BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. tersebut. Persoalan yang timbul kemudian adalah apabila dalam waktu yang

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Lazimnya dalam suatu gugatan yang diajukan oleh kreditor terhadap

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi termasuk sektor keuangan dan perbankan harus segera

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

Asas dan Dasar Hukum Kepailitan. Dr. Freddy Harris Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir

BAB I PENDAHULUAN. terhadap beberapa segi kehidupan di Indonesia baik di bidang. sosial,ekonomi,budaya,dan lain-lain.khususnya di bidang

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut pihak-pihak sebaiknya dituangkan dalam suatu surat yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA BERDASAR UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

2016, No Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pedoman Imbalan Jasa bagi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyediaan dana secara cepat ketika harus segera dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia. Oleh : Lili Naili Hidayah 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan ekonomi tersebut. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

BAB I PENDAHULUAN. yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang. Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole

Pembebanan Jaminan Fidusia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya

BAB 1 PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Perbankan merupakan lembaga yang bergerak di bidang

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. 2

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan.

Transkripsi:

1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk pula kebutuhan keuangan, sehingga untuk memenuhinya dilakukan dengan cara melakukan utang-piutang baik untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun kebutuhan permodalan sebagai pelaku usaha. Pihak kreditor selaku pihak yang kelebihan dana akan memberikan utang kepada pihak yang memerlukan dana yang bertindak selaku debitor. Pemberian utang dari pihak kreditor kepada debitor tentunya memerlukan suatu kepastian bahwa utang tersebut akan dibayarkan oleh pihak debitor secara lunas beserta bunga dan biaya yang telah disepakati bersama secara tepat waktu, beranjak dari hal tersebut maka diciptakan suatu pranata hukum jaminan berupa hak tanggungan. Hak Tanggungan merupakan suatu pranata hukum yang diciptakan sebagai payung hukum bagi kreditor untuk mendapatkan pelunasan piutangnya dari debitor dengan ketentuan adanya kewajiban bagi debitor untuk memberikan jaminan berupa tanah beserta bendabenda yang berkaitan dengan tanah guna menjamin pelunasan utangnya. Keberadaan hak tanggungan di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT). Hak Tanggungan menurut Pasal 1 UUHT adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Kedudukan yang diutamakan 1

2 adalah prioritas pembayaran utang debitor dengan menggunakan benda jaminan tersebut, kreditor pemegang hak tanggungan juga memiliki kedudukan yang lebih dahulukan daripada kreditor biasa terkait pembayaran piutang yang dimilikinya. Adanya titel eksekutorial Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa didalam sertifikat hak tanggungan memberikan kewenangan bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk mengeksekusi sendiri benda jaminan layaknya telah memperoleh putusan hakim berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) pada saat debitor wanprestasi, berdasarkan ketentuan Pasal 20 UUHT, kreditor pemegang hak tanggungan dapat melakukan eksekusi atas benda jaminan dengan cara parate executie, titel eksekutorial atau dengan cara penjualan di bawah tangan. Permasalahan yang timbul kemudian adalah apabila benda jaminan hak tanggungan tersebut merupakan harta kekayaan debitor yang telah dinyatakan pailit dan dimasukkan sebagai harta pailit (boedel pailit), kaidah hukum manakah yang akan dipergunakan dan dikenakan kepada kreditor pemegang hak tanggungan. Pasal 21 UUHT, menekankan bahwa apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya, meskipun Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU) mengakui keberadaan hak tanggungan sebagai kreditor yang didahulukan dan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan sebagaimana dinyatakan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, akan tetapi terdapat inkonsistensi terhadap pengakuan hak kreditor pemegang hak tanggungan tersebut yaitu dengan dimuatnya ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang memberikan penangguhan selama 90 (sembilan puluh) hari sejak putusan pailit dan pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi terhadap hak kreditor

