BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif

REKOMENDASI Peredam Kebisingan

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

KEMAMPUAN HUTAN KOTA DALAM MEREDUKSI KEBISINGAN LALU LINTAS DI BUMI SERPONG DAMAI CITY KOTA TANGERANG SELATAN ASIH RATNASIH

METODOLOGI. Peta Kabupaten Bogor ( 2010) Peta Bukit Golf Hijau (Sentul City, 2009)

Pengertian Kebisingan. Alat Ukur Kebisingan. Sumber Kebisingan

BENTUK HUTAN KOTA DALAM MEREDAM KEBISINGAN (STUDI KASUS: PT JAKARTA INDUSTRI ESTATE PULOGADUNG) Oleh. Kelompok 9. Dwitantian H Brillianti

BAB III METODOLOGI. Gambar 8 Peta Lokasi Penelitian (Sumber:

BAB VI R E K O M E N D A S I

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

Kajian Tingkat Kebisingan Komplek Permukiman di Ruang Peruntukan Perdagangan Dan Jasa Di Kota Jambi.

METODOLOGI. Jawa Barat Kab. Kuningan Desa Ancaran. Gambar 2. Lokasi Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya

IV. METODE PENELITIAN

ANALISIS DAN SINTESIS

BAB III METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. RUANG DAN FUNGSI TANAMAN LANSKAP KOTA

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB III METODE PENELITIAN

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH VEGETASI DALAM MEREDAM TINGKAT KEBISINGAN LALU LINTAS JALAN RAYA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM (TWA) PUNTI KAYU PALEMBANG

BAB VI PENUTUP. 1. Kondisi kenyamanan thermal hasil simulasi eksisting: Kondisi eksisting penggal 1,2,3 titik terendah dan tertinggi pagi

masyarakat dan dipandang sebagai kesatuan antara fisik geografis dan lingkungannya dalam arti karakteristrik. Lansekap ditinjau dari segi

I. PENDAHULUAN. Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang

Peran Hutan Kota dalam Menurunkan Tingkat Kebisingan. Riaharti Zulfahani, Gt.M.Hatta, Rusmayadi, Maharso

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

PENGANTAR VEGETASI LANDSCAPE PENGELOMPOKAN VEGETASI BERDASAR PEMBENTU DAN ORNAMENTAL SPACE

BAB III METODE PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

RESORT DENGAN FASILITAS MEDITASI ARSITEKTUR TROPIS BAB III TINJAUAN KHUSUS. 3.1 Latar Belakang Pemilihan Tema. 3.2 Penjelasan Tema

III. METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

Cut Nuraini/Institut Teknologi Medan/

ATENUASI BISING LINGKUNGAN DAN BUKAAN PADA RUANG KELAS SEKOLAH DASAR BERVENTILASI ALAMI DI TEPI JALAN RAYA. Oleh :

BAB V ANALISIS SINTESIS

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Waktu Penelitian

III HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

III. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

IV. Pemilihan Tanaman Lanskap Kota

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Jalan

REDESAIN RUMAH SAKIT SLAMET RIYADI DI SURAKARTA

Toleransi di bidang kehutanan berbeda dengan toleransi secara umum. Toleransi secara umum mengacu khusus pada ketahanan terhadap stres lingkungan

III. METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. bagi warga kota. Selain sebagai sarana tersebut, kehadiran lapangan golf

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

BAB III BAHAN DAN METODE

PENDAHULUAN. didirikan sebagai tempat kedudukan resmi pusat pemerintahan setempat. Pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. METODOLOGI. A. Metode survei

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pokok Bahasan Analisis Program, Tapak dan Lingkungan. Subject Matter Expert Ir. Irina Mildawani, MT. Agus Suparman, ST., MT.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

BAB I PENDAHULUAN Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman

Menimbang Indeks Luas Daun Sebagai Variabel Penting Pertumbuhan Tanaman Kakao. Fakhrusy Zakariyya 1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

