BAB V PENUTUP. penting yang menjadi pokok atau inti dari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :

dokumen-dokumen yang mirip
Filled Notes. 1. Wawancara dengan Bapak YB. Hari/tanggal : Selasa, 27 Maret : Rumah Bapak YB : WITA.

RITUAL KEMATIAN SUKU SABU (KAJIAN PASTORAL TERHADAP RITUAL KEMATIAN BAGI ORANG SABU) TESIS ELSYE YUNITA DJAMI

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. perempuan atau pun jenis kelamin, semuanya pasti akan mengalaminya. Tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap budaya dari suatu kelompok masyarakat, pada dasarnya memiliki cara untuk

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

PARTISIPAN : (Yang menjual anak) Nama : Alamat : Umur : Pekerjaan : Pendidikan : Jabatan dalam gereja/masyarakat :

1. Apa yang dipahami pejabat gereja dalam hal ini Pendeta jemaat tentang PASTORAL? 3. Sejak kapan TIM DOA ini hadir ditengah-tengah Gereja?

BAB IV ANALISA PEMAHAMAN MENGENAI BENTUK-BENTUK PELAYANAN KOMISI DOA DI JEMAAT GPIB BETHESDA SIDOARJO SESUAI DENGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang

BAB V KESIMPULAN. Di dalam Alkitab, setidaknya terdapat tiga peristiwa duka dimana Yesus

BAB V PENUTUP. sebelumnya, maka pada bab terakhir ini penulis akan menyimpulkan Telaah

BAB IV TINJAUAN KRITIS. budaya menjadi identitasnya. Apabila manusia dicabut dari budayanya, ia bukan lagi orang

BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB IV ANALISIS ALAT MUSIK DAN TARIAN

BAB 1 PENDAHULUAN Kematian

BAB III PENYAJIAN DATA. A. Pelaksanaan Kenduri Arwah sebagai rangkaian dari ritual kematian dalam

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan. 1) Gambaran umum tentang orang Tionghoa yang ada di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN UKDW

1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan pada abad ke-16. Masyarakat

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

BAB II GEREJA DAN PASTORAL

BAB I PENDAHULUAN. 1 A Sopaheluwakan, Tjeritera tentang Perdjandjian Persaudaraan Pela (Bongso-bongso) antara negeri

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

BAB IV ANALISA FUNGSI KONSELING PASTORAL BAGI WARGA JEMAAT POLA TRIBUANA KALABAHI

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

I. PENDAHULUAN. sebuah kalimat yang berasal dari lafadz hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. menarik. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan keindahan, manusia

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan alasan atau dilakukannya penelitian ini serta

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan. Gereja merupakan sebuah wadah yang seharusnya aktif untuk dapat

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

Pdt. Dr. Retnowati, M. Si Pdt. Totok S. Wiryasaputra, Th.M

BAB I PENDAHULUAN. 2003: 13). Megalitik berasal dari kata mega yang berarti besar dan lithos yang

BAB I PENDAHULUAN. hakekatnya manusia adalah makhluk berbudaya yang hidup dan berkembang dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, p. 5

BAB I PENDAHULUAN. sebagainya. Tidak hanya menyebarkan di daerah-daerah yang menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang Masalah. Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya sebab kebudayaan ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tari sebagai ekspresi jiwa manusia dapat diwujudkan dalam bentuk

BAB IV PENTINGNYA KONSELING PASTORAL ANTARBUDAYA DI JEMAAT GMI WESLEY JAKARTA. A. Realitas Konseling Pastoral Antarbudaya di GMI Wesley

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai berbagai macam suku

INSTRUMEN PENELITIAN LAMPIRAN 1. Pendampingan Pastoral Terhadap Remaja Yang Lahir Di Luar Pernikahan di Jemaat GPM Tuhaha Oleh Rona Els Wenno

