Reformasi Kepartaian untuk Perbaikan Representasi

dokumen-dokumen yang mirip
ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU

Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014

Demokrat Peduli, Serap Aspirasi, dan Beri Solusi Untuk Kesejahteraan Rakyat

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

publik pada sektor beras karena tidak memiliki sumber-sumber kekuatan yang cukup memadai untuk melawan kekuatan oligarki politik lama.

PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

I. PENDAHULUAN. memilih sebuah partai politik karena dianggap sebagai representasi dari agama

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN PDIP PPP PD

Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati,

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik

PENGELOLAAN PARTAI POLITIK MENUJU PARTAI POLITIK YANG MODERN DAN PROFESIONAL. Muryanto Amin 1

Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc. Nomor Anggota : A-183 FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Pembaruan Parpol Lewat UU

USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut ( Dalam prakteknya secara teknis yang

MEMAKNAI ULANG PARTISIPASI POLITIK WARGA: TAHU, MAMPU, AWASI PUSAT KAJIAN POLITIK FISIP UNIVERSITAS INDONESIA 28 JANUARI 2015

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

I. PENDAHULUAN. dilakukan dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilihan umum yang

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin

BAB I PENDAHULUAN. mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data antara lain: - Tinjauan Pustaka : Buku Mengapa Kami Memilih Golput.

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN

PANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

MEMBACA TEKS UNDANG-UNDANG PEMILU NO 8 TH 2012-DIANALISIS DARI KONTEKS LAHIRNYA UU TERSEBUT, KEPENTINGAN APA DAN SIAPA YANG IKUT MENENTUKAN LAHIRNYA

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita.

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

I. PENDAHULUAN. Politik merupakan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat

MEMPERKUAT PENGORGANISASIAN MASYARAKAT SIPIL UNTUK MEMPERCEPAT DEMONOPOLISASI DI POLITIK DAN EKONOMI

BAB I PENDAHULUAN. relatif independen dan juga disertai dengan kebebasan pers. Keadaan ini

Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014: OLIGARKI POLITIK DIBALIK KETERPILIHAN CALEG PEREMPUAN

PENDAPAT FRAKSI PARTAI BINTANG REFORMASI TERHADAP TENTANG RUU TENTANG PEMILU DPR, DPD, DAN DPRD DAN RUU PEMILU PRESIDEN

BAB V PENUTUP. dipilih melalui pemilihan umum. DPR memegang kekuasaan membentuk. undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Salah satu ciri dari negara

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan

Kartu Pemantauan Legislasi Harian

PEROLEHAN KURSI PARTAI DAN PETA KOALISI CAPRES Lingkaran Survei Indonesia Jumat, 11 April 2014

PILKADA OLEH DPRD DINILAI PUBLIK SEBAGAI PENGHIANATAN PARTAI

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang

SEJARAH PEMILU DI INDONESIA. Muchamad Ali Safa at

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian

I. PENDAHULUAN. basis agama Islam di Indonesia Perolehan suara PKS pada pemilu tahun 2004

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

Kronologi perubahan sistem suara terbanyak

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan

ISU KRUSIAL SISTEM PEMILU DI RUU PENYELENGGARAAN PEMILU

Jakarta, 12 Juli 2007

BAB I PENDAHULUAN. politiknya bekerja secara efektif. Prabowo Effect atau ketokohan mantan

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

PEMANDANGAN UMUM FRAKSI KEBANGKITAN BANGSA DPR RI TERHADAP KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR/DPRD DAN DPD

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan, kedaulatan berada pada tangan rakyat. Demokrasi yang kuat,

LAPORAN HASIL PENELITIAN

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

KPPI dan Upaya Peningkatan SDM Perempuan Partai Politik" Disampaikan oleh :

BAB I PENDAHULUAN. serta aspirasi masyarakat. Pemilihan umum (pemilu) sebagai pilar demokrasi di

Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada oleh DPRD

Efek Jokowi: Peringatan Penting dari Survei Eksperimental

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

KARTELISASI POLITIK PILKADA LANGSUNG

KONSEPSI REVISI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 5 TAHUN 2009 TTG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

TANTANGAN DAN PELUANG PEREMPUAN DI PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2014

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. adalah melalui kegiatan pendidikan. Sebagai bagian dari masyarakat, kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Pesta demokrasi dimulai, saat ini bangsa Indonesia sedang memeriahkan

TUGAS ILMUWAN POLITIK DALAM PENGAWALAN POTENSI RESIKO JELANG PEMILUKADA 2015

BAB I PENDAHULUAN. perwakilan. Partai politik melalui anggota-anggotanya yang duduk di lembaga

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

SINERGI ANGGOTA PARLEMEN, MEDIA DAN OMS UNTUK MENDORONG KEBIJAKAN YANG BERFIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN

DUKUNGAN TERHADAP CALON INDEPENDEN

Caroline Paskarina. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008

BAB II PELAKSANA PENGAWASAN

Evaluasi Pemilih atas Kinerja Dua Tahun Partai Politik. Survei Nasional Maret 2006 Lembaga Survei Indonesia (LSI)

BAB I PENDAHULUAN. melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan.

Transkripsi:

Reformasi Kepartaian untuk Perbaikan Representasi Asmara Nababan Direktur Eksekutif DEMOS, Jakarta Pendahuluan Survei Nasional yang dijalankan Demos (2003-2005) mengenai masalah dan pilihan demokrasi di Indonesia, memperlihatkan bahwa kebebasan yang baru tumbuh dan perluasan masyarakat sipil (civil society) ternyata belum melahirkan instrumeninstrumen yang operasional untuk memfasilitasi rule of law, akses yang setara terhadap keadilan, hak sosial dan ekonomi, representasi atau keterwakilan dan pemerintahan yang akuntabel. Apa sebenarnya masalah yang paling penting di sini? Kenyataannya kita berupaya untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut dengan cara demokratis, dan tidak bertumpu pada solusi otoritarian, dan yang terpenting adalah memperbaiki representasi isu-isu yang mendasar dan konflik dalam masyarakat. Masalahnya dilema representasi yang paling mendasar saat ini adalah lemahnya organisasi independen untuk memfasilitasi kontrol masyarakat yang setara secara politik terhadap masalah-masalah publik. 1 Undang-undang yang mengatur proses politik di Indonesia seringkali mendapat kritik atas ketidakmampuannya mengakomodasi kepentingan demokratik yang sesungguhnya. Salah-satu contoh, misalnya, para aktor pro-demokrasi menghadapi berbagai kesulitan untuk memenuhi prosedur legal-formal ketika ingin berkiprah di ranah politik praktis. Undang-undang yang mengatur Pilkada, misalnya, jelas-jelas hanya mengakomodasi para kandidat yang didukung oleh partai politik, sedangkan mereka yang tidak didukung partai politik, tidak bisa mencalonkan diri. Selain itu, sistem kepartaian kita juga secara legal-formal tidak memberi tempat untuk partai lokal. Meskipun demikian, ada tanda-tanda meningkatnya perlawanan dan kurangnya rasa percaya diri diantara para elit politik. Salah satu contoh adalah dukungan luas pemilih di Aceh terhadap kekuatan-kekuatan demokratis lokal berhadapan dengan partai-partai politik elitis yang berbasis di Jakarta. Kemenangan kubu calon independen Irwandi/Nazar yang didukung GAM di sisi lain menunjukkan bahwa partai sentralistik dari Jakarta gagal meraih simpati rakyat di aras lokal. Tak heran jika jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Survey Indonesia (LSI) mengatakan bahwa tujuh dari sepuluh orang Indonesia tidak merasa bahwa partai-partai politik yang ada merepresentasikan ide dan kepentingan mereka. Temuan ini menegaskan kembali kesimpulan dari survei nasional yang dilakukan oleh Demos (2003-2005) tentang representasi semu yang sedang berlangsung dalam konteks demokratisasi Indonesia. Dalam representasi aspirasi, ada kesenjangan yang cukup besar antara aspirasi pemilih dengan sikap dan tindakan partai politik. Survey LSI menunjukkan bahwa 65 persen publik menyatakan partai politik tidak merepresentasi aspirasi mereka untuk berbagai isu publik: posisi kelas sosial partai, isu ideologi dan sistem legal, dan isu ekonomi. Hanya sekitar 35% aspirasi pemilih yang dipersepsikan 1 Simak Laporan Riset Demos, Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia (2003-2005). 1