DAMPAK KEBISINGAN AKIBAT PEMBANGUNAN JALAN LAYANG

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Pe rancangan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

III. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV KONDISI UMUM TAPAK

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Transkripsi:

23 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Leaf Index Area (LAI) Lokasi Sampel Kerapatan daun atau kerindangan, biasa diukur dengan nilai indeks luas daun atau Leaf Area Index (LAI) (Chen & Black 1992 diacu dalam Leblanc et al. 2005). Berdasarkan hal tersebut, kriteria kelas kerindangan yang dimiliki masingmasing jenis hutan kota dapat dilihat dari besar kecilnya nilai LAI (Tabel 2). Analisa menggunakan metode Digital Hemispherical Photography (DHP) dengan bantuan Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software, merupakan analisa gambar/foto tajuk untuk mengetahui nilai dari beberapa parameter struktur tajuk, kaitannya dengan intersepsi cahaya matahari yang terekam sensor digital pada gambar dikalkulasi dalam komponen warna RGB (Red; Green; Blue), radian, dan piksel pada proyeksi sudut puncak (zenith angle) (Leblanc et al. 2005). Salah satu parameter struktur tajuk, yaitu nilai LAI inilah yang kemudian dibagi ke dalam kelas kerindangan. Tabel 2 Nilai LAI dan kriteria kerindangan hutan kota secara DHP Range LAI LAI Jenis Hutan Kota Kriteria 0,89-1,69 0,89 Jalur Hijau Trembesi 1,25 Jalur Hijau Mahoni Tidak Rindang 1,44 Jalur Hijau Pinus 1,70-2,23 1,70 Tegakan Akasia 1,75 Hutan Kota 1 1,85 Tegakan Pinus 2,23 Hutan Kota 2 Rindang Penentuan kriteria kelas kerindangan LAI sangat relatif. Berikut referensi nilai minimum untuk LAI (LAImin) menurut Breuer et al. (2003), yang menyebutkan LAImin untuk spesies tumbuhan padang rumput atau semak berkisar antara 0,3 sampai 2,0 dan LAImin spesies tumbuhan musim dingin dengan banyak cabang seperti Populus tremoluides mulai dari 1,1. Sedangkan untuk tumbuhan konifer memiliki LAImin rata-rata 0,5 dan maksimum LAI tidak lebih dari 2,0 (Breuer et al. 2003). Oleh karena itu, berdasarkan pengamatan

24 visual dan nilai LAI yang diperoleh pada penelitian ini, kelas kerindangan hutan kota dibagi menjadi; tidak rindang (range LAI 0,1 < 1,7), rindang (range LAI 1,7 < 2,3), dan sangat rindang (range LAI > 2,3). Hasil kalkulasi menggunakan Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software menunjukkan nilai LAI terendah yaitu pada tutupan tajuk vegetasi jenis hutan kota Jalur Hijau Trembesi (JB). Sementara yang tertinggi yaitu jenis Hutan Kota 2 (GB). Jalur Hijau Trembesi merupakan jenis hutan kota yang berbentuk jalur dengan komposisi pohon Trembesi sebagai tanaman utamanya. Tanaman trembesi memiliki bentuk tajuk lebar menyerupai payung dan dimensi daun seperti kebanyakan famili Fabaceae, yaitu daun majemuk berukuran kecil. Nilai LAI yang kecil pada Jalur Hijau Trembesi dikarenakan lokasi sampel untuk jenis hutan kota Jalur Hijau Trembesi berada di wilayah BSD City yang masih dalam tahap pengembangan. Umur tanaman yang ditanam di dalam wilayah bagian pengembangan, termasuk tanaman trembesi sebagai jalur hijaunya, masih muda berkisar 6 8 tahun. Tanaman trembesi pada usia tersebut cenderung memiliki kerapatan tajuk yang masih rendah (Gambar 4). Gambar 4 (a) Foto tutupan tajuk menggunakan kamera berlensa fish-eye. (a) jalur hijau trembesi (b) hutan kota 2. (b) Hutan Kota 2, atau lebih dikenal oleh penduduk setempat dengan Taman Kota 2 BSD City, merupakan jenis hutan kota yang berbentuk mengelompok atau bergerombol dengan banyak strata. Jenis tanaman yang ditanam pun beragam dan dari berbagai tingkat pertumbuhan, seperti rumput sebagai tanaman ground cover,

