BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. terhadap pendidikan terutama wajib belajar sembilan tahun yang telah lama

BAB I PENDAHULUAN. yang diciptakan oleh Tuhan yang memiliki kekurangsempurnaan baik dalam segi

BAB I PENDAHULUAN. Anak tunagrahita sedang adalah anak yang tingkat kecerdasan (IQ) berkisar

PROGRAM KEBUTUHAN BINA DIRI BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DAN SEDANG Oleh: Atang Setiawan

: UTARI RAHADIAN SETIYOWATI K

TOILET TRAINING. C. Faktor-Faktor Yang Mendukung Toilet Training Pada Anak

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

BAB V PENUTUP. Pelajaran Pendidikan Agama Islam Bagi Anak Tunagrahita di SDLB Negeri. Batang maka dapat di simpulkan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan pada umumnya adalah upaya membantu peserta. didik dalam merealisasikan berbagai potensi atau kemampuan yang

2015 PENGAJARAN TOILETTRAINING PADA SISWA TUNAGRAHITA RINGAN DI SPLB-C YPLB CIPAGANTI

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Nurhayati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. investasi untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian untuk

BAB IV ANALISIS DATA METODE PEMBELAJARAN INDIVIDUAL, PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, ANAK TUNA GRAHITA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan anak selanjutnya (Nursalam dkk, 2008).

2014 PEMBELAJARAN SENI GRAFIS TEKNIK SABLON UNTUK ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SLB ASYIFA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

: Metode-metode Pembelajaran Bahasa Lisan pada Anak Tunagrahita Ringan di Sekolah Luar Biasa

BAB I PENDAHULUAN. abad kedua puluh satu ini. Dimana didalamnya sarat dengan kompetisi. yang pemenangnya sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya

BAB 1 PENDAHULUAN. anak mencapai tujuan yang diinginkan. Penerapan pola asuh yang tepat

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tork, et al (dalam Ramawati, 2011) setiap orangtua. menginginkan anak yang sehat dan mandiri. Namun, pada kenyataannya

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. rata-rata dengan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan

2015 UPAYA GURU D ALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN VOKASIONAL BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental (Maramis, 2009).

Implementasi Pendidikan Segregasi

BAB I PENDAHULUAN. kondisi yang ditandai dengan adanya kesulitan dalam berkomunikasi atau ketrampilan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAPORAN OBSERVASI SLB-A-YKAB SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

Psikologi Terapan UI ini.

4. Kurikulum SMA/MA Kelas XI dan XII 1. Kurikulum SMA/MA Kelas XI dan XII Program IPA, Program IPS, Pro-

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang. Pada hakekatnya semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB V PEMBAHASAN. A. Pendekatan Guru Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pada

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh bagaimana kebiasaan belajar peserta didik. Segala bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Anak tunagrahita merupakan salah satu anak berkebutuhan khusus yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN TEORI DAN KONSEP

BAB I PENDAHULUAN. diberikan oleh orang dewasa untuk mencapai kedewasaan. Henderson dalam. perkembangan individu yang berlangsung sepanjang hayat.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

TOILET TRAINING. 1) Imam Rifa i 2) Rut Aprilia Kartini 3) Sukmo Lelono 4) Sulis Ratnawati

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wiwi Widiawati, 2014

BAB VI PENUTUP. dirumuskan kesimpulan seperti di bawah ini. 1. Kondisi anak tunagrahita di SDLB-C PGRI Among Putra Ngunut,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan dari anak-anak

SATUAN ACARA PENYULUHAN TOILET TRAINING PADA ANAK

I. PENDAHULUAN. Usia dini merupakan masa keemasan (golden age), oleh karena itu. kemampuan kognitif, afektif, psikomotor, bahasa, sosial emosional dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mudah bosan, sulit memecahkan suatu masalah dan mengikuti pelajaran

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Sutjihati Somantri (2005: 107 ) anak tunagrahita sedang

BAB I PENDAHULUAN. bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

NIM. K BAB 1 PENDAHULUAN

Bina Diri Anak Tunagrahita

LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN PERKEMBANGAN DAN PROSES PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. dan perkembangan yang sangat pesat. Di usia ini sangat penting untuk meletakkan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun Dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. dalam fungsi motorik, afektif maupun kognitifnya. Orang-orang yang fungsi. kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dariyo (2011), keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari

: Adi Handoko dan Ayu Sholihah : Psikologi Anak Luar Biasa ANAK TUNAGRAHITA A. PENGERTIAN ANAK TUNAGRAHITA