3 pemegang hak tanggungan untuk melakukan titel eksekutorial yang ada dalam sertifikat hak tanggungan. Sejarah hukum kepailitan di Indonesia diawali dari krisis moneter pada tahun 1998, pada saat itu banyak pelaku usaha yang memiliki utang yang sudah jatuh tempo kepada beberapa kreditor, yang sebagian utangnya dalam kurs dollar sehingga semakin melejit jumlahnya karena semakin terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap dollar, kondisi saat itu semakin memperparah dunia usaha di Indonesia dengan akibat banyaknya pelaku usaha selaku debitor tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kewajibannya kepada kreditor yang telah memberikan pinjaman kepadanya. Hal inilah yang kemudian menjadi pendorong bagi pemerintah untuk mengundangkan suatu produk hukum terkait dengan kepailitan yang mampu mengatasi persoalan dunia usaha yang semakin kompleks dan menggantikan keberlakuan Faillissementsverordering (FV) Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348, sehingga kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, yang kemudian PERPU ini ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang, setelah itu direvisi dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU). Keberadaan UU Kepailitan dan PKPU di Indonesia yang mirip dengan regulasi kepailitan di Amerika Serikat merupakan suatu contoh telah terjadinya transplantasi hukum, akan tetapi sejauh dapat diterima dan bertahan eksistansinya maka sah-sah saja suatu negara menerapkan transplantasi hukum. Menurut Kahn-Freund Legal Transplants was to argue in particular that borrowing was the most common mode of legal development, and that it was unnecessary for the borrowing system to

4 have any real understanding of the system from which rules or institutions were borrowed 1. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat ketika debitor mengajukan permohonan pailit, maka semua harta yang dimilikinya menjadi harta pailit. Automatic stay ditetapkan oleh Pengadilan yang dilakukan untuk kepentingan semua kreditor yangberusaha mendapatkan pelunasan tagihannya dari harta kekayaan debitor. Kreditor tidak dapat memperoleh bagian dari harta pailit debitor hingga trustee membagika nharta pailit tersebut pada saat penutupan kasus kepailitan 2. Di dalam ilmu pengetahuan Hukum Perdata, disamping hak menagih (Vorderingsrecht), apabila Debitor tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, maka Kreditor mempunyai hak menagih kekayaan Debitor, sebesar piutangnya kepada Debitor itu (Verhaalstrecht) 3. Hak menagih ini merupakan hak dari kreditor untuk mendapat pelunasan dari debitor dan tidak hapus sebelum debitor telah membayar secara lunas seluruh utang tersebut. Kepailitan merupakan aturan hukum yang dapat merealisasikan ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Pedata), yaitu: Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan, dan Pasal 1132 KUH Perdata, yaitu: Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Kedua pasal tersebut mengandung arti bahwa debitor wajib bertanggungjawab terhadap 1 John W. Cairns, "Watson,Walton, And The History Of Legal Transplants", artikel pada Jurnal Ga. J. Int l & Comp. L. Vol 41, 2013, hlm. 637 2 Siti Anisah, "Studi Komparasi Terhadap Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan", artikel pada Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol.:, 2009, Hlm 41 3 Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, hlm. 17

5 seluruh utangnya dengan memberikan jaminan pelunasan kepada para kreditornya berupa benda bergerak maupun tidak bergerak dan baik yang sudah ada maupun baru akan ada di masa mendatang kepada seluruh kreditor untuk kemudian dibagi-bagikan kepada kreditor-kreditor secara seimbang menurut besar kecilnya piutang yang dimiliki oleh masingmasing kreditor, kewajiban ini baru hilang apabila debitor telah melunasi semua utangnya kepada kreditor beserta bunga-bunga yang telah ditentukan. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas 4. Harta kekayaan debitor pailit menjadi sitaan umum bagi para kreditornya guna pelunasan utang-utang debitor, yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan seorang atau beberapa kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. UU Kepailitan dan PKPU juga telah memberikan pengertian utang yang sebelumnya masih menjadi perdebatan banyak pihak karena belum adanya pengertian utang yang menjadi salah satu syarat untuk mengajukan permohonan kepailitan, pengertian utang menurut Pasal 1 angka (6) UU Kepailitan dan PKPU, utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam matauang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Setelah adanya putusan pailit dari pengadilan maka seluruh pengurusan harta kekayaan debitor pailit merupakan kewenangan dari kurator selaku pengurus dan pemberes dibawah pengawasan hakim pengawas. Profesionalisme menjadi ukuran mutlak bagi seorang kurator agar dapat bekerja cepat, efisien, transparan dan adil. Jika kurator tidak profesional dalam menjalankan tugasnya 4 Pasal 1 angka (1)UU Kepailitan dan PKPU.

