BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan

PENDAHULUAN. Employee engagement merupakan topik yang banyak dibicarakan. beberapa tahun terakhir. Penelitian dan aplikasi mengenai topik ini banyak

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap

BAB I PENDAHULUAN. keuangan, kemampuan marketing, dan sumber daya manusia (SDM).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan UU No.8 Tahun1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pegawai

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakpastian yang tinggi telah menuntut organisasi-organisasi modern untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital

BAB II LANDASAN TEORI. memiliki pengertian berbeda mengenai engagement (Albrecht, 2010).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. 1. Pengertian Kinerja. tujuan organisasi (Viswesvaran & Ones, 2000). McCloy et al. (1994)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Permasalahan. memiliki batasan reaktif yang dapat diidentifikasi serta bekerja bersama-sama untuk

untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat.

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan

BAB II LANDASAN TEORI. Keterikatan kerja atau yang sering disebut engagement

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Banyak penelitian yang menggunakan istilah engagement sebagai variabel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. yang mendefinisikan work engagement adalah tingkat keterikatan fisik,

BAB II LANDASAN TEORI. Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai hasrat karyawan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkebunan tercatat sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar

BAB II TELAAH TEORI. Locke, Teori ini menjelaskan hubungan antara tujuan yang ditetapkan

BAB II LANDASAN TEORI. dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. organisasi. Penelitian mengenai engagement dalam pekerjaan yang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Era globalisasi mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, perkembangan

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Employee Engagement Definisi mengenai engagement saat ini masih belum jelas, istilah

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan RI mengatakan bahwa untuk mencapai Indonesia Sehat pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. rakyatnya, kualitas sumber daya manusia memegang peran yang cukup penting,

BAB II TELAAH PUSTAKA. mengenai penelitian ini, berdasarkan variabel-variabel yang menjadi obyek

BAB II LANDASAN TEORI. sehingga banyak yang menyebut keterikatan kerja merupakan old wine in

sumber daya manusianya. Hal ini disebabkan karena dunia kerja memiliki tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan pengelolaan sumber daya manusia telah ditandai pergeseran

BAB 2 TINJAUAN REFERENSI

1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan naiknya persaingan bisnis. Masing-masing perusahaan saling beradu

ADVERSITY QUOTIENT DAN PSYCHOLOGICAL CAPITAL DALAM MENENTUKAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN

BAB I PENDAHULUAN. diri (Sunarto, 2004). Hal ini disebabkan karena dunia kerja sekarang telah

BAB I PENDAHULUAN. Dunia perbankan saat ini sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia pendidikan saat ini menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang bernama Gallup pada tahun 1990-an. Menurut survei Global,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

KEPRIBADIAN PROAKTIF DAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN PT PLN (PERSERO) DISTRIBUSI JAWA TENGAH DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

HUBUNGAN ANTARA JOB CRAFTING DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN GENERASI Y DI KANTOR PUSAT PT. BANK BUKOPIN, TBK JAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI WORK ENGAGEMENT PADA KARYAWAN OUTSOURCING DIVISI KARTU KREDIT PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) TBK.

BAB I PENDAHULUAN. adalah DKI Jakarta sehingga selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga merupakan pusat

Pada era globalisasi saat ini, teknologi kesehatan berkembang semakin pesat

BAB I PENDAHULUAN. menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS PSIKOLOGI

semua individu dapat bekerja dalam tim. Penilaian yang diberikan kepada Perilaku sosial dalam organisasi atau Organizational Citizenship Behaviour

BAB I PENDAHULUAN. (Kurniawati, 2013). Begitu pula seperti yang tercantum dalam UU No.20/2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. satunya adalah cabang Solo Raya dan Madiun Raya. Pada bulan April 2016

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya,

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. seperti yang tercantum dalam UU NO.36/2009 pengertian kesehatan adalah keadaan sehat,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan situasi yang kompetitif. Situasi kompetitif ini terjadi. Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia (SDM) adalah pelaksanaan job analysis, perencanaan SDM,

Salah satu tantangan terbesar perusahaan dalam persaingan di pasar global. engaged menjadi sangat berharga dalam mendukung kinerja perusahaan karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. Saat ini, engagement merupakan salah satu topik yang hangat di antara

BAB I PENDAHULUAN. sebagainya. Disamping itu pula, pekerjaan semakin sulit untuk didapatkan.

