BAB I PENDAHULUAN. pihak, termasuk diatur juga mengenai cara penyelesaiannya bila timbul

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

PERAN PENGADILAN NIAGA SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN

BAB I PENDAHULUAN. hukum adalah kehendak untuk bersikap adil (recht ist wille zur gerechttigkeit).

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB I PENDAHULUAN. hukum antar manusia maupun badan hukum sebagai subjek hukum, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), namun KUHD sendiri tidaklah

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupan mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Mahkamah Agung yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan. wewenang yang dimiliki Pengadilan Agama yaitu memeriksa, mengadili,

HPI PILIHAN HUKUM PERTEMUAN IX. By Malahayati, SH., LLM

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBAHARUAN SISTEM HUKUM ACARA PERDATA Oleh: Dwi Agustine * Naskah diterima: 11 Juni 2017; disetujui: 15 Juni 2017

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian kredit pembiayaan. Perjanjian pembiayaan adalah salah satu bentuk perjanjian bentuk

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

Melawan

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

POKOK-POKOK HUKUM PERDATA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

BAB I PENDAHULUAN. membuat keseimbangan dari kepentingan-kepentingan tersebut dalam sebuah

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

BAB I PENDAHULUAN. mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berbeda antara pribadi, masyarakat dan negara

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem hukum Indonesia lembaga kepailitan bukan merupakan hal

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

WEWENANG KURATOR DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN PAILIT OLEH PENGADILAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. hukum saat menjalankan tugas dan fungsinya, yang juga berperan sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

B A B I P E N D A H U L U A N. membutuhkan materi atau uang seperti halnya pemerintahan-pemerintahan

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Van Koophandel (WvK), buku Ketiga yang berjudul Van de Voordieningen in Geval

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Lazimnya dalam suatu gugatan yang diajukan oleh kreditor terhadap

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap manusia, ada

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN SITA JAMINAN ATAS BENDA BERGERAK PADA PENYELESAIAN PERKARA PERDATA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB IV UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Yang Mengalami

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketika seseorang atau suatu badan usaha melakukan suatu hubungan dengan mitra usahanya diawali dengan membuat perjanjian atau kontrak (dagang), yang mengatur mengenai semua hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk diatur juga mengenai cara penyelesaiannya bila timbul masalah atau sengketa di kemudian hari berkaitan dengan isi perjanjiannya. Apakah akan diselesaikan melalui pengadilan (litigasi) ataukah dengan mengangkat/menunjuk pihak ketiga sebagai juru damai atu wasit/arbiter (arbitrase/non litigasi). Dalam hal ini sebaiknya para pihak memilih salah satu bukan keduanya. Karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase apabila dalam perjanjiannya sudah mencantumkan adanya janji/klausul arbitrase (arbitration clausula), maka pengadilan negeri tidak punya kewenangan lagi untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan wajib menolak. Dengan kata lain, sengketa tersebut harus diselesaikan dengan arbitrase atau di luar lembaga peradilan sesuai dengan kesepakatan para pihak yang telah dituangkan dalam perjanjiannya karena pada prinsipnya itu mengikat kedua pihak atau berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak (asas pacta sunt servanda). Tetapi yang perlu diperhatikan apabila sengketa dagang tersebut pada pokoknya tentang Kepailitan, maka untuk penyelesaiannya adalah menjadi kewenangan Pengadilan Niaga secara 11

khusus yang merupakan bagian dari peradilan umum (negeri) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 280 Undang-Undang Kepailitan. Di sini muncul konflik, ketika ada suatu sengketa yang berkaitan dengan kepailitan sementara di dalam kontrak/perjanjiannya juga memuat adanya janji/klausul arbitrase bahwa bila ada atau timbul sengketa kelak di kemudian hari para pihak memilih penyelesaiannya secara arbitrase. Bila kita merujuk pada berlakunya asas perundang-undangan Lex specialis derogat lex generalis, maka mana yang dianggap sebagai peraturan yang khusus yang dapat mengesampingkan berlakunya peraturan yang umum di antara Undang-Undang Kepailitan dan Undang-Undang Arbitrase. Penyelesaian melalui pengadilan niaga ataukah di luar lembaga peradilan (dengan arbitrase). Berdasarkan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Kepailitan maupun Undang-Undang Arbitrase sama-sama punya kewenangan untuk menyelesaikannya karena memang belum ada aturan atau ketentuan bagaimana penyelesaiannya bila ada konflik. Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak atau perjanjian. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk memenuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak atau perjanjian sama dengan perundang-undangan tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. 12