25 semak, tingkat anakan, pohon dan liana. Tanaman di Hutan Kota 2 ditanam sesuai desain lanskap taman, dengan pohon-pohon ditanam acak dan mengumpul, serta semak yang ditanam berjajar mengikuti jalan setapak. Kondisi vegetasi yang dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai kondisi hutan alam, memungkinkan LAI pada lokasi Hutan Kota 2 memiliki nilai yang tinggi pula (Gambar 4). Analisis selanjutnya mengenai kemampuan reduksi kebisingan akan dikaitkan dengan LAI hasil perhitungan Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software. Hal tersebut didasarkan pada penggunaan metode Digital Hemispherical Photograph (DHP) dan bantuan Hemiview software merupakan metode pendugaan LAI yang paling banyak dipakai saat ini karena kemudahan dan ketelitian prosesnya (Hale & Edwards 2002). Selain itu, meski hasil kalkulasi pendugaan LAI menggunakan metode DHP kadang underestimate dibanding dengan metode pendugaan destruktif, metode DHP lebih dipilih karena dapat menduga LAI pada berbagai jenis vegetasi termasuk kelapa sawit (Awal et al. 2010). 5.2 Kemampuan Reduksi Kebisingan oleh Hutan Kota Pengukuran kebisingan dilakukan di tujuh lokasi sampel sesuai dengan lokasi pengukuran parameter vegetasi, termasuk LAI. Ketujuh lokasi tersebut merupakan 4 dari 6 kombinasi bentuk dan struktur hutan kota seperti yang dijelaskan dalam bab kondisi umum lokasi penelitian, yaitu hutan kota S2, GB, J2 dan JB. Sumber kebisingan utama di lokasi penelitian adalah aktivitas lalu lintas kendaraan bermotor. Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan di masing-masing lokasi sampel dengan dua titik diukur bersamaan (titik A dan titik B) yang diantara keduanya berjarak 10 meter. Besarnya tingkat kebisingan berbeda satu sama lain antar jenis hutan kota (lokasi sampel) yang dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