BAB V. Penutup: Refleksi, Kesimpulan dan Saran

BAB II TEORI PENDAMPINGAN PASTORAL, KEDUKAAN, RITUAL KEAGAMAAN

BAB I PENDAHULUAN. Minangkabau merupakan salah satu dari antara kelompok etnis utama bangsa

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. yang pada umumnya mempunyai nilai budaya yang tersendiri. Dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman kebudayaan Indonesia merupan kebanggaan yang pant as

UKDW. Bab I. Pendahuluan

BAB III RITUAL KEMATIAN DO HAWU DAN MAKNA PENDAMPINGAN PASTORAL

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB IV KAJIAN PELAYANAN PASTORAL PENDETA TERHADAP PASIEN MARAPU DI RUMAH SAKIT KRISTEN LENDE MORIPA WAIKABUBAK SEBAGAI PENDEKATAN KONSELING LINTAS

BAB IV HOLE DALAM KEKRISTENAN DI JEMAAT GMIT EBENHEAZER-LEDERABBA MESARA


UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB V PENUTUP. Tradisi penjualan anak adalah suatu tradisi masyarakat di pulau Timor dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB I PENDAHULUAN. pada masyarakat Pesisir adalah pertunjukan kesenian Sikambang di Kelurahan

@UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada umumnya, warga jemaat GKJ (Gereja-Gereja Kristen Jawa) sesuai dengan tradisi

BAB I PENDAHULUAN. Bandung, 1999, hlm 30

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, kebudayaan pada umumnya tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

I PENDAHULUAN. Manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keberadaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah Ngadha adalah wilayah di Flores Tengah. Kabupaten Ngadha terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan. proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi.

BABI PENDAHULUAN 1.1 LATARBELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Tradisi merupakan salah satu alat untuk mempersatukan antar masyarakat, dan

BAB I PENDAHULUAN. kenal dengan istilah agama primitif, agama asli, agama sederhana. 1 Agama suku adalah

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan memiliki berbagai macam

Alat Musik Dalam Adat dan Gereja. (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T E S I S

BAB I. PENDAHULUAN. Gereja adalah suatu kehidupan bersama religius yang dijalani oleh manusia

BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN. menguraikan terlebih dulu gambaran umum GPM Jemaat Airmanis.

BAB I PENDAHULUAN. peninggalan nenek moyang yang sangat berbeda latar belakangnya. Keragaman

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan

BAB I PENDAHULUAN. Utara.Sumatera Utara juga memiliki kebudayaan yang beragam.

PEMAHAMAN MAKNA LITURGI (Studi Mengenai Makna Warna-warna Liturgis dalam Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan Bali/GKPB)

K2 KEMAMPUAN KUESIONER KARUNIA-KARUNIA ROH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Workshop Penyusunan Data Awal Referensi Nilai Budaya Tak Benda Kab. Sumba Barat Daya Prov. Nusa Tenggara Timur

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan masyarakat setiap suku. Kebudayaan sebagai warisan leluhur dimiliki oleh

1. WARISAN BUDAYA BENDA DAN TAK BENDA KABUPATEN TANA TIDUNG. Jenis Warisan Budaya : Cagar Budaya ( Warisan Budaya Benda )

Transkripsi:

BAB V PENUTUP Pada bagian V ini, penulis akan memaparkan tentang kesimpulan dan saran. 5. 1. Kesimpulan Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal penting yang menjadi pokok atau inti dari tulisan ini, yaitu sebagai berikut : 1) Setiap rangkaian ritual kematian yang dilakukan tidak hanya dibuat orang yang telah meninggal tetapi juga bagi keluarga yang ditinggalkan. Bagi orang yang meninggal, ritual dilakukan agar terjamin keadaannya di alam baka dan bisa sampai atau bertemu dan berkumpul dengan arwah nenek moyang. Dari pihak keluarga yang masih hidup tidak dilanda pengaruh buruk (baik itu perasaan kehilangan identitas, maupun mendapat gangguan roh si mati) akibat suatu kematian. Sikap memedulikan sangat berpengaruh ketika seseorang mengalami kedukaan katena kematian orang yang dikasihi. Penulis juga melihat ada beberapa fungsi pastoral yang tampak dari berbagai ritual kematian Suku Sabu. Fungsi pastoral tersebut adalah a) Menyembuhkan (Healing), terlihat dalam ritual Huhu Kebie, dimana ada lantunan syair yang menunjukan bahwa hidup harus terus berlanjut sehingga tidak usah bersedih terlalu lama. Hal ini karena secara tidak langsung orang yang melantunkan syair itu telah memberikan semacam motivasi untuk terus melanjutkan. Menyembuhkan (Healing), juga terlihat dari keseluruhan proses mati asin (made haro) atau mati tidak wajar. Dalam upacara ini, mereka melakukan ritual memaniskan kembali keadaan yang telah rusak agar orang telah meninggal tersebut dapat diterima para leluhur di alam gaib. Hal ini juga 82