Ketentuan yang sangat penting dalam hubungan dengan perjanjian tersebut, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), antara lain adalah Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1). Sepakat mereka yang mengikatkan diri adalah asas esensial dari hukum perjanjian. Asas ini dinamakan asas konsensualisme yang menentukan adanya perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Kekuatan mengikat dari perjanjian adalah adanya tanggung jawab moral dari para pembuatnya. Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 penyelesaian masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah wewenang Pengadilan Negeri, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan (Faillissements Verordening), pernyataan pailit harus dilakukan oleh Pengadilan Negeri tempat kediaman si berhutang 4. Pengadilan Niaga adalah bagian dari Peradilan Umum yang secara khusus hanya menangani perkara kepailitan. Pembentukan Pengadilan Niaga pada awalnya dilakukan untuk menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran hutang yang pada saat itu sedang 4 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Wetboek Van Koophandel En Faillissement Verordening, Pradnya Paramita, Jakarta, hal 225 13

banyak terjadi. Meskipun awal pembentukan pengadilan khusus ini tidak dapat dilepaskan dari tekanan IMF pada masa krisis moneter tahun 1998, ide dasar pembentukan Pengadilan Niaga tidak dimaksudkan hanya sebagai pengadilan untuk perkara kepailitan saja, tetapi dapat juga untuk memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Secara normatif, ide mengenai kemungkinan perluasan yurisdiksi Pengadilan Niaga dimungkinkan dengan adanya ketentuan Pasal 280 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998), sebagaimana diubah dengan Pasal 300 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004). Menghadapi adanya kecenderungan pembentukan pengadilan khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara tertentu, kemungkinan akan ada tuntutan untuk memeriksa dan memutus sengketa lain di bidang bisnis dalam Pengadilan Niaga. Sebagai suatu jawaban yang diharapkan akan membantu pertumbuhan ekonomi, permasalahan yang harus dijawab dalam pembentukan Pengadilan Niaga adalah mengenai penempatan Pengadilan Niaga itu sendiri, apakah harus dibentuk sebagai lingkungan peradilan khusus atau ditempatkan di bawah satu lingkungan peradilan. Terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk menjawab permasalahan ini. Pertama, struktur peradilan di Indonesia tidak memungkinkan untuk mengadakan suatu 14

lingkungan peradilan tersendiri selain yang sudah diatur dalam amandemen III Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) warisan dari masa kolonial Belanda, kekuasaan kehakiman dibagi menjadi beberapa lingkungan peradilan. Di Indonesia dilakukan dalam empat lingkungan peradilan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 25 Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Empat lingkungan peradilan tersebut, antara lain Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Kedua, sebagai akibat pemisahan tersebut, akan menjadi sangat sulit jika harus diadakan perubahan UUD 1945 dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Sehingga, alternatif yang dapat dilakukan adalah membentuk suatu pengadilan khusus dalam satu lingkungan peradilan. Hal ini didukung oleh Pasal 25 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa pengkhususan atau spesialisasi dapat dilakukan dalam masing-masing lingkungan peradilan. Artinya, pembentukan Pengadilan Niaga hanya dapat dilakukan dengan menempatkannya di bawah naungan satu lingkungan peradilan. Ketiga, mekanisme yang harus dilakukan untuk membentuk pengadilan khusus harus dilakukan melalui undang-undang. Hal ini disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum. Berdasarkan hal inilah Pengadilan Niaga kemudian dibentuk dalam Perpu Nomor 1 Tahun 1998, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan 15

mengundangkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998. Pernyataan pengkhususan Pengadilan Niaga dijelaskan bahwa Pengadilan Niaga merupakan pengkhususan pengadilan di bidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkungan Peradilan Umum untuk menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan kegiatan bisnis atau niaga. Keberadaan pengadilan khusus di Indonesia sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang asing atau belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat ini pun di Indonesia terdapat beberapa pengadilan khusus selain Pengadilan Niaga, diantaranya adalah Pengadilan Pajak, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan pengadilan khusus, dalam model apapun memang selalu menjadi suatu kontroversi, baik di Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law maupun di negara-negara Common Law. Kemunculan pengadilan khusus tersebut tidak serta merta akan menjamin bahwa pengadilan khusus tersebut dapat bekerja dengan efektif. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dengan baik, antara lain: Dalam kontek ini, Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus harus memiliki yurisdiksi/kompentensi yang khusus atau hanya fokus pada suatu permasalahan saja, yaitu masalah hukum yang berhubungan dengan sektor bisnis. Namun, tidak semua jenis sengketa bisnis dapat dimasukkan ke dalam yurisdiksi Pengadilan Niaga. Pemilihan topik sengketa harus dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa pengadilan umum yang memiliki beban kerja yang berat akan mengalami kesulitan untuk memeriksa dan memutus 16

