BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN"

Transkripsi

1 15 BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 1. Guarantor dengan Personal Guarantee : 1.1 Definisi Guarantor is a person or entity that agrees to be responsible for another s debt or a performance under a contract, if the other fails to pay or perform. 21 Dalam peraturan Indonesia yakni BW istilah guarantor dikenal dengan nama penanggung utang. Istilah penanggungan utang terdiri dari dua kata yakni penanggungan dan utang. Pada Pasal 1820 BW definisi Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si debitor ketika debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya, sehingga dapat dikatakan pengertian penanggungan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban atau prestasi yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. 22 Sedangkan personal guarantee adalah penanggungan utang yang dilakukan oleh orang baik secara individu atau bersama-sama yang mengikatkan diri mereka secara pribadi. Definisi utang berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan dan PKPU yaitu: 21 by Gerald N. Hill and Kathleen T.Hill diakses pada 20 desember Salim H S, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada,Jakarta,2004, h.21 15

2 16 kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Apabila dikaitkan dengan Pasal 1234 BW dapat pula diklasifikasikan sebagai utang yaitu kewajiban untuk memberikan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu, baik itu yang menimbulkan kerugian dan juga yang tidak menyebabkan kerugian, 23 Contoh seperti: a. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada pembeli barang tersebut b. Kewajiban pembangun untuk membuat sebuah rumah dan menyerahkannya kepada pembeli rumah tersebut c. Kewajiban penyewa rumah untuk merawat rumah yang disewanya, tidak membongkar rumahnya atau merenovasi rumah yang disewanya d. Kewajiban penanggung (guarantor) untuk menjamin pembayaran kembali pinjaman debitor kepada kreditor. Apabila definisi utang dalam UU Kepailitan dan PKPU dikaitkan dengan Pasal 1234 BW adalah suatu prestasi. Prestasi dapat timbul dari perjanjian, undang-undang, dan Putusan Hakim. Prestasi adalah kewajiban debitor terhadap pemenuhan hak kreditor. Pada dasarnya guarantor tidak pernah memiliki utang kecuali debitor gagal membayar utangnya kepada kreditor dan harta debitor tidak 23 Adrian sutedi, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, h. 33

3 17 cukup untuk melakukan pembayaran utangnya, maka timbullah hak dan kewajiban guarantor yang berupa utang kepada kreditor. 1.2 Konsep Hubungan Keperdataan Kreditor, Debitor dan Guarantor Debitor berdasar Pasal 1 angka 3 UU Kepailitan dan PKPU adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan; Sedangkan yang dimaksud kreditor berdasar Pasal 1 angka 2 UU Kepailitan dan PKPU adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undangundang yang dapat ditagih di muka pengadilan, sehingga apabila pasal tersebut dikaitkan maka, dapat dikatakan debitor adalah pihak yang memiliki utang (prestasi) terhadap kreditor dan kreditor adalah pihak yang memiliki piutang (kontra prestasi ) terhadap debitor. Penanggungan dalam istilah bahasa Belanda disebut Borgtoch atau Personal Guarantee dalam bahasa Inggris, orangnya disebut sebagai Borg (istilah Belanda) atau Guarantor (istilah bahasa Inggris) atau Penanggung (istilah yang digunakan di Indonesia BW) adalah orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dengan mengikatkan diri kepada kreditor bahwa dia akan menanggung atau menjamin kewajiban Debitor terhadap perikatan yang terjadi diantara kreditor dan debitor. Jaminan perorangan ini dituangkan secara tegas dalam perjanjian personal guarantee antara pihak kreditor dengan seorang atau lebih guarantor sebagaimana diatur dalam Pasal 1820 BW yang menyebutkan

4 18 bahwa guarantor adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna kepentingan si kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si debitor, manakala dia tidak memenuhinya. Dari perumusan pasal tersebut, terdapat beberapa unsur terkait tentang perjanjian personal guarantee yaitu: a. Personal Guarantee merupakan suatu perjanjian b. Guarantor adalah pihak ketiga c. Guarantor diberikan demi kepentingan kreditor d. Guarantor mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitor jika debitor tidak memenuhi kewajibannya. Bentuk dari perjanjian personal guarantee adalah tidak dipersangkakan, tetapi harus diadakan dengan pernyataan yang tegas dan tidak diperbolehkan memperluas personal guarantee hingga melebihi ketentuan- ketentuan yang menjadi syarat saat perjanjian. 24 Namun dapat melebihi suatu perikatan pokok, yang meliputi segala akibat utangnya bahkan biaya-biaya gugatan yang dimohonkan terhadap debitor serta terhitung pula segala biaya yang dikeluarkan setelah si guarantor diperingatkan tentang itu. 25 perikatan para guarantor dapat beralih kepada ahli warisnyanya Pasal 1824 BW 25 Pasal 1825 BW 26 Pasal 1826 BW

