BAB II HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA DALAM HUKUM KEPAILITAN. A. Klasifikasi Kreditor Dalam Hukum Kepailitan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA DALAM HUKUM KEPAILITAN. A. Klasifikasi Kreditor Dalam Hukum Kepailitan"

Transkripsi

1 BAB II HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA DALAM HUKUM KEPAILITAN A. Klasifikasi Kreditor Dalam Hukum Kepailitan Kepailitan merupakan suatu upaya hukum yang dilakukan baik oleh debitur maupun kreditur dengan maksud untuk menyelesaikan permasalah utangpiutang antara kreditor dengan debitor. Permohonan pailit ini selanjutnya diajukan ke Pengadilan Niaga dimana perusahaan tersebut berada. Permohonan ini harus memenuhi syarat seperti pada ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK). Sehingga dengan adanya lembaga kepailitan ini diharapakan dapat berfungsi untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak kreditur yang memaksa dengan berbagai cara agar debitur membayar utangnya. Dengan adanya upaya hukum kepailitan memungkinkan debitur membayar utang-utangnya itu secara tertib dan adil yaitu: 1. Dengan dilakukannya penjualan atas harta pailit yang ada yakni seluruh harta kekayaan yang tersisa dari debitur 2. Membagi hasil penjualan harta pailit tersebut kepada sekalian kreditur yang telah diperiksa sebagai kreditur yang sah masing-masing sesuai dengan: a. Hak prefrensinya dan b. Proporsional dengan hak tagihnya dibandingkan dengan besarnya tagihan kreditur konkuren lainnya. 57 Terdapatnya jumlah kreditur lebih dari satu tersebut sehingga pada saat akan dilakukan pembagian dari harta debitor tersebut, kurator akan melakukan rapat kreditor yang salah satu tujuan rapat ini untuk menentukan kedudukan para kreditor. Debitor pailit yang memiliki lebih dari seorang kreditor dan diantara kreditor tersebut terdapat satu atau lebih kreditor yang merupakan kreditor prefren, maka perlu diatur oleh hukum cara membagi hasil penjualan aset debitor diantara para kreditor tersebut. Cara pembagian itu diatur dalam hukum kepailitan 57 Rahayu Hartini, Op,Cit, hal 22

2 (Bankruptcy law atau Insolvency law) 58. Sehingga para kreditur tidak ada yang merasa dicurangi dan hak mereka untuk mendapat pembayaran utang dari si debitor dapat dilaksanakan. Terkait dengan adanya beberapa kreditur dalam perusahaan pailit, KUH Perdata mengatur tentang hak dan kedudukan masing-masing kreditur. Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa harta kekayaan debitor menjadi agunan bersama-sama bagi semua kreditornya hasil penjualan harta kekayaan itu dibagibagi menurut kesimbangan, yaitu menurut perbandingan besar-kecilnya tagihan masing-masing kreditor, kecuali apabila di antara para kreditor itu terdapat alasan yang sah untuk didahulukan dari pada kreditor lainnya 59. Pasal ini mengisyaratkan bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya. Pembagian hasil penjualan harta pailit dilakukan berdasarkan urutan prioritas, dimana kreditor yang kedudukannya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditor lain yang kedudukannya lebih rendah, dan antara kreditur yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata (pari passu prorata parte). 60 Berkaitan dengan kedudukan kreditor, dasar hukum kedudukan dalam kepailitan diatur dalam KUH Perdata dan UUK, yaitu sebagai berikut: a. Kreditor Separatis Kreditor separatis yaitu kreditor pemegang jaminan kebendaan berdasarkan Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata yaitu Gadai dan Hipotik. Dalam UUK kreditor separatis ini diatur pada Pasal 55 ayat 1 UUK yang menyebutkan setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. 61 Meskipun ketentuan Pasal 55 ayat 1 UUK memberikan kedudukan istimewa namun Pasal 56 UUK menentukan hak eksekusi tersebut dan hak pihak ke-tiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pailit diucapkan Sutan Remy Sjahdeini, Op, Cit, hal 9 59 Op, Cit, hal Yuoky Surinda, Otoritas Semu, diakses tanggal 13 Mei 2016 Pukul Wib. 61 Pasal 51 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 62 Suarmi, Op, Cit, hal 174.

3 Penjelasan dari pasal 56A UUK mengemukakan bahwa penangguhan yang dimaksud dalam pasal tersebut memiliki tujuan, antara lain : 1. Untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, atau 2. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit atau 3. Untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal 63 Hal ini mengarahkan bahwa walupun terjadinya pertentangan antara Pasal 55 dan 56A UUK, namun tujuannya dilakukan penangguhan atas jaminan kreditor tersebut adalah agar dalam hal pengurusan harta debitor pailit dapat dilaksanakan dengan baik dan tertib. Terkait dengan jaminan yang dilakukan penangguhan, di Indonesia mengenal 4 sisitem jaminan, yakni : 1. Gadai Pengertian gadai menurut Pasal 1150 KUHPerdata, yakni Suatu hak yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang bergerak yang bertubuh maupun tidak bertubuh yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biayabiaya mana harus didahulukan. 64 Dalam sistem jaminan gadai ini, seorang pemberi gadai (debitor) wajib melepasakan penguasaan atas benda yang akan dijaminkan tersebut kepada penerima gadai (kreditor). 2. Hipotek Jaminan Hipotek ini diatur dalam Pasal 1162 KUH Perdata yang menyebutkan hipotek merupakan suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. 65 Begitu juga menurut ketentuan pada Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang berlaku untuk kapal laut yang memiliki ukuran minimal dua puluh meter kubik (20m3) dan sudah didaftar di Syahbandar Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan, sehingga memiliki kebangsaan sebagai kapal Indonesia dan diperlakukan sebagai benda tidak bergerak. 63 Sutan Remy Sjahdeini, Op, Cit, hal Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 65 Pasal 1162 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

4 Sedangkan yang tidak terdaftar dianggap sebagai benda bergerak, sehingga berlaku ketentuan Pasal 1977 KUH Perdata. 3. Hak Tanggungan Hak tanggungan ini diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di atas tanah. 4. Jaminan Fidusia Jaminan ini diatur secara tegas pada Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 3 Undang-undang Jaminan Fidusia, menetapkan bahwa jaminan fidusia tidak berlaku terhadap; 1) Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas bendabenda tersebut wajib didaftar. Namun demikian bangunan di atas tanah milik orang lain yang tidak dibebani hak tanggungan berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia; 2) Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20m3 atau lebih; 3) Hipotek atas pesawat terbang; dan 4) Gadai Hal ini memperlihatkan bahwa jaminan fidusia meliputi seluruh kebendaan yang tidak dapat dijaminkan dengan tiga jenis jaminan kebendaan tersebut diatas. Sehingga antara fidusia dan hak tanggungan, hipotek, dan gadai tidak akan terjadi saling bersinggungan karena masing-masing memiliki aturan sendiri. b. Kreditor Prefren Kreditor preferen yaitu kreditor yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditor Preferen terdiri dari kreditor preferen khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata yakni, Piutang-piutang yang didahulukan atas barang-barang tertentu, ialah:

5 1. biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang bergerak atau barang tak bergerak sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan. Biaya ini dibayar dengan hasil penjualan barang tersebut, lebih dahulu daripada segala utang lain yang mempunyai hak didahulukan, bahkan lebih dahulu daripada gadai hipotek; 2. uang sewa barang tetap, biaya perbaikan yang menjadi kewajiban penyewa serta segala sesuatu yang berhubungan dengan pemenuhan perjanjian sewa penyewa itu dibayar; 3. biaya untuk menyelamatkan suatu barang; 4. biaya pengerjaan suatu barang yang masih harus dibayar kepada pekerjanya; 5. apa yang diserahkan kepada seorang tamu rumah penginapan oleh pengusaha rumah penginapan sebagai pengusaha rumah penginapan; 6. upah pengangkutan dan biaya tambahan lain; 7. apa yang masih harus dibayar kepada seorang tukang batu, tukang kayu dan tukang lain karena pembangunan, penambahan dan perbaikan barang-barang tak bergerak, asalkan piutang itu tidak lebih lama dari tiga tahun, dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap ada pada si debitur; 8. penggantian dan pembayaran yang dipikul oleh pegawai yang memangku jabatan umum karena kelalaian, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya 66 Kreditor preferen umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUH Perdata menyatakan piutang-piutang atas segala barang bergerak dan barang tak bergerak pada umumnya adalah yang disebut di bawah ini, dan ditagih menurut urutan berikut ini: 66 Pasal 1139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

6 a. biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan penyelamatan harta benda; ini didahulukan daripada gadai dan hipotek; b. biaya penguburan, tanpa mengurangi wewenang Hakim untuk menguranginya, bila biaya itu berlebihan; c. segala biaya pengobatan terakhir; d. upah para buruh dari tahun yang lampau dan apa yang masih harus dibayar untuk tahun berjalan, serta jumlah kenaikan upah menurut Pasal 160 cq; jumlah pengeluaran buruh yang dikeluarkan/ dilakukan untuk majikan; jumlah yang masih harus dibayar oleh majikan kepada buruh berdasarkan Pasal 1602 v alinea keempat Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini atau Pasal 7 ayat (3) "Peraturan Perburuhan Di Perusahaan Perkebunan" ; jumlah yang masih harus dibayar oleh majikan pada akhir hubungan kerja berdasarkan Pasal 1603 s bis kepada buruh; jumlah yang masih harus dibayar majikan kepada keluarga seorang buruh karena kematian buruh tersebut berdasarkan Pasal 13 ayat (4) "Peraturan Perburuhan Di Perusahaan Perkebunan"; apa yang berdasarkan "Peraturan Kecelakaan 1939" atau "Peraturan Kecelakaan Anak Buah Kapal 1940" masih harus dibayar kepada buruh atau anak buah kapal itu atau ahli waris mereka beserta tagihan utang berdasarkan "Peraturan tentang Pemulangan Buruh yang diterima atau dikerahkan di luar Negeri"; e. piutang karena penyerahan bahan-bahan makanan, yang dilakukan kepada debitur dan keluarganya selama enam bulan terakhir; f. piutang para pengusaha sekolah berasrama untuk tahun terakhir;

7 g. piutang anak-anak yang masih di bawah umur atau dalam pengampuan wali atau pengampuan mereka berkenaan dengan pengurusan mereka, sejauh hal itu tidak dapat ditagih dari hipotek-hipotek atau jaminan lain yang harus diadakan menurut Bab 15 Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini, demikian pula tunjangan untuk pemeliharaan dan pendidikan yang masih harus dibayar oleh para orangtua untuk anak-anak sah mereka yang masih di bawah umur. 67 Ketentuan lain juga ditegaskan pada: 1. Pasal 1137 KUH Perdata 2. Pasal 21 ayat (3) Undang-undang 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang menyebutkan negara mempunyai hak mendahului untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung pajak. Ketentuan tentang hak mendahului sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat 1 UU KUP meliputi pokok pajak, bunga, dengan, administrasi, kenaikan, dan biaya penagihan. 68 Artinya dalam kreditor preferen ini, hak mereka didahulukan dibanding dengan kreditur lainnya, sehingga kreditor ini mendapat pembayaran didahulukan. c. Kreditur Konkuren Kreditur konkuren yaitu kreditur yang tidak termasuk golongan kreditur separatis atau golongan prefren. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dari sisa hasil penjualan/pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan separatis dan golongan prefren. Sisa hasil penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditor konkuren (Pasal 1132 KUH Perdata) 69. Pasal ini menyebutkan bahwa Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi 67 Pasal 1149 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 68 Sunarmi, Op,Cit, hal Ibid, hal 153.

8 menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan 70 Kreditor ini harus berbagai dengan para kreditor yang lain secara proposional, atau disebut juga secara pari passu yaitu menurut perbandingan besarannya masing-masing tagihan mereka, dari hasil penjualan harta kekayaan debitor yang tidak dibebani dengan hak jaminan. 71 Sehingga pembagian hasil dari penjualan harta debitor pailit akan dicukupkan pada kreditor ini dengan menganut sistem para passu, setelah terlebih dahulu dilakukan pembayaran kepada kreditur prefren dan separatis. B. Kedudukan Hak Negara Dalam Kepailitan a. Menurut Undang-undang Pajak Keberadaan negara dalam perusahaan pailit yakni melakukan penagihan pajak yang menjadi hak negara. Penagihan pajak pada perusahaan pailit di lakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak ( DJP ), yang pelaksanannya berdasarkan aturan hukum yakni pada Undang-undang 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), dan Undang-undang 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU PSP). Penagihan pajak dan hak mendahului negara di atur pada Pasal 21 UU KUP yang menyebutkan : 1. Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak 2. Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak. 3. Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap: a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak; 70 Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 71 Sutan Remy Sjahdeini, Op, Cit, hal 280

9 b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. 72 Pada saat melakukan penagihan pajak pada perusahaan pailit maka kurator yang akan melaksanakan kewajiban dari debitor yang sudah dinyatakan pailit untuk melakukan pembayaran utang pajak debitor pailit. Ketentuan penagihan pajak pada pasal 21 ayat 1 UU KUP yang secara tegas menekankan bahwa negara memiliki hak mendahulu untuk utang pajak. Sehingga pasal ini memberi posisi atau status kepada negara sebagai kreditur prefren. Lebih lanjut jika ketentuan Pasal 21 ayat 1 UU KUP ini dikaitkan dengan Pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata, yang juga melakukan penekanan adanya hak istimewa yang mempunyai tingkatan lebih tinggi dari orang yang berpiutang lainnya karena adanya peraturan perundang-undangan. Kedudukan negara sebagai kreditur prefren ini dinyatakan mempunyai hak mendahului seperti yang diatur secara khusus pada UU KUP yang menyebabkan negara memiliki hak mendahulu atas barang-barang milik penanggun pajak dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kreditur separatis dan konkuren seperti yang telah diatur dalam UU kepailitan. Kemudian Pasal 21 ayat 3(a) UU KUP, menyatakan wajib pajak yang dinyatakan pailit atau dilikusidasi, maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut 73. Pasal ini kembali menekankan agar badan atau orang yang melaksanakan tugas pada wajib pajak yang dinyatakan pailit atau dilikuidasi dilarang membagikan harta wajib pajak tersebut sebelum melakukan pembayaran utang pajak kepada negara. Kedudukan hak negara dalam kepailitan ini juga dipertegas pada Pasal 19 ayat 5, dan 6 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa yang menyebutkan Pengadilan Negeri atau instansi lain yang 72 Pasal 21 Undang-undang Nomot 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan. 73 Pasal 21 ayat 3(a) Undang-undang Nomot 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan.