suatu sengketa bisnis yang cukup kompleks serta jarang terjadi di pengadilan. Semakin jarang dan kompleks suatu permasalahan hukum ditangani oleh hakim pengadilan umum, maka semakin besar kemungkinan hakim mengalami kesulitan dalam memeriksa dan memutus perkara. Walaupun hakim pengadilan umum memiliki pengetahuan, keahlian dan pengalaman dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, mereka bukanlah ahli pada bidang tersebut. Akibatnya dapat terjadi hakim pengadilan umum kurang tepat dalam mengaplikasikan hukum dan pada akhirnya akan memicu gugatan lain yang berkaitan atau memicu lebih banyak kasus yang banding atau kasasi. Di lain pihak, majelis hakim Pengadilan Niaga akan berfungsi dengan efektif, jika mereka memperoleh jumlah kasus tertentu secara konstan, dimana jenis kasus tersebut dipicu oleh bidang hukum yang sedang berkembang agar hakim niaga dapat secara fokus mengikuti perkembangannya. Dengan demikian, jenis sengketa niaga yang dipilih harus dapat dipisahkan dengan mudah dari topik-topik hukum bisnis lainnya, yang sedang dan selalu akan berkembang, serta dipilih secara relatif dari tingkat kepentingannya dari sengketa yang paling membebani hakim pengadilan umum, agar tidak bersinggungan dengan yurisdiksi pengadilan umum. Selanjutnya, yurisdiksi suatu pengadilan khusus, dalam hal ini Pengadilan Niaga dapat ditetapkan untuk memeriksa dan memutus beberapa jenis sengketa bisnis. Hal ini dilakukan untuk menghindari situasi jenuh ketika hakim secara terus menerus mendengar dan memutuskan permasalahan 17

hukum yang sejenis saja. Kasus yang diajudikasi pun menjadi permasalahan teknis dan akan mempengaruhi status dan kewibawaan pengadilan, selain tentunya mempengaruhi kualitas putusan hakim. Namun, pemilihan jenis sengketa harus pula dipertimbangkan agar yurisdiksi pengadilan umum tidak secara drastis menjadi sempit. Manfaat pengadilan khusus diantaranya adalah: 1. Terciptanya Sistem Yudisial yang Efisien Semakin jarang suatu sengketa bisnis yang rumit terjadi, semakin kecil kesempatan bagi hakim pengadilan umum untuk mempelajari hal tersebut. Dengan beban kerja hakim dan staf-staf pengadilan yang berat, wajarlah jika pengadilan umum lebih condong untuk menitikberatkan penyelesaian kasus dengan cepat, khususnya perkara pidana. Akibatnya, baik hakim maupun staf-staf pengadilan tidak sempat untuk mempelajari perkembangan hukum secara mendalam terutama hukum ekonomi yang selalu bergulir dengan cepat. Dengan adanya pengadilan khusus, hakim pada pengadilan umum tidak perlu lagi menyelesaikan perkara yang termasuk dalam yurisdiksi pengadilan khusus tersebut. Dengan pengurangan perkara dalam bidang hukum tersebut, diharapkan pengadilan umum dapat meningkatkan efisiensinya. Di lain pihak, pengadilan khusus memiliki tanggung jawab dalam yurisdiksi yang lebih sempit. Akibatnya, pengadilan khusus akan berurusan dengan isu tertentu secara terus menerus, mereka akan terus mengembangkan keahlian dan sistem peradilan yang baik untuk 18