STUDI TENTANG KETERAMPILAN BELAJAR PENYETELAN KARBURATOR BAGI SISWA TUNA RUNGU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rina Agustiana, 2013

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB I PENDAHULUAN. taraf kelainannya. American Association On Mental Deliciency (AAMD) dalam

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB I PENDAHULUAN. orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN Desi Nurdianti, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KELOMPOK BERMAIN ARROHMAN. Alamat: Bacak, Monggol, Saptosari, Gunungkidul

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Anak tunagrahita kategori ringan membutuhkan pendidikan sebagaimana anak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kehidupan manusia (Ramawati, 2011). Kemampuan merawat diri adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Luar Biasa bertujuan untuk membantu peserta didik yang

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam pasal 31 UUD 1945 (Amandemen 4) bahwa setiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. Kelancaran proses pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia kearah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. keluarga lain, pengalaman dini belajar anak khususnya sikap sosial yang awal

KTSP DAN IMPLEMENTASINYA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai pihak diantaranya adalah guru dan siswa. Pembelajaran adalah pembelajaran yang

PANDUAN PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan adanya Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional RI dan Peraturan Pemerintah RI No 19 tahun 2005, dapat ditetapkan dengan Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar Menengah Permendiknas No 23 tahun 2006 tentang kompetensi lulusan dan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Permendiknas nomor 24 tentang Pelaksanaan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006. Berdasarkan Permendiknas di atas jelas telah memberikan perubahan bagi program khusus untuk pendidian tunagrahita ringan dan sedang, dimana menurut kurikulum 1994 dan KBK ditetapkan sebagai mata pelajaran Kemampuan Merawat Diri ( KMD ) sedangkan saat ini menjadi mata pelajaran Bina Diri. Pendidikan Bina Diri merupakan pendidikan yang sangat sentral bagi anak tunagrahita dimana padaa umumnya anak-anak pada kehidupan sehari-harinya selalu tergantung pada orang tua atau orang yang disekitarnya dengan adanya program khusus Bina Diri agar tumbuh dan berkembang secara optimal dibidang kepribadian, emosional, pola prilaku, komunikasi, bermain, dan lain-lain. Kegiatan latihan toilet training merupakan hal yang sederhana yang kadang kala kurang mendapat perhatian yang serius dan adanya kecenderungan orang tua terlalu melindungi anak serta kurang melatih anak untuk dapat mandiri sehingga anak tidak selalu tergantung pada orang lain. Keluarga merupakan tempat yang pertama dan utama memegang peranan penting dalam keberhasilan untuk mengenalkan dan mengajarkan kepada anak tentang kemampuan

toilet training. Kita menyadari bahwasanya sangat sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat mengajarkan dan melatih anak supaya dapat memahami dan mampu melakukan toilet training dengan baik. Toilet Training sangat cocok diajarkan pada anak berkebutuhan khusus dengan kata lain sebelum kita mengajarkan sesuatu kepada anak kita harus mampu melihat kondisi anak karena ada anak yang sudah memiliki kemampuan toilet training, dan ada anak yang kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan dan selalu tergantung sepenuhnya pada bantuan orang lain dan ada juga anak yang layak dan pantas untuk dilatih dan diajarkan toilet training. Keberhasilan dalam mengajarkan toilet training pada anak hanya dapat terwujud dengan adanya kerjasama yang saling mendukung antara program yang dilaksanakan di sekolah dengan program yang diadakan di rumah. Bertitik tolak dari kenyataan yang ada di lapangan yang menyangkut tentang toilet training penulis mencoba untuk mendalami tentang kemampuan toilet training pada anak usia 8 tahun, serta ingin mengetahui seberapa besar kemampuan yang telah dimiliki oleh anak tersebut dalam membina dirinya secara khusus dalam toilet training dengan segala program dan latihan yang selama ini diberikan kepada anak melalui observasi. A. Tujuan Penulisan Tujuan yang ingin dicapai dalm observasi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk memperoleh gambaran tentang toilet traning yang dilakukan oleh guru dan melatih anak agar bisa mengontrol BAK (Buang Air Kecil) dan BAB (Buang Air Besar).

2. Untuk memperoleh gambaran tentang kesulitan serta hambatan yang dihadapi guru dalam melatih anak agar bisa mengontrol BAK dan BAB. 3. Untuk memperoleh gambaran tentang usaha-usaha yang dilakukan oleh guru dalam mengatasi kesulitan serta hambatan yang dihadapi dalam melatih toilet training pada anak.