26 Tabel 3 Tingkat kebisingan di lokasi sampel Rataan tingkat No. Jenis hutan kota (Lokasi sampel) r kebisingan (db) (m) Titik A Titik B 1 Tegakan Acacia mangium (Area komersial Damai 20 Indah Golf) 68,30 59,64 2 Hutan Kota 1 (Taman Kota 1 Jl. Letnan Sutopo) 1 73,74 63,76 3 Jalur Hijau Trembesi (depan Greencove) 0,5 72,98 64,58 4 Jalur Hijau Pinus (Kolam Renang Sektor I.3) 0,5 71,88 61,34 5 Hutan Kota 2 (Taman Kota 2 Jl. Tekno Utama) 10 69,26 59,68 6 Tegakan Pinus (depan Eka Hospital / Halte BSD 10 Feeder Busway) 74,48 64,54 7 Jalur Hijau Mahoni (Sektor I.2) 1 71,64 63,04 Keterangan: r = jarak dari sumber kebisingan ke titik A Tingkat kebisingan pada masing-masing lokasi menunjukkan nilai yang cukup besar. Tingkat kebisingan pada area depan vegetasi atau dekat sumber kebisingan selalu lebih besar dari tingkat kebisingan pada area belakang vegetasi. Perbedaan tingkat kebisingan di titik A yang cukup signifikan diantara ketujuh lokasi sampel, yaitu pada Tegakan Acacia mangium dan Hutan Kota 2 yang nilainya kurang dari 70 db. Hal tersebut dikarenakan penempatan titik A kedua lokasi tersebut berbeda dengan kelima lokasi lainnya. Titik A pada lokasi Tegakan mangium berjarak sekitar 20 meter dari sumber kebisingan (jalan raya), sedangkan di Hutan Kota 2 jarak dari sumber kebisingan ke daerah depan vegetasi yaitu sekitar 10 meter. Perbedaan jarak ini akan dibahas pada sub-bab pengaruh faktor lingkungan terhadap reduksi kebisingan. Rata-rata tingkat kebisingan di setiap lokasi menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari batas yang diperbolehkan menurut baku mutu tingkat kebisingan untuk wilayah permukiman. Oleh karena itu, pentingnya keberadaan vegetasi hutan kota dalam pengendalian kebisingan di BSD City. Nilai reduksi kebisingan merupakan selisih dari tingkat kebisingan pada area depan vegetasi (titik A; dekat sumber kebisingan) dengan tingkat kebisingan pada area yang terhalang oleh vegetasi (titik B). Reduksi kebisingan tertinggi dimiliki oleh jenis hutan kota Jalur Hijau Pinus yang merupakan hutan kota bentuk jalur hijau empat lapis dan berstrata banyak (JB). Sementara itu, jenis hutan kota yang memiliki nilai reduksi terendah diantara ketujuh lokasi sampel tersebut adalah Jalur Hijau Trembesi, hutan kota berbentuk jalur berstrata banyak. Nilai reduksi kebisingan pada ketujuh lokasi hutan kota disajikan pada Gambar 5.

27 Reduksi Kebisingan oleh Hutan Kota Nilai Reduksi Kebisingan (db) 12 10 8 6 4 2 0 8,66 Tegakan Akasia 9,98 Hutan Kota 1 8,40 Jalur Trembesi 10,54 9,58 Jalur Pinus Hutan Kota 2 9,94 Tegakan Pinus 8,60 Jalur Mahoni NRV Jenis Hutan Kota/Lokasi Sampel Gambar 5 Kemampuan reduksi kebisingan oleh berbagai jenis hutan kota. Hutan kota dengan bentuk dan struktur hutan kota yang berbeda memiliki kemampuan mereduksi kebisingan yang berbeda pula. Hal tersebut menunjukkan adanya faktor yang berasal dari vegetasi itu sendiri maupun lingkungan sekitar yang dapat mempengaruhi reduksi kebisingan. Komposisi jenis tanaman, kerapatan dan LAI merupakan faktor dari vegetasi, sedangkan suhu udara, kelembaban udara dan arah angin merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi reduksi kebisingan oleh hutan kota. 5.3 Hubungan Reduksi Kebisingan dengan Bentuk dan Struktur Vegetasi Hutan Kota 5.3.1 Pengaruh parameter vegetasi Parameter vegetasi yang meliputi indeks luas daun (Leaf Area Index/LAI), jumlah strata dan kerapatan tanaman diduga dapat mempengaruhi besarnya nilai reduksi kebisingan. Seperti yang dijelaskan oleh Irwan (2008), bahwa besarnya tingkat kebisingan dapat dikontrol oleh (1) vegetasi tergantung pada spesies tanaman, tinggi tanaman, kerapatan, dan jarak tumbuh, (2) faktor iklim yaitu angin, suhu, dan kelembaban udara, (3) properti dari suara yaitu tipe, asal, tingkat desibel, dan intensitas suara.