menangani suatu perkara, sehingga lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu perkara akan lebih cepat dan efisien dari pada ketika perkara tersebut diselesaikan melalui pengadilan umum. Secara keseluruhan, efisiensi dari suatu sistem pengadilan baik umum maupun khusus akan meningkat. Efisien suatu pengadilan dapat meliputi berbagai aspek. Dari sisi pengguna pengadilan, efisiensi pengadilan dapat tercermin dari apakah pengadilan tersebut dapat menyelesaikan kasus dalam jangka waktu yang dibutuhkan oleh pengguna pengadilan (para pihak), bukan hanya jangka waktu yang ditentukan undang-undang. Secara sederhana, suatu pengadilan dapat dikatakan efisien jika pengadilan tersebut dapat menyelesaikan tumpukan perkaranya dalam waktu yang relatif singkat. Untuk mendukung efisiensi pengadilan khusus, maka dapat diikuti dengan pembentukan proses pengadilan atau hukum acara yang secara khusus dibuat untuk mengakomodir kepentingan para pengguna pengadilan khusus tersebut. Hukum acara khusus hanya dapat dilakukan melalui pengadilan khusus, karena hal ini akan berdampak pada keseluruhan kasus yang didaftarkan pada pengadilan tanpa melihat substansi kasus per kasus. Jika seluruh hakim dan staf pengadilan diharuskan untuk menyelesaikan tumpukan perkara dalam waktu singkat, maka pengadilan dapat memutuskan perkara serupa dengan putusan yang sangat berbeda satu sama lain, yang akan menghasilkan putusan dengan kualitas berbeda- 19

beda. Meskipun hakim di Indonesia tidak mengenal stare decisis, namun putusan yang berbeda-beda atas perkara-perkara yang serupa akan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat. Hal ini ditambah lagi bahwa dalam perkara yang kompleks seringkali dibutuhkan pengetahuan dan keahlian khusus dari para hakim yang mengadili perkara tersebut. Padahal belum tentu hakim pengadilan umum sangat memahami perkara rumit itu dengan baik sehingga mengakibatkan putusan yang dihasilkan oleh hakim pun dianggap tidak tepat dan jauh dari rasa adil. Resiko yang harus ditanggung akibat hakim kurang tepat memutuskan suatu perkara tentunya bukan suatu resiko ringan. Solusi untuk menghindari hal ini adalah, pengadilan umum harus mengeluarkan anggaran lebih untuk mengadakan pelatihan dan pendidikan bagi para hakim untuk meletakkan pengetahuan teori dan praktik sebagai dasar yang kuat bagi hakim dalam memutuskan suatu kasus. Di lain pihak, dengan pengadilan khusus, maka dimungkinkan untuk memiliki hakim khusus, yang dipilih dan diangkat berdasarkan keahliannya. Selanjutnya, pengadilan tidak perlu mengadakan pelatihan dan pendidikan, karena mereka adalah orang-orang yang ahli dan memang dipilih berdasarkan keahliannya tersebut. Selain itu, makin seringnya hakim menangani sengketa tertentu, semakin cepat dia memahami inti permasalahan dari sengketa tersebut dan semakin baik putusan yang dihasilkan. Hal ini juga akan meningkatkan kepercayaan publik pada hakim dan pengadilan dalam menyelesaikan suatu perkara. 20

2. Terciptanya Keteraturan Hukum Keteraturan hukum merupakan akibat yang akan terjadi dengan adanya putusan pengadilan yang berkualitas baik. Putusan yang berkualitas baik mencakup tiga parameter, antara lain akurasi, presisi dan koheren. Akurasi maksudnya, putusan tersebut dapat mengintegrasikan kebutuhan para pihak dengan situasi yang terjadi pada saat itu serta putusan tersebut dapat diterima oleh norma-norma dan kebijakan publik. Secara objektif putusan tersebut merefleksikan fakta-fakta yang sebenarnya dari suatu sengketa dan secara akurat dapat menginterpretasikan undang-undang sesuai dengan tujuan pembuatannya. Presisi sering disalah artikan menjadi akurasi, namun presisi disini berarti pengulangan putusan atas kasus-kasus serupa. Hal ini penting, karena untuk menciptakan rule of law, hukum harus memperlakukan semua orang dengan sama atas kasus-kasus serupa. Koheren merupakan parameter terakhir dari suatu putusan yang baik. Setiap peraturan perundang-undangan memuat suatu ide dan tujuan tertentu, putusan pengadilan yang koheren harus dapat mempertemukan setiap ide dan tujuan pembentuk undang-undang, apakah putusan tersebut mendukung suatu kebijakan publik ataukah bergerak berlawanan dengan kebijakan tersebut, apakah putusan tersebut mencerminkan peraturan yang sedang berlaku atau apakah putusan tersebut mengakibatkan hukum menjadi tidak beraturan. Putusan pengadilan yang koheren artinya 21