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Tunagrahita Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Dalam kepustakaan asing digunakan istilah mental retardation, mental deficiency, mental defective dan lain-lain. Istilah tersebut sesungguhnya sama yaitu menjelaskan kondisi anak yang memiliki kecerdasan intelektual di bawah rata-rata dan ditandai oleh adanya keterbatasan dan ketidakmampuan dalam interaksi sosial selama masa pertumbuhan (usia 0-18 tahun). Anak tunagrahita dikenal juga dengan istilah terbelakang mental dikarenakan kecerdasannya terbatas mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti pendidkan di sekolah biasa secara klasikal oleh karena itu anak yang terbelakang mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yaitu disesuaikan dengan kemampuannya. Tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal. Beberapa karakteristik umum tunagrahita dapat dilihat dari keterbatasan intelegensi, sosial, fungsi-fungsi mental lainnya.

Klasifikasi Tunagrahita a. Tunagrahita Ringan Tunagrahita ringan disebut juga dengan debil dengan IQ 68 52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler ( WISC ) memiliki IQ 69 55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana dengan bimbingan dan pendidikan yang baik. Anak tungrahita ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan dengan sendirinya. Namun dengan demikian anak tunagrahita ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara indevenden, tidak dapat merencanakan masa depan. Pada umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik yang berarti, bila dikehendaki anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di sekolah berkebutuhan khusus dan akan dilayani pada kelas khusus dengan guru dari Pendidikan Luar Biasa. b. Tunagrahita Sedang Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil dengan IQ 51 36 pada skala Binet 54 40 pada Skala Weschler. Anak tunagrahita sedang mampu mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapat di didik mengurus diri sendiri, melindungi dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya berlindung dari hujan dan sebagainya. Anak tunagrahita sedang sangat sulit untuk belajar secara akademik seperti menulis, membaca dan berhitung, walaupun mereka masih dapat menulis secara sosial seperti menulis namanya sendiri, alamat rumah dan sebagainya meskipun hanya meniru saja. Masih dapat dididik mengurus diri seperti berpakaian, makan,

minum, mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengelap dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari, anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus menerus mereka juga masih dapat bekerja di tempat kerja yang terlindung. c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat Kelompok ini di sebut juga dengan idiot, kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dengan tunagrahita sangat berat. Tunagrahita berat (severe ) memiliki IQ antara 32 20 menurut Binet dan 39 25 menurut Weschler. Tunagrahita sangat berat (provound ) dengan IQ di bawah 19 menurut Binet dan 24 menurut Weschler. Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, minum dan sebagainya bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya. B. Struktur Kurikulum Bina Diri Struktur Kurikulum Bina Diri dikembangkan untuk peserta didik berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial. Berdasarkan standar kompetensi lulusaan, standar kompetensi kelompok mata pelajaran dan standar kompetensi mata pelajaran. Peserta didik berkelainan dapat dikelompokan menjadi katagori : 1. Pesarta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata.

2. Peserta didik berkelainan disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata rata. Kurikulum pendidikan Khusus terdiri dari atas 8 sampai 10 mata pelajaran, muatan lokal, progsus dan pengembangan diri. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas potensi daerah dan tidak dapat dikelompokan ke dalam mata pelajaran yang ada. Program khusus berisi kegiatan yang bervariasi dengan jenis ketunaan peserta didik. Pengembangan diri bukan mata pelajaran yang diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan untuk memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai kebutuhan, kemampuan bakat dan minat peserta didik sesuai kondisi sekolah. Berdasarkan pertimbangan pertimbangan tertentu struktur kurikulum satuan Pendidikan khusus dikembangkan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Kurikulum Satuan Pendidikan SDLB, SMPLB, SMALB C, C1, D1 dan G dirancang secara sederhana dengan batas-batas kemampuan peseta didik dan sifatnya lebih individual. Pembelajaran untuk satuan Pendidikan SDLB, SMPLB,SMALB C, C1, D1 dan G menggunakan pendekatan tematik. 2. Jumlah dan Alokasi Waktu jam pembelajaran diatur sebagai berikut : - Jumlah jam pelajaran SDLB,SMPLB, SMALB, C, C1, D1, dan G sama dengan jumlah jam pembelajaran pada SDLB, SMPLB, SMALB, A, B, D, E tetapi penyajiannya melalui pendekatan tematik.