28 Tabel 4 Kemampuan reduksi kebisingan dan parameter vegetasi No. Jenis Hutan Kota N RV (db) LAI K per plot (individu) Keterangan 1 Tegakan A. mangium 8,66 1,70 15 Menyebar strata 2 2 Hutan Kota 1 9,98 1,75 32 Gerombol strata banyak 3 Jalur hijau Trembesi 8,40 0,89 12 Jalur strata banyak 4 Jalur hijau Pinus 10,54 1,44 20 Jalur strata banyak 5 Hutan Kota 2 9,58 2,23 29 Gerombol strata banyak 6 Tegakan Pinus 9,94 1,85 22 Menyebar strata 2 7 Jalur hijau Mahoni 8,60 1,25 4 Jalur strata 2 Keterangan: N RV = nilai reduksi kebisingan (db) LAI = Leaf area index K = Kerapatan tanaman (individu/plot) Kerapatan tanaman dalam plot sampel (0,04 Ha) digunakan untuk melihat hubungannya dengan reduksi kebisingan, meski demikian nilai kerapatan tidak selalu berbanding lurus dengan nilai reduksi kebisingan (Tabel 4). Karakteristik tanaman yang berbeda-beda dalam suatu plot (misal: Hutan Kota 1) akan menghasilkan nilai reduksi yang berbeda dengan karakteristik tanaman tegakan sejenis (misal: Tegakan Akasia). Reduksi kebisingan tertinggi dimiliki oleh jenis hutan kota Jalur Hijau Pinus (JB). Jalur hijau pinus ini terdiri dari empat lapis tanaman yang ditanam cukup rapat, dengan pinus (konifer) sebagai vegetasi utama (2 lapis) semak dan palem sebagai vegetasi pendukung. Hasil penelitian Kim et al. (1989) yang diacu dalam Widagdo (1998), menunjukkan bahwa tanaman Thuja orientalis (konifer) mereduksi kebisingan lebih efektif daripada tanaman Eunymus japonicus (berdaun lebar). Nilai kerapatan jenis tanaman pada setiap lokasi sampel dapat dilihat pada Lampiran 3. Nilai LAI yang dapat menggambarkan kerindangan (kerapatan daun) suatu jenis tanaman merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi besar-kecilnya nilai reduksi kebisingan. Dari Tabel 4 dapat dilihat hubungan antara kemampuan reduksi kebisingan pada jenis hutan kota Jalur Hijau Trembesi dengan nilai LAI-nya. Nilai LAI yang digunakan merupakan hasil kalkulasi Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software. Dapat dilihat bahwa Jalur Hijau Trembesi yang termasuk dalam kelas tidak rindang juga memiliki kemampuan reduksi yang rendah. Namun, kemampuan tertinggi yaitu pada hutan kota jenis Jalur Hijau Pinus tidak diimbangi dengan besarnya nilai LAI. Nilai LAI tertinggi justru pada Hutan Kota 2, bentuk hutan kota yang bergerombol dan memiliki

29 strata yang banyak mendukung besarnya nilai LAI tersebut. Hal tersebut memperlihatkan bahwa nilai LAI tidak selalu berbanding lurus dengan besarnya reduksi kebisingan. Kemampuan reduksi kebisingan tertinggi dimiliki oleh jenis hutan kota Jalur Hijau Pinus (lokasi sektor I.3), merupakan hutan kota berbentuk jalur hijau dan berstrata banyak. Jalur hijau pinus ini terdiri dari empat lapis/baris tanaman yang ditanam cukup rapat. Melihat hasil analisis parameter vegetasi pada hutan kota tersebut, dapat diketahui bahwa faktor yang paling mendukung reduksi kebisingan yaitu kerapatan pada daerah dekat sumber kebisingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Cook dan Haverbeke (1971) diacu dalam Irwan (2008) yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan hasil yang optimum, jajaran semak dan pohon sebaiknya ditanam dekat pusat kebisingan. Artinya, kerapatan tanaman yang tinggi akan sangat berpengaruh pada reduksi kebisingan jika ditanam dekat dengan sumber kebisingan, seperti pada jalur hijau pinus. Fang dan Ling (2003) yang mengutip penjelasan Cook dan Haverbeke (1974) menyebutkan bahwa kerapatan, tinggi, panjang dan lebar (ketebalan) jalur/sabuk hijau merupakan faktor paling efektif dalam mereduksi kebisingan dibandingkan dengan ukuran daun dan karakteristik percabangan. Kerapatan, tinggi, panjang dan lebar sabuk hijau mendifusi kebisingan, sedangkan ukuran daun dan karakteristik percabangan mengabsorpsi resonansi (Aylor 1972 diacu dalam Fang & Ling 2003). Kerapatan tanaman tertinggi dimiliki oleh Hutan Kota 1, merupakan jenis hutan kota dengan bentuk mengelompok atau gerombol dan berstrata banyak. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor kerapatan tanaman berpengaruh terhadap reduksi kebisingan. Kemampuan hutan kota dalam mereduksi kebisingan yang bersumber dari aktivitas lalu lintas, akan lebih berpengaruh pada jenis hutan kota yang memiliki jarak dekat dengan sumber kebisingan tersebut, seperti halnya jalur hijau. Berdasarkan hasil penelitian ini, jalur hijau sebagai barrier kebisingan akan efektif bila memiliki kerapatan yang tinggi dan memiliki banyak strata. Sesuai dengan yang dikemukakan Irwan (1994) bahwa kerapatan tanaman lebih penting daripada spesies tanaman dalam mereduksi kebisingan. Keberadaan semak yang merupakan bagian dari struktur hutan kota juga sangat penting dalam membantu