putusan tersebut sesuai dengan ide keseluruhan pengaturan suatu tingkah laku masyarakat ke dalam seperangkat perundang-undangan yang berkaitan. Ketiga parameter tersebut akan membentuk keteraturan dan konsistensi dalam penerapan hukum. Keteraturan dalam penerapan hukum membuat putusan dapat diprediksi (predictability). Akibatnya secara teoritis, dapat mengurangi kebutuhan pada proses persidangan karena akan mengurangi kemungkinan para pihak untuk menyelesaikan masalahnya melalui pengadilan. Pengadilan khusus akan mendukung terjadinya keteraturan penerapan hukum karena kunci dari keteraturan ini ialah pemahaman atas suatu permasalahan. Dalam hal ini, akan lebih besar kemungkinan terjadinya keteraturan hukum pada pengadilan khusus. Karena hakim pada pengadilan khusus secara terus menerus menangani masalah-masalah yang serupa dan dapat dengan cepat memahami inti permasalahan tersebut. Pengetahuan dan pengalaman hakim terhadap permasalahan tertentu itu akan membantunya untuk memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diharapkan akan menghasilkan suatu keteraturan dalam penerapan hukum. 3. Terasahnya Keahlian Hakim Banyak dan beragamnya kasus yang diterima oleh pengadilan umum akan membuat hakim pada pengadilan umum mengembangkan pengetahuan dan keahlian dengan porsi yang sama pada setiap masalah hukumnya. Sebaliknya dalam pengadilan khusus, hakim memiliki keahlian 22

dan pengalaman sesuai dengan yurisdiksi pengadilan serta selalu menangani kasus dengan karakteristik yang hampir sama. Hal ini membuat lebih besar kemungkinan hakim pada pengadilan khusus akan menghasilkan putusan berkualitas tinggi sesuai dengan pokok permasalahan. 4. Meningkatnya Sistem Manajemen Perkara Dengan beban kasus yang ada, hakim dan staf kepaniteraan pada pengadilan umum bertanggung jawab untuk menyelesaian manajemen kasus-kasus tersebut. Mereka mengembangkan berbagai teknik administratif dan prosedural untuk menangani beban kerja mereka. Teknik-teknik tersebut meliputi menetapkan jadwal sidang, memanggil para pihak, mengawasi proses pembuktian, sampai dengan proses penyelesaian. Pengadilan khusus memiliki posisi yang lebih baik untuk melakukan manajemen kasus yang lebih baik daripada pengadilan umum. Hakim dan para staf pengadilan khusus karena terbiasa menangani kasuskasus serupa akan sangat faham atas prosedur formalnya. Mereka akan membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk melakukan riset dan merefleksikan hal-hal yang fundamental dari kasus-kasus tersebut dan dapat menyediakan panduan kepada para pihak pada saat persidangan dibandingkan dengan hakim umum. Dengan demikian, hal ini akan memberikan cukup ruang bagi pengadilan khusus untuk membuat aturan administratif dan prosedural yang lebih memfasilitasi terwujudnya suatu managemen kasus yang efektif. 23

Sebagaimana disebutkan di atas setelah Pengadilan Niaga dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 masalah kepailitan menjadi kewenangan Pengadilan Niaga (bukan lagi wewenang Pengadilan Negeri). Undang-Undang Kepailitan baru tersebut sama sekali tidak ada menyinggung masalah kewenangan Pengadilan Niaga terhadap sengketa yang memuat klausula arbitrase, sedang menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 penyelesaian sengketa yang memuat klausula arbitrase adalah menjadi kewenangan mutlak arbitrase. Dalam kurun waktu 6 tahun lebih berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 sampai lahirnya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 ada beberapa kasus permohonan pernyataan pailit yang menyangkut perjanjian yang memuat klausula arbitrase yang telah diputus Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung. Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam BAB V Ketentuan Lain-lain Pasal 303 menyebutkan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 undang-undang ini. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikatakan bahwa apabila ada sengketa perdata dagang yang dalam perjanjiannya memuat 24

klausula arbitrase, maka harus diselesaikan oleh Lembaga Arbitrase, dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan menyatakan tidak berwenang untuk mengadilinya apabila perkara tersebut diajukan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 3. Para pihak yang sejak awal telah memilih arbitrase seharusnya memahami bahwa arbitrase sebagaimana diperjanjikan sejak awal akan menjadi wadah untuk menyelesaikan sengketa di kemudian hari. 1. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: a. Apakah Pengadilan Niaga berwenang memeriksa permohonan pernyataan pailit dengan mengenyampingkan klausula perjanjian arbitrase? b. Mengapa pihak-pihak yang terikat klausula arbitrase memilih lembaga kepailitan untuk menyelesaikan utang-utang debitur? 2. Keaslian Penelitian Menurut pengetahuan peneliti, penelitian tentang Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Mengadili Permohonan Pailit Yang Memilih Arbitrase, sampai saat ini belum pernah ada, hal ini didasarkan pada pengamatan di Perpustakaan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 25