dapat memberikan kesembuhan secara batin yang terluka akibat kematian anggota keluarga secara tidak wajar serta menormalkan ke keadaan semula. b) Menopang (Sustaining), penulis melihat fungsi ini lewat kedatangan keluarga, kenalan dan handai taulan. c) Mendamaikan (Reconciling), menurut penulis tampak saat hubungan manusia dan sesama serta Tuhannya telah rusak akibat kematian yang tidak wajar sehingga dalam segala bentuk ritual mati asin (made haro) dilakukan proses memaniskan kembali ke keadaan semula sehingga hubungan atau relasinya dapat tejalin lagi. d) Memberdayakan (empowering) nampak dalam keseluruhan ritual kematian yang dilakukan, yaitu bahwa orang yang datang ke rumah duka dan melihat ritual tersebut dilakukan maka mereka menyaksikan sendiri bahwa keluarga yang berduka di bantu oleh kelompoknya untuk bisa bertahan dalam masa berduka dan ada rasa kekeluargaan yang nampak sehingga ketika kedukaan itu terjadi pada mereka, mereka telah mengetahui cara untuk bertahan dikala duka dan bisa memakainya untuk membantu orang lain yang sedang berduka. Dalam tulisan ini, penulis tidak menambahkan fungsi membimbing (Guiding). Hal ini dikarenakan penulis tidak melihat hal ini dalam ritual kematian orang Sabu. Fungsi ini mungkin ada di beberapa kasus-kasus kedukaan tertentu, namun dalam ritual ini penulis tidak menemukan fungsi ini. Oleh karena itu, penulis melihat bahwa kelima fungsi pastoral dalam yang dikemukakan para ahli tidak semuanya ada pada ritual kematian orang Sabu, namun bisa saja ada pada kasus-kasus kedukaan budaya lain atau dalam kasus pribadi atau kelompok yang memiliki masalah sebelum atau setelah terjadi kematian. 83

Dalam pandangan orang Sabu manusia adalah makhluk sosial, dalam artian mencakup hubungan dengan manusia lain, dengan alam, dan kekuatan yang lebih besar diluar dirinya. Oleh karena itu dalam seluruh rangkain ritual kematian suku Sabu, tampak sikap saling tolong-menolong. Salah satu contohnya adalah ketika ada yang meninggal keluaga ataupun kenalan akan membawa hantaran untuk keluarga yang berduka, bisa berupa barang atau hewan. Setelah itu, hantaran yang dierikan kepada keluarga akan dicatat sehingga ketika keluarga tersebut mengalami pesta atau acara lain termasuk kematian maka akan dibalas kembali oleh keluarga yang telah di berikan hantaran tersebut. Hal ini dilakukan agar saling mengingat satu sama lain atau biasa disebut sistem balas jasa, sehingga apa yang kita lakukan kepada orang lain, maka hal itu yang akan di terjadi pada kita. 2) Made atau meninggal menurut kepercayaan orang Sabu adalah keadaan dimana seseorang akan kembali kepada sang pencipta (Deo Ama) untuk berkumpul dengan bersama dengan para leluhur. Arwah orang yang meninggal akan berangkat dari pelabuhan Iki Keli, dengan menaiki perahu yang bernama Ama Piga Laga ke Yuli Haha (tanjung Sasar) dekat pulau Sumba. Menurut penulis kematian merupakan sesuatu yang pasti didalam kehidupan, artinya setiap orang pasti akan mengalaminya. Kematian merupakan saat dimana jiwa atau roh keluar dari tubuh. Tubuh memiliki semacam tanggal kadaluarsa nya sehingga tubuh akan menjadi tua dan akhirnya mati. Hal ini berbeda dengan jiwa yang bersifat kekal. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pendapat orang tentang arti kematian, yaitu : keluarga dan lingkungan, tradisi, pendidikan, agama atau keyakinan. 3) Pendeta dan majelis di kota Kupang kurang paham tentang arti pendampingan pastoral. Mereka terjebak dalam pemahaman bahwa pendampingan itu sama dengan pemberian nasihat. Hal ini mengakibatkan dalam melakukan pendampingan mereka 84