30 vegetasi utama hutan kota mereduksi kebisingan. Meski hasil yang diperoleh berbeda dengan hasil penelitian Irwan (1994) yang menyatakan bahwa hutan kota bentuk mengelompok strata banyak lebih efektif mereduksi kebisingan, Namun ada pernyataan yang mendukung hasil penelitian ini, yaitu tentang besarnya pengaruh strata. Hutan kota berstrata banyak lebih efektif menurunkan kebisingan dibandingkan dengan hutan kota berstrata dua (Irwan 1994). Bentuk hutan kota yang memiliki reduksi kebisingan tertinggi pada penelitian ini yaitu bentuk jalur hijau, diimbangi dengan struktur hutan kota berstrata banyak. Namun tidak selalu dapat dikatakan lebih baik mereduksi kebisingan dibandingkan lokasi lainnya. Hal tersebut dikarenakan setiap jenis hutan kota yang diteliti memiliki karakteristik berbeda satu sama lain. Hubungan antara LAI dan kerapatan tanaman dengan nilai reduksi kebisingan yang tidak selalu berbanding lurus juga mengindikasikan bahwa adanya faktor lain di luar pengukuran yang lebih mempengaruhi reduksi kebisingan. Faktor lain yang diduga mempengaruhi reduksi kebisingan yaitu umur tanaman. Misalnya, kerapatan tanaman yang tinggi namun umur tanaman yang masih muda, maka LAI vegetasi rendah. Tanaman yang umurnya cukup tua (tinggi dan diameter besar) memiliki tajuk yang juga cukup lebar dan berdaun lebat (terkecuali tanaman sakit/rusak) sehingga memungkinkan meredam kesisingan lebih baik. Meilani (2002) mengemukakan bahwa kemampuan suatu jenis tanaman dalam mereduksi kebisingan juga dipengaruhi oleh tinggi, ketebalan, bentuk kanopi, dan model arsitekturnya. Tegakan pinus yang memiliki tinggi, ketebalan, bentuk tajuk dan model arsitektur seragam pada Jalur Hijau Pinus diduga mempengaruhi besarnya reduksi kebisingan dibanding tegakan tidak seragam pada Hutan Kota 1 dan 2. Tinggi pohon dan ketebalan jalur hijau memiliki hubungan positif dengan redaman relatif (Fang & Ling 2005). Tinggi tanaman rata-rata pada tegakan utama Jalur Hijau Pinus yaitu sekitar 10 meter dengan tinggi bebas cabang sekitar 2 meter memungkinkan mereduksi kebisingan lebih tinggi pada tegakan seragam ini, terlebih dengan adanya semak yang ditanam rapat sejajar dengan tegakan utama. Kepadatan, tinggi tanaman, panjang dan lebar jalur hijau merupakan faktor yang lebih efektif dalam mereduksi kebisingan dibandingkan ukuran daun dan karakteristik percabangan (Cook & Haverbeke