GAMBARAN WORK ENGAGEMENT PADA KARYAWAN DI PT EG (MANUFACTURING INDUSTRY)

BAB I PENDAHULUAN. organisasi karena dapat berpengaruh terhadap kinerja dan tingkat turnover

BAB 2 LANDASAN TEORI

Hubungan Antara Modal Psikologis Dengan Keterikatan Kerja Pada Perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

BAB I PENDAHULUAN. sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dalam Undang-Undang Dasar Upaya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang telah ditetapkannya sendiri. Chaplin (2006) Life Satisfaction adalah satu

BAB I PENDAHULUAN. sangatlah penting karena manusia merupakan penggerak utama dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sampai saat ini belum ada definisi yang konsisten dan universal

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas sumber daya manusia (Cheng,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepercayaan diri (self efficay) untuk menghadapi tugas-tugas yang

BAB I PENDAHULUAN. segala kegiatan bisnis dan perekonomian, hal ini menyebabkan terjadinya

Hubungan Antara Modal Psikologis Dengan Keterikatan Kerja Pada Perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya

I. PENGANTAR Latar Belakang. Kualitas sumber daya manusia yang tinggi sangat dibutuhkan agar manusia

BAB II LANDASAN TEORI. Employee engagement merupakan rasa keterikatan secara emosional

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Berwirausaha

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya yang dimiliki perusahaan seperti modal, metode, dan mesin. visi dan misi yang telah ditargetkan (Dessler, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inovatif. Kompetisi yang terjadi menuntut organisasi untuk senantiasa mengembangkan

HUBUNGAN ANTARA SELF DETERMINATION DENGAN KETERIKATAN KERJA (WORK ENGAGEMENT) PADA KARYAWAN PT JAPFA COMFEED INDONESIA CABANG SIDOARJO

Gambaran Keterikatan Kerja pada Dosen-Tetap Ditinjau dari Karakteristik Personal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Work Engagement. Work engagement atau worker engagement merupakan sebuah konsep

KECERDASAN ADVERSITAS DAN KETERLIBATAN KERJA PADA KARYAWAN PT. GANDUM MAS KENCANA KOTA TANGERANG

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi memaksa setiap organisasi berupaya menciptakan keunggulankeunggulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. manajemen sumber daya manusia (Saks, 2006). Para praktisi organisasi dan para

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kahn (dalam May dkk, 2004) work engagement dalam. pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan

BAB 1 PENDAHULUAN. menaruh adanya minat terhadap pentingnya kesehatan. Sehat menurut kamus Besar

HUBUNGAN ANTARA KESESUAIAN INDIVIDU-ORGANISASI DAN MODAL PSIKOLOGIS DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA STAF ADMINISTRASI PERGURUAN TINGGI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada jaman era globalisasi seperti sekarang ini yang ditandai dengan

BAB II URAIAN TEORITIS. Pembahasan mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini telah

Pendahuluan Globalisasi dan tekanan internasional menuntut organisasi agar dapat meningkatkan kinerjanya. Kunci pembeda dari keunggulan kompetitif di

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Udayana (Unud) sebagai sebuah lembaga pemerintah yang

Transkripsi:

14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. WORK ENGAGEMENT 1. Definisi Work Engagement Work engagement menjadi istilah yang meluas dan populer (Robinson, 2004). Work engagement memungkinkan individu untuk menanamkan diri sepenuhnya terhadap pekerjaan dengan meningkatkan selfefficacy dan berdampak positif pada kesehatan karyawan yang akan meningkatkan dukungan karyawan terhadap organisasi (Robertson & Markwick, 2009). Telah banyak studi yang telah dilakukan mengenai work engagement, tetapi sampai saat ini belum ada definisi yang konsisten dan universal mengenai definisi dari work engagement, termasuk juga dalam hal operasionalisasi dan pengukurannya yang masih dalam cara yang berbedabeda (Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008). Work engagement didefinisikan pertama kali oleh Kahn (1990) sebagai suatu keadaan dimana anggota dari sebuah organisasi mengidentifikasi dirinya dengan pekerjaannya. Schaufeli (2006) mendefinisikan work engagement sebagai keadaan motivasional yang positif yang dikarakteristikkan oleh vigor, dedication, dan absorption. Vigor adalah 14

