BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN REGANGAN. Hooke pada tahun Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja

ANALISA P Collapse PADA GABLE FRAME DENGAN INERSIA YANG BERBEDA MENGGUNAKAN PLASTISITAS PENGEMBANGAN DARI FINITE ELEMENT METHOD

BAB I PENDAHULUAN. analisa elastis dan plastis. Pada analisa elastis, diasumsikan bahwa ketika struktur

PLASTISITAS. Pendahuluan. Dalam analisis maupun perancangan struktur (design) dapat digunakan metoda ELASTIS atau Metoda PLASTIS (in elastis)

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT

ANALISIS DAKTILITAS BALOK BETON BERTULANG

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. metoda desain elastis. Perencana menghitung beban kerja atau beban yang akan

ANALISA P Collapse PADA GABLE FRAME DENGAN INERSIA YANG BERBEDA MENGGUNAKAN PLASTISITAS PENGEMBANGAN DARI FINITE ELEMENT METHOD

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembahasan hasil penelitian ini secara umum dibagi menjadi lima bagian yaitu

ANALISA STRUKTUR METODE MATRIKS (ASMM)

BAB I PENDAHULUAN. fisik menuntut perkembangan model struktur yang variatif, ekonomis, dan aman. Hal

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dan telah mempermudah manusia untuk melakukan pekerjaan

Pertemuan I,II,III I. Tegangan dan Regangan

BAB II STUDI PUSTAKA

STUDI DAKTILITAS DAN KUAT LENTUR BALOK BETON RINGAN DAN BETON MUTU TINGGI BERTULANG

ANALISA PERBANDINGAN BEBAN BATAS DAN BEBAN LAYAN (LOAD FACTOR) DALAM TAHAPAN PEMBENTUKAN SENDI SENDI PLASTIS PADA STRUKTUR GELAGAR MENERUS

BAB II STUDI PUSTAKA. bangunan runtuh akibat sebuah muatan, maka bangunan tersebut akan aman dibebani

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karbon, baja paduan rendah mutu tinggi, dan baja paduan. Sifat-sifat mekanik dari

LENDUTAN (Deflection)

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek

BAB I PENDAHULUAN. pesat yaitu selain awet dan kuat, berat yang lebih ringan Specific Strength yang

PERENCANAAN PORTAL BAJA 4 LANTAI DENGAN METODE PLASTISITAS DAN DIBANDINGKAN DENGAN METODE LRFD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS AKHIR ANALISIS PLASTIS PADA PORTAL DENGAN METODE ELEMEN HINGGA. Disusun oleh: FIRDHA AULIA ARIYANI AZHARI. Dosen Pembimbing:

sehingga lendutan yang disebabkan oieh beban gempa maupun angin dapat

BAB II TEORI DASAR. Gambar 2.1 Tipikal struktur mekanika (a) struktur batang (b) struktur bertingkat [2]

DEFORMASI BALOK SEDERHANA

Bab II STUDI PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tersebut. Modifikasi itu dapat dilakukan dengan mengubah suatu profil baja standard menjadi

Mekanika Bahan TEGANGAN DAN REGANGAN

Bab 5 Puntiran. Gambar 5.1. Contoh batang yang mengalami puntiran

ANALISA LENDUTAN BALOK KAYU KELAPA NON PRISMATIS PERLETAKAN SENDI ROL DENGAN METODE PLASTIS (EKSPERIMEN)

Kuliah ke-2. UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI FAKULTAS TEKNIK Jalan Sudirman No. 629 Palembang Telp: , Fax:

Tegangan Dalam Balok

tegangan tekan disebelah atas dan tegangan tarik di bagian bawah, yang harus ditahan oleh balok.

Respect, Professionalism, & Entrepreneurship. Mata Kuliah : Mekanika Bahan Kode : TSP 205. Kolom. Pertemuan 14, 15

ANALISA LENDUTAN PROFIL BAJA NON PRISMATIS PERLETAKAN SENDI ROL DENGAN METODE PLASTIS CITRA UTAMI

Gambar 2.1 Rangka dengan Dinding Pengisi

DAFTAR NOTASI. xxvii. A cp

BAB III LANDASAN TEORI

ANALISIS CELLULAR BEAM DENGAN METODE PENDEKATAN DIBANDINGKAN DENGAN PROGRAM ANSYS TUGAS AKHIR. Anton Wijaya

DAFTAR NOTASI. = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balok-kolom (mm²) = Luas penampang tiang pancang (mm²)

Jurnal Teknika Atw 1

KONSEP TEGANGAN DAN REGANGAN NORMAL

PERANCANCANGAN STRUKTUR BALOK TINGGI DENGAN METODE STRUT AND TIE

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian rangka

KATA PENGANTAR. telah melimpahkan nikmat dan karunia-nya kepada penulis, karena dengan seizin-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2- ELEMEN STRUKTUR KOMPOSIT

ANALISA BALOK SILANG DENGAN GRID ELEMEN PADA STRUKTUR JEMBATAN BAJA

DAFTAR NOTASI. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom

DESAIN BALOK SILANG STRUKTUR GEDUNG BAJA BERTINGKAT ENAM

BAB III PEMODELAN KOLOM DAN PERHITUNGAN

MODUL KULIAH STRUKTUR BETON BERTULANG I LENTUR PADA PENAMPANG 4 PERSEGI. Oleh Dr. Ir. Resmi Bestari Muin, MS

BAB I TEGANGAN DAN REGANGAN

BAB II STUDI PUSTAKA


BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan


PUNTIRAN. A. pengertian

Kuliah ke-6. UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI FAKULTAS TEKNIK Jalan Sudirman No. 629 Palembang Telp: , Fax:

LAPORAN TUGAS AKHIR (KL-40Z0) Perancangan Dermaga dan Trestle Tipe Deck On Pile di Pelabuhan Garongkong, Propinsi Sulawesi Selatan. Bab 6.