- Alokasi perjam pelajaran untuk SDLB, SMPLB, SMALB A,B, D,E dan C,C1, D1, G masing-masing 30, 35, 40 selisih 5 menit dari sekolah reguler disesuaikan dengan kondisi peserta didik berkelainan. - Muatan kuirikulum SDLB, SMPLB, SMALB C, C1, D1, G lebih ditekankan pada kemampuan menolong diri sendiri dan keterampilan sederhana yang memungkinkan untuk menunjang kemandirian peserta didik, untuk itu proporsi muatan keterampilan vokasional lebih diutamakan. C. Toilet Training Toilet Training secara umum dapat diartikan sebagai cara atau proses untuk melatih anak agar bisa mengontrol keinginannya, hajatnya apakah itu saat ingin buang air kecil atau buang air besar, selain itu anak juga diharapkan mampu buang air kecil dan buang air besar di tempat yang telah ditentukan. Harus diakui latihan toilet untuk anak berkebutuhan khusus lebih sulit dan peraihan keberhasilannya lebih lama dikarenakan keterampilannya mengenali adanya dorongan dan kemampuan mengendalikan kandung kemih agak terlambat. Kesulitan mengintegrasikan informasi sensorik dan membangun antara sensorik tubuh dengan kegiatan fungsional sehari-hari. Oleh karena itu ia mungkin tidak tahu bagaimana membaca isyarat tubuh yang memberi tahunya bahwa perlu menggunakan toilet. Disadari atau tidak toilet traning adalah rutinitas sehari-hari, kegiatan ini tentu bagi kita sangatlah mudah tapi bagi anak tunagrahita adalah hal yang sangat sulit mengingat anak tunagrahita yang keterbatasan dan kemampuan daya pikir, emosi dan lain-lain. Akan tetapi hal itu jangan dijadikan hambatan bagi kita, tidaklah sulit asalkan ia sudah siap dan kita konsisten melatihnya.

Biasanya untuk toilet training dapat diajarkan pada anak usia 18 bulan hingga 2 tahun namun bagi anak tunagrahita kesiapan untuk dilatih toilet training kita harus melihat kesiapan anak atau mengkondisikan anak. Hal ini dapat dilihat dari : - Kesiapan fisik dimana anak mampu duduk tegak, demikian juga dalam perubahan ekspresi wajah, gerak tubuh ketika anak ingin buang air bila hal itu terjadi segera bawa ke kamar kecil dan membantunya. - Kesiapan mental, psikologis / intelektual yaitu anak mengenal rasa yang datang tiba-tiba berkemih, anak paham intruksi sederhana mau bekerja sama bisa merasakan kantung kemihnya penuh dan dapat mengkomunikasikannya. - Kesiapan orangtua yaitu mengenal tingkat kesiapan anak ada keinginan meluangkan waktu yang diperlukan untuk latihan pada anaknya dan diperlukan adanya kesabaran ketelatenan dalam melatih anak untuk toileting karena hal ini akan memberikan dampak bagi anak, orang tua yang tidak menghakimi anak bila ia tidak mau toilet training. Sebaliknya bila anak berhasil untuk toilet traning berikan ia pujian atau hadiah tentu saja tak perlu yang mahal dengan stiker atau mainan lucu pun sudah merupakan penghargaan bagi anak.

BAB III METODELOGI PEMBELAJARAN A. Metode Untuk memperoleh data sesuai dengan tujuan yang diharapkan diperlukan suatu metode yang tepat dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi yaitu menggunakan observasi/ pengamatan dalam hal penulis mendapat gambaran yang jelas mengenai toilet training. Untuk itu metode yang digunakan dalam melaksanakan toilet training antara lain, menggunakan metode: a. Observasi Observasi dimaksudkan untuk mengamati anak dalam melaksanakan toilet training. b. Wawancara Wawancara digunakan sebagai pelengkap untuk mengumpulkan informasi mengenai toilet training pada anak tunagrahita yang dilakukan orangtua dan guru. B. Langkah-langkah Toilet Training Adapun langkah-langkah yang harus diketahui oleh guru adalah bagaimana cara mengenalkan kepada anak tentang toilet training yaitu: a. Perkenalkan dahulu istilah pis, pipis dan ee apabila ada keinginan untuk BAK dan BAB. b. Kenalkan suasana kamar mandi. c. Mengenalkan fungsi dan kegunaan toilet. d. Untuk BAB kenali tanda-tanda anak dengan cara membawa ke toilet setiap 2-1 jam sekali atau lebih mudah 30 menit sesudah minum.