15 level energi dan resiliensi yang tinggi, adanya kemauan untuk investasi tenaga, presistensi, dan tidak mudah lelah. Dedication adalah keterlibatan yang kuat ditandai oleh antusiasme dan rasa bangga dan inspirasi. Absorption adalah keadaan terjun total (total immersion) pada karyawan yang dikarakteristikkan oleh cepatnya waktu berlalu dan sulitnya memisahkan seseorang dari pekerjaannya (Saks, 2006). Robinson, Perryman, & Hayday (2004) mendefinisikan work engagement sebagai sikap positif karyawan terhadap organisasi dan nilai-nilai organisasi. Karyawan yang engaged memiliki kesadaran dalam konteks bisnis dan bekerja dengan koleganya untuk meningkatkan kinerja dalam pekerjaan untuk keuntungan organisasi. Hewitt, Bacon & Woodrow (dalam Robinson, Perryman, & Hayday, 2004) mendefinisikan engagement sebagai pengukuran emosional karyawan dan komitmen intelektual terhadap organisasi dan kesuksesannya dan meyakininya menjadi hasil pengukuran dan menggambarkan bagaimana karyawan berperilaku sebagai hasil interaksi mereka dengan organisasi. Terdapat juga pandangan lain mengenai work engagement yaitu dengan mengasumsikan work engagement sebagai lawan dari burnout. Karyawan yang engaged memiliki rasa bersemangat dan hubungan yang efektif dengan pekerjaan mereka dan mereka menilai diri mereka mampu menangani tuntutan kerja mereka. Schaufeli & Bakker (2006) mengasumsikan bahwa engagement dan burnout merupakan dua kutub

16 berlawanan dari kontinum mengenai work related well-being, dengan burnout mewakili kutub negative dan engagement sebagai kutub positif. Definisi work engagement oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker, merupakan definisi yang lebih luas dan lebih sering digunakan dalam studi penelitian (Albrecht, 2010). Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) mendefinisikan work engagement sebagai keadaan positif, pemenuhan, pekerjaan berkaitan dengan pandangan terhadap kondisi kerja dikarakteristikkan dengan adanya vigor, dedication dan absorption. Daripada keadaan sesaat dan spesifik, engagement mengacu pada keadaan afektifkognitif menyeluruh dan persisten yang tidak fokus pada objek, kejadian, inidivu atau perilaku tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan definisi engagement dari Schaufeli dkk. 2. Aspek-Aspek Work Engagement Menurut Schaufeli & Bakker (2006) mengemukakan bahwa work engagement memiliki aspek-aspek sebagai berikut: 1. Kekuatan (Vigor) Kekuatan (vigor) meliputi tingginya energi dan semangat yang dirasakan disertai kegembiraan, kerelaan untuk memberikan usaha maksimal terhadap setiap kinerjanya, dan ketahanan mental ketika menemui kesulitan dalam bekerja.

17 2. Pengabdian (Dedication) Pengabdian (dedication) merupakan suatu kondisi ketika karyawan mempunyai keterlibatan yang kuat dengan pekerjaannya dan munculnya perasaan tertantang, antusias, dan merasa bahwa pekerjaan yang dilakukannya tersebut dapat memberikan inspirasi yang signifikan bagi dirinya baik secara sosial maupun personal. 3. Penghayatan (Absorption) Penghayatan (Absorption) meliputi konsentrasi dan kesenangan hati yang amat sangat sehingga mengalami kesulitan untuk lepas dari pekerjaannya dan merasakan bahwa waktu berlalu sangat cepat selama bekerja. 3. Konsep-Konsep yang Berkaitan dengan Work Engagement Beberapa konsep yang berkaitan dengan work engagement, diantaranya; a. Extra role behavior. Meskipun work engagement biasanya didefinisikan dengan istilah discreationary effort atau going extra mile, engagement berbeda dengan konsep extra role behavior. Work engagement memberikan sesuatu hal yang berbeda pada pekerjaan, tidak hanya sekedar melakukan sesuatu secara berlebihan, misalnya bekerja berjam-jam (Schaufeli & Bakker, 2010).