STUDI ANALISIS PEMODELAN BENDA UJI BALOK BETON UNTUK MENENTUKAN KUAT LENTUR DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE KOMPUTER

Metode Kekakuan Langsung (Direct Stiffness Method)

ekivalen yang digunakan untuk menghitung gaya tekan tanpa mengurangi

D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Eksentrisitas dari pembebanan tekan pada kolom atau telapak pondasi

l l Bab 2 Sifat Bahan, Batang yang Menerima Beban Axial

PENGARUH VARIASI LUAS PIPA PADA ELEMEN BALOK BETON BERTULANG TERHADAP KUAT LENTUR

PROGRAM STUDI DIPLOMA 3 TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN ITSM BAHAN AJAR MEKANIKA REKAYASA 2

PERILAKU KERUNTUHAN BALOK BETON BERTULANG TULANGAN GANDA ABSTRAK

PROPOSAL TUGAS AKHIR DAFTAR ISI

ANALISA STRUKTUR PORTAL RUANG TIGA LANTAI DENGAN METODE KEKAKUAN DIBANDINGKAN DENGAN PROGRAM ANSYS HERY SANUKRI MUNTE

RELEVANSI METODE RITTER DAN METODE ELEMEN HINGGA DENGAN PROGRAM MATLAB PADA RANGKA BATANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam. harus diperhitungkan adalah sebagai berikut :

DAFTAR NOTASI. Luas penampang tiang pancang (mm²). Luas tulangan tarik non prategang (mm²). Luas tulangan tekan non prategang (mm²).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II METODE KEKAKUAN

LENTUR PADA BALOK PERSEGI ANALISIS

DAFTAR NOTASI. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom

ANALISIS CANTILEVER BEAM DENGAN MENGGUNAKAN METODE SOLUSI NUMERIK TUGAS KULIAH

Oleh : MUHAMMAD AMITABH PATTISIA ( )

5ton 5ton 5ton 4m 4m 4m. Contoh Detail Sambungan Batang Pelat Buhul

ANALISIS PENENTUAN TEGANGAN REGANGAN LENTUR BALOK BAJA AKIBAT BEBAN TERPUSAT DENGAN METODE ELEMEN HINGGA

BAB II TEORI DASAR. seorang perencana / desainer harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang :

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM

Golongan struktur Balok ( beam Kerangka kaku ( rigid frame Rangka batang ( truss

I.1 Latar Belakang I-1

Pertemuan I,II I. Struktur Statis Tertentu dan Struktur Statis Tak Tentu

xxv = Kekuatan momen nominal untuk lentur terhadap sumbu y untuk aksial tekan yang nol = Momen puntir arah y

BAB I PENDAHULUAN Umum. Pada dasarnya dalam suatu struktur, batang akan mengalami gaya lateral

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Perencanaan Interior 2. Perencanaan Gedung 3. Perencanaan Kapal

ANALISIS METODE ELEMEN HINGGA DAN EKSPERIMENTAL PERHITUNGAN KURVA BEBAN-LENDUTAN BALOK BAJA ABSTRAK

PERHITUNGAN DAN PENGGAMBARAN DIAGRAM INTERAKSI KOLOM BETON BERTULANG DENGAN PENAMPANG PERSEGI. Oleh : Ratna Eviantika. : Winarni Hadipratomo, Ir.

Besarnya defleksi ditunjukan oleh pergeseran jarak y. Besarnya defleksi y pada setiap nilai x sepanjang balok disebut persamaan kurva defleksi balok

PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG RUSUNAWA UNIMUS

Bab 6 Defleksi Elastik Balok

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Surat Pernyataan Kata Pengantar DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN

KAJIAN EKSPERIMENTAL PERILAKU BALOK BETON TULANGAN TUNGGAL BERDASARKAN TIPE KERUNTUHAN BALOK ABSTRAK

PERILAKU BALOK BERTULANG YANG DIBERI PERKUATAN GESER MENGGUNAKAN LEMBARAN WOVEN CARBON FIBER

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar Dasar Teori 2.1.1. Hubungan tegangan dan regangan Hubungan teganan dan regangan pertama kali dikemukakan oleh Robert Hooke pada tahun 1678. Dalam hokum hooke dijelaskan bahwa baja lunak ditarik oleh gaya aksial tertentu pada kondisi temperatur ruang maka material tersebut akan mengalami regangan yang nilainya berbanding lurus dengan tegangan ataupun dengan beban aksial yang diberikan kondisi tersebut kemudian disebut sebagai kondisi elastis. Hubungan antara tegangan dan regangan dapat diinterpretasikan sebagai berikut: σ = P A (2.1) ε = (l l ) l (2.2) σ = Eε (2.3) Dimana: P = Beban Aksial A = uas Profil l o = Panjang Mula-mula l = Panjang Batang setelah dibebani E = Modulus Young/ Modulus kekenyalan