31 1974 diacu dalam Fang & Ling 2003). Menurut Grey dan Deneke (1986), secara umum lebar jalur hijau dengan pohon yang tinggi akan lebih efektif dibandingkan dengan jenis tanaman dalam mereduksi tingkat kebisingan. Keefektifan barrrier kebisingan semakin meningkat dengan meningkatnya ketebalan, tinggi dan kerapatan tanaman (Grey & Deneke 1986). Tinggi tanaman pada Hutan Kota 1 yang cukup tinggi memungkinkan reduksi pada perambatan suara dengan tinggi daerah bayang-bayang bising yang juga tinggi, tetapi tidak dapat mereduksi suara yang lewat pada daerah bayangbayang bising yang rendah karena tidak terhalang oleh semak yang tidak ditanam rapat dan tinggi bebas cabang yang cukup tinggi pula. Suara yang merambat melauli udara dan melewati celah antara batang-batang pohon akan terus lewat tanpa redaman dari ranting dan daun sampai kekuatan suara melemah karena faktor jarak. Begitu pula halnya dengan tegakan pada Hutan Kota 2 dimana beberapa tanaman yang cukup tinggi tersebar tidak merata dengan tanaman muda (tinggi cukup rendah) dan semak yang juga tidak ditanam rapat dan sejajar dengan jalan raya (sumber kebisingan). 5.3.2 Pengaruh jarak pegukuran dan faktor lingkungan Lokasi sampel hutan kota yang diteliti memiliki jarak dari sumber kebisingan dengan daerah depan vegetasi yang berbeda-beda. Hutan kota bentuk jalur hijau memiliki jarak terdekat antara daerah depan vegetasi dengan sumber kebisingan dibandingkan hutan kota bentuk menyebar dan mengelompok. Jarak antara sumber kebisingan dengan daerah depan vegetasi (titik pengukuran A) merupakan lahan terbuka tanpa vegetasi. Jarak terdekat yang tercatat pada penelitian ini yaitu 0,5 meter (bahu jalan) yaitu di Jalur hijau pinus dan yang terjauh adalah 20 meter yaitu di tegakan mangium. Penurunan tingkat kebisingan terjadi pada jarak yang semakin jauh dari sumber kebisingan, tetapi tidak seefektif menggunakan barrier vegetasi. Seperti yang terlihat pada Tabel 3 dan Gambar 5, nilai reduksi kebisingan oleh hutan kota tegakan mangium lebih kecil dibandingkan reduksi kebisingan oleh jalur hijau pinus. Hal ini menunjukkan bahwa vegetasi dengan kerapatan tinggi akan efektif mereduksi kebisingan pada jarak yang dekat dengan sumber kebisingannya. Serupa dengan yang dikemukakan Cook dan Haverbeke (1971) diacu dalam Irwan (2008), bahwa