10 berwenang menentukan pembagian hasil penjualan barang dimaksud berdasarkan ketentuan hak mendahulu Negara untuk tagihan pajak. 74 Lebih lanjut dalam penjelasannya kedudukan Negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang sematamata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud, atau biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Hasil penjualan barang-barang milik Penanggung Pajak terlebih dahulu untuk membayar biayabiaya tersebut di atas dan sisanya dipergunakan untuk melunasi utang pajak. Kedudukan negara ini sebagai kreditur prefren bukan berarti penagihan pajaknya tidak ada batasan waktu dalam penagihannya. Pasal 21 ayat 4 UU KUP menyatakan Hak negara dalam perusahaan pailit dapat hilang setelah 5 tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Walaupun negara berstatus sebagai kreditur prefren, namun hak nya dapat hilang, jika negara dalam melakukan penagihan pajak terlambat melakukan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan pasal ini. Berkaitan dengan kedudukan negara yang diistimewakan ini bukan tidak berdasarkan alasan yang mendasar mengapa negara harus mendapat pembayaran atau pelunasan utang pajak yang wajib didahulukan dibanding dengan kreditur separatis dan konkuren dalam kepailitan. Pembayaran pajak ini didahulukan karena pemerintah dalam melaksanakan tugasnya untuk mencapai masyarakat yang sejahtera adil dan makmur, membutuhkan anggaran yang besar. Dana yang didapat pemerintah digunakan untuk melakukan pembangunan infrastruktur, fasilitas pelayanan publik dan lainnya. Sehingga dengan dilakukannya pembangunan yang merata pada seluruh daerah, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal ini berdasarkan teori tujuan negara, dimana negara memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya sesuai dengan amanah Undangundang Dasar Dimana berdasarkan kepentingan publik ini sehingga kedudukan negara harus didahulukan untuk melakukan penagihan pajak pada Surat Paksa. 74 Pasal 19 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan

11 perusahaan pailit dibanding dengan kepentingan pribadi atau individu ataupun perusahaan yang menjadi kreditur. 75 b. Menurut Undang-undang Kepailitan Kedudukan hak negara yakni melakukan penagihan pajak para perusahaan yang sudah dinyatakan pailit. Dalam kepailitan, kedudukan negara berada pada status kreditur prefren. Seperti yang sudah di jelaskan diatas bahwa, hak negara dalam melakukan penagihan pajak diistimewakan dan didahulukan pembayarannya dibanding para kreditur lainnya dalam perusahaan yang dinyatakan pailit. Menurut undang-undang kepailitan yakni pada Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kewajiban dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur tentang kedudukan hak negara. Dalam hal ini melakukan penagihan pajak pada debitor pailit atau kurator yang mewakili wajib pajak tersebut. Pasal 41 UUK menyebutkan: a. Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. b. Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. c. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang. 75 Muhammad Djafar Saidi, Pembaharuan Hukum Pajak, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal 187

12 Kemudian pada penjelasan pada Pasal 41 ayat 3 UUK disebutkan bahwa perbuatan yang wajib dilakukan karena undang-undang misalnya kewajiban membayar pajak. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam UUK mengakui tentang keberadaan negara pada perusahaan pailit untuk melakukan penagihan pajak pada wajib pajak yakni debitor pailit. Pasal ini menekankan bahwa kewajiban pajak merupakan perbuatan yang wajib dilakukan pada perusahaan pailit. Sehingga keberadaan negara berada pada posisi sebagai kreditur prefren. Hal ini juga disampaikan Jun Cai yang berpendapat bahwa dalam kepailitan hak tagih negara masuk dalam kreditur prefren sehingga pembayaran utang tersebut wajib dilakukan oleh kurator 76 Kemudian terkait pajak yang dimaksud lahir karena undang-undang seperti pada penjelasan Pasal 41 ayat 3 UUK memberi penegasan bahwa utang pajak hanya dapat timbul karena undang-undang dan tidak mungkin pajak timbul karena perjanjian. Jika undang-undang yang menjadi dasar untuk pemungutannya telah ada, maka selanjutnya harus dipenuhi syarat-syarat objektif yang ditentukan oleh undang-undang secara bersamaan (simultan). Syarat objektif dipenuhi apabila Tatbestand yang disebut oleh undang-undang dipenuhi. Tatbestand dapat berupa: a. Perbuatan b. Keadaan atau c. Peristiwa. 77 Selanjutnya terkait penjelasan Pasal 41 ayat 3 UUK diatas, pada Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata yakni pada Pasal 1352 KUH Perdata menyebutkan bahwa Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dan undang-undang sebagai undang-undang atau dan undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Berdasarkan pasal ini dapat diartikan secara ajaran materil bahwa utang pajak menurut dasar itu timbul dengan sendirinya karena pada saat yang ditentukan oleh undang-undang (PPh pada ahkir tahun) sekaligus dipenuhi syarat subjek dan syarat objek. Artinya bahwa untuk timbulnya utang pajak itu tidak diperlukan campur tangan atau perbuatan dari pejabat pajak, asal syaratsyarat yang ditentukan oleh UU yang telah dipenuhi. 76 Hasil wawancara dengan Jun Cai, Kurator di Medan, pada tanggal 2 Juni 2016, Pukul Wib. 77 Rachmat Soemitro, Asas Dan Dasar Perpajakan 2, (Bandung : PT Refika Aditma, 1998), hal 2

