KOPI DARAT Kongkow Pendidikan: Diskusi Ahli dan Tukar Pendapat 7 Oktober 2015

dokumen-dokumen yang mirip
KOPI DARAT Kongkow Pendidikan: Diskusi Ahli dan Tukar Pendapat 13 Mei 2015

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA

BAB I PENDAHULUAN. Implementasi Production Based Education Sebagai Upaya Meningkatkan Mutu Lulusan Pendidikan Vokasi Di Akademi Teknik Soroako

BAB. I PENDAHULUAN. 1.1 LATAR BELAKANG Visi Pembangunan Pertanian adalah terwujudnya sistem pertanian bioindustri

BAB I PENDAHULUAN. Pengangguran masih menjadi masalah serius di Indonesia karena sampai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tingkat persaingan hidup semakin hari semakin ketat dan sulit. Banyak

I. PENDAHULUAN. Teknologi (IPTEK) yang semakin kompleks di berbagai bidang kehidupan. Untuk

Inkonsistensi Penyelenggaraan Pendidikan SMA dan SMK 1 Istanto W. Djatmiko

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan yang harus dihadapi. Melalui pendidikanlah seseorang dapat memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam era informasi saat

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO SINKRONISASI PRIORITAS NASIONAL DENGAN BELANJA DAERAH DALAM APBD TAHUN ANGGARAN 2013

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI TAPIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. wilayah tanah air Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

-2- Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REP

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Tingkat pengangguran terbuka penduduk usia 15 tahun ke atas menurut

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA. NOMOR 129a/U/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PENDIDIKAN

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan salah satu indikator untuk kemajuan pembangunan suatu bangsa.

KUANTITAS PROPORSI SMK : SMA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kecenderungan perubahan sosial dalam masyarakat. Masyarakat masa depan

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU)

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. individu yang dipersiapkan untuk mampu mengikuti laju perkembangan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. Dimulainya AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour

CATATAN ATAS PRIORITAS PENDIDIKAN DALAM RKP 2013

BAB I PENDAHULUAN. oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitasnya.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu unsur yang memiliki peranan penting

Pendidikan Vokasi Bercirikan Keunggulan Lokal Oleh: Istanto W. Djatmiko Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. Banyaknya para pencari kerja di Indonesia tidak di imbangi dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lutma Ranta Allolinggi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi yang sangat cepat pada saat ini

PENETAPAN KINERJA BUPATI TEMANGGUNG TAHUN ANGGARAN 2014 NO SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET (Usia 0-6 Tahun)

LEMBARAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 03 TAHUN 2005 SERI E PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 06 TAHUN 2005 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku. Kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang direncanakan. diluncurkan kurikulum baru yaitu kurikulum 2013.

I. PENDAHULUAN. penelitian yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah,

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lutfia, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan pengangguran saat ini masih harus tetap memperoleh perhatian

LAPORAN HASIL DISKUSI SIDANG KOMISI III PERCEPATAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN MENENGAH UNIVERSAL

SEMINAR NASIONAL SMK BERBASIS POTENSI UNGGULAN DAERAH DAN KEBUTUHAN MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA MENGELIMINASI CITRA SEKOLAH SECOND CHOICE

2018, No Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang

Panduan Pengusulan Ijin Penyelenggaraan Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) untuk PEMBELAJARAN SEPANJANG HAYAT dalam rangka Penerapan KKNI bidang

BAB I PENDAHULUAN. investasi dalam bidang pendidikan sebagai prioritas utama dan. pendidikan. Untuk mendasarinya, Undang-Undang Dasar 1945 di

BAB I PENDAHULUAN. ini senada dengan pendapat Drucker (1996) bahwa kewirausahaan bukan

BAB I PENDAHULUAN. infrastruktur ditempatkan sebagai sector vital dalam proses mencapai

BAB I PENDAHULUAN. formal atau nonformal. Kedua pendidikan ini jika ditempuh dan dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. Bab pertama yakni bab pendahuluan memuat latar belakang masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, sebagaimana pula termuat dalam pasal 31 bahwa tiap-tiap warga Negara

[TT2] (MDGs), Education For All (EFA), dan Education for. sasaran-sasaran Millenium Development Goals. Memenuhi komitmen global untuk pencapaian

BAB I PENDAHULUAN. dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat luas.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dinilai sangat penting dalam mendukung pertumbuhan. pendidikan bagi masyarakat di antaranya berkaitan dengan pengurangan

IRRA MAYASARI F

ANGGARAN PENDIDIKAN DALAM RAPBN 2014

2) Pendidikan Menengah. rasio guru dan murid. a) Angka Partisipasi Sekolah (APS)

KATA PENGANTAR DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. semua negara dalam menghadapi arus globalisai, sebab daya saing. pergeseran era akan daya saing yang tinggi.

Boks 1. Strategi Pendidikan Berorientasi Pasar di Provinsi Jambi

2016 PERAN BIMBINGAN KARIR, MOTIVASI MEMASUKI DUNIA KERJA DAN PENGALAMAN PRAKERIN TERHADAP KESIAPAN KERJA SISWA SMK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang No 32 tahun

8 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2018 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN KEDOKTERAN

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data sekunder (Time Series) dari

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keahlian dan kemampuan yang unggul. Salah satu upaya pemerintah

BABI PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KTSP KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN

2013, No

PETUNJUK TEKNIS I. KETENTUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan di tengah masyarakat modern memiliki tingkat persaingan yang

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2014 TENTANG

Boks 2. PERINGKAT DAYA SAING INVESTASI DAERAH PROVINSI JAMBI

TREND DAN ESTIMASI ANGGARAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA BIDANG PENDIDIKAN DI PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum tertulis,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Perubahan merupakan proses sosial dimana orang dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia seutuhnya. Dalam undang-undang No 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu

/ KEPUTUSAN MENTER! PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. atau anak didik sesuai dengan kebutuhan dan perkembangannya.

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan yang kreatif, inovatif, dinamis, dan proaktif terhadap tantangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Menjelang tahun 2020 perekonomian Indonesia akan berubah dan

Indonesia: Tren Sosial dan Ketenagakerjaan (terbaru) November Tren tahun 2015 memperlihatkan penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi...

BAB I PENDAHULUAN. dan Undang Undang Dasar Pendidikan Nasional harus tanggap. terhadap tuntutan perubahan zaman. Untuk mewujudkan cita-cita ini,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TERWUJUDNYA LAYANAN PENDIDIKAN YANG PRIMA, UNTUK MEMBENTUK INSAN LAMANDAU CERDAS KOMPREHENSIF, MANDIRI, BERIMANDAN BERTAQWA SERTA BERBUDAYA

LAPORAN AKHIR BANTUAN KEUANGAN FORUM PENDIDIKAN UNTUK SEMUA (PUS) KOTA SURAKARTA TAHUN 2015

IMPLIKASI UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN TERHADAP PENINGKATAN MUTU PROSES PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sehari- hari. Lesunya pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor riil, telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, namun juga

KEBIJAKAN DAN KOORDINASI KEGIATAN DIREKTORAT PEMBINAAN PENDIDIKAN MASYARAKAT TAHUN 2015

STANDAR PENGELOLAAN PEMBELAJARAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan bagian internal dalam pembangunan. Proses pendidikan

STRATEGI MEWUJUDKAN GENERASI EMAS BANGSA

Transkripsi:

KOPI DARAT Kongkow Pendidikan: Diskusi Ahli dan Tukar Pendapat 7 Oktober 2015 Topik #10 Wajib Belajar 12 Tahun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Menjawab Daya Saing Nasional Latar Belakang Program Indonesia Wajib Belajar 12 Tahun diluncurkan sebagai kelanjutan dari kesuksesan program Wajib Belajar 9 Tahun. Implementasi program Wajib Belajar 12 Tahun juga merupakan tanggapan atas meningkatnya tuntutan seluruh warga Indonesia terhadap pendidikan, termasuk mereka yang berada dalam kelompok populasi termiskin. Selama sepuluh tahun terakhir, angka partisipasi kasar (APK) murid Indonesia di tingkat pendidikan dasar tampak terus stabil, sementara terjadi peningkatan APK yang signifikan di seluruh jenjang pendidikan menengah. Pendidikan di tingkat menengah memiliki dua fungsi, yaitu menyiapkan murid untuk memasuki pasar kerja dan untuk menyiapkan murid dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. SMA dirancang untuk menyiapkan murid ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan mengajarkan pelajaran Agama, Pendidikan Budi Pekerti, Ilmu Sosial, Bahasa Indonesia, Matematika, Sejarah, Bahasa Inggris, Seni, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, serta Keterampilan Kriya dan Kewirausahaan. Sementara SMK dirancang untuk melahirkan lulusan yang siap bekerja. 1 Untuk mencapai tujuan ini, kurikulum SMK memasukkan mata pelajaran yang relevan dengan kesiapan karir seperti Teknologi dan Perancangan, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Kesehatan, Agribisnis dan Teknologi Pertanian, Perikanan dan Kelautan, Bisnis dan Manajemen, Turisme, Seni Kriya dan Seni Pertunjukan. 2 Indonesia sendiri, di periode tahun 2000- an, mengalami ekspansi yang sangat tinggi dalam hal partisipasi murid di tingkat pendidikan menengah. Hal ini sebagian didorong oleh keputusan bijak pemerintah untuk meningkatkan jumlah murid yang melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas, terutama ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang lalu. 3 Bahkan, kebijakan serta investasi yang dilakukan oleh Pemerintah mendongkrak angka partisipasi murid ke SMK sebanyak 158% antara tahun 2001-2010. 4 Partisipasi murid ke SMK, terutama SMK negeri, meningkat lebih cepat daripada partisipasi murid ke SMA. Partisipasi murid ke SMK tercatat meningkat sebanyak 15% (atau mencapai 4,2 juta murid) secara nasional, dan ini berarti mencakup 70% dari total angka partisipasi murid ke jenjang pendidkan menengah atas pada tahun 2011-2013 atau mencakup 50% dari total angka partisipasi murid ke jenjang pendidikan menengah atas di tahun 2013 saja. 5 Lebih jauh, menurut Asian Development Bank (ADB), peningkatan partisipasi murid di jenjang pendidikan menengah atas sebesar 97% yang direncanakan dicapai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2020, 50% di antaranya ditargetkan berasal dari SMK. Peningkatan partisipasi murid dari kuintil populasi berpendapatan termiskin pun tampak terjadi di sekolah- 1 Studi Latar Belakang bagi Penyusunan RPJMN Bidang Pendidikan 2015-2019, 2015. Bab 12 : Penguatan Penyedia Layanan Keterampilan dan Lingkungan Pelatihan untuk Meningkatkan Produktivitas di Indonesia, ACDP. 2 ACDP 016, 2015. 3 ACDP 036, 2015. 4 ACDP 016, 2015. Mengaitkan Rencana Nasional bagi Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi dengan Penyusunan Program di Sektor Pendidikan. 5 ACDP 036, 2015. 1

sekolah negeri, dan utamanya di SMK. Total partisipasi dari dua kuintil terendah di SMA negeri tampak meningkat 45 persen, sementara partisipasi ke SMK negeri tampak meningkat 87%. Mewujudkan Pendidikan Universal 12 tahun perlu didukung oleh berbagai opsi untuk dapat menjawab beragam kebutuhan murid, hal ini berarti terdapat kesempatan besar untuk mengembangkan jalur sekolah umum maupun sekolah kejuruan. Perusahaan- perusahaan di Indonesia jelas membutuhkan karyawan dengan bermacam keterampilan dan berkualitas lebih tinggi untuk dapat merespon lingkungan usaha yang lebih kompetitif dan meningkatkan orientasi ekspor mereka. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa target angka partisipasi ke SMK harus lebih tinggi daripada yang ke SMA. Sejauh ini, hanya sedikit bukti bahwa lulusan SMK memiliki hasil yang lebih baik bagi pasar kerja dibandingkan lulusan SMA. Rekomendasi tunggal yang dapat diberikan dalam hal ini adalah bahwa kedua jalur harus dibuat lebih relevan dengan pasar kerja, dan di lain sisi menghindari target kaku untuk mengembangkan salah satu jalur ketimbang jalur lainnya. 6 Sejumlah tantangan seputar ekspansi SMK adalah sebagai berikut; Tantangan Kualitas Lulusan dan Kesempatan untuk Memenuhi Kebutuhan Pasar 1. Hingga batas tertentu, ekspansi sekolah kejuruan selama ini tampak dikendalikan oleh perspektif suplai daripada sebagai bentuk yang dibutuhkan oleh sektor swasta, meski sejumlah SMK telah membangun hubungan dekat dengan kalangan bisnis melalui kegiatan- kegiatan yang inovatif. 7 2. Akibat kurangnya fasilitas atau peralatan yang mendukung proses pembelajaran, kinerja belajar murid- murid di SMK swasta lebih rendah dibandingkan murid di SMK negeri. Murid- murid SMK negeri mencatat nilai rata- rata matematika 5.4, sedangkan murid- murid SMK swasta mencatat nilai rata- rata yang lebih rendah yaitu 5.1. Jelas terdapat kebutuhan untuk memperkuat kinerja murid- murid SMK, terutama mereka yang bersekolah di sekolah swasta. 3. Ketersediaan pekerjaan juga merupakan masalah besar bagi lulusan SMK, seperti halnya bagi generasi muda lainnya. Hanya terdapat sedikit bukti bahwa lulusan SMK memiliki hasil yang lebih unggul dibandingkan lulusan SMA. Lulusan SMA dan SMK terbukti memiliki angka pengangguran yang sama, begitu lulus, mereka tidak langsung mendapatkan pekerjaan. Data nasional menunjukkan bahwa angka pengangguran lulusan muda SMA dan SMK telah mencapai angka yang merisaukan yaitu hampir 40% di tahun 2012 jika dibandingkan dengan lulusan dari kelompok- kelompok sekolah lainnya. Namun demikian, angka pengangguran di kelompok murid perempuan lulusan SMK lebih rendah daripada kelompok murid perempuan lulusan SMA. 8 4. Permintaan bagi lulusan SMA cenderung terus bertumbuh dalam lima tahun ke depan dibandingkan dengan lulusan SMK. 9 5. Survei tentang kebutuhan keterampilan pemberi kerja menunjukkan data yang signifikan bahwa lulusan sekolah menengah atas tidak dapat memenuhi harapan pihak pemberi kerja, dan tidak tampak ada perbedaan antara lulusan SMA dan SMK. Namun demikian, karyawan yang merupakan lulusan dari jalur sekolah kejuruan mencatat prosentase yang lebih tinggi dalam mencapai nilai sangat baik dan prosentase yang lebih rendah dalam mencapai nilai buruk, yang diberikan oleh pihak pemberi kerja. Meski demikian, kualitas pekerja/karyawan berlatar 6 ACDP 016, 2015. 7 ACDP 036, 2015. 8 ACDP 036, 2015. 9 ACDP 016, 2015. 2

belakang sekolah menengah atas dari kedua jalur tersebut secara umum masih menjadi persoalan. 6. Para lulusan, baik dari SMA dan SMK, dapat terkendala karena berbagai alasan. SMK dimaksudkan sebagai upaya cepat untuk melahirkan tenaga dengan tingkat keterampilan menengah agar dapat segera merespon permintaan pasar. Meski demikian, SMK belum mampu membekali murid dengan keterampilan umum yang dapat membuat mereka mudah dipekerjakan di masa depan. Lulusan SMK juga berpotensi terkendala meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena bahkan ujian masuk ke pendidikan politeknik pun sangat difokuskan pada keterampilan akademis dan sebagai akibatnya mereka lebih memilih lulusan SMA daripada lulusan SMK. 7. Ekspansi rasio dari SMA ke SMK - yang lebih banyak menggunakan perspektif suplai - dapat menyebabkan alokasi murid yang tidak efektif. Misalnya, kemampuan murid dengan potensi untuk meneruskan ke pendidikan tinggi jadi terbatasi jika mereka telah sejak awal dijalurkan untuk bersekolah di SMK. Sebaliknya, menyediakan pendidikan umum bagi mereka yang tidak berminat meneruskan ke pendidikan tinggi menjadi opsi yang kurang efektif jika dibandingkan dengan penyediaan pendidikan kejuruan yang lebih relevan secara lokal. Pendapatan Profesi para Lulusan SMK 1. Tidak terdapat perbedaan nyata antara pendapatan/penghasilan lulusan SMA jika dibandingkan dengan lulusan SMK. Namun pendapatan lulusan SMK akan tersendat lebih cepat dalam 7-8 tahun setelah lulus 10. Perempuan lulusan SMK yang belajar di bidang- bidang non- teknis justru cenderung mempunyai pendapatan lebih tinggi. 11 Pembiayaan SMK dan Biaya Pendidikan 1. Biaya untuk menyediakan layanan pendidikan dan untuk masuk SMK lebih tinggi dibandingkan biaya serupa untuk bersekolah di SMA. Dengan demikian, ekspansi yang proaktif bagi peningkatan partisipasi di SMK dengan rasio yang lebih besar daripada partisipasi murid di SMA, akan menciptakan implikasi besar pada biaya ekspansi pendidikan menengah atas secara keseluruhan. Peningkatan biaya ini hanya dapat dibenarkan jika terdapat perbedaan nyata pada hasil lulusan SMK versus lulusan SMA di pasar kerja. 12 2. Pengeluaran rumah tangga untuk bersekolah di SMK negeri maupun swasta lebih tinggi dibandingkan untuk bersekolah di SMA. Biaya pendidikan tersebut lebih tinggi di SMK swasta, dimana rumah tangga dapat mengeluarkan biaya sekitar Rp. 2,7 juta per- tahun. Biaya bersekolah di SMK swasta memang secara signifikan lebih mahal daripada bersekolah di SMA bagi seluruh kelompok kuintil. Perluasan kesempatan belajar melalui penyediaan lebih banyak sekolah swasta bisa jadi adalah solusi yang efisien, dengan catatan tanpa memperhatikan kualitas pendidikan meski biayanya lebih mahal. Kendalanya, jika sekolah- sekolah swasta yang menampung siswa miskin tersebut berkualitas rendah, maka ekspansi akses melalui penyedia layanan swasta justru akan menambah persoalan karena lemahnya penjaminan mutu di sekolah- sekolah tersebut. 13 3. SMK negeri mempunyai semua jenis fasilitas yang lebih baik ketimbang SMK swasta. 10 World Bank, 2010. Pendidikan, Pelatihan dan Keluaran Pasar Kerja bagi Pemuda Indonesia. 11 ACDP 036, 2015. 12 Studi Latarbelakang, 2015. Bab 13: Pembiayaan Pendidikan - Mencapai Tujuan RPJMN Berikutnya melalui Pembelanjaan Publik yang Lebih Efektif dan Efisien. 13 Background Study, 2015. Bab 13. 3

Ketersediaan dan Kualitas Guru SMK 1. Berbagai studi mengidentifikasi bahwa masalah paling penting terkait dengan perluasan SMK adalah seputar pelatihan, serta keterampilan dan penempatan guru. Sementara masalah lain mencakup peralatan dan fasilitas, kurikulum, kaitan dengan perusahaan swasta dan sertifikasi para lulusannya. 14 2. Guru umumnya dibagi menjadi tiga kelompok: guru normatif atau guru yang mengajar pelajaran umum seperti bahasa, agama dan ilmu sosial; guru adaptif atau guru akademis (pengajar matematika, sains dan pelajaran- pelajaran terkait lainya); serta guru produktif atau guru kejuruan. Kepala Sekolah melaporkan bahwa saat ini lebih dari 60% SMK menghadapi kekurangan guru kejuruan (Survei SMK, Dinas Pendidikan Provinsi Aceh tahun 2013). 15 3. Kekurangan guru SMK ini terjadi terutama di SMK swasta, dimana rasio guru dan muridnya tinggi. Namun, SMK tidak mengikutsertakan tenaga pengajar lain seperti spesialis laboratorium, pengawas mekanik dan instalasi, dimana hal ini patut menjadi pertimbangan. Secara rata- rata, SMK negeri memiliki 60-80 guru, sementara SMK swasta mempunyai jumlah guru yang lebih kecil yaitu rata- rata 40 guru. Rasio guru- murid di SMK negeri adalah 1:40, sementara di SMK swasta adalah 1:37. 16 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mempertimbangkan secara serius inovasi sebagai bagian dari upaya mengembangkan SMK dan menyelaraskan paket kompetensi nasional yang dibutuhkan ke dalam kurikulum pendidikan. Meski Pemerintah telah menanam investasi dalam jumlah yang tidak kecil dan reformasi dilakukan seiring desentralisasi, dan juga telah terdapat berbagai fleksibilitas dalam implementasi isi program di seluruh Indonesia kemampuan untuk menyusun perencanaan, anggaran dan pembiayaan sistem pendidikan daerah masih terus menjadi masalah. Lebih jauh, pembagian tanggungjawab bagi terwujudnya layanan pendidikan SMK yang baik di antara berbagai kementerian teknis tidak pernah jelas. Hal ini khususnya terkait dengan koordinasi dalam hal akreditasi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang lebih fokus pada orientasi akademis dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang lebih berorientasi pada lapangan kerja. 17 Opsi Kebijakan 1. Memastikan bahwa terdapat kesempatan bagi murid SMK, terutama yang berasal dari keluarga termiskin, untuk dapat meraih pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Menciptakan jalur yang lebih fleksibel sehingga murid yang berada dalam lintas pendidikan kejuruan dapat masuk ke jenjang pendidikan tinggi. Hal ini termasuk menyentuh masalah ujian seleksi masuk ke institusi pendidikan tinggi, yang saat ini menempatkan murid- murid SMK pada posisi yang kurang menguntungkan. 18 2. Menciptakan kombinasi lulusan SMA dan SMK yang berdasarkan pada permintaan pasar kerja dan menggunakan sistem penjaminan mutu yang baik, dan mengatur pengembangan pasokan tenaga kerja dengan lebih fleksibel di bawah kerjasama publik- swasta. Hal ini mengingat karena sedikitnya perbedaan antara lulusan SMA dan lulusan SMK dalam hal kualitas kerja, tanpa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. 3. Memastikan ada kemudahan peralihan antara SMA dan SMK, dan ada peluang bagi para lulusan SMK untuk terus memperoleh keterampilan yang relevan secara terus- menerus. 4. Mencari berbagai metode dalam menyelenggarakan pendidikan kejuruan, termasuk misalnya 14 ACDP 036, 2015. 15 ACDP 036, 2015. 16 ACDP 016, 2015. 17 ACDP 036, 2015. 18 Studi Latarbelakang, 2015. Bab 12. 4

melalui kombinasi pendidikan akademis dan kejuruan. Atau menyediakan pendidikan kejuruan di SMA dan SMK, dan sebagai tambahannya juga menyeimbangkan kurikulum pendidikan menengah atas di kedua jalur tersebut untuk memastikan adanya landasan yang kuat bagi keterampilan kognitif dengan meningkatkan kualitas SMA dan menambah kurikulum umum di SMK, terutama di kelas- kelas awal. 5. Memprioritaskan pengalaman praktis melalui program magang atau program- program lain yang terkait bidang studi teknis yang diajarkan di SMK. 6. Mempertimbangkan cara- cara yang lebih efektif dan efisien untuk dapat membiayai perluasan SMK, termasuk memperhitungkan cara lain seperti kemitraan publik- swasta (pembiayaan oleh publik dan penyediaan layanan oleh swasta, maupun sebaliknya). Sumber ACDP 016, 2015. Mengaitkan Rencana Nasional bagi Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi dengan Penyusunan Program di Sektor Pendidikan. Studi Latar Belakang bagi Penyusunan RPJMN Bidang Pendidikan 2015-2019, 2015. Bab 12 : Penguatan Penyedia Layanan Keterampilan dan Lingkungan Pelatihan untuk Meningkatkan Produktivitas di Indonesia, ACDP. Studi Latarbelakang, 2015. Bab 13: Pembiayaan Pendidikan - Mencapai Tujuan RPJMN Berikutnya melalui Pembelanjaan Publik yang Lebih Efektif dan Efisien. World Bank, 2010. Pendidikan, Pelatihan dan Keluaran Pasar Kerja bagi Pemuda Indonesia. 5