggung Pajak.
55 Adanya perubahan pada UU KUP memperkuat posisi fiskus sebagai kreditor preferen terhadap pelunasan utang pajak dengan wajib pajak pailit, khususnya Pasal 21 mengalami penambahan ayat yaitu terletak pada ayat (3a), yang menyatakan bahwa dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, maka kurator atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit kepada pemegang saham atau Kreditor lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut. Namun demikian hak mendahulu negara telah dikecualikan untuk didahulukan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (3) UU KUP yang menyatakan bahwa kedudukan utang pajak adalah mendahulu dari hak mendahulu lainnya kecuali biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Hal ini sejalan dengan maksud dari KUH Perdata yang membedakan kedudukan hak atas pelunasan utang, sebagai berikut: 73 1. Gadai dan hipotik berada pada kedudukan lebih tinggi daripada kedudukan kreditor dengan hak istimewa; 2. Hak istimewa mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari gadai dan hipotek, jika dinyatakan demikian oleh Undang-Undang; 73 Albert Richi Aruan, kedudukan negara atas utang pajak PT. Artika Optima Inti dalam kasus kepailitan, (Undip: Tesis, 2010), hal.107.
56 3. Hak dari Kas Negara, Kantor Lelang, dan lain-lain badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu, dan jangka waktu berlangsungnya hak itu diatur di berbagai Undang-Undang khusus yang mengenai hal-hal itu; 4. Hak istimewa mengenai barang tertentu lebih tinggi kedudukannya daripada hak istimewa mengenai seluruh barang pada umumnya. Dari pembedaan kedudukan tersebut, mengenai utang yang diberikan kedudukan istimewa atau didahulukan tidak hanya diatur dalam KUH Perdata, melainkan dalam peraturan perundang-undangan lain yang merupakan lex specialis dari ketentuan dalam KUH Perdata yang sifatnya terbuka. Berdasarkan Pasal 21 (1) UU KUP maka kedudukan utang pajak merupakan suatu hak yang istimewa, dimana negara mempunyai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Demikian pula kaitannya dengan Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata yang menekankan adanya hak istimewa yang mempunyai tingkatan lebih tinggi dari orang yang berpiutang lainnya karena adanya peraturan perundangundangan. Kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu sebagaimana diatur secara khusus oleh UU KUP menyebabkan negara memiliki hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari kreditur separatis maupun kreditur konkuren dalam UU kepailitan.