e. Ujilah bila berhasil, meskipun kemajuannya tidak secepat yang diinginkan. f. Ikuti ekspresi anak ketika ngeden untuk mempermudah proses BAB. C. Tahapan Pelaksanaan Toilet Training 1. Membiasakan menggunakan toilet pada anak untuk BAB/BAK dengan membawa anak ke kamar mandi/ WC, antara lain: 1. Masuk ke kamar mandi/ WC menggunakan kaki kiri 2. Berdiri tepat di atas pijakan kloset jongkok. Apabila menggunakan kloset duduk maka berdiri di depan kloset. 3. Membuka celana luar dan celana dalam sesuai dengan perintah. 4. Jongkok atau duduk disesuaikan dengan keadaan kloset. 5. Proses BAB. 6. Membersihkan diri dan kloset dengan bantuan. 7. Memakai kembali celana dalam dan celana luar. 8. Keluar kamar mandi dengan keadaan bersih dan melangkah menggunakan kaki kanan. 2. Pujilah bila anak berhasil meskipun kemajuannya tidak secepat yang diinginkan. 3. Jangan paksa anak bila memang anak tidak ingin menggunakan toilet, selain itu jangan menghukum ketika anak tiba-tiba BAK/BAB tidak pada tempatnya. D. Hasil Pengamatan Toilet Training

HASIL PENGAMATAN TOILET TRAINING No WAKTU 1. 08.00 2. 09.00 3. 10.00 4. 11.00 Kering HARI I HAR I II HARI III BAK di celana BAB di celana Kering BAK di celana BAK di celana Kering BAK di celana BAB di celana Dengan melihat hasil pengamatan maka ditarik kesimpulan: bahwa anak sudah mampu untuk mengkomunikasikan keinginannya untuk BAK/BAB dan mampu untuk membersihkan diri atau membilas namun dalam hal menyiram masih harus dibantu.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Program khusus bina diri terutama toilet training secara prinsip harus dikembangkan, untuk membantu peserta didik tunagrahita agar dapat hidup lebih wajar dan mandiri. Toilet Training merupakan cara atau proses untuk melatih anak agar bisa mengontrol keinginannya, hajatnya apakah itu saat ingin buang air kecil atau buang air besar, selain itu anak juga diharapkan mampu buang air kecil dan buang air besar di tempat yang telah ditentukan. B. Saran Terciptanya kerjasama antara guru dan orang tua dalam toilet training dengan melakukan pembiasaan di rumah dan di tempat lain. Memberikan penguatan dan penghargaan apabila anak berhasil dalam melaksanakan toilet training. C. Penutup Alhamdulillahirobbil alaamin... Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini, apa yang di paparkan ini tentunya hanya merupakan sebagian kecil dari apa yang seharusnya dipikirkan, dikuasai dan dilakukan, penulis juga menyadari masih banyak kekurangan baik dalam sistematika penulisan maupun bahasanya namun demikian semoga hasil observasi atau

pengamatan mengenai toilet training ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi sumbangan yang berarti. Kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya. Akhirnya penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT karena hanya dengan kebesaran-nya observasi atau pengamatan mengenai toilet training dapat terselesaikan walaupun masih banyak dan jauh dari kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA Dinas Pendidikan Prov. Jawa Barat, (2009). Pembelajaran Bina Diri Untuk Peserta Didik Tunagrahita Tingkat SDLB. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,Jakarta: Fokus Media Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Jakarta, 2006 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Jakarta, 2006 T. Sutjihati Somantri, Hj., Dra., M.Si., P.si, (2006), Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: PT Refika Aditama www/http/com/ttc Program

KATA PENGANTAR Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya kepada kita semua, sehingga berkat karunia-nya penulis dapat menyelesaikan makalah Toilet Training tanpa halangan yang berarti dan selesai pada waktunya. Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penulisan makalah ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis berharap saran dan kritik dari semua pihak untuk kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan seluruh pembaca pada umumnya. Bandung, September 2016 Penulis

DAFTAR ISI hal KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan Penulisan..... 3 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Tunagrahita....... 4 Klasifikasi Tunagrahita a. Tunagrahita ringan...... 5 b. Tunagrahita sedang... 5 c. Tunagrahita berat dan sangat berat... 6 B. Struktur Kurikulum Bina Diri. 7 C. Toilet Training... 9 BAB III STUDI KASUS A. Metode...11 B. Langkah-langkah Toilet Training...11 C.Tahap Pelaksanaan Toilet Training....12 D. Hasil Pengamatan Toilet Training..13 BAB IV KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP A. Kesimpulan.......14 B. Saran.14 C. Penutup...14 LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA

MENINGKATKAN KEMAMPUAN DIRI MELALUI TOILET TRAINING BAGI ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB ABC NITA KARYA DI SUSUN OLEH : INA SUARLINA, S.Pd 196711212008012001 SLB ABC NITA KARYA BOJONGSOANG KABUPATEN BANDUNG 2016