cenderung memberikan solusi terhadap masalah yang dialami orang yang didampingi. Mereka juga kurang memahami tahap-tahap atau proses yang benar tentang pendampingan pastoral. Hal ini mungkin kurangnya informasi atau pengetahuan yang jelas tentang hal tersebut. Mereka biasanya melakukan pendampingan pastoral hanya pada saat berkunjung untuk berbelasungkawa kepada keluarga yang berduka, lewat ibadah penghiburan, ibadah penguburan, dan ibadah ucapan syukur saja. Padahal belum tentu rasa duka bisa berkurang atau hilang dengan adanya penghiburan secara singkat itu. ibadah penghiburan dan ibadah ucapan syukur tidak dilakukan oleh pendeta, biasanya dilakukan oleh majelis, pelayan magang ataupun vikaris. Hal ini jelas berpengaruh pada masa berduka seseorang. Menurut penulis, pendeta tetaplah merupakan sosok yang di tinggi dalam gereja, sehingga ketika jemaat mengalami masalah, maka orang yang paling ingin ia datang untuk menghiburnya adalah pemimpin agamanya. 5. 2. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan analisa pada bab sebelumnya, penulis juga memberikan beberapa saran yaitu sebagai berikut : 1) Para pejabat gereja harus membenahi cara atau teknik pendampingan pastoral yang baik dan efisien. Kenyataan yang dihadapi selama ini ketika ada orang yang meninggal dunia yang sering sekali dilakukan adalah sebelum pemakaman dilakukan perkunjungan, malam penghiburan, acara pemakaman (badah di rumah duka, Ibadah di tempat pemakaman), dan ibadah syukur. Sayangnya, tahapan-tahapan ini belum sepenuhnya menjawab kedukaan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami kehilangan, sehingga pada gilirannya muncul dampak atau reaksi duka di dalam diri orang yang mengalami kedukaan itu. Sebaiknya diadakan pelatihan bagi pendeta 85

dan majelis tentang pendampingan pastoral bagi orang yang sedang mengalami kedukaan serta melakukan persiapan untuk menghadapi kematian agar lebih efektif dan bermanfaat bagi orang yang didampingi. 2) Adat istiadat tidak perlu dihilangkan, karena itulah ciri khas Indonesia. Cara yang paling tepat adalah merevitalisasi adat istiadat tadi dengan mengisi nuasa baru, seperti menambahkan aspek pendampingan dan nuansa keagamaan. Hal tersebut menurut penulis merupakan cara yang tepat, daripada menghilangkan sama sekali adat istiadatnya. 3) Penulis juga menyarankan bagi penelitian selanjutnya untuk melihat pandangan pendeta tentang kematian bagi suku Sabu. Hal ini dirasa penting karena dapat dipakai oleh mereka (pendeta) untuk mendampingi orang yang sedang mengalami kedukaan (dalam hal ini orang Sabu) sehingga dapat lebih efisien dan efektif. 86