Tegangan didefinisikan sebagai intensitas gaya yang bekerja pada tiap satuan luas bahan sedangkan regangan didefinisikan sebagai suatu perbandingan antara perubahan dimensi suatu bahan dengan dimensi awalnya. Karena regangan merupakan rasio antara dua panjang, maka regangan ini merupakan besaran tak berdimensi, artinya regangan tidak mempunyai satuan. Dengan demikian, regangan dinyatakan hanya dengan suatu bilangan, tidak bergantung pada sistem satuan apapun. Harga numerik dari regangan biasanya sangat kecil karena batang yang terbuat dari bahan struktural hanya mengalami perubahan panjang yang kecil apabila dibebani. Hubungan antara regangan dan tegangan untuk lebih jelasnya dapat digambarkan pada gambar 2.1 σ σ yu σ u A B M C A ε y ε ρ ε Gambar 2.1. Hubungan tegangan dan regangan Daerah pertama yaitu OA, merupakan garis lurus dan menyatakan daerah linear elastis. Kemiringan garis ini menyatakan besarnya modulus elastis atau disebut juga Modulus young, E. diagram tegangan- regangan untuk baja lunak

umumnya memiliki titik leleh atas ( Upper Yield Point ),σ yu dan daerah leleh datar. Secara praktis, letak titik leleh atas ini, A tidaklah terlalu berarti sehingga pengaruhnya sering diabaiakan. ebih lanjut, tegangan pada titik A disebut sebagai tegangan leleh, dimana regangan pada kondisi ini berkisar.12. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa bila regangan terus bertambah hingga melampaui harga ini, ternyata tegangannya dapat dikatakan tidak mengalami pertambahan. Sifat dalam daerah AB ini kemudian kemudian disebut sebagai daerah plastis. okasi titik B, yaitu titik akhir sebelum tegangan mengalami sedikit kenaikan, tidaklah dapat ditentukan. Tetapi, sebagai perkiraan dapat ditentukan terletak pada regangan,14 atau secara praktis dapat ditetapkan sebesar sepuluh kali besarnya regangan leleh. Daerah BC merupakan daerah strain- hardening, dimana pertambahan regangan akan diikuti oleh pertambahan sedikit tegangan. Disamping itu hubungan tegangan- regangannya tidak bersifat linear. Kemiringan garis setelah titik B ini didefinisikan sebagai Es. Di titik M, tegangan mencapai titik maksimum yang disebut sebagai tegangan tarik ultimit ( ultimate tensile strength ). Pada akhirnya material akan putus ketika mencapai titik C. Besaran- besaran pada gambar 2.1 akan tergantung pada komposisi baja, proses pembuatan pengerjaan baja dan temperature baja pada saat percobaan. Tetapi factor- faktor tersebut tidak terlalu mempengaruhi besarnya modulus elastisitas ( E ). Roderick dan Heyman (1951), melakukan percobaan terhadap empat jenis baja dengan kadar karbon yang berbeda, data yang dihasilkan ditampilkan pada table 2.1

Table 2.1 Hubungan persentase karbon ( C ) terhadap tegangan % C σ (N/mm 2 ) σ ya /σ y ε s / ε y Es / Ey.28 34 1.33 9.2.37.49 386 1.28 3.7.58.74 448 1.19 1.9.7.89 525 1.4 1.5.98 Dari table 2.1 dapat dilihat bahwa semakin besar tegangan lelehnya maka semakin besar kadar karbon yang dibutuhkan. Tegangan bahan akan berpengaruh pada daktalitas bahan. Semakin tinggi tegangan leleh maka semakin rendah daktalitas dari material tersebut. Daktalitas adalah perbandingan antara ε s dan ε y dimana ε s adalah regangan strain hardening dan ε y adalah regangan leleh. Selanjutnya, apabila suatu material logam mengalami keadaan tekan dan tarik secara berulang, diagram tegangan regangannya dapat berbentuk seperti gambar 2.2. lintasan dan tekan akan sama. Hal ini menunjukkan suatu keadaan yang disebut efek bauschinger, yang pertama kali diperkenalkan oleh J. Bauschinger dalam makalahnya yang dipublikasikan pada tahun 1886.