Apabila ternyata pernah dilaksanakan penelitian serupa, maka hasil penelitian ini dapat melengkapi, dengan tidak mengurangi materi yang dibahas. Adanya kekhususan dalam penelitian ini adalah dengan melihat ketentuan dari Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 dan Undangundang Nomor 30 Tahun 1999, hal mana dengan tegas menyatakan bahwa dalam perjanjian kepailitan penyelesaiannya adalah Pengadilan Niaga, maka arbitrase tidak berwenang karena secara yuridis formil jika pemilihannya adalah arbitrase maka pengadilan lain seharusnya tidak melaksanakan. Walaupun dalam ketentuan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 16 ayat (1) menyatakan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili. Apabila memperhatikan ketentuan ini, maka para pihak dapat melakukan sesuai undang-undang, namun Hakim menerima, mengadili, dan memutuskan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat dilakukan, sebab para pihak telah memilih Media Arbitrase. 3. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 26

a. Secara teori dapat menambah wacana hukum tentang penyelesaian kepailitan dengan media arbitrase, hal ini dapat dimaklumi bahwa arbitrase dan kepailitan merupakan lembaga yang berdiri sendiri-sendiri di Indonesia sebagaimana diketahui bahwa permasalahan kepailitan masih berkisar pada pelaksanaan dan perbedaan penafsiran terhadap undang-undang kepailitan, sedangkan untuk arbitrase permasalahannya adalah sekitar pelaksanaan terhadap putusannya, khususnya jika menyangkut arbitrase asing. b. Secara praktis, penyelesaian menyangkut arbitrase adalah sangat mudah, sepanjang dalam klausul perjanjian antara para pihak lebih memilih arbitrase dari pada Pengadilan Niaga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Niaga dalam memeriksa permohonan pernyataan pailit dikaitkan dengan klausula perjanjian arbitrase. 2. Untuk mengetahui alasan para pihak yang terikat klausula arbitrase memilih lembaga kepailitan untuk menyelesaikan utang-utang debitur. C. Tinjauan Pustaka 27

Arbitrase adalah bukan suatu bentuk peradilan, ia adalah suatu bentuk penyelesaian di luar pengadilan. Dalam kepustakaan bahkan dikenal dengan sebutan particuilere rechtspraak 5. Menurut Retnowulan Sutantio, Kepailitan adalah eksekusi masal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta dengan melakukan penyitaan atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib 6. Secara etimologi istilah kepailitan berasal dari kata pailit. Bila ditelusuri, baik dalam undang-undang kepailitan yang lama Faillissement Verordering maupun Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 tidak ada pengertian tentang apa yang dimaksud pailit. Dalam bahasa Belanda faillet (pailit), mempunyai arti ganda sebagai kata benda atau kata sifat yaitu kebangkrutan dan bangkrut 7. D. Landasan Teori 5 Tim Pengkajian Hukum Mahkamah Agung RI, Proyek Pengembangan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI Penemuan Hukum Dan Pemecahan Masalah Hukum, Makhamah Agung RI, Jakarta, 1990, hal. 3 6 Retnowulan Sutantio, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1995, hal. 85. 7 S. Wojomeksito, Kamus Umum Belanda Indonesia, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999 hal 188. 28