5 19 Dalam melaksanakan kewajibannya, guarantor oleh undangundang diberi hak-hak tertentu yang sifatnya memberikan perlindungan bagi guarantor. Hak-hak guarantor tersebut menurut ketentuan peraturan perundang-undangan berupa : a. Hak untuk menuntut kembali (hak Regres) 27 Hak untuk menuntut kembali kepada debitor agar debitor membayar kembali apa yang sudah dibayarkan guarantor kepada kreditor sebesar jumlah yang dibayarkan. Hak ini disebut hak regres yang timbul karena diberikan oleh undang-undang. Penuntutan kembali ini didasarkan pada Pasal 1839 ayat (1) BW yang menyatakan bahwa si guarantor yang telah membayar dapat menuntutnya kembali dari yang berpiutang, baik personal guarantee itu telah diadakan dengan maupun tanpa pengetahuan si debitor. b. Hak guarantor menggantikan demi hukum semua hak- hak di kreditor kepada debitor guarantor yang telah membayar itu karena hukum bertindak menggantikan kedudukan kreditor mengenai hak-haknya terhadap si debitor. Pasal 1840 BW dinyatakan bahwa si guarantor yang telah membayar menggantikan demi hukum segala hak si berpiutang terhadap si berutang. Pergantian kreditor terjadi karena subrogasi. 28 Subrogasi adalah penggantian hak-hak si kreditor oleh seorang pihak 27 Trisadini, Op.Cit, h J. Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie dan Percampuran Utang, Alumni, Bandung, 1999,h.50

6 20 Ke tiga, yang membayar kepada kreditor itu, yang terjadi berdasarkan persetujuan maupun demi undang-undang. 29 c. Hak untuk membagi utang 30 Bila dalam perjanjian ada beberapa guarantor yang mengikatkan diri untuk menjamin satu debitor dan utang yang sama maka masingmasing guarantor terikat untuk seluruh utang, sehingga guarantor bertanggung jawab untuk menjamin seluruh utang. Adanya lebih dari seorang guarantor dapat berupa: Sesama Guarantor Pasal 1836 BW secara tegas menyebutkan adanya kemungkinan personal guarantee yang seperti itu. Kesemua guarantor tersebut mengikatkan diri kepada kreditor untuk menjamin debitor yang sama dan untuk perikatan tertentu yang sama. pada asasnya masing-masing guarantor dapat ditagih untuk seluruh utang debitor a. Guarantor khusus Terkait dengan adanya suatu perjanjian personal guarantee khusus yang menyimpang dari perjanjian personal guarantee yang umum. guarantor khusus dibedakan menjadi dua yaitu: b. Guarantornya-guarantor 29 Pasal 1400, 1401, 1402 BW 30 Pasal 1836 BW 31 Dini Nemandasari. Tanggung Gugat Pihak Penanggung (Borg) dalam Perjanjian Penanggungan Akibat Debitor Wanprestasi. Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2008.h.31

7 21 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1832 ayat (2) BW, yang menyebutkan bahwa orang dapat pula menjadi guarantor, bukan hanya untuk debitor melainkan juga untuk seorang guarantor yang terikat pada debitor (guarantor utama). Pada guarantornyaguarantor disini ada lebih dari seorang guarantor, guarantor yang kedua ini mengikatkan diri pada kreditor untuk menjamin bahwa guarantor utama akan memenuhi janjianya kepada kreditor. Guarantornya-guarantor tidak menjamin utang debitor. Konsekuensinya adalah kalau guarantornya-guarantor membayar prestasi guarantor, maka ia hanya mempunyai hak regres terhadap guarantor utama saja. guarantor utama mempunyai hak regres kepada debitor. Karena guarantornya-guarantor mengikatkan diri kepada kreditor, maka prinsipnya bisa menuntut guarantor utama maupun guarantornya-guarantor. 2. Guarantor kedua merupakan bentuk dari adanya lebih dari seorang guarantor, dimana ada orang yang mengikatkan diri kepada kreditor untuk menanggung pelaksanaan prestasi debitor dalam suatu perikatan yang sudah ditanggung oleh guarantor utama. Guarantor kedua ini mengikatkan diri untuk menanggung prestasi guarantor utama jika guarantor utama tidak mau melaksanakan kewajibannya. Beda guarantor utama dengan guarantornya-guarantor adalah bahwa guarantornya-guarantor menanggung prestasinya guarantor utama, sedangkan guarantor