18 b. Workaholism Pekerja yang engaged bekerja keras karena pekerjaannya menantang dan menyenangkan, bukan karena mereka didorong oleh desakan kuat dari dalam diri yang tidak dapat dilawan (Schaufeli & Bakker, 2010). c. Organizational commitment Work engagement juga sering didefinisikan sebagai komitmen emosional dan intelektual terhadap organisasi (Baumruk, Richman, & Shaw dalam Kular dkk, 2008). Menurut Maslach dkk. (2001) komitmen organisasi merupakan sikap seseorang dan kedekatan terhadap organisasi mereka, sedangkan engagement bukanlah sikap, melainkan derajat dimana individu berminat dan terserap dalam kinerja peran mereka. Disamping itu, komitmen fokus pada organisasi, sedangkan engagement fokus pada tugas-tugas. d. Organizational Citizen Behavior Saks (2006) menyatakan bahwa OCB melibatkan kesadaran dan perilaku informal yang dapat menolong rekan kerja dan organisasi, sedangkan fokus engagement adalah kinerja peran formal seseorang dibandingkan peran ekstra dan perilaku sadar. Selain itu, OCB fokus pada karakteristik dan perilaku individu, dibandingkan organisasi. e. Job Involvement Engagement juga berbeda pula dengan job involvement, dimana job involvement merupakan hasil dari penilaian kognitif mengenai kebutuhan

19 pemuasan kemampuan dari pekerjaan dan mengikat gambaran diri seseorang, sedangkan engagement melibatkan penggunaan secara aktif emosi dan perilaku disamping kognisi (May dalam Saks, 2006). 4. Faktor-Faktor yang Mendorong Work Engagement Menurut Schaufeli (dalam Bakker dan Demerouti, 2008) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement, diantaranya: 1. Tuntutan Kerja (Job Demands) Job demands merupakan aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi dari pekerjaan yang membutuhkan usaha terus menerus baik secara fisik maupun psikologis demi mencapai dan mempertahankannya. 2. Job Resources Job Resources merujuk pada aspek fisik, sosial maupun organisasional dari pekerjaan yang memungkinkan individu untuk a) mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, b) mencapai target pekerjaan, dan c) menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan personal. 3. Salience of Job Resources

20 Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya pekerjaan yang dimiliki oleh individu. 4. Personal Resources Personal resources merujuk kepada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, sifat, usia, dan lain-lain. Personal resources merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Beberapa tipikal personal resources antara lain: a. Self-efficacy Self-efficacy merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas/tuntutan dalam berbagai konteks. b. Organizational-based self-esteem Organizational-based self-esteem didefenisikan sebagai tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam suatu organisasi. c. Optimism

21 Optimism berkaitan dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa dirinya mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam hidupnya. d. Personality Personality (kepribadian) berkaitan erat dengan work engagement dan proses burnout yang juga dapat dikarakteristikkan dengan watak atau perangai, menggunakan dimensi aktivasi dan kesenangan sebagai suatu kerangka kerja. Selain itu Schaufeli dan Bakker (2004) menyatakan bahwa work engagement pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal yaitu model JD-R (Job Demands Resources model) dan psychological capital. Model JD-R sendiri meliputi aspek lingkungan fisik, sosial dan organisasi. Dan psychological capital terdiri dari self-efficacy, hope, optimism dan resilience. Aspek dari psychological capital ini berada dalam faktor work engagement yang keempat yaitu personal resources. Karyawan yang engaged akan memiliki karakteristik personal yang berbeda dengan karyawan lainnya karena mereka memiliki skor ekstraversion dan conscientiousness yang lebih tinggi, serta memiliki skor neuroticism yang lebih rendah (Bakker, 2006).