σ y ε Gambar 2.2. Efek bauschinger Hubungan regangan-tegangan untuk keperluan analisis ini diidealisasikan dengan mengabaikan pengaruh tegangan leleh atas (strain hardening ) dan efek bauschinger, sehingga hubungan antara tegangan dan regangan menjadi seperti gambar 2.3. keadaan semacam ini sering disebut sebagai keadaan hubungan plastis ideal (ideal plastic relation). σ σ y o ε y ε σ y

Gambar 2.3. Hubungan plastic ideal 2.1.2. Distribusi Tegangan Regangan Sebuah balok diatas dua tumpuan sendi dan menahan beban terpusat W seperti gambar 2.4. dari persamaan keseimbangan, kita dapat memperoleh reaksi tumpuan sebesar W/2. Diagram momen lenturnya terdapat pada 2.4b, dengan momen maksimumnya sebesar Wl/4 yang terletak dibawah titik beban. A W C B W/2 W/2 l/2 l/2 a Wl/4 Gambar 2.4. Perletakan sederhana Jika besarnya tegangan maksimum belum mencapai tegangan leleh, distribusi tegangan dan regangan dari semua penampangnya akan berupa garis lurus. Hal ini sesuai dengan hukum Bernoulli dan Navier, yaitu bersifat linear dan nol pada garis netral. Dengan demikian, tegangan dan regangan disuatu serat yang ditinjau adalah berbanding lurus terhadap jarak dari garis netral penampang. Teganan tarik maksimum pada serat bawah dan tegangan tekan pada serat atas adalah : σ max = M S (2.4) Dengan M = momen lentur

S = modulus penampang (section modulus). Jika beban terpusat semakin besar, tegangan di setiap serat penampang turut bertambah pula. Keadaan ini dapat kita lihat pada gambar 2.5, gambar 2.5b menunjukkan tegangan dan regangan pada serat terluar yang telah mencapai kondisi leleh. Keadaan ini terletak ditik A pada gambar 2.1, dan besarnya momen padatitik ini disebut sebagai momen leleh (yield stress), My. Apabila beban w diperbesar lagi, tengangan lelehnya mulai menjalar keserat sebelah dalam, gambar 2.5c-d. bahwa tidak ada tegangan yang lebih besar daripada tegangan leleh, tetapi momen dalam dapat terus bertambah karena resultan gaya dalamnya bertambah besar. Dengan pemberian sedikit penambahan beban lagi, akan tercapailah keadaan dimana seluruh serat penampang mengalami tegangan leleh, gambar 2.5e. momen dalam menjadi maksimum dan merupakan momen plastis. Pada kondisi ini, penampang tadi akan mengalami rotasi yang cukup besar tanpa terjadi perubahan momen. Dengan kata lain dititik tersebut telah terjadi sendi plastis. Titik c pada gambar 2.4 memiliki harga momen yang terbesar, sehingga titk ini akan lebih cepat untuk berubah menjadi sendi plastis dibandingkan dengan titik lainnya.

σ < σ y σ y σ y σ y σ y (a) (b) (c) (d) (e) tegangan ε y 2ε y 1ε y regangan ε y 2ε y 1ε y Gambar 2.5. Distribusi tegangan - regangan 2.1.3. Menentukan garis netral profil Garis netral untuk tampak yang sama pada kondisi elastis tidak akan sama dengan kondisi garis netral pada saat plastis. Pada kondisi elastis, garis netral merupakan garis yang membagi penampang menjadi dua bagian yang sama luasnya. Pada kondisi plastis, garis netral ditinjau sebagai berikut : σ Y A1 D 1 Z 1 A2 D 2 Z 2 σ Y gambar 2.6. penentuan garis netral D1 = A1. σ y (2.5)

D2 = A2. σ y (2.6) Agar terjadi keseimbangan maka D1 = D2 Sehingga Selanjutnya A1 = A2 = 1/2 A Z1 = S1/A1 Z2 = S2/A2 Dimana : S1 = statis momen pada bidang A1 terhadap garis netral plastis S2 = statis momen pada bidang A2 terhadap garis netral plastis D1 = resultan gaya tekan diatas garis netral plastis D2 = resultan gaya tarik diatas garis netral plastis Z1 = section modulus luasan 1 Z2 = section modulus luasan 2 Untuk menentunkan momen plastis batas digunakan : Mp = D1 (Z1 + Z2) Mp = σ y ½ A ( Z1 + Z2 ) 2.1.4. Hubungan momen kelengkungan Pada saat terjadi sendi plastis pada suatu struktur dengan perletakan sederhana, suatu struktur akan berotasi secara tidak terbatas. Sebelun gaya luar bekerja, balok masih dalam keaadan lurus.

A B C A1 B1 C1 O M φ φ ρ M A y a a1 A1 B b b1 B1 C c1 C1 Gambar 2.7. Kelengkungan balok Setelah gaya luar bekerja, balok akan mengalami pelenturan. Diasumsikan bahwa material penyusun balok adalah homogen dan diasumsikan bahwa balok hanya mengalami lentur murni tanpa gaya aksial. Perubahan kelengkungan akibat lentur murni ditunjukkan oleh gambar 2.5. titik A, B dan C akan tertekan sedangkan titik A1, B1, C1, akan meregang. Perpanjangan titik A1-A, B1-B, C1-C akan mengalami perpotongan pada titik O. sudut yang terbentuk akibat trjadinya perubahan kelengkungan ditik A dan B atau B dan C, dinyatakan dengan φ. Kalau φ ini sangat kecil maka : a b = (ρ y)φ a1b1 = ρ φ dengan ρ adalah jari- jari kelengkungan ( radius of curvature )

sehingga, regangan pada arah memanjang disuatu serat sejauh y dari sumbu netral dapat dinyatakan sebagai: ε = ab a1 b1 a1 b1 ε = y ρ (2.7) Dimana 1/ρ menunjukkan kelengkungan ( K ). Tanda negatif menunjukkan bahwa bagian diatas garis netral, berada pada kondisi tekan, sedangkan pada kondisi dibawah garis netral berada pada kondisi tarik. Dengan σ = y ε R 1 = σ R Ey (2.8) Tegangan tarik pada serat bawah dan tegangan tekan pada sera atas adalah : σ = M S Dimana : S adalah modulus penampang y = D 2 Akhirnya didapat 1 R = M ESD/2 dimana S.D/2 = I (momen inersia) 1 = M = d2 y (2.9) R EI dx 2