6 membereskan harta pailit bisa jadi aset-aset perusahaan milik debitor pailit banyak berkurang atau menurun nilainya bahkan hilang sebagian harta pailit tersebut 5. Kurator yang menjadi wakil dari debitor pailit untuk melakukan perbuatan hukum termasuk menghadap kepada notaris terkait membuat perjanjian dengan menggunakan dasar hukum berupa penunjukkannya sebagai kurator oleh pengadilan niaga. Setelah adanya putusan kepailitan, langkah selanjutnya adalah melakukan rapat verifikasi yang akan melakukan pencocokan atau pengujian terhadap utang-utang yang dimiliki oleh debitor dan penggolongan kreditor berdasarkan sifat piutang yang dimiliki oleh kreditor yaitu kreditor preferen, kreditor separatis, serta kreditor konkuren. Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU terkait pengakuan eksistensi hak eksekusi pemegang hak tanggungan yang diakui oleh Pasal 55 ayat (1) akan tetapi seolah-oleh langsung diamputasi dengan Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) terkait pengenaan penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi tentu akan sangat berpengaruh terhadap hak kreditor pemegang hak tanggungan yang terbatasi haknya untuk melakukan eksekusi yang telah dijamin keberadaannya walaupun debitor dinyatakan pailit sebagaimana diatu Pasal 21 UUHT. Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis merasa tertarik untuk mempelajari dan melakukan telaah yuridis tentang inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU dan implikasi yuridisnya bagi kreditor pemegang hak tanggungan. Oleh karena itu penulis kemudian menuangkannya dalam penulisan hukum dengan judul: Inkonsistensi Penangguhan Eksekusi Dan Pembatasan Jangka Waktu Eksekusi Menurut Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. 5 Ricardo Simanjuntak, Efektivitas UU Kepailitan Dalam Perspektif Kurator Dikaitkan Dengan Pemberesan Harta Pailit Perseroan Terbatas, dalamjurnal Hukum Bisnis Volume 28 Nomor 1, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, hlm. 37

7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dan agar pembahasan lebih jelas, terarah serta mendalam sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka diperlukan adanya suatu perumusan masalah. Dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Mengapa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Inkonsisten dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah? 2. Bagaimana upaya mengatasi inkonsistensi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan pemberian perlindungan hukum terhadap hak kreditor pemegang hak tanggungan? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu: tujuan objektif dan tujuan subjektif, tujuan objektif merupakan tujuan yang berasal dari tujuan penelitian itu sendiri, sedangkan tujuan subjektif berasal dari penulis sendiri, maka dari itu dalam penelitian ini adalah: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk menganalisis Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU dan pertentangannya dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. b. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya untuk mengatasi inkonsistensi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan

8 pemberian perlindungan hukum terhadap hak kreditor pemegang hak tanggungan.. 2. Tujuan Subjektif a. Untuk melengkapi persyaratan akademis guna mencapai derajat Magister (Strata 2) Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universtas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, serta kemampuan analitis bagi penulis di bidang ilmu hukum baik dari segi teori maupun praktik dalam hal ini lingkup Hukum Perdata, khususnya hukum kepailitan dan hukum jaminan kebendaan berupa hak tanggungan. c. Untuk meningkatkan serta mendalami berbagai teori yang telah penulis peroleh selama berada di bangku perkuliahan. D. Manfaat Penelitian Setiap penelitian selalu diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak. Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian yang dilakukan oleh penulis diharapkan dapat menambah wawasan kepustakaan terkait permasalahan yang berhubungan dengan inkonsistensi penangguhan eksekusi dan pembatasan jangka waktu eksekusi menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi mahasiswa, dosen, atau pembaca yang tertarik dalam Hukum Perdata, khususnya hukum kepailitan dan hukum jaminan berupa hak tanggungan.

9 2. Manfaat Praktis a. Untuk memberikan jawaban atas masalah yang diteliti, melatih mengembangkan pola pikir yang sistematis sekaligus untuk mengukur kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. b. Untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai inkonsistensi penangguhan eksekusi dan pembatasan jangka waktu eksekusi menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda- Benda yang Berkaitan dengan Tanah. c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dari penulis dalam perkembangan Hukum Kepailitan dan Hukum Jaminan serta bermanfaat menjadi referensi sebagai bahan acuan dalam penelitian pada masa yang akan datang.