22 B. PSYCHOLOGICAL CAPITAL 1. Definisi Psychological Capital Psychological Capital dikemukakan oleh Prof. Fred Luthans dalam bukunya yang berjudul Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge. Fred Luthans merupakan seorang Professor Management di University of Nebraska. Konsep psychological capital menggabungkan human capital dan social capital untuk memperoleh keuntungan kompetitif melalui investasi atau pengembangan who you are and what you can become (Luthans & Avolio, 2003; Jensen & Luthan, 2006; Luthans, et al., 2007). Fred Luthans mendefinisikan psychological capital ini sebagai hal positif psikologis yang dimiliki oleh setiap individu yang berguna membantu individu tersebut untuk dapat berkembang, yang ditandai oleh: (1) Percaya diri (self-efficacy atau confidence) untuk menyelesaikan pekerjaan, (2) Memiliki pengharapan positif (optimism) tentang keberhasilan saat ini dan di masa yang akan datang, (3) Tekun dalam berharap (hope) untuk berhasil, dan (4) Tabah dalam menghadapi berbagai permasalahan (resiliency) hingga mencapai sukses (Luthans, dkk; 2007). Hal ini senada dengan pendapat Osigweh (1989), dimana Psychological Capital adalah suatu pendekatan yang dicirikan pada dimensidimensi yang bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki individu sehingga bisa membantu kinerja organisasi. Dimensi-dimensi tersebut yakni 1) Adanya

23 kepercayaan diri (self-efficacy), 2) Atribusi yang positif (optimism), 3) Resistensi dalam mencapai tujuan (hope), dan 4) tidak mudah menyerah (resiliency). 2. Dimensi-Dimensi Psychological Capital Menurut Luthans, Youssef & Avolio, 2007, dalam bukunya yang berjudul Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge bahwa psychological capital memiliki empat dimensi yaitu selfefficacy/confidence, optimism, hope,dan resiliency. a. Psychological Capital Efficacy Psychological capital efficacy menggambarkan kepercayaan diri dari seseorang, ditandai oleh kemampuannya untuk mengerahkan motivasi, kemampuan kognitif serta kemampuan melakukan tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas spesifik (Stajkovic & Luthans, 1998b, dalam Larson dan Luthans, 2006). Sedangkan menurut James E. Maddux dalam buku The Handbook of Positive Psychology (Snyder & Lopez, 2006) selfefficacy menggambarkan kekuatan dari kepercayaan bahwa seseorang mampu melakukan sesuatu. Menurut teori Bandura (1986, 1997), psychological capital efficacy (atau singkatnya kepercayaan diri) didefinisikan sebagai keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimilikinya yang dapat

24 mendorongnya untuk menjadi termotivasi dan sebagai jalan individu tersebut untuk bertindak untuk dapat menjadi sukses melakukan suatu pekerjaan tertentu. b. Psychological Capital Hope C. Rick Snyder, seorang professor psikologi klinis University of Kansas mendefinisikan hope sebagai kodisi motivasi positif yang didasari oleh interaksi akan perasaan sukses (1) agency (goal-directed energy) dan (2) pathways (planning to meet goals). Dari definisi ini, hope melibatkan willpower dan waypower. Willpower adalah suatu dimensi penting karena dapat memicu motivasi dan menjaga energy seseorang untuk mencapai tujuannya. Sedangkan waypower merupakan rencana alternatif hasil pemikiran seseorang untuk mencapai tujuannya. Penelitian Snyder (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) mendukung ide bahwa hope merupakan suatu kognitif atau proses berpikir dimana individu mampu menyusun kenyataan dengan tujuan dan harapan yang menarik atau menantang dan pada akhirnya mendapatkannya dengan cara determinasi self-directed, energi, dan persepsi kontrol internal. c. Psychological Capital Optimism Martin Seligman (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) mendefinisikan optimisme sebagai model pemikiran dimana individu

25 mengatribusikan kejadian positif ke dalam diri sendiri, bersifat permanent, dan penyebabnya bersifat pervasive, dan di lain hal menginterpretasikan kejadian negatif kepada aspek eksternal, bersifat sementara atau temporer, dan merupakan faktor yang disebabkan oleh situasi tertentu. Secara konseptual, optimisme menginterpretasikan peristiwa buruk disebabkan oleh pihak eksternal (bukan salah saya), bersifat tidak stabil (hanya terjadi sekali saja), dan merupakan kejadian spesifik (saat ini). Sedangkan pesimis menginterpretasikan kebalikannya, yaitu peristiwa yang disebabkan oleh pihak internal, bersifat stabil dan merupakan kejadian global (Buchanan & Seligman, 1995; Peterson, 2000; Seligman, 1998A dalam Larson dan Luthans, 2006). Dalam penelitian ini, pengertian optimis menggambarkan keyakinan bahwa sesuatu yang baik akan diperoleh. Beberapa hal positif yang dihasilkan dari optimisme adalah seperti kesehatan fisik dan mental dan well-being, coping yang efektif untuk situasi sulit dalam hidup, penyembuhan dari penyakit dan obat-obatan, kepuasan hidup, dan authentic happiness. Dalam dunia kerja, optimisme ini juga berhubungan secara positif kepada hal-hal yang memuaskan seperti workplace performance dan performa di berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, olahraga dan politik. Sedangkan untuk hal yang negatif yang dapat dihasilkannya adalah seperti depresi, penyakit fisik dan rendahnya performa di setiap bidang kehidupan.

26 d. Psychological Capital Resiliency Resiliency didefinisikan sebagai kapasitas psikologis seseorang yang bersifat positif, dengan menghindarkan diri dari konflik, kegagalan, dan halhal yang dapat memicu munculnya masalah sehingga dapat menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans, 2002 dalam Larson dan Luthans, 2006). Berbeda dengan self-efficacy, hope, dan optimism yang lebih bersifat proaktif, resiliency dari seseorang lebih bersifat reaktif, yang terjadi ketika seseorang berhadapan dengan perubahan, ketidakbaikan, atau ketidakpastian (Blok & Kremen, 1996 dalam Larson dan Luthans, 2006). C. Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Definisi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No.8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ; Bab 1, Pasal 1, Pegawai Negeri adalah setipa warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Bab II, pasal 2, dinyatakan bahwa:

27 1. Pegawai negeri terdiri dari: a. Pegawai negeri sipil; b. Anggota tentara Nasional Indonesia; c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a terdiri dari: a. Pegawai Negeri Sipil Pusat; dan b. Pegawai Negeri Sipil Daerah. Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan (Bab II, Pasal 3). Berdasarkan uraian diatas, Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah setiap warga negara Republik indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwewenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, digaji berdasarkan peraturan perundang-ungana yang berlaku, bukan mrupakan Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, baik yang memiliki jabatan struktural/ fungsional maupun yang tidak, yang berkedudukan di daerah atau di pusat.

28 D. HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DENGAN WORK ENGAGEMENT PADA PNS Karyawan merupakan bagian terpenting dari suatu organisasi. Hal ini dikarenakan karyawan merupakan penggerak dari maju mundurnya suatu organisasi. Karyawan yang engaged terhadap pekerjaannya akan termotivasi untuk memberikan usaha terbaiknya (Marciano, 2010). Biro konsultasi DDI (dalam Marciano, 2010) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat work engagement maka akan semakin tinggi kinerja organisasi tersebut. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Llorens, Bakker, Schaufeli & Salanova (2006) menemukan bahwa engagement sebagai prediktor signifikan dari komitmen organisasi. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa work engagement berpengaruh positif terhadap peningkatan komitmen karyawan (Hallberg & Schaufeli, 2006), in-role and extra-role behavior (Bakker, Demerouti & Verbeke, 2004) dan service climate, employee performance, dan kesetiaan pelanggan (Salanova, Agut & Peiro, 2005). Hasil riset Corporate Leader Council (dalam CPID, 2009) menemukan bahwa engagement menyumbang 40% terhadap peningkatan kinerja, 57% untuk bekerja lebih keras, 80% untuk performa yang lebih baik dan 87% untuk kemungkinan menetap dalam organisasi. Hasil survei CPID (2006) juga menunjukkan bahwa karyawan

29 yang engaged menunjukkan performa yang lebih baik, lebih sering direkomendasikan, jarang absen dan tingkat keluar dari organisasi yang lebih rendah. Work engagement memiliki berbagai dampak positif terhadap produktivitas kerja (Castellano, 2008) dan berpengaruh terhadap keuntungan organisasi, kepuasan dan kesetiaan karyawan, retensi atau turnover karyawan serta keamanan (Vance, 2006). Work engagement juga berkorelasi positif dengan komitmen organisasi dan organizational citizenship behavior (Saks, 2006). Karyawan yang memiliki engagement yang tinggi akan memberikan usaha yang lebih besar dalam bekerja untuk mencapai kesuksesan, diantaranya rela lembur dalam menyelesaikan pekerjaannya, membawa pekerjaan yang belum selesai ke rumah karena merasa bahwa pekerjaan merupakan bagian hidupnya, dan bahkan rela membantu rekan kerjanya dalam menyelesaikan pekerjaan dengan pemikiran bahwa hal tersebut akan berkontribusi bagi keberhasilan organisasi tempatnya bekerja. Banyaknya dampak positif dari work engagement yang dimiliki pegawai, dapat dijadikan sorotan bahwa level work engagement pada masingmasing karyawan perlu ditingkatkan untuk mencapai tujuan kesuksesan organisasi. Salah satu tujuan organisasi adalah mampu mengikuti persaingan yang semakin ketat. Persaingan tersebut tidak hanya melibatkan organisasi swasta tetapi juga organisasi pemerintah dimana memiliki karyawan yang

30 disebut pegawai negeri sipil. Meskipun pemerintah seringkali dicirikan dengan birokrasi yang cukup kuat dan kaku, namun berdasarkan fenomena yang dapat dilihat melalui media elektronik dan surat kabar banyak ditemukan fakta yang berkaitan dengan penyelewengan komitmen pada waktu, dimana tidak jarang pegawai negeri sipil yang terlambat masuk kerja, memperpanjang libur ataupun waktu istirahat, pulang kerja tidak tepat waktu da masih banyak lagi. Berdasarkan fenomena dapat dikatakan bahwa pegawai negeri sipil di Indonesia banyak yang tidak engaged terhadap pekerjaannya. Hasil penelitian Luthans (2007) menemukan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi work engagement karyawan adalah psychological capital yang dimiliki karyawan itu sendiri. Penelitian ilmiah yang telah dilakukan lebih dari 50 tahun, membuktikan bahwa psychological capital yang dimiliki karyawan adalah kunci dari kesuksesan kerja dan kepuasan hidup (Luthans, 2007). Psychological capital yang dimiliki oleh seorang karyawan, mempengaruhi kinerja pegawai tersebut baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan masyarakat dan menentukan keberhasilan dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Pada tahun 2005 dan 2006 penelitian mengenai psychological capital mengarah kepada hubungannya dengan kinerja karyawan. Luthans, Avolio, Walumbwa dan Li (2005) telah mempelopori penelitian tentang hubungan antara psychological capital dan kinerja karyawan pada perusahaan China,

31 hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara psychological capital dengan kinerja dan performa karyawan di China dimana semakin tinggi psychological capital yang dimiliki karyawan maka semakin baik kinerja dan performa yang diberikan. Hal ini terjadi dikarenakan psychological capital memberikan pengaruh positif terhadap kinerja dan performa karyawan. Peterson dkk (2011) mengemukakan bahwa psychological capital memberikan pengaruh terhadap perilaku inovasi seorang karyawan, dimana hal ini akan berhubungan dengan kemampuan organisasi dalam menghadapi persaingan bisnis. Psychological capital menurut Peterson dkk (2011) yang mengacu pada pendapat dari Luthans, Yousef & Avolio (2007) adalah pernyataan psikologis individu yang dikarakteristikkan oleh 4 hal, yaitu memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam menghadapi tantangan (selfefficacy), memiliki kondisi atau motivasi positif akan tercapainya kesuksesan (Hope), memiliki atribusi positif yang tinggi akan tercapainya kesuksesan baik saat ini maupun di masa depan (optimsm), dan memiliki psikologis positif yang dapat mendorong seseorang untuk bangkit dari kegagalan maupun tambahan tugas yang diberikan (resilience). Self-efficacy yang dimiliki individu memberikan pengaruh terhadap tingkat work engagement seorang karyawan. Individu yang memiliki selfefficacy yang tinggi cenderung percaya pada kemampuan yang ada pada

32 dirinya sehingga dapat menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan dari tugas yang dibebankan (Rego dkk, 2010). Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan memilih suatu tugas yang menantang untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi kesulitan atau hambatan pada pekerjaan atau tugas tersebut. Hal inilah yang disebut dedication dalam work engagement yang diungkapkan oleh Schaufeli et.,al (2002). Dimensi dedication memiliki kemiripan dengan self-efficacy dimana individu dengan dedication yang tinggi akan memiliki perasaan yang antusias terhadap pekerjaannya dan menganggap bahwa tantangan dalam bekerja merupakan inspirasi baginya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.. Hope (harapan) didefinisikan oleh Snyder, Irving, dan Anderson (1991) sebagai kondisi motivasi yang positif berdasarkan perasaan sukses, energi yang didorong oleh tujuan dan adanya jalan ataupun perencanaan untuk mencapai tujuan tersebut. Individu yang memiliki hope yang tinggi sangat termotivasi untuk mencapai tujuannya, memiliki energi dan keinginan yang kuat serta determinasi yang tinggi untuk memenuhi harapannya (Rego dkk, 2010). Aspek kedua dari psychological capital yang dikemukakan oleh Luthans (2007) ini identik dengan aspek dari work engagement yaitu vigor yakni tingginya energi dan semangat yang dirasakan oleh karyawan disertai kegembiraan, kerelaan untuk memberikan usaha maksimal terhadap kinerjanya dan ketahanan mental ketika menemui kesulitan dalam bekerja.

33 Dimensi ketiga dari psychological capital yaitu optimism (optimis) merupakan individu yang mempunyai stabilitas dan gambaran umum yang positif dan menanggapi keadaan yang negatif secara realistis (Seligman, 1998). Menurut Rego dkk (2010), optimsm adalah individu yang berharap bahwa hal-hal baik akan terjadi padanya, tidak mudah menyerah dan biasanya memiliki rencana tindakan dalam kondisi sesulit apapun. Dimensi ketiga dari psychological capital ini senada dengan aspek work engagement, yaitu absorption dimana pada dasarnya absorption merupakan penghayatan, konsentrasi dan kesenangan hari yang amat sangat yang dirasakan karyawan ketika bekerja karena karyawan mampu menanggapi setiap pekerjaan dan kesulitan yang dihadapinya secara positif dan cenderung memiliki perencanaan dalam melakukan pekerjaan sehingga karyawan mampu menghadapi situasi sulit sekalipun. Hal ini mengakibatkan karyawan merasa waktu berlalu dengan cepat selama bekerja. Dimensi psychological capital yang lain yaitu resilient atau ketahanan adalah individu yang mampu mengatasi ketidakpastian serta kegagalan dari tugas yang diberikan (Rego dkk, 2010). Resilience adalah kapasitas psikologis yang positif yang mendorong seseorang akan bangkit kembali dari ketidakpastian atau kegagalan maupun tambahan tugas yang diberikan (Luthans, 2002). Resilience yang dikemukakan Luthans (2007) merupakan cakupan dari ketiga aspek work engagement yang dikemukakan Schaufeli & Bakker (2002), dimana pada setiap aspek work engagement dicirikan dengan

34 kemampuan individu dalam menghadapi masalah, bertahan dalam situasi sulit, mampu mengambil hikmah dari setiap kesulitan yang dihadapi ketika bekerja dengan cara menjadikan kesulitan sebagai tantangan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Karyawan yang tidak mampu menghadapi tantangan dan mengubah tantangan yang dihadapi menjadi kesempatan untuk bangkit akan menunjukan perilaku counterproductive berupa perilaku agresi, mencuri, menyakiti rekan kerja, mementingkan tugas diri sendiri dan berbagai bentuk sabotase (Yuwono dkk. 2005). Sedangkan karyawan yang lebih resilien akan semakin mungkin menolong teman sekerjanya tanpa mengharap imbalan (altruis), memberikan ide-ide yang bermanfaat bagi organisasi, mematuhi peraturan agar terhindar konflik dengan karyawan lain dan sadar akan semua tugas dan tanggung jawabnya tanpa tekanan atasan. E. HIPOTESIS Berdasarkan uraian teoritis di atas, adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara psychological capital dengan work engagement pada Pegawai Negeri Sipil Dinas Pendidikan Kabupaten Karo dimana semakin tinggi psychological capital maka akan semakin tinggi tingkat work engagement pada pegawai negeri sipil