13 Sedangkan menurut ajaran formil, utang pajak timbul karena undangundang pada saat dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh Direktorat Jendral Pajak. Jadi selama belum ada SKP maka belum ada utang pajak dan tidak akan dilakukan penagihan walaupun syarat subjek dan syarat objek telah dipenuhi bersamaan. 78 Kedua ajaran ini tetap digunakan di Indonesia, dimana dalam melakukan penagihan Pajak Pertambahan Nilai menggunakan ajaran materil, sementara untuk Pajak Bumi dan Bangunan menggunakan ajaran formil. 79 Berkaitannya penjelasan kedudukan hak negara dalam kepailitan, baik menurut UUK dan sejalan dengan UUD 1945 begitu juga dengan Kitab Undangundang Hukum Perdata, melihat bahwa aturan dalam hal melakukan penagihan pajak sudah jelas. Ini memperlihatkan bahwa Negara mendudukan Hukum sebagai panglima tertingggi dalam suatu negara. Sehingga utang pajak yang timbul dari wajib pajak mucul karena undang-undang yang telah ada mengatur. Hal ini tentu saja memudahkan petugas untuk melaksanakan tugasnya dalam hal menagih pajak pada perusahaan yang telah dinyatakan pailit. C. Hak dan Kewajiban Negara Menagih Pajak Perusahaan Pailit Pada perusahaan pailit, terdapat beberapa kreditur yang selanjutnya dalam Undang-undang Kepailitan diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yakni kreditur separatis, konkuren, dan preferen. Para kreditur ini selanjutnya memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan penagihan utang pada kurator. Hak dan kewajiban ini mulai ada saat para kreditor mengetahui bahwa debitor sudah dinyatakan pailit oleh pengadilan. Sebelum sampai pada pembahasan hak dan kewajiban kreditur, terlebih dahulu diuraikan mengenai klasifikasi hukum. Dilihat dari segi kepentingannya maka diatur ada dua macam hukum yaitu hukum publik dan privat. Ada dua alasan dilakukan pembedaan tersebut, alasan pertama, negara berfungsi untuk melaksanakan kehendak rakyatnya. Negara dibentuk untuk menjaga terpeliharanya kehidupan berbangsa, melindungi warga negaranya dari serangan musuh dari luar, meningkatkan kesejahteraan sosial dan memperdayakan warganya. 80 Alasan kedua adalah mengenai hubungan yang diaturnya. Kepentingankepentingan yang diatur oleh hukum dapat dibedakan antara kepentingan umum dan kepentingan khusus. Kepentingan umum berkaitan dengan kebersamaan 2015), hal Ibid, hal 3 79 Ibid, hal 4 80 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Prenadamedia Group,

14 dalam hidup bermasyarakat. Sebaliknya dalam suatu kehidupan bermasyarakat, warga masyarakat mempunyai kebebasan untuk mengadakan hubungan diantara sesamanya. Dalam hubungan tersebut, yang terlibat adalah kepentingan mereka yang mengadakan hubungan dalam hal ini disebut kepentingan khusus. Kepentingan ini selanjutnya diatur oleh hukum privat. 81 Pertama kali melakukan pembagian tersebut adalah Ulpianus, Huius studii duae sunt positiones, publicum et privatum. Publicum ius est quod ad statum rei romane spectat, privatum quod ad singulorum utilitatem: sunt enim quaedam publice utilia, quaedam privatum. 82 Dari ungkapan ini dapat ditafsirkan bahwa ius publicum atau hukum publik berkaitan dengan fungsi negara, sedangkan hukum privat berkaitan dengan kepentingan individu. Hukum publik lazimnnya dirumuskan sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum dan mengatur hubungan penguasa dengan warga negaranya. Hukum publik ini adalah keseluruhan peraturan yang merupakan dasar negara dan mengatur pula bagaimana caranya negara melaksanakan tugasnya, jadi merupakan perlindungan kepentingan negara. Oleh karena memperlihatkan kepentingan umum, maka selanjutnya pelaksanaan hukum publik dilakukan oleh penguasa. 83 Adapun hukum perdata atau privat adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan satu dengan yang lainnya dalam hubungan keluarga dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanannya diserahkan masing-masing pihak. 84 Jadi hukum perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang objeknya ialah kepentingan-kepentingan khusus dan yang soal akan dipertahankannya atau tidak diserahkan kepada yang berkepentingan. 85 Kemudian lebih lanjut terkait hukum privat, maka hukum bisnis merupakan perkembangan hukum perdata, jika titik berat hukum perdata adalah masalah-masalah bersifat pribadi. Pada hukum bisnis yang menjadi fokus pengaturan adalah hubungan individu dengan individu lainnya dalam rangka sama-sama mencari keuntungan. Adapun yang menjadi cakupan hukum bisnis adalah hukum kontrak, hukum perseroaan, hukum pasar modal, hukum 81 Ibid, hal Ibid, hal 181, Terjemahan bebasnya adalah studi hukum meliputi dua bidang, yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum publik adalah hukum yang berkaitan dengan pengaturan negara Romawi, hukum privat berkaitan dengan kepentingan orang secara individual: sebenarnya, yang satu melayani kepentingan masyarakat dan yang lain melayani kepentingan individu. 83 Abdul Manif, Studi Mengenai Perikatan Dengan Syarat Batal Karena Wanprestasi Yang Diikuti Dengan Pengesampingan Pasal 1126 dan Pasal 1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Disertasi Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2016, hal Ibid, 85 L.J Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, ( Jakarta: Pradnya Paramita, 1973), hal. 186.

15 ketenagakerjaan, hukum perbankan, dan lainnya. 86 Hal ini mengandung pengertian bahwa kepentingan bisnis dipandang sebagai kepentingan khusus dan bukan kepentingan umum. Akan tetapi tidak sama halnya dengan kepentingan ekonomi masih dipandang sebagai kepentingan umum, oleh karena itu maka hukum ekonomi masuk dalam wilayah kepentingan publik. 87 Seorang ekonom Inggris, Keynes melegitimasi peranan pemerintah dalam aktifitas ekonomi, maksud Keynes adalah untuk menyelamatkan sistem ekonomi pasar. Oleh karena itu kegiatan ekonomi selain yang berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan pencegahan pengangguran masih dipandang sebagai kepentingan khusus. 88 Selanjutnya perbedaan antara hukum publik dan hukum privat juga terletak pada hubungan hukum. Seperti hubungan hukum antara negara dengan individu yang berkaitan dengan kenegaraan seperti kewarganegaraan, partai politik, dan pemilihan umum merupakan hubungan bersifat politis. Hubungan berifat sosial adalah hubungan antara negara dengan individu dalam rangka mempertahankan ketertiban umum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian yang terahkir hubungan yang bersifat adminstratif adalah hubungan antara negara dengan individu dalam rangka individu melakukan tindakan yang memerlukan persetujuan dari negara karena apa yang dilakukan itu berkaitan dengan permeliharaan kepentingan umum. Hubungan administratif dapat juga berarti sebaliknya, yaitu negara menetapkan kewajiban kepada individu untuk melakukan sesuatu demi pemeliharaan kepentingan umum, seperti pembayaran pajak. Hukum yang mengatur hubungan-hubungan tersebut masuk ke dalam hukum publik. Berdasarkan pandangan ini, hukum tata negara, hukum pidana, hukum acara pidana, hukum administrasi, dan hukum tata usaha negara merupakan hukum publik. Adapun di luar itu merupakan hukum privat. 89 Kemudian jika dilihat dari segi bekerjanya aturan hukum, hukum dapat dibedakan antara hukum yang bersifat pemaksa (dwingerecthts, obligatory Law) dan hukum yang bersifat pelengkap atau mengatur (aanvullenrecht, optical Law). 90 Kata memaksa dalam ini dimaksudkan bahwa pembuat undang-undang tidak memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk menerapkan atau tidak menerapkan aturan itu. Dengan perkataan lain, aturan ini tidak boleh disampingi 86 Peter Mahmud Marzuki, Op,Cit, hal Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal Abdul Munif,Op,Cit. hal.101