32 untuk mendapatkan hasil yang optimum dalam mereduksi kebisingan, jajaran semak dan pohon seharusnya ditanam dekat pusat kebisingan. Faktor lingkungan yang diduga dapat mempengaruhi besarnya nilai reduksi kebisingan juga diukur bersamaan dengan pengukuran tingkat kebisingan di masing-masing lokasi sampel. Faktor lingkungan yang diukur bersamaan pada saat pengukuran tingkat kebisingan antara lain suhu udara, kelembaban udara, dan arah angin. Beberapa nilai tersebut diukur untuk mengetahui adanya hubungan antara faktor lingkungan dengan kemampuan reduksi kebisingan dan sebagai penunjang hasil hubungan antara bentuk dan struktur hutan kota dengan reduksi kebisingan. Jenis hutan kota yang memiliki suhu udara tertinggi yaitu Jalur Hijau Trembesi (T = 29 o C) dengan kelembaban udara sebesar 70%. Jenis hutan kota yang memiliki suhu udara terendah (27 o C) yaitu Hutan Kota 1 dan Hutan Kota 2. Hutan Kota 1 memiliki kelembaban udara sebesar 62% dan merupakan yang terendah dari ketujuh lokasi, sedangkan Hutan Kota 2 memiliki kelembaban udara tertinggi (83%) diantara ketujuh lokasi sampel. Berikut adalah data faktor lingkungan yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Data faktor lingkungan pada lokasi sampel No. Lokasi Sampel Suhu udara ( o C) Kelembaban udara (%) Arah angin 1. Tegakan A. mangium / Area komersial Damai Indah Golf 28,5 63 Barat laut 2. Hutan Kota 1 27,0 62 Barat laut 3. Jalur Hijau Trembesi depan Greencove 29,0 70 Timur laut 4. Jalur Hijau Pinus Kolam Renang Sektor I.3 28,0 69 Selatan 5. Hutan Kota 2 27,0 83 Barat daya 6. Tegakan Pinus depan Eka Hospital / Halte BSD Feeder Busway 27,5 69 Utara 7. Jalur Hijau Mahoni Setor I.2 28,0 70 Tenggara Faktor-faktor lingkungan di atas tidak dapat secara langsung berpengaruh terhadap besar-kecilnya nilai reduksi kebisingan. Faktor tersebut erat kaitannya dengan perambatan bunyi atau dengan parameter vegetasi yang membangun hutan kota tersebut. Kerapatan tanaman misalnya, semakin rapat tanaman dalam suatu plot akan memberikan penurunan suhu dibanding lahan terbuka (Irwan 1994). Ketiga lokasi sampel yang memiliki kerapatan tanaman yang cukup rapat (hutan

33 kota 1, hutan kota 2, tegakan pinus) juga menunjukkan temperatur yang hampir sama, yaitu lebih rendah dari lokasi sampel lainnya. Suhu udara yang tinggi menyebabkan pemuaian suara dan mempengaruhi cepat rambat suara di udara (Doelle 1985). Namun, nilai reduksi tertinggi di lokasi Jalur Hijau Pinus tidak terpengaruh nyata oleh temperatur udara di sekitarnya. Begitu pula dengan nilai kelembaban udara relatif di masing-masing lokasi sampel. Pengukuran pada hutan kota Jalur Hijau Pinus ditemukan faktor lain yang memungkinkan mempengaruhi besarnya kemampuan reduksi kebisingan di lokasi tersebut, yaitu topografi. Kondisi yang dijumpai di keenam lokasi terkecuali Jalur Hijau Pinus di sektor I.3, memiliki topografi lahan yang datar sejajar dengan jalan raya (Gambar 6). Berbeda di Jalur Hijau Pinus yang topografi lahan dibelakang vegetasinya menurun dengan kemiringan tertentu ke arah dalam permukiman sektor I.3, seperti membentuk barrier gundukan. Ketika melakukan pengukuran tingkat kebisingan, titik B (area belakang vegetasi) berada lebih rendah dibanding titik A (daerah depan vegetasi) yang sejajar dengan jalan raya (Gambar 6). (a) (b) Gambar 6 Perbedaan bentuk permukaan lahan hutan kota. (a) Hutan Kota 1, (b) Jalur Hijau Pinus. Topografi lahan bervegetasi seperti pada Jalur Hijau Pinus yang membentuk barrier berupa gundukan tanah, sangat efektif dalam membantu mereduksi kebisingan lalu lintas jalan raya. Hal tersebut sesuai dengan kaidah dinding penghalang kebisingan, yang dapat dibentuk dari material dinding keras, gundukan tanah, maupun vegetasi jalur hijau. Senada dengan pernyataan Hakim (2006) bahwa dinding penghalang kebisingan akan lebih efektif bila dikombinasikan antara material buatan, gundukan tanah dan vegetasi penghalang.