8 22 kedua menanggung prestasi debitor, tetapi secara bersyarat, yaitu apabila guarantor utama tidak melaksanakan kewajibannya terhadap kreditor. Konsekuensi dari bentuk personal guarantee seperti ini adalah guarantor kedua memiliki hak regres, baik terhadap debitor maupun terhadap guarantor utama. 3. Hak untuk mengajukan tangkis gugat (Pasal 1849, 1845 BW) Guarantor dapat mempunyai hak untuk mengajukan tangkisan yang dapat dipakai debitor kepada kreditor mengenai utang itu sendiri. Tangkisan dapat diajukan misal perjanjian terjadi karena bertentangan dengan undang-undang, tata krama, atau ketertiban umum. Dapat juga berupa tangkisan karena ketentuan waktu, tagihan tersebut belum matang untuk ditagih. Hak yang dapat dikemukakan oleh guarantor tersebut diatur dalam Pasal 1847 BW dimana maksud ketentuan tersebut adalah guarantor dapat memakai semua tangkisan yang mengenai utang itu sendiri, yang bisa juga diajukan oleh debitor. Disini dibedakan antara tangkisan yang dapat dimajukan Debitor yang mengenai pribadi debitor itu sendiri dan yang mengenai utang itu sendiri. Tangkisan yang mengenai pribadi debitor misalnya: ketidakcakapan bertindak atau adanya kesempatan penundaan pembayaran, tangkisan karena adanya keadaan overmacht, dll. 32 Hak untuk mangajukan tangkisan yang mengenai sifat debitor tidak dapat diajukan oleh guarantor, ia hanya dapat mengajukan tangkisan 32 Ibid, h.29

9 23 yang mengenai utang itu sendiri, sehingga apabila guarantor tidak mengetahui dengan benar tangkisan tangkisan apa saja yang mungkin dimiliki debitor, maka jalan aman dalam hal ini ia dapat menggugat kerditor dengan meminta debitor membebaskan dirinya (dalam arti vrijwaren) Hak untuk menuntut terlebih dahulu (voorrecht van uitwinning) 34 Penaggung dapat menuntut pelunasan terlebih dahulu kepada kreditor terhadap harta debitor. Guarantor yang meminta kepada kreditor agar menyita dan melelang harta kekayaan debitor terlebih dahulu mempunyai kewajiban menunjukkan harta kekayaan debitor dan menyediakan biaya sita dan lelang. Si guarantor tidak dapat menuntut hak nya supaya harta debitior terlebih dahulu disita dan dilelang untuk melunasi hutangnya. Dalam hal: Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut dilakukannya lelang sita lebih dahulu atas harta benda debitor tersebut. 2. Apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitor secara tanggung menanggung, dalam hal ini akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas asas yang ditetapkan untuk utang-utang tanggung-menanggung. 3. Jika debitor mengajukan tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi 4. Jika debitor dalam keadaan pailit 5. Dalam halnya personal guarantee yang diperintahkan oleh hakim. 33 Ibid, h.31 sebgaimana mengutip J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi, Tentang Perjanjian Penanggungan dan Perikatan Tanggung Menanggung, Citra Aditya Bakti, Purwokerto, 1996, h Pasal 1831 BW 35 Ibid h.23

10 24 2. Hakikat kepailitan Kepailitan adalah upaya pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban para pihak khususnya kewajiban debitor terhadap hak-hak kreditor yang dipercayakan padanya. Pailit merupakan upaya terakhir yang dapat dimohonkan untuk mengajukan pembayaran utang dengan syarat mutlak adanya suatu utang dan terdapat dua atau lebih kreditor, 36 sehingga setiap orang maupun badan hukum yang memenuhi syarat pailit dapat dipailitkan Prinsip utama kepailitan, dalam penyelesaian utang dari debitor terhadap para kreditornya mengacu pada prinsip paritas creditorium, pari passu prorate parte, dan structured prorata. 37 Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor) bahwa kreditor memiliki hak yang sama terhadap semua harta benda debitor, dengan kata lain bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang barang dikemudian hari akan dimiliki debitor terikat pada penyelesaian kewajiban Debitor. 38 Prinsip paritas creditorium adalah bahwa yang menjadi jaminan umum terhadap utang-utang debitor hanya terbatas pada harta kekayaan debitor saja bukan aspek lainnya, seperti status pribadi dan hak-hak lainnya diluar 36 Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU 37 Hadi Shubhan, Op.Cit, h Ibid, h.27