σ Y D/2 D/2 z Garis netral B σ Y = Daerah yang mengalami elastis = daerah yang berada pada kondisi elastis gambar 2.8. Distribusi tegangan pada penampang Pada gambar 2.8. dapat dilihat bahwa regangan pada serat terluar telah mencapai tegangan leleh. Sedangkan serat terjauh Z dari garis netral belum mengalami tegangan leleh. Dengan demikian daerah sejauh 2Z materialnya masih berada pada kondisi elastis dan besarnya momen dalam dapat dicari dari resultan bagian elastis dan plastis. Jika Z=D/2, hanya serat terluar saja yang mencapai kondisi leleh dan besar momen dalam yang ditahan disebut sebagai momen leleh (M y ). M y = S. σ y (2.1) Dimana S adalah modulus penampang (section modulus) Dari persamaan (2.6) dengan harga ε = ε y, y = z, dapat diperoleh : K = ε y /z (2.11) Selanjutnya untuk Z = ½ D diperoleh : K y = 2 ε y /D (2.12) Dimana K = kelengkungan pada kondisi plastis sebagian (partially plastic state)

Ky = kelengkungan pada saat kondisi leleh Perbandingan antara momen plastis (Mp) dengan momen leleh (My) menyatakan peningkatan kekuatan penampang akibat ditinjau dari kondisi plastis. Perbandingan ini tergantung dari bentuk penampang (shape factor) yang dinotasikan sebagai f. M/My c a b K/ky Gambar 2.9. Hubungan momen kelengkungan dari gambar 2.9 dapat dilihat bahwa suatu kurva hubungan momen terhadap kelengkungan (M-K), dimana dari kurva tersebut dapat dilihat bahwa nilai momen ( M ) akan semakin mendekati f. My apabila harga K semakin besar. Bila nilai menjadi factor bentuk ( f ) maka harga K akan mencapai harga tidak berhingga, dimana ini menandakan bahwa nilai z dalam persaamaan 2.11 sama dengan nol, dimana y = z, maka seluruh penampang serat mencapai kondisi plastis penuh dan momen plastisnya adalah Mp = f. My. Dimana f adalah factor bentuk yang merupakan perbandingan antara momen plastis dan momen leleh menyatakan

peningkatan kekuatan penampang akibat ditinjau dari kondisi plastis. Perbandingan ini tergantung dari bentuk penampang. 2.1.5. Analisa penampang Pada bagian ini akan diberikan paparan yang lebih mendetail tentang distribusi tegaganan pada keadaan leleh menuju kondisi plastis penuh yang digambarkan pada gambar 2.1. D/2 D/2 B Tampang persegi σ y σ y 1 2 2 1 Momen elastis 1 2 2 1 σ y σ y Momen plastis Gambar 2.1. Distribusi tegangan pada keadaan leleh dan keadaan plastis pada tampang persegi Modulus elastis My = 2M1+2M2 1 = 2 D Z B. σ 2 Y 2 D + Z + 2. 1 Z. B. σ 2 2 Y 2 Z 3 = D 2 Z D 2 + Z B. σ Y + B. σ Y 2 3 Z2 = B. σ Y D 2 2 Z 2 + 2 3 Z2 = B. σ Y D2 4 1 3 Z2 = B. σ Y D2 4 1 3 D 2 2 = B. σ Y 3D2 D 2 12

= 1 B. 6 D2. σ Y (2.13a) Modulus plastis Momen plastis yaitu luasan tampang kali lengan momen Mp = 2. σ Y 1 B. D 2 1 D 4 = 1 4 B. D2. σ Y (2.13b) Jika menggunakan factor bentuk (shape factor) yang dinotasikan dengan f, maka hubungan antara kapasitas momen pada saat keadaan leleh (My) dan kapasitas momen pada keadaan plastis (Mp) akan menghasilkan : f = Mp My f = 1 4 B.D2.σ Y 1 6 B.D2.σ Y f = 1,5 2.2. SENDI PASTIS 2.2.1. Umum Sendi plastis merupakan suatu kondisi dimana terjadi perputaran (rotasi) pada suatu struktur yang berlangsung secara terus menerus sebelum pada akhirnya mencapai keruntuhan yang diakibatkan oleh pembebanan eksternal. Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu sturktur maka sifat dari konstruksi tersebut akan berubah, sebagai contoh: 1. Bila konstruksi semula merupakan statis tertentu, maka dengan timbulnya satu sendi plastis akan membuat konstruksi menjadi labil dan runtuh.

2. Pada suatu konstruksi yang hiperstatis berderajat n, bila timbul satu sendi plastis maka konstruksi akan berubah derajat kehiperstatis dari suatu konstruksi. Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu konstruksi maka momen yang yang semula dihitung dengan cara elastis harus dihitung kembali sesuai dengan perubahan sifat konstruksi yang ditimbulkan oleh sendi plastis tersebut. 2.2.2. Bentuk sendi plastis Sendi plastis akan membentuk satu persamaan garis tertentu sebelum terjadi keruntuhan. Kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis ( lp ) pada balok sepanjang dengan pembebanan terpusat asimetris P gn O x l P Gambar 2.11. Balok dengan pembebanan terpusat M R = M P (1 x ) M R = M P (1 βα 2 ) (1 x ) = (1 βα2 )

x = βα 2 α = β x f(x) = β x α f(x) = β x Gambar 2.12. engkung sendi plastis beban terpusat x Kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis ( lp ) pada balok sepanjang dengan pembebanan terbagi rata gn O x l P M R = M P (1 x2 2) M R = M P (1 βα 2 ) (1 x2 2) = (1 βα2 ) x = β 2 α 2 α = βx f(x) = βx Gambar 2.13. Balok dengan pembebanan terbagi rata

α f(x) = βx x Gambar 2.14.Gambar dengan sendi plastis terbagi rata Kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis ( lp ) pada balok sepanjang dengan pembebanan terbagi rata segitiga gn O x l P Gambar 2.15. Balok dengan pembebanan terbagi rata segitiga M R = M P (1 x3 3) M R = M P (1 βα 2 ) (1 x3 3) = (1 βα2 ) x = β 3 α 2 α = βx 3 2 f(x) = βx 3 2

α f(x) = βx 3 2 Gambar 2.16. Gambar sendi plastis beban segitiga x 2.3. ANAISA STRUKTUR SECARA PASTIS 2.3.1. Pendahuluan Analisa struktur secara plastis bertujuan untuk menentukan beban batas yang dapat dipikul oleh suatu struktur ketika mengalami keruntuhan. Kruntuhan struktur dimulai dengan terjadinya sendi plastis. Keruntuhan dapat bersifat menyeluruh ataupun parsial. Suatu struktur hiperstatis berderajat n akan mengalami mengalami keruntuhan total jika kondisinya labil, di sini telah terbentuk lebih dari n buah sendi plastis. Keruntuhan parsial terjadi apabila sendi plastis yang terjadi pada mekanisme keruntuhan tidak menyebabkan struktur hiperstatis dengan derajat yang lebih rendah dari yang semula. Suatu struktur statis tak tentu mempunyai sejumlah mekanisme keruntuhan yang berbeda. Setiap mekanisme keruntuhan itu menghasilkan beban runtuh yang berbeda. Sehingga pada akhirnya dipilih mekanisme yang menghasilkan beban runtuh yang terkecil.

Jumlah sendi plastis yang dibutuhkan untuk mengubah suatu struktur kedalam kondisi mekanisme runtuhnya sangat berkaitan dengan derajat statis tak tentu yang ada dalam struktur tersebut. Dalam hal ini dapat dibuat runusan sebagai berikut : n = r + 1 Dimana n = jumlah sendi plastis untuk runtuh r = derajat statis tak tentu 1. untuk struktur balok dua perletakan sendi- sendi (struktur statis tertentu ) dengan r = dan n = 1 P Gambar 2.17. struktur pembebanan dan mekanisme runtuh perletakan sendi- sendi Struktur diatas hanya memerlukan sebuah sendi platis untuk mencapai mekanisme runtuhnya yaitu sendi plastis pad momen maksimum (dibawah beban titik). 2. Suatu balok dua perletakan sendi- jepit ( struktur statis tak tentu berderajat 1) dengan r = 1 dan n = 2 P Gambar 2.18. struktur pembebanan dan mekanisme runtuh perletakan sendi- jepit

Struktur perletakan ini memerlukan dua buah sendi plastis untuk mencapai mekanisme keruntuhannya. sendi plastis pada system perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen maksimum dan pada perletakan jepit. 3. Untuk balok struktur dua perletakan jepit- jepit (struktur statis tak tentu berderajat dua) dengan r = 2 dan n = 3 P Gambar 2.19. struktur pembebanan dan mekanisme runtuh perletakan jepit jepit Pada struktur perletakan ini diperlukan tiga buah sendi platis untuk mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi pada system perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen maksimum dan pada perletakan jepit. 2.3.2. Perhitungan struktur Pada prinsipnya, jika suatu struktur mencapai kondisi keruntuhan maka akan dipenuhi ketiga kondisi berikut: 1. Kondisi leleh (Yield Condition) Momen lentur dalam struktur tidak ada yang melampaui momen batas (Mp) 2. Kondisi keseimbangan (Equilibrium Condition) 3. Kondisi mekanisme (mechanism condition) Beban batas tercapai apabila terbentuk suatu mekanisme keruntuhan.

Ketiga kondisi diatas menjadi syarat dari teorema berikut: 1. Teorema batas bawah ( lower bound theorem) Teorema batas bawah menetapkan atau menghitung distribusi momen dalam struktur berdasarkan kondisi keseimbangan dan leleh. Beban yang dianalisa memiliki factor beban (λ ) yang memiliki nilai yang lebih kecil dari harga yang sebenarnya (λ c ), dirumuskan λ λ c sehingga hasil yang dihasilkan mungkin aman mungkin tidak. 2. Teorema batas atas (upper bound theorem) Jika distribusi momen yang diperoleh dihitung berdasrkan syarat yang memenuhi kondisi keseimbangan dan mekanisme, dapat dipastikan bahwa harga factor bebannya akan lebih besar atau sama dengan harga sebenarnya, (λ c ), λ λ c Sehingga hasil yang dihasilkan mungkin benar atau mungkin tidak. 3. Teorema unik (unique theorem) Distribusi momen untuk teorema ini akan memenuhi ketiga kondisi tersebut di atas sehingga akan diperoleh nilai factor beban dari mekanisme struktur yang ditinjau :λ = λ c. Pada teorema ini terdapat 4 metode yang dapat digunakan : a. Metode statis b. Metode kerja virtual (virtual work method) c. Metode distribusi momen d. Metode element hingga(finite element method)

2.3.3. Metode kerja virtual Metode kerja virtual adalah metode yang meninjau keseimbangan energi dari struktur tersebut ketika mengalami mekanisme runtuhnya. Persamaan kerja virtual ini dapat ditulis sebagagai berikut : Wi. i = Mj. θj (2.14) Dimana : Wi i = beban luar ( beban terpusat atau terbagi rata) = deformasi struktur i = l 2 tan θ, untuk sudut yang kecil tan θ = θ tan θ = θ Mj θj = momen pada tampang kritis = sudut rotasi sendi plastis 2.3.4. Metode Elemen Hingga Untuk Elemen Plane frame Metode elemen hingga merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menghitung gaya-gaya dalam yang terjadi dalam suatu komponen struktur. Metode elemen hingga juga dikenal sebagai metode kekakuan ataupun displacement methode karena yang didapat terlebih dahulu dari perhitungan adalah perpindahan baru kemudian gaya batang dicari. Dalam hubungannya dengan tugas akhir ini, metode elemen hingga ini digunakan untuk perhitungan gaya-gaya dalam yang terjadi pada komponen struktur. Untuk itu, metode elemen hingga yang digunakan adalah metode elemen hingga untuk Elemen Plane frame dimana gaya yang bekerja pada struktur yang diperhitungkan hanya terbatas pada gaya normal, gaya lintang, dan momen pada arah z

Persamaan umum untuk metode elemen hingga ini adalah : {f} = [k]{d} (2.15) dimana : {f} = Matriks gaya-gaya batang ( kg ) [k] = Matriks kekakuan struktur ( N/m 2 ) {d} = Matriks perpindahan ( m dan rad ) Kemudian rumus untuk menentukan kekakuan global dapat diturunkan sebagai berikut : f = [T]{f} d = [T]{d} {f} = [k]{d} [T] 1 f = [k][t] 1 d f = [T][k][T] 1 d Maka ditentukan matriks kekakuan global adalah : k = [T][k][T] 1 Dengan [T] adalah suatu faktor konversi gaya-gaya ke arah sumbu global yang berbeda-beda untuk tiap jenis struktur dan akan dijabarkan kemudian. Setelah diperoleh matriks kekakuan global, maka dapat disusun suatu matriks kekakuan struktur yang memasukkan semua komponen-komponen elemen yang ada. f 1 = k 1 d 1 f 2 k 2 d 2

angkah berikutnya yaitu menentukan syarat-syarat batas yang ada dan kemudian nilai perpindahan dapat diperoleh. Dengan nilai perpindahan global yang diperoleh, gaya-gaya batang untuk tiap element dapat ditentukan dengan : {f} = [k]{d} dimana : {d} = [T] 1 d Dalam menggunakan metode elemen hingga, perlu diperhatikan, bahwa pada tiap elemen / batang akan terdapat dua buah titik simpul yaitu simpul awal yang diberi tanda (1) dan simpul akhir yang diberi tanda (2) dan sebuah elemen yang diberi tanda (a) seperti tampak pada Gambar.2.14 1 2 Gambar.II.11.Titik 2.2. Titik Simpul simpul dan dan Elemen element Derajat kebebasan adalah jumlah komponen perpindahan yang dapat terjadi pada kedua simpul yang ada pada suatu elemen. Jumlah derajat kebebasan berbeda-beda untuk tiap jenis struktur. Misalnya, untuk elemen rangka, jumlah derajat kebebasannya adalah dua yaitu masing-masing satu perpindahan dalam arah sumbu batang ( biasanya disebut sebagai sumbu 1 ) pada titik simpul (1) dan (2). Dari jumlah derajat kebebasan yang ada, suatu matriks kekakuan untuk suatu jenis struktur dapat ditentukan. Masing-masing jenis struktur memiliki suatu matriks kekakuan tersendiri dimana matriks kekakuan untuk elemen rangka

berbeda dengan matriks kekakuan untuk elemen frame dan lain-lainnya. Begitu pula halnya dengan matriks kekakuan untuk elemen grid. Matriks kekakuan dari elemen plane frame dapat diperoleh dengan menggabungkan Matriks kekakuan truss element dengan beam element. Memiliki 6 buah DOF dimana elementelementnya mengalami gaya normal, gaya lintang, dan momen pada arah z. Kekakuan dalam suatu struktur terbagi dalam dua jenis yaitu kekakuan lokal dan kekakuan global. Kekakuan lokal adalah kekakuan elemen yang mengacu arah sumbu masing-masing elemen sedangkan kekakuan global adalah kekakuan elemen yang mengacu pada sistem koordinat global yaitu sistem koordinat kartesian (XYZ). Jika dalam suatu struktur terdapat lebih dari satu batang dengan arah sumbu lokal yang berbeda, maka kekakuan lokal dari tiap elemen harus diubah menjadi kekakuan global agar matriks kekakuan dari semua elemen yang ada dapat digabungkan. Sx1 Μz1 ΕΑ ΕΙz Μz2 Sx2 Sy1 Sy2 Gambar 2.21. derajat kebebasan untuk elemen plane frame Untuk elemen plane frame, seperti yang telah disebutkan di atas, kekakuan lokalnya merupakan gabungan dari kekakuan lokal untuk truss element dengan beam element.

Menentukan Matriks Kekakuan Untuk Flane-Frame Element Syarat keseimbangan : dimana : S x 1 = S x2 ; S y 1 = S y2 ; M Z 1 = M Z2 + S y 2. S x 1 = EA (u 1 u 2 ) ; S x 2 = EA (u 2 u 1 ) S y1 = (v 3 1 v 2 ) + 6 EI (χ 2 1 + χ 2 ) ; S y2 = 3 (v 2 v 1 ) 6 EI 2 (χ 1 + χ 2 ) M Z 1 = 6 EI 2 (v 1 v 2 ) + 2 EI (2χ 1 + χ 2 ) ; M Z 2 = 6 EI 2 (v 1 v 2 ) + 2 EI (χ 1 + 2χ 2 ) Maka diperoleh : S x1 S y1 M Z 1 = S x 2 S y2 M Z 2 EA EA 3 6 EI 2 6 EI 2 4 EI 3 6 EI 2 6 EI 2 2 EI EA 3 6 EI EA 2 3 6 EI 2 6 EI 2 2 EI 6 EI 2 4 EI u 1 v 1 χ 1 u 2 v 2 χ 2 Jadi matriks kekakuan lokal untuk plane-frame element : [k] = EA EA 3 6 EI 2 6 EI 2 4 EI 3 6 EI 2 6 EI 2 2 EI EA 3 6 EI EA 2 3 6 EI 2 6 EI 2 2 EI 6 EI 2 4 EI

Menentukan Matriks Kekakuan Global Untuk Plane-Frame Element perhatikan gambar 1.2. pada sistem koordidat batang tipikal, Untuk simpul 1 pada gambar tersebut, dapat dituliskan : S x1 cos α sin α f 1 = S y 1 = sin α cosα 1 M Z 1 Untuk satu element / batang berlaku : dimana : f e = [T e ]{f e } f 1 = T f 2 T f 1 f 2 [T e ] = T T S x 1 S y1 M Z 1 Maka matriks kekakuan global untuk truss element adalah : k e = [T e ][k e ][T e ] 1 = [T]{f 1 } Karena matriks [T e ] merupakan matriks ortogonal maka dapat ditulisakan sebagai : k e = [T e ][k e ][T e ] T k e cos α sin α sin α cosα = 1 EA 6 EI 3 2 6 EI 4 EI 2 cos α sin α sin α cosα EA 1 3 6 EI 2 6 EI 2 EI 2 EA 3 6 EI EA 3 6 EI 2 6 EI 2 cos α sin α 2 EI sin α cosα 2 1 6 EI 2 4 EI cos α sin α sin α cosα 1 Jika dimisalkan cos α = c dan sin α = s, maka matriks kekekakuan global untuk Plane-Frame Element :

Ac 2 + 12I 2 s 2 A 12I 6I 2 cs s A 12I 2 cs As2 + 12I 6I 2 c2 c 6I k e = s 6I c 4I Ac 2 + 12I 2 s 2 A 12I 6I 2 cs s A 12I 2 cs As 2 + 12I 2 c2 6I c 6I c 2I 6I s Ac 2 + 12I 2 s2 A 12I 2 cs 6I s A 12I 2 cs As2 + 12I 2 c2 6I c 6I s 6I c 2I s Ac 2 + 12I 2 s 2 A 12I 2 cs 6I A 12I 2 cs As2 + 12I 2 c2 6I c 6I 6I s c 4I Setelah matriks kekakuan diperoleh maka gaya-gaya batang untuk elemen plane frame dapat dihitung dengan terlebih dahulu menghitung besarnya perpindahan yang terjadi pada titik-titik simpul dengan menggunakan persamaan (2.15). S x1 S y1 M Z 1 = S x 2 S y2 M Z 2 EA EA 3 6 EI 2 6 EI 2 4 EI 3 6 EI 2 6 EI 2 2 EI EA 3 6 EI EA 2 3 6 EI 2 6 EI 2 2 EI 6 EI 2 4 EI u 1 v 1 χ 1 u 2 v 2 χ 2 (2.16) Setelah nilai-nilai perpindahan diperoleh dari persamaan (2.16), maka gaya-gaya dalam untuk tiap elemen dapat dicari dengan menggunakan persamaan (2.15).