16 oleh mereka yang melakukan hubungan hukum. Ketentuan yang bersifat memaksa itu berlaku bagi para pihak yang bersangkutan maupun hakim itu harus diterapkan meskipun para pihak mengatur sendiri hubungan mereka. 91 Hukum yang memaksa juga disebut hukum yang memerintah atau hukum yang mutlak dimana maksud peraturan-peraturan untuk mana orang-orang yang berkepentingan tidak boleh menyimpang dengan jalan perjanjiannya. Hukum yang memaksa mengikat dengan tiada bersyarat, artinya tak peduli adakah para pihak yang berkepentingan menghendakinya atau tidak. 92 Sedangkan maksud dari hukum yang bersifat mengatur adalah hukum itu akan dijadikan acuan bagi para pihak manakala para pihak tidak membuat sendiri aturan yang berlaku bagi hubungan mereka. Hal ini memberikan disposisi kepada para pihak dan mengisi kekosongan aturan untuk hal-hal yang tidak diatur oleh para pihak, akan tetapi para pihak tersebut dapat menetapkan sendiri bahwa mereka ingin menyimpangi aturan-aturan itu, dan menetapkan sendiri aturanaturan yang berlaku bagi hubungan mereka. 93 Menurut Pitlo, dasar kriteria apa yang membuat ketentuan bersifat memaksa atau melengkapi (mengatur). Pertama kali ditentukan suatu aturan yang menyangkut kepentingan umum, bersifat memaksa. Dengan hal lain dapat digolongkan ke dalam golongan hukum publik yang hampir selalu memaksa. Ini juga berlaku untuk aturan-aturan yang sifatnya campuran antara hukum perdata dan hukum publik. 94 Pembedaan ketentuan yang bersifat memaksa dan ketentuan yang bersifat mengatur hanya terjadi pada hukum privat. Pada hukum publik tidak terdapat pembedaan semacam itu. Dengan perkataan lain bahwa dalam hukum publik besifat memaksa. Kemudian jika untuk ketentuan hukum perdata tidak dapat semua aturan digolongkan pada hukum yang bersifat mengatur atau melengkapi. Pada hukum perdata khususnya yang berkaitan dengan hukum perikatan sebagaimana diatur pada buku III KUHPerdata, tidak lalu berarti semua pada ketentuan ini bersifat mengatur atau melengkapi, namun ada sebagian yang bersifat memaksa. 95 Maka perbedaan antara hukum publik dan hukum privat tidak lain pada hukum publik itu telah a proiri memaksa sedangkan hukum privat tidak a priori memaksa. Tetapi apabila para pihak tidak mampu menggunakan kemerdekaan 91 Peter Mahmud Marzuki, Op, Cit, hal L.J Van Apeldorn, Op,Cit, hal Ibid, hal Abdul Munif,Op,Cit. hal Ibid, hal.104.

17 mereka supaya menyelesaikan soal mereka berdasarkan suatu peraturan sendiri, maka hukum privat pun memaksa. 96 Terkait uraian tentang klasifikasi hukum dari segi kepentingan yakni antara hukum publik dan privat, dan begitu juga dari segi sifatnya antara hukum yang bersifat memaksa dan mengatur atau pelengkap, maka selanjutnya hak dan kewajiban para kreditur pada perusahaan pailit dapat ditentukan. Hak dan kewajiban kreditur pada perusahaan pailit telah diatur dalam UUK. Kreditur dalam perusahaan pailit di klasifikasikan menjadi 3 bagian yakni kreditur konkuren, separatis, dan preferen. Adapun yang menjadi hak dan kewajiban kreditur adalah : Hak kreditur berdasarkan UUK : 1. Menerima surat tentang adanya daftar sebagimana dimaksud Pasal 119 UUK, kepada kreditor yang dikenal, disertai panggilan untuk menghadiri rapat pencocokan utang (Pasal 120 UUK) 2. Meminta agar kurator memberikan keterangan mengenai tiap piutang dan penempatannya dalam daftar, atau dapat membantah kebenaran piutang, adanya hak untuk didahulukan, hak untuk menahan suatu benda, atau dapat menyetujui bantahan kurator. (Pasal 124 ayat 2 UUK) 3. Menerima surat keterangan mengenai sumpah yang telah diucapkannya, kecuali apabila sumpah tersebut diucapkan dalam rapat kreditur oleh hakim pengawas. ( Pasal 125 ayat 3 UUK) 4. Menerima laporan mengenai keadaan harta pailit dan selanjutnya kepada kreditor wajib diberikan semua keterangan yang diminta oleh kurator. (Pasal 143 ayat 1 UUK) 96 E.Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,(Jakarta: PT.Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar,1966) hal 56.

18 5. Menerima pembayaran atau pelunasan utang debitur pailit dari kurator. (Pasal 189 ayat 4 UUK). Kewajiban kreditur berdasarkan UUK adalah : 1. Semua kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukan sifat dan jumlah piutangnya, disertai dengan surat bukti atau salinannya dan suatu pernyataan ada atau tidaknya kreditur mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya atau hak untuk menahan benda (Pasal 115 ayat 1 UUK) 2. Melakukan penagihan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada rapat kreditur (Pasal 113 ayat 1 UUK). Kemudian jika dihubungkan dengan klasifikasi hukum seperti penjelasan di atas dengan hak dan kewajiban kreditur perusahaan pailit, maka hal ini memperlihatkan bahwa dalam UUK terdapat kepentingan khusus atau hukum privat antara kreditur dengan debitur pailit. Begitu juga dari sifat bekerjanya bahwa undang-undang kepailitan merupakan aturan hukum bersifat mengatur. Dimana hubungan hukum antara debitur dengan kreditur merupakan hubungan berdasarkan kepentingan antara individu debitur dengan individu kreditur. Seperti ketentuan kewajiban kreditur melakukan penagihan harus mengikuti pengaturan batas ahkir pengajuan utang. Sehingga ini memperlihatkan adanya hubungan hukum bisnis antara kreditur dengan debitur. Namun UUK melakukan klasifikasi kreditur dalam perusahaan pailit, seperti dengan hadirnya negara sebagai kreditur preferen yang melakukan penagihan utang pajak pada debitur atau wajib pajak pailit. Sebelum membahas tentang keberadaan utang pajak pada perusahaan pailit, pertama akan diuraikan tentang ketentuan membayar pajak sesuai dengan UU Perpajakan. Tindakan membayar pajak, pada Pasal 1 ayat 1 UU KUP disebutkan bahwa, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang tertuang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-