11 25 harta kekayaan sama sekali tidak terpengaruh terhadap utang piutang debitor. 39 Prinsip pari passu prorata parte bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagi secara proporsional antara mereka, kecuali jika diantara para kreditor tersebut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus didahulukan pembayarannya. 40 Tujuan utama kepailitan adalah untuk melaukan pembagian antara para kreditor atas kekayaan debitor oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditor dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitor dapat dibagikan kepada semua kreditor sesuai dengan hak masing-masing. 41 Lembaga kepailitan pada dasarnya memiliki dua fungsi sekaligus yaitu sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditor bahwa debitor tidak akan berbuat curang dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utangutangnya kepada semua kreditor dan kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitor terhadap kemungkinan eksekusi masal oleh kreditor-kreditornya Ibid, h Ibid, h Arwakhudin Widiarso, Pembuktian Sederhana Dalam Perkara Kepailitan, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2009, h Ibid, h.20

12 26 Kepailitan merupakan proses legal untuk mengupayakan pembayaran utang melalui Pengadilan Niaga apabila debitor tidak sanggup atau tidak mau membayar utangnya. Namun saat ini banyak para pengusaha (kreditor dan debitor) memanfaatkan lembaga kepailitan dalam mengatasi permasalahannya melalui Personal Guarantee. Minimnya pengaturan yang khusus mengenai kedudukan, hak dan kewajiban guarantor dalam UU Kepailitan dan PKPU membuat Personal Guarantee disalahgunakan dan pada akhirnya dianggap bahwa kedudukan guarantor sama dengan debitor sehingga kreditor dapat menagih utang debitor langsung kepada guarantor tanpa menagih terlebih dahulu kepada debitor. 3. Kedudukan Personal Guarantee dalam proses kepailitan 3.1. pihak yang terkait dalam perkara pailit Pihak-pihak yang terkait dalam perkara kepailitan antara lain adalah : a. Pihak Pemohon Pailit Pihak pemohon pailit adalah pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. Berdasar pada Pasal 2 UU Kepailitan dan PKPU yang dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara pailit adalah: Syamsudin, Op.cit, h.99

13 27 1. Debitor: yang memperkirakan atau dapat memperkirakan bahwa dirinya tidak sanggup membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih 2. kreditor: baik kreditor konkuren, kreditor separatis, maupun kreditor preferen. kreditor preferen dan sparatis yang mengajukan permohonan pailit tidak kehilangan hak agunan atas kebendaan yang dimiliki dan juga tidak kehilangan haknya untuk didahulukan. 3. Kejaksaan : untuk kepentingan umum, 44 yakni kepentingan bangsa dan Negara, dan /atau kepentingan masyarakat luas sepanjang tidak ada pihak yang mengajukannya. 4. Bank Indonesia: apabila debitornya adalah bank 5. Badan Pengawas Pasar Modal: jika debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 6. Menteri Keuangan: dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik. b. Pihak Debitor Pailit Pihak debitor pailit adalah pihak yang memohon atau dimohonkan pailit ke Pengadilan Niaga yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Umum 44 Pasal 2 ayat (2) PP No 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pailit Untuk Kepentingan

14 28 Dalam hal ada personal guarantee, maka ada dua perjanjian yang berbeda tetapi berkaitan erat satu sama lain, yaitu perjanjian pokok yang dijamin dan perjanjian personal guarantee sebagai jaminan dari perjanjian poko. Pada perjanjian Pokok yang terlibat adalah debitor (A) dan kreditor (B). Debitor bertanggung jawab atas kewajiban/ prestasi dari suatu perikatan terhadap seluruh harta bendanya yang mana kekayaan debitor bisa dijual paksa dengan dieksekusi untuk diambil sebagai pelunasan. Pada perjanjian personal guarantee disamping adanya perjanjian pokok ada pula perjanjian accesoir atau perjanjian ikutan dimana ada pihak ke tiga (C) yaitu guarantor yang akan menanggung kewajiban dari (A) terhadap (B). A B : perjanjian pokok C B : perjanjian personal guarantee Dari skema yang ada maka terlihat ada dua debitor. A adalah debitor berdasar perjanjian pokok dan C adalah debitor berdasarkan personal guarantee. Walaupun perjanjian yang ada berdiri sendiri-sendiri, tapi memiliki kaitan yang erat terhadap pemenuhan hak kreditor B. c. Guarantor sebagai Pihak Ketiga guarantor seperti yang telah diuraikan di atas, dalam hubungan hukum antara kreditor dengan debitor sebenarnya berkedudukan sebagai pihak