Dalam penulisan tesis ini yang digunakan oleh penulis adalah teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman dikemukakan bahwa dalam kerangka teoritis tiga elemen atau aspek dari sistem hukum yaitu structure, subtance dan legal culture. Structure adalah menyangkut lembaga-lembaga yang berwenang membuat dan melaksanakan undangundang (lembaga peradilan dan lembaga legislatif), sedangkan subtance yaitu materi atau bentuk dari peraturan perundang-undangan, legal culture adalah sebagai sikap orang terhadap hukum dan sistem hukum yaitu menyangkut kepercayaan akan nilai, pikiran atau ide dan harapan mereka 8. Lawrence M. Friedman mengemukakan 4 (empat) fungsi sistem hukum yaitu: Pertama sebagai bagian dari sistem kontrol (social control) yang mengatur perilaku manusia, kedua sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa (dispute setlement), ketiga sistem hukum memiliki fungsi sebagai social engineering function, keempat sistem hukum sebagai social maintenence yaitu sebagai fungsi yang menekankan peranan hukum sebagai pemelihara status quo yang tidak menginginkan perubahan. Sunaryati Hartono berpendapat Bahwa hukum itu tidak hanya secara pasif menerima dan mengalami pengaruh dari nilai-nilai sosial budaya di dalam masyarakat akan tetapi secara aktif harus mempengaruhi pula timbulnya nilai-nilai sosial budaya baru 9. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi berfungsinya hukum dengan baik adalah budaya hukum 8 Lawrence M. Friedman dengan Penertemah Wisnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Tata Nusa, Jakarta, 2001, hal 7-8. 9 C.F.G. Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Binacipta,Jakarta,1976, hal 5. 29

masyarakat. Budaya hukum masyarakat sangat berkaitan erat dengan kesadaran hukum masyarakat. Berkaitan dengan hal ini Sunaryati Hartono mengemukakan bahwa kesadaran hukum merupakan suatu pengertian yang menjadi hasil ciptaan para sarjana hukum yaitu tidak dapat dilihat secara langsung di dalam kehidupan masyarakat akan tetapi hanya dapat disimpulkan ada tidaknya dari pengalaman hidup sosial melalui suatu cara pemikiran dan cara penafsiran yang tertentu 10. Kelancaran proses pelaksanaan penegakkan hukum di dalam masyarakat sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut dan berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan Bahwa hukum sebagai kaidah sosial tidak terlepas dari nilai yang berlaku disuatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilainilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Nilai-nilai itu tidak terlepas dari sikap dan sifat-sifat yang seharusnya dimiliki orang-orang yang menjadi anggota masyarakat yang sedang membangun 11. Tanpa perubahan sikap-sikap dan sifat kearah yang diperlukan oleh suatu kehidupan yang modern, maka segala pembangunan dalam arti benda fisik akan sedikit sekali artinya, hal ini sudah dibuktikan oleh pemborosan-pemborosan yang terjadi di banyak negara yang 10 Ibid, hal. 12 11 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1976, hal. 5 30

sedang berkembang yang mengabaikan aspek ini, jadi hakekat dari masalah pembangunan nasional adalah masalah pembaharuan cara berfikir dan sikap hidup. Ada beberapa alasan mengapa alternatif penyelesaian sengketa mulai mendapat perhatian yang lebih di Indonesia, selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, juga faktor-faktor lain seperti: 1. Faktor Ekonomis, dimana alternatif penyelesaian sengketa memiliki potensi sebagai sarana untuk penyelesaian sengketa yang lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya maupun waktu. 2. Faktor ruang lingkup yang dibahas, alternatif penyelesaian sengketa memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel. 3. Faktor pembinaan hubungan baik, dimana alternatif penyelesaian sengketa yang mengandalkan cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya hubungan baik antar manusia (relationship), yang telah berlangsung maupun yang akan datang. Di samping itu hal-hal lainnya yang mempengaruhi berkembangnya alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia adalah karena adanya tuntutan bisnis Internasional, yang akan memberlakukan sistem perdagangan bebas, meningkatnya jumlah dan bobot sengketa di masyarakat, sehingga perlu dicari cara dan sistem penyelesaian sengketa yang cepat, efektif dan efisien. Era globalisasi mengharuskan adanya suatu sistem penyelesaian sengketa yang dapat menyesuaikan dengan laju kecepatan perkembangan 31

perekonomian dan perdagangan yang menuju pasar bebas (free market) dan persaingan bebas (free competition) dan untuk itu harus ada suatu lembaga yang mewadahinya. Alternatif penyelesaian sengketa mulai mendapat perhatian di Indonesia, karena di samping merupakan budaya asli Indonesia yang berdasarkan musyawarah untuk mufakat, juga mempunyai beberapa kelebihan atau keuntungan yaitu: 1. Sifat kesukarelaan dalam proses, di mana para pihak percaya, bahwa dengan menyelesaikan penyelesaian melalui alternatif penyelesaian sengketa, akan mendapatkan penyelesaian yang lebih baik dari sistem litigasi, karena dalam proses alternatif penyelesaian sengketa tidak ada unsur pemaksaan. 2. Prosedur yang cepat, dimana prosedur alternatif penyelesaian sengketa bersifat informal pihak-pihak yang terlibat mampu menegosiasikan syarat-syarat penggunaannya. 3. Keputusannya bersifat non-judicial, karena kewenangan untuk membuat keputusan ada pada pihak-pihak yang bersengketa, yang berarti pihakpihak yang terlibat mampu meramalkan dan mengontrol hasil-hasil yang disengketakan. 4. Kontrol tentang kebutuhan organisasi di mana prosedur alternatif penyelesaian sengketa menempatkan keputusan ditangan orang yang mempunyai posisi tertentu, baik untuk menafsirkan tujuan jangka pendek maupun jangka panjang dari organisasi yang terlibat, maupun 32