19 undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 97 Ketentuan pada Pasal 1 ayat 1 UU KUP mengarahkan kewajiban Warga Negara Indonesia kepada negara sesuai dengan ketentuan pada Pasal 23(a) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang. Kata untuk keperluan negara pada UUD 1945 diartikan pada Pasal 1 ayat 1 UU KUP bahwa pajak digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang merupakan tujuan negara. Di lihat dari tujuannya jelas bahwa pungutan pajak yang dilakukan negara merupakan untuk kepentingan bersama atau kepentingan umum. Kemudian jika dilihat dari segi bekerjanya, dengan tegas UUD 1945 dan UU KUP menyatakan bahwa pungutan pajak bersifat memaksa dan tindakan wajib. Sehingga hukum pajak pada umumnya dimasukan sebagai bagian dari hukum publik, yakni yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyat. Hal tersebut dapat dimengerti karena di dalam hukum pajak diatur mengenai hubungan pemerintah dalam fungsinya selaku fiskus dengan rakyat dalam kapasitasnya sebagai wajib pajak/subjek pajak. 98 Hal ini dapat dilihat bahwa Indonesia sebagai negara hukum ingin menciptakan tertib hukum yang mendudukan hukum sebagai panglima tertinggi di negara. Kemudian berdasarkan teori negara hukum yang diungkapkan Frans Magnis Susesno, yang menjelaskan alasan utama negara diselenggarakan berdasarkan hukum : 1. Kepastian hukum 2. Tuntuan perlakuan yang sama 3. Legitimasi demokratis 4. Tuntutan akan budi 99 Sehingga terkait kewajiban membayar pajak yang dilakukan masyarakat kepada negara merupakan tindakan yang memaksa bagi orang ataupun badan. Hal ini jelas mengarahkan adanya persamaan hukum dan tidak ada pengecualian 97 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Perpajakan. 98 Y.Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, (Yogjakarta: Andi Yogjakarta, 2009), hal Nukthoh Arfawie Kurde, Loc, Cit. hal. 27.

20 terhadap kewajiban membayar pajak kepada negara. Pada Undang-undang perpajakan juga memberikan hak istimewa kepada negara yakni hak untuk mendahulu utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak. Terkait hak istimewa yang dimiliki negara untuk melakukan penagihan pajak pada wajib pajak, maka sebelumnya akan diuraikan penjelasan tentang hak terlebih dahulu. Menurut Paton, hak berdasarkan hukum biasanya diartikan sebagai hak yang diakui dan dilindungi oleh hukum. 100 Kemudian hal senada juga dikemukakan oleh Sarah Worthington yang menyatakan bahwa legal rights sering dilawakan oleh moral rights. Hal ini dapat dilihat dengan contoh, bahwa seorang dapat mengharapkan di bayar oleh majikannya, dan diberi hadiah pada hari ulang tahunnya. Bahwa selanjutnya diantara harapan itu terdapat hak berdasarkan hukum yaitu hak seorang karyawan mendapatkan bayaran dari majikannya, apabila tidak dibayar, maka karyawan tersebut dapat menggunakan lembaga formal untuk membantu karyawan tersebut. Tidak sama halnya dengan harapan hadiah ulang tahun, apabila harapan itu tidak dipenuhi maka tidak ada satu lembaga pun yang dapat memaksa terpenuhinya harapan tersebut. Selanjutnya terkait hak, menurut Bentham, hak tidak dapat mempunyai arti apa-apa jika tidak ditunjang oleh Undang-undang. 101 Kemudian penjelasannya menyebutkan bahwa hak adalah anak dari hukum. Bentham juga berpendapat bahwa hukum yang nyata bukanlah hukum alam, melainkan hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif. Sehingga hak untuk dapat dilaksanakan harus dituangkan ke dalam Undang-undang. 102 Suatu kepentingan merupakan sasaran dari hak, bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum tetapi juga karena adanya pengakuan terhadapnya. Hak mengandung unsur perlindungan, kepentingan dan juga kehendak 103. Pengertian hak dapat dijumpai dalam teori mengenai hakikat hak. Menurut Lord Lloyd of Hamsted dan M.D.A Freeman terdapat dua teori mengenai hakikat hak, yaitu teori kehendak yang menitiberatkan kepada kehendak atau pilhan dan yang lain teori kepentingan atau teori kemanfaatan. Kedua teori tersebut berkaitan dengan tujuan hukum. 104 Pada teori kehendak memandang bahwa pemegang hak dapat berbuat apa saja atas haknya, ia dapat saja tidak menggunakan hak itu, melepaskannya, 100 Peter Mahmud Marzuki, Op,Cit, hal Ibid, hal Ibid, hal Sajipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1991), hal Peter Mahmud Marzuki, Op,Cit, hal. 150

21 melaksanakan atau tidak berbuat apa-apa atas hak itu. Kemudian teori kemanfaatan pertama kali dijumpai dalam karya Bentham yang selanjutnya diadopsi oleh Rudolf Von Ihering. Menurut Ihering, tujuan hukum bukanlah melindungi kepentingan individu melainkan melindungi kepentingan-kepentingan tertentu, oleh karena itu Ihering mendefenisikan hak sebagai kepentingankepentingan yang dilindungi oleh hukum. 105 Kepentingan-kepentingan ini telah ada dalam kehidupan bermasyarakat dan negara hanya memilihnya mana yang harus di lindungi. Sehingga jika dikaitkan dengan hak melakukan pungutan pajak yang dilakukan negara, maka hak tersebut merupakan kepentingan negara yang dilindungi hukum. Sesuai dengan tujuan hukum negara yang ingin menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Ketentuan pemungutan pajak yang dilakukan negara berdasarkan Undang-undang Perpajakan berfungsi sebagai fungsi anggaran dan fungsi mengatur yang tujuannya untuk bukan untuk kepentingan individu melainkan kepentingan bersama atau kepentingan umum. Sehingga hak ini tidak boleh disampingkan dan wajib dilaksanakan. Terkait hal tersebut, hak dapat ditinjau dari segi eksistensi hak itu sendiri, dari segi keterkaitan hak itu dalam kehidupan bernegara dan dari segi keterkaitan hak itu dalam kehidupan bermasyarakat. Dari segi eksitensi hak itu sendiri. Terdapat dua macam hak, yaitu hak orisinal dan hak derivatif. Dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat hak dasar dan hak politik. Dilihat dari segi keterkaitan antara hak itu dan kehidupan bermasyarakat terdapat hak privat yang terdiri dari hak absolute dan relatif. 106 Kemudian hak menagih pajak digolongkan pada hak privat, dimana hak menurut Hohfeld, apabila sesorang berbicara mengenai hak, hal itu akan mengarahkan kepada right atau claim, yaitu suatu hak untuk menuntut sesuatu. 107 Hak privat dibedakan antara hak absolut dan hak relatif. Pembedaan hak ini ada tiga hal yakni : 1. Hak absolut dapat diberlakukan kepada setiap orang, sedangkan hak relatif hanya berlaku untuk seseorang tertentu. 2. Hak absolut memungkinkan pemegangnya untuk melaksanakan apa yang menjadi substansi haknya melalui hubungan dengan orang lain. Hak relatif 105 Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal.173

22 menciptakan tuntutan kepada orang lain untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu Objek hak absolut pada umumnya benda, sedangkan hak relatif objeknya ada prestasi yaitu memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. 109 Dengan demikian bahwa sisi balik dari hak relatif adalah kewajiban orang lain untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Hal ini sejalan dengan hak negara dalam melakukan pemungutan pajak pada masyarakat. Dimana kebalikan dari hak negara menagih pajak, merupakan kewajiban orang atau badan memberikan pembayaran atas pajak kepada negara sesuai dengan ketentuan UU Perpajakan. Sehingga hak yang di miliki negara dalam melakukan penagihan pajak merupakan hak yang relatif dan bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Kemudian ketentuan ini merupakan digolongkan sebagai hukum publik karena tujuan dilakukan pemungutan pajak oleh negara merupakan untuk mewujudkan tujuan negara. Hak istimewa yang dimiliki oleh negara ini juga harus seimbang dengan keadilan dan kepastian hukum terkait waktu penagihan. Sehingga walaupun hak istimewa ini melekat kepada negara namun hak tersebut juga dapat hilang, jika negara tidak melakukan kehendak tersebut. Pasal 21 ayat 4 UU KUP, menyatakan bahwa hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. 110 Sehingga hal ini memberikan waktu daluwarsa untuk hak menagih utang pajak yang dilakukan oleh DJP kepada wajib pajak. Ketentuan seperti ini memberikan kepastian hukum bahwa, kewajiban wajib pajak untuk membayar utang pajaknya baik orang maupun badan memiliki batas waktu. Hak istimewa yang dimiliki oleh negara tersebut juga dapat hilang jika DJP terlambat melakukan penagihan sesuai dengan ketentuan ini. 16 Tahun Ibid, hal Ibid, hal Pasal 21 ayat 4 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor

23 Terkait hak dan kewajiban negara dalam menagih pajak pada perusahaan pailit, ketentuan tentang hak istimewa dan kewajiban wajib pajak juga berlaku sesuai dengan ketentuan Undang-undang perpajakan. Pada Undang-undang Kepailitan yakni Pasal 41 ayat 3 UUK dan pada penjelasannya menyatakan bahwa perbuatan hukum yang wajib dilakukan berdasarkan perjanjian atau undangundang adalah misalnya membayar pajak. Kalimat pada Pasal 41 ayat 3 UUK mengarahkan bahwa Undang-undang kepailitan sejalan dengan ketentuan Undang-undang Perpajakan dan UUD 1945 tentang pajak merupakan kontribusi wajib bagi negara. Sehingga dalam Undangundang kepailitan terkait dengan batas ahkir waktu pengajuan utang seperti pada pasal 113 ayat 1(a) UUK tidak dapat diterapkan pada penagihan utang pajak. Karena pemungutan pajak merupakan kepentingan publik yang bersifat memaksa sehingga tindakan membayar pajak harus berdasarkan ketentuan UU Perpajakan. Hal ini merupakan sejalan dengan teori negara hukum, dimana pada kasus pemungutan pajak pada perusahaan pailit, maka hukum yang berperan sebagai panglima tertinggi adalah Undang-undang Perpajakan bukan Undang-undang Kepailitan. Sehingga memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang sama hukum bagi seluruh wajib pajak dan menciptakan rasa keadilan bagi seluruh wajib pajak. Kedudukan negara sebagai kreditur prefren memiliki hak untuk mendapat pelunasan atau pembayaran utang yang wajib didahulukan dibanding dengan kreditur separatis dan kreditur konkuren. Diletakannya kedudukan kreditur preferen pada kepailitan dengan tujuan agar kepentingan umum lebih diistimewakan dari pada kepentingan individu atau pribadi. Kreditur preferen dalam perusahaan pailit dapat dibagi menjadi beberapa kreditur menurut jenis utang ataupun kewajibannya, yakni: a. Pajak b. Pekerja c. Pemegang saham 111 Ketentuan terkait hak istimewa yang dimiliki negara dalam melakukan tindakan penagihan pajak ini diatur pada beberapa pasal, yakni : 1. Pasal 1137 KUH Perdata Wib 111 Hasil wawancara dengan Jun Cai, Kurator di Medan, Pada tanggal 2 Juni 2016, Pukul

24 2. Pasal 21 ayat 3 UU KUP 3. Pasal 19 ayat 6 UU PSP dan, 4. Pasal 41 ayat 3 UUK Sehingga berdasarkan uraian diatas tersebut, maka yang menjadi hak dan kewajiban negara dalam menagih pajak pada perusahaan pailit berdasarkan UU KUP, adalah sebagai berikut : Hak Negara menagih pajak pada perusahaan pailit : 1. Negara memiliki hak untuk menagih utang pajak pada wajib pajak (Pasal 22 UU KUP). 2. Negara memiliki hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak (Pasal 21 ayat 1 UU KUP). 3. Negara memiliki hak mendahulu untuk menagih utang pajak selama 5 tahun (Pasal 22 ayat 1 UU KUP). 4. DJP berhak melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan pajak (Pasal 29 UU KUP). Kemudian yang menjadi kewajiban negara : 1. Negara wajib melakukan penagihan utang pajak sebelum batas daluwarsa yaitu 5 tahun, dan dihitung sejak diterbitkannya Surat Tagihan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak (Pasal 22 ayat 1 UU KUP). 2. Negara wajib memberikan bukti-bukti konkrit terkait utang pajak pajak berdasarkan ketentuan UU Perpajakan. Berdasarkan uraian terkait hak dan kewajiban negara dalam melakukan penagihan utang pajak pada perusahaan pailit maka dapat dilihat bahwa tindakan ini dilakukan dengan dasar kepentingan umum yang bersifat memaksa. Kemudian secara tegas disebutkan bahwa tujuan pungutan pajak adalah untuk meningkatkan

25 kesejahteraan rakyat dan memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh wajib pajak.

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya Lahirnya Undang-Undang Kepailitan yang mengubah ketentuan peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR A. Pengertian Kreditur dan Debitur Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adapun pengertian

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern ini, persaingan ekonomi di dunia sangatlah ketat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembang pesatnya makro dan mikro seiring dengan pertumbuhan unit-unit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit Dalam UUK dan PKPU disebutkan

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Akibat Kepailitan Secara Umum 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang untuk membayar

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA A. Pengertian Keadaan Diam (Standstill) Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam Undang-Undang Kepaillitan Indonesia.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Maia P U T U S A N Nomor 511 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus permohonan tentang Keberatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, sumber manusia termasuk juga perkembangan di sektor ekonomi dan bisnis. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia yang tercantum dalam UUD 1945 terdapat dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kontribusi wajib ini bersifat memaksa dan diatur dengan undang-undang.

BAB I PENDAHULUAN. Kontribusi wajib ini bersifat memaksa dan diatur dengan undang-undang. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU KUP merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan. Kontribusi wajib ini bersifat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

TINJAUAN YURIDIS PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN TINJAUAN YURIDIS PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN Dhevi Nayasari Sastradinata *) *) Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan ABSTRAK Berlatar belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA NO. URAIAN GADAI FIDUSIA 1 Pengertian Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor (si berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur

Lebih terperinci

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 120 PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA A. Sejarah dan Pengertian Jaminan Fidusia Fidusia berasal dari kata fides yang artinya adalah kepercayaan. Sesuai dengan arti dari kata ini, maka hubungan hukum

Lebih terperinci

BAB III. PENERAPAN HUKUM DALAM PENAGIHAN PAJAK PADA PERUSAHAAN PAILIT PT. BESTINDO TATA INDUSTRI E. Prosedur Penagihan Pajak

BAB III. PENERAPAN HUKUM DALAM PENAGIHAN PAJAK PADA PERUSAHAAN PAILIT PT. BESTINDO TATA INDUSTRI E. Prosedur Penagihan Pajak BAB III PENERAPAN HUKUM DALAM PENAGIHAN PAJAK PADA PERUSAHAAN PAILIT PT. BESTINDO TATA INDUSTRI E. Prosedur Penagihan Pajak Pajak pada dasarnya merupakan kewajiban dari wajib pajak pada negara yang memiliki

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai kebutuhan demi menunjang kehidupannya. Berbagai cara dilakukan oleh manusia demi menjamin kebutuhan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN Riska Wijayanti 1, Siti Malikhatun Bariyah 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau membayar utangnya kepada kreditor, maka telah disiapkan suatu pintu darurat untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG BERITA DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2011 NOMOR 39 PERATURAN WALIKOTA SEMARANG NOMOR 39 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN IMBALAN BAGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu motif utama badan usaha meminjam atau memakai modal adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi jumlah maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan Jaminan Fidusia Jaminan Fidusia Fidusia menurut Undang-Undang no 42 tahun 1999 merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang hidup memerlukan uang atau dana untuk membiayai keperluan hidupnya. Demikian juga halnya dengan suatu badan hukum. Uang diperlukan badan hukum, terutama perusahaan,

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Surat Ketetapan Pajak (SKP) Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (SKP) hanya terbatas kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat

Lebih terperinci

BAB III EKSEKUSI HAK JAMINAN DAN HAK-HAK TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN PAILIT

BAB III EKSEKUSI HAK JAMINAN DAN HAK-HAK TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN PAILIT BAB III EKSEKUSI HAK JAMINAN DAN HAK-HAK TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN PAILIT A. Pengertian Eksekusi Hak Jaminan Berasal dari kata executie, yang artinya melaksanakan putusan hakim (tenuitvoer legging van

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kebutuhan yang sangat besar

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT 3.1. Klasifikasi Pemegang Jaminan Fidusia Atas Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Bilamana Debitor Pailit 3.1.1. Prosedur Pengajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, 1999. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

PENUNJUK UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN PENUNJUK UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN 2008 TATANUSA 1 BULAN ~ Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Apabila setelah melampaui jangka waktu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1003, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Penagihan. Bea Masuk. Cukai. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PMK 111/PMK.04/2013 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu lagi untuk membayar hutang-hutangnya, maka pihak debitur ini

BAB I PENDAHULUAN. mampu lagi untuk membayar hutang-hutangnya, maka pihak debitur ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar BelakangMasalah Suatu perusahaan dapat saja mengalami kerugian dan kemunduran sampai pada suatu keadaan di mana perusahaan berhenti membayar atau tidak mampu lagi untuk membayar

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, berikut disajikan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, berikut disajikan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, berikut disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Tanggung jawab dan jangka

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat 27 BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Kurator Dalam Proses Kepailitan Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Utang-piutang 1. Pengertian utang Pengertian utang pada dasarnya dapat diartikan secara luas maupun secara sempit. Pengertian utang dalam arti sempit adalah suatu kewajiban yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 907 K/Pdt.Sus-Pailit/2017

P U T U S A N Nomor 907 K/Pdt.Sus-Pailit/2017 P U T U S A N Nomor 907 K/Pdt.Sus-Pailit/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus penundaan kewajiban pembayaran utang (prosedur

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 9-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1983 (ADMINISTRASI. FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR 3.1. Upaya Hukum dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam penyelesaian permasalahan utang

Lebih terperinci

BAB II. A. Akibat Hukum Dikabulkannya Permohonan Kepailitan Terhadap Debitor Maupun Kreditor Serta Harta Pailit

BAB II. A. Akibat Hukum Dikabulkannya Permohonan Kepailitan Terhadap Debitor Maupun Kreditor Serta Harta Pailit BAB II HAK SUARA KREDITOR SEPARATIS DALAM PERSETUJUAN PENGAJUAN UPAYA PERDAMAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Akibat Hukum Dikabulkannya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

BAB II FIDUSIA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK LEMBAGA JAMINAN KEBENDAAN. Fidusia manurut asal katanya berasal dari fides yang berarti

BAB II FIDUSIA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK LEMBAGA JAMINAN KEBENDAAN. Fidusia manurut asal katanya berasal dari fides yang berarti BAB II FIDUSIA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK LEMBAGA JAMINAN KEBENDAAN A. Pengertian Jaminan Fidusia Fidusia manurut asal katanya berasal dari fides yang berarti kepercayaan. 23 Sesuai dengan arti kata ini,

Lebih terperinci

PERPAJAKAN I KUASA & KONSULTAN PAJAK, PEMERIKSAAN, PENAGIHAN, RESTITUSI PAJAK. Deden Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis

PERPAJAKAN I KUASA & KONSULTAN PAJAK, PEMERIKSAAN, PENAGIHAN, RESTITUSI PAJAK. Deden Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Modul ke: PERPAJAKAN I KUASA & KONSULTAN PAJAK, PEMERIKSAAN, PENAGIHAN, RESTITUSI PAJAK Fakultas Ekonomi dan Bisnis Deden Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Program Studi Akuntansi www.mercubuana.ac.id PENDAHULUAN

Lebih terperinci

HJ-3 MACAM-MACAM JAMINAN. Oleh Herlindah, SH, M.Kn

HJ-3 MACAM-MACAM JAMINAN. Oleh Herlindah, SH, M.Kn HJ-3 MACAM-MACAM JAMINAN Oleh Herlindah, SH, M.Kn 1 JAMINAN JAMINAN UMUM JAMINAN KHUSUS 1131 BW JAMINAN PERORANGAN JAMINAN KEBENDAAN 1132 BW BORGTOCH PENANGGUNGAN BENDA TETAP BENDA BERGERAK TANAH BUKAN

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan M P U T U S A N Nomor 72 PK/Pdt.Sus-Pailit/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus permohonan tentang Keberatan

Lebih terperinci