15 29 ketiga, namun guarantor secara sukarela telah mengikatkan diri sebagai debitor kepada kreditor untuk prestasi yang sama. A B C Jadi guarantor juga berkedudukan sebagai debitor yang berdasar perjanjian personal guarantee bertanggung jawab dengan seluruh harta kekayaannya untuk pemenuhan perikatan pokok antara kreditor dan debitor, sehingga dapat dikatakan bahwa sesudah debitor wanprestasi maka kreditor memiliki dua orang debitor yang sama-sama bisa ditagih untuk seluruh utang dan pembayaran yang satu akan membebaskan yang lain. 3.2 Peran dan Tanggung Jawab Personal Guarantee Dalam rumusan Pasal 1820 BW suatu personal guarantee adalah perjanjian yang melahirkan perikatan yang bersyarat, yaitu perikatan dengan syarat tangguh sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1253 BW jo Pasal 1258 BW yaitu : Pasal 1253 BW Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih

16 30 belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa itu Pasal 1258 BW jika suatu perikatan tertanggung pada suatu syarat bahwa suatu peristiwa akan terjadi didalam suatu waktu tertentu, maka syarat tersebut dianggap tidak ada, apabila waktu tersebut telah lampau dengan tidak terjadi peristiwa tersebut. Jika waktu tidak ditentukan, maka syarat tersebut setiap waktu dapat terpenuhi, dan syarat itu tidak dianggap tidak ada sebelum ada kepastian bahwa peristiwa itu tidak akan terjadi Sebagai perjanjian yang melahirkan perikatan dengan syarat tangguh, maka kewajiban dari guarantor dalam suatu personal guarantee utang baru ada pada saat syarat yang disebutkan tersebut terjadi. Syarat tersebut berdasar pada Pasal 1820 BW adalah peristiwa cedera janji atau wanprestasi dari debitor dalam perikatan pokok yang ditanggung oleh guarantor tersebut. Untuk mengetahui kapan guarantor berkewajiban untuk melaksanakan perikatan, prestasi atau kewajibannya berdasarkan perjanjian personal guarantee maka harus diketahui kapan wanprestasi debitor dianggap terjadi. Perikatan berdasar Pasal 1234 BW diwujudkan dalam 3 macam yaitu : a. Kewajiban atau Prestasi untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu b. Kewajiban atau prestasi untuk melakukan atau berbuat sesuatu

17 31 c. Kewajiban atau prestasi untuk tidak melakukan atau untuk tidak berbuat sesuatu. Selanjutnya apabila memperhatikan ketentuan yang diatur dalam : Pasal 1236 BW Debitor adalah wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada Kreditor, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya. Pasal 1239 BW Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuat, apabila si debitor tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memeberikan penggantian biaya, rugi dan bunga. Pasal 1240 BW Dalam pada itu si kreditor adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia meminta supaya, dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si debitor; dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu. Pasal 1242 BW Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran itu dank arena itu pun saja, wajiblah ia akan penggantian biaya, rugi dan bunga. Dari beberapa Pasal di atas dapat diketahui bahwa setiap perikatan, baik yang terwujud dalam prestasi untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu, membawa pada kewajiban untuk mengganti dalam bentuk biaya, rugi dan bunga, jika perikatan tersebut tidak di penuhi oleh debitor. Penggantian dalam bentuk biaya,

18 32 rugi dan bunga adalah suatu bentuk prestasi yang merupakan kuantifikasi dalam jumlah tertentu yang dapat dinilai dengan uang. Ini berarti pada prinsipnya setiap perikatan membawa kepada suatu prestasi yang selalu dapat diukur dengan uang, apapun jenis atau macam prestasinya. Ini berarti pada dasarnya seluruh kewajiban atau prestasi adalah utang yang harus dipenuhi yang merupakan konsekuensi logis dari Pasal 1131 BW. Apabila melihat ketentuan Pasal 1243 BW dapat kita ketahui kapan wanprestasi atau cedera janji dianggap telah terjadi yaitu : a. Dalam hal ditetapkannya suatu waktu, maka dengan lewatnya waktu tersebut, debitor belum juga melaksanakan kewajibannya b. Dalam hal tidak ditentukan suatu waktu tertentu, maka setelah debitor diberitahukan mengenai saat pelaksanaan kewajiban atau prestasinya dan dalam hal debitor tidak juga melaksanakannya, telah ditegur dengan pantas oleh kreditor Namun perlu diperhatikan jika dibaca lebih lanjut mengenai ketentuan yang mengatur tentang penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan terdapat dua pasal pokok yang memberikan alasan pemaaf dan alasan pembenar bagi debitor yang tidak dapat melaksanakan prestasinya sesuai dengan kewajiban yang telah ditentukan dan pada saat yang telah ditetapkan, yaitu Pasal 1244 dan Pasal 1245 BW.

19 33 Dalam ketentuan yang diuraikan dalam Pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Ada alasan pembenar dan pemaaf yang merupakan alasan yang memungkinkan debitor yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai perikatan pokok, tidak diwajibkan untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. 2. Alasan pembenar dan pemaaf tersebut bersifat limitatif, dengan pengertian bahwa selain yang disebut dalam BW tidak dimungkinkan bagi debitor untuk mengajukan alasan lain yang dapat membebaskannya dari kewajiban untuk mengganti biaya, rugi dan bunga dalam hal debitor telah wanprestasi. Hal ini harus dibedakan dari suatu keadaan dimana kreditor tidak menuntut pelaksanaan penggantian biaya, rugi, dan bunga dari debitor yang telah wanprestasi. 3. Yang dimaksud dengan alasan pembenar adalah alasan yang berhubungan dengan ketidak mampuan obyektif untuk memenuhi perikatan yang ada. Sedangkan alasan pemaaf adalah alasan yang berhubungan dengan ketidak mampuan subyektif dalam memenuhi perikatan. 4. Alasan pembenar yang diperbolehkan adalah suatu keadaan memaksa atau kejadian yang tidak disengaja yang mengakibatkan debitor terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terhalang baginya. Yang 45 Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, h.98

20 34 dimaksud keadaan memaksa atau kejadian yang tidak disengaja ini adalah suatu alasan yang bersifat obyektif, yang dalam pandangan setiap orang, tidak hanya semata-mata debitor pribadi, dengan terjadinya peristiwa memaksa atau tidak terduga tersebut, tidak mungkin dapat melaksanakan perikatan yang telah ditetapkan. 5. Alasan pemaaf yang dapat dijadikan alasan adalah terjadinya suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, selama tidak ada itikad buruk kepadanya. Dalam konteks alasan pemaaf ini, unsur tidak dapat dipertanggung jawabakan kepada debitor memegang peran yang sangat penting, oleh karena alasan ini sematamata bergantung pada kemampuan subyektivitas dari debitor tersebut. Jadi jika debitor masih dapat dipertanggungjawabkan atas tidak dapat dipenuhinya kewajiban atau prestasi yang wajib dipenuhi olehnya tersebut, maka debitor berkewajiban untuk membayar ganti rugi, biaya dan bunga. Dengan ketentuan tersebut berarti debitor tidak diwajibkan utuk memberikan biaya, rugi dan bunga kepada kreditor, meskipun kreditor telah lalai melaksanakan kewajibannya. maka kemudian pertanyaan yang muncul adalah apakah dengan terjadinya suatu hal yang tak terduga, keadaan memaksa dan kejadian yang tak disengaja berdasar Pasal 1244 dan 1245 BW terhadap diri debitor, seorang guarantor juga dibebaskan dari kewajibannya untuk memenuhi prestasi atau kewajiban dalam perikatan pokok debitor yang ditanggung olehnya. Penggantian biaya, rugi

21 35 dan bunga tidak demi hukum membebaskan guarantor dari kewajibannya untuk memenuhi prestasi pokok debitor yang menjadi tanggungannya sepanjang tidak pula terjadi hal-hal sebagaimana dimaksud Pasal 1244 dan Pasal 1245 BW, tidak ada pembebasan utang oleh kreditor terhadap debitor sebagaimana yang diatur oleh Pasal 1381, 1438, dan 1442 BW. Guarantor dalam kasus kepailitan adalah debitor dari kewajiban untuk menanggung utang debitor (debitor dalam perjanjian pokok). Harta guarantor, baru akan digunakan untuk pemenuhan utang kepada kreditor ketika harta benda milik debitor telah disita dan di lelang terlebih dahulu tetapi hasilnya tidak mencukupi untuk membayar utangnya atau si debitor sudah tidak memiliki harta apapun, namun faktanya banyak kreditor maupun hakim yang memberikan beban prestasi atau kewajiban (yang sebenarnya adalah tanggung jawab debitor) kepada guarantor dengan mengabaikan adanya harta debitor. Dalam personal guarantee tidak ada benda tertentu yang diikat dalam perjanjian, yang diikat dalam perjanjian adalah kesanggupan pihak ketiga/ penanggung/ borg/ guarantor untuk memenuhi kewajiban debitor dalam memenuhi utangnya. Persoanal guarantee merupakan perjanjian ikutan sehingga hanya dapat dipertahankan terhadap orang yang terikat dalam perjanjian saja. Dari skema kedudukan personal guarantee sebelumnya, dapat diketahui sejauh mana tanggung jawab personal guarantee dalam suatu perkara kepailitan yaitu :

22 36 a. Ikut bertanggung jawab atas pembayaran utang debitor, karena guarantor telah menyetujui kewajiban untuk membayar utang ataupun ganti rugi kepada kreditor bila debitor wanprestasi mengakibatkan debitor tersebut dipailitkan. tetapi hal ini dapat dipenuhi oleh guarantor. 46 b. Dalam hal perkara pailit bertanggung jawab harus menunjuk pengganti dirinya baik itu secara sukarela atau berdasar putusan hakim, bila tidak mampu menjamin pembayaran utang debitor. 47 Dalam hal guarantor tidak mampu melakukan kewajibannya maka sebagai kreditor upaya dan tindakan yang dapat dilakukan adalah mengajukan tuntutan agar ditunjuk guarantor baru, dan apabila tidak berhasil menunjuk guarantor yang baru maka berdasar Pasal 1830 BW sebagai gantinya debitor atau guarantor yang ditunjuk oleh undang-undang maupun putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap memberikan jaminan gadai atau hipotik. c. Bertanggung jawab sebagai cadangan dalam hal harta debitor tidak mencukupi untuk melunasi utangnya. 48 Namun dalam Pasal 1832 BW terdapat pengecualian dari ketentuan Pasal 1831 BW yang membuat kerditor memiliki peluang untuk langsung dapat menuntut kepada guarantor untuk melaksanakan kewajibannya melunasi utang-utang 46 Pasal 1834 BW 47 Pasal 1829 BW 48 Pasal 1831 BW

23 37 debitor yang telah dilimpahkan kepadanya secara keseluruhan tanpa harus menjual harta benda debitor terlebih dahulu. 3.3 Pelepasan hak istimewa oleh Guarantor Dalam perjanjian personal guarantee adapun ketentuan-ketentuan ataupun janji-janji yang biasa dicantumkan dalam akta adalah : Janji agar guarantor melepaskan haknya untuk menuntut penjualan harta debitor lebih dahulu, 2. Janji agar guarantor melepaskan haknya untuk membagi-bagi utangnya, 3. Janji agar guarantor melepaskan haknya untuk diberhentikan dari prsonal guarantee, jika karena perbuatan kreditor mengakibatkan tidak dapat lagi menggantikan hak-haknya, hipotiknya dan hak-hak utama dari kreditor. 50 Tiga hal ini lazim digunakan dalam perjanjian personal guarantee. Dalam praktek pengadilan 51 guarantor dalam perjanjian personal guarantee disyaratkan melepaskan hak-hak istimewanya yang termaktub dalam Pasal 1430, 1431, 1821, 1831, 1833, 1837, 1843, 1847, 1848, 1849 BW. Pelepasan Hak-hak ini sangat mempengaruhi kedudukan guarantor dalam hal permohonan kepailitan oleh pihak yang terkait, karena dalam 49 Ali Bob Said, Hubungan Hukum Antara Penanggung Dengan Kreditor Dalam Perjanjian Penanggungan, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya,2005, h Pasal 1848 BW 51 Putusan Mahkamah Agung No. 419 K/ Pdt.Sus/2012, h. 14

24 38 prakteknya berdasar pelepasan hak-hak inilah kreditor langsung memohonkan pailit pihak Guarantor dan berdasar hal ini pula Hakim tertentu mengabaikan harta debitor meskipun sebenarnya harta Debitor cukup untuk melunasi utangnya kepada kreditor.

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI A. Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang mendahuluinya, yaitu

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT ( Putusan Pengadilan Niaga Jak.Pst Nomor : 1 / PKPU / 2006. JO Nomor : 42 / PAILIT /2005 ) STUDI KASUS HUKUM Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau membayar utangnya kepada kreditor, maka telah disiapkan suatu pintu darurat untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, sumber manusia termasuk juga perkembangan di sektor ekonomi dan bisnis. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. 2

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. 2 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya, 1 sedangkan kepailitan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial berkemampuan terbatas yang diciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial berkemampuan terbatas yang diciptakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial berkemampuan terbatas yang diciptakan oleh Allah Subhana Wa Ta ala sehingga saling bergantung satu sama lain. Keterbatasan kemampuan

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan.

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Utang piutang acap kali menjadi suatu permasalahan pada debitor. Masalah kepailitan tentunya juga tidak pernah lepas dari masalah utang piutang. Debitor tersebut

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit Dalam UUK dan PKPU disebutkan

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT 3.1. Klasifikasi Pemegang Jaminan Fidusia Atas Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Bilamana Debitor Pailit 3.1.1. Prosedur Pengajuan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN Riska Wijayanti 1, Siti Malikhatun Bariyah 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 51 BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 3.1 Kepailitan

Lebih terperinci

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya Lahirnya Undang-Undang Kepailitan yang mengubah ketentuan peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN 1.1 Hak Tanggungan 1.1.1 Pengertian Hak Tanggungan Undang-Undang Pokok Agraria menamakan lembaga hak jaminan atas tanah dengan sebutan Hak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain sebagai makhluk sosial dimana manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, sebuah dimensi

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN A. Kepailitan 1. Pengertian dan Syarat Kepailitan Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala yang berhubungan dengan pailit. Istilah pailit dijumpai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern ini, persaingan ekonomi di dunia sangatlah ketat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembang pesatnya makro dan mikro seiring dengan pertumbuhan unit-unit

Lebih terperinci

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Pada kasus hukum kepailitan, setiap debitor yang dinyatakan pailit akan dapat

Lebih terperinci

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN A. Pelaksanaan Penanggungan dalam Perjanjian Kredit di BPR Alto Makmur Bank Perkreditan Rakyat adalah bank

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang perkembangan dan perekonomian, dalam perekonomian banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian

Lebih terperinci

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA A. PENDAHULUAN Pada era globalisasi ekonomi saat ini, modal merupakan salah satu faktor yang sangat dibutuhkan untuk memulai dan mengembangkan usaha. Salah satu cara untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan dengan manusia lain. Salah

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Oleh Arkisman ABSTRAK Setelah dijatuhkannya

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA NO. URAIAN GADAI FIDUSIA 1 Pengertian Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor (si berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR A. Syarat dan Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang Diajukan Oleh Debitur Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (dalam tulisan ini, undang-undang

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. KEWENANGAN PIHAK KETIGA SEBAGAI PENJAMIN DALAM PERJANJIAN KREDIT 1 Oleh : Sarah D. L.

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. KEWENANGAN PIHAK KETIGA SEBAGAI PENJAMIN DALAM PERJANJIAN KREDIT 1 Oleh : Sarah D. L. KEWENANGAN PIHAK KETIGA SEBAGAI PENJAMIN DALAM PERJANJIAN KREDIT 1 Oleh : Sarah D. L. Roeroe 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kewenangan pihak ketiga dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA oleh Raden Rizki Agung Firmansyah I Dewa Nyoman Sekar Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Principle

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014 AKIBAT HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NIAGA TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Evie Sompie 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, ditegaskan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Akibat Kepailitan Secara Umum 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI Menurut ketentuan pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Dari kedua hal tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa salah satu

Lebih terperinci

Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kedudukan Personal Guarantor Yang Telah Melepaskan Hak Istimewanya Dalam Proses Kepailitan (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 868 K/ Pdt.Sus/ 2010) Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro Program Studi

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D101 07 022 ABSTRAK Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit. Tanpa perjanjian kredit yang

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. 103 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. Abdurrachman,1982, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, Pradnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada kreditor (si berpiutang)). Berdasarkan Hukum Positif Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. kepada kreditor (si berpiutang)). Berdasarkan Hukum Positif Indonesia, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor berhenti melakukan pembayaran atas utang-utangnya kepada para kreditornya. Ketidakmampuan debitor dalam melakukan pembayaran

Lebih terperinci

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339 KEWENANGAN MENJUAL SENDIRI (PARATE EXECUTIE) ATAS JAMINAN KREDIT MENURUT UU NO. 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN 1 Oleh: Chintia Budiman 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU 21 BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU Debitor yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya berada dalam kesulitan sehingga

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA, SH.MH 1 Abstrak : Eksekusi Objek Jaminan Fidusia di PT.Adira Dinamika Multi Finance Kota Jayapura

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu motif utama badan usaha meminjam atau memakai modal adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi jumlah maupun

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di Mekanisme Perdamaian dalam Kepailitan Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus PT. Pelita

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN Danik Gatot Kuswardani 1, Achmad Busro 2 Abstrak Pokok permasalahan yaitu: (1) Bagaimana

Lebih terperinci