menafsirkan dampak positif dan negatif dari setiap pilihan penyelesaian sengketa. 5. Prosedur rahasia (confidential), Prosedur alternatif penyelesaian sengketa memberikan jaminan kerahasiaan bagi para pihak dengan porsi yang sama. Para pihak dapat menjajaki pilihan-pilihan sengketa yang potensial dan hak-hak mereka dalam mempresentasikan data untuk menyerang balik tetap dilindungi. 6. Fleksibelitas dalam menentukan syarat-syarat penyelesaian masalah dan komprehensip dimana prosedur ini dapat menghindari kendala prosedur yudicial yang sangat terbatas ruang lingkupnya. 7. Hemat waktu, dimana dengan pilihan penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa menawarkan kesempatan yang lebih cepat untuk menyelesaikan sengketanya. Karena prinsip dalam bisnis time is money dan apabila terjadi penundaan penyelesaian sengketa, akan diperlukan biaya yang lebih mahal lagi. 8. Hemat biaya, karena dalam penyelesaian sengketa, semakin lama penyelesaiannya akan semakin mahal biaya yang akan dikeluarkan. 9. Tingginya kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, karena keputusan yang diambil adalah keputusan yang didasarkan pada keterlibatan kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa. 10. Pemeliharaan hubungan, dengan alternatif penyelesaian sengketa, mampu mempertahankan hubungan kerja atau bisnis yang sedang berjalan maupun pada masa yang akan datang. 33

11. Kontrol dan lebih mudah memperkirakan hasil. Cara penyelesaian melalui alternatif penyelesaian sengketa lebih mudah memperkirakan keuntungan dan kerugian dibandingkan jika sengketa tersebut diselesaikan melalui proses litigasi. 12. Keputusannya bertahan sepanjang waktu, karena jika dikemudian hari kesepakatan yang telah dibuatnya itu menjadi suatu sengketa lagi, pihakpihak yang terlibat lebih memanfaatkan bentuk pemecahan sengketa yang kooperatif dibandingkan menerapkan pertentangan (advercial). E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan Tesis ini penulis sajikan terlebih dahulu dengan tujuan untuk memberikan gambaran garis besar tentang apa yang penulis kemukakan di dalam tiap-tiap bab dari penelitian ini. Ada pun penelitian yang penulis susun ini terdiri dari 5 (lima) bab, di mana masing-masing bab ada yang terdiri dari beberapa sub bab, yang isinya akan penulis kemukakan secara ringkas, yaitu : Bab I adalah merupakan bab pendahuluan yang menjadi pengantar untuk bab-bab berikutnya. Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, keaslian penelitian, kegunaan penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, serta sistematika penulisan. Bab II adalah jurisdiksi pengadilan niaga dalam kepailitan, membahas mengenai proses acara permohonan pernyataan pailit, akibat hukum dan tujuan kepailitan, alasan pihak-pihak memilih lembaga kepailitan untuk menyelesaikan 34

utang-utang debitur, pengertian arbitrase dan macam-macam arbitrase, serta kewenangan pengadilan niaga dalam mengadili perjanjian yang membuat klausula arbitrase, komparasi tentang arbitrase dan proses kepailitan. Bab III adalah cara penelitian, membahas mengenai penelitian kepustakaan, penelitian lapangan, jalannya penelitian, serta analisa data. Bab IV adalah hasil penelitian dan pembahasan, membahas mengenai kewenangan memeriksa permohonan pernyataan pailit dengan mengenyampingkan klausula perjanjian arbitrase, dan alasan penggunaan lembaga kepailitan untuk menyelesaikan utang-utang debitur. Bab V adalah penutup yang berisikan kesimpulan yang merupakan intisari dari bab-bab yang dibahas, dan saran yang merupakan usulan atau rekomendasi yang tersirat dalam kesimpulan. 35