terwakili oleh sikap dan perilaku tujuh partai politik besar. Dalam proporsi yang kurang lebih sama, pemilih merasa bahwa partai politik sejauh ini lebih banyak melakukan tindakan yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu, dan hanya menguntungkan para pemimpin partai, bukan pemilih pada umumnya. 2 Hal lainnya adalah kurangnya kepercayaan masyarakat dalam pembentukan partai politik. Hal ini dianggap sangat serius karena elit politik juga memonopoli sistem kepartaian yang menyebabkan kesulitan masyarakat meningkatkan cara-cara mereka sendiri dalam mendorong representasi dari bawah. Bergulirnya pembahasan RUU parpol akhir-akhir ini akan banyak menyedot perhatian publik sekaligus memperlihatkan arah baru wacana reformasi kepartaian ke depan. Apakah buruknya representasi yang kini terjadi akan terus bertahan? Atau akan muncul perbaikan signifikan terhadap reformasi kepartaian? UU Bidang Politik: Harapan dan Kenyataan Salah satu kegiatan politik yang akan menyita perhatian publik saat ini adalah pembahasan paket rancangan undang-undang bidang politik yang secara umum meliputi empat rancangan undang-undang. Yang pertama adalah rancangan undangundang tentang partai politik. Kedua, rancangan undang-undang mengenai pemilihan umum (pemilu). Ketiga, tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan keempat tentang susunan kedudukan anggota parlemen (susduk). Setidaknya, ada tiga isu krusial yang mengemuka di media massa berkenaan dengan pembahasan rancangan paket undang-undang bidang politik tersebut. Ketiga isu itu adalah mengenai sistem pemilu, daerah pemilihan (dapil), dan electoral threeshold (ET). Dalam hal sistem pemilu, meskipun ada semacam kesepahaman untuk memperbaiki sistem pemilu, namun diantara partai besar yang ada masih terjadi silang-sengketa mengenai sistem ideal yang diharapkan. Hasil penelitian PUSKAPOL FISIP-UI (2007) menyebutkan bahwa sebagian besar partai besar yang ada menawarkan sistem proporsional terbuka secara terbatas dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) 25% untuk caleg terpilih. Dengan sistem seperti ini ada beberapa kepentingan yang diakomodasi. Pertama, kepentingan konstituen yang telah memberikan suaranya pada caleg tertentu harus diperhitungkan. Namun belajar dari pengalaman pemilu 2004, terbukti sangat sulit bagi caleg untuk memperoleh suara sesuai BPP yang ditentukan. Kepentingan kedua yang diakomodasi adalah terjaminnya kedaulatan partai dalam mengontrol para calon atau anggotanya. Berdasarkan dua kepentingan ini maka jalan tengah yang diusulkan adalah proporsional terbuka-terbatas dengan BPP hanya 25% saja, tidak 100%. Dengan cara ini, diharapkan jumlah anggota DPR yang memiliki basis di tingkat konstituen relatif lebih banyak dibanding pemilu 2004. 3 Dalam sistem pemilu, dikenal lima perangkat teknis, yaitu jenis pencalonan kontestan, cara pemberian suara, pembagian daerah pemilihan, cara perhitungan suara, dan waktu penyelenggaraan pemilu. Di antara kelima perangkat teknis pemilihan itu, menurut Pipit R. Kartawidjaja (2007) pembagian daerah pemilihan merupakan perangkat sistem pemilu yang terpenting sekaligus problematis karena daerah pemilihan merupakan salah satu elemen teknis yang kerap menjadi persoalan. Daerah pemilihan dapat diartikan sebagai wilayah kompetisi bagi seluruh kontestan 2 http://www.lsi.or.id/riset/215/tiga-tahun-parpol-indonesia-representasi-aspirasi-publik 3 Tim Peneliti PUSKAPOL FISIP UI, Ringkasan Kajian Revisi UU Pemilu dan Parpol serta Implikasinya bagi Keterwakilan Perempuan di Parlemen, April, 2007. 2

pemilu untuk meraih suara. 4 Dengan begitu, pada akhirnya nanti setiap wakil rakyat yang duduk di parlemen memiliki basis daerah pemilihan sesuai konstituen yang diwakilinya. Namun penentuan daerah pemilihan ini bisa jadi hanya akal-akalan. Didik Supriyanto (2007) menyebutkan bahwa pemetaan daerah pemilihan yang dilakukan KPU, misalnya, tampak menguntungkan partai tertentu dan merugikan partai yang lain. Menurut Supriyanto, dengan mengambil contoh daerah pemilihan di DKI, misalnya, dapat dibuat simulasi bahwa dengan mengubah besaran daerah pemilihan, menggeser pemetaan daerah pemilihan, dan mengutak-atik beberapa variabel lain (yang dimungkinkan oleh UU No.12/2003), penghitungan suara Pemilu Legislatif 2004, ternyata bisa menghasilkan perolehan kursi yang berbeda dari perolehan kursi yang telah ditetapkan KPU. Misalnya, ketika daerah pemilihan Jakarta yang dibentuk melintang dari selatan ke utara, setelah suara dihitung, perolehan kursinya adalah Partai A 3 kursi, Partai B dan C masing-masing 2 kursi, dan partai D 1 kursi. Namun kalau daerah pemilihan itu dibentuk membujur dari timur ke barat, perolehan kursi bisa berubah menjadi Partai A 2 kursi, Partai B 3 kursi, partai C tetap 2 kursi, yang dapat 1 kursi bukan partai D, tetapi partai E. 5 Menurut Kartawidjaja, yang menarik untuk disimak adalah perbandingan alokasi kursi total antara daerah pemilihan yang menggunakan poros barat-timur versi KPU dengan daerah pemilihan berporos utaraselatan. 6 Simulasinya dapat disimak pada tabel berikut: Partai Politik Poros Utara-Selatan Poros Barat-Timur versi KPU PPP 2 kursi 2 kursi Partai Demokrat 4 kursi 5 kursi PAN 2 kursi 2 kursi PKS 5 kursi 5 kursi PDIP 3 kursi 3 kursi PDS 2 kursi 2 kursi Partai Golkar 2 kursi 2 kursi PKB 1 kursi - Sumber: Kartawidjaja dan Pramono (2007) Isu krusial berikutnya adalah semangat penyederhanaan partai politik melalui electoral threeshold (ET). Usulan penyederhanaan partai politik memakan porsi terbesar dalam pembahasan undang-undang. Beberapa argumentasi yang sering diungkapkan dalam pembahasan di tingkat pansus adalah perlunya menjaga stabilitas partai politik, atau negara sedang dalam proses transisi. Menjamurnya jumlah partai dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas politik karena memperlemah kontrol Negara. Alasan lain adalah kekhawatiran pada multi-partai yang akan memberikan beban tersendiri bagi pemerintah untuk meningkatkan jumlah dana subsidi bagi partai dan memperlambat proses pengambilan keputusan. Ada pula yang mengkaitkan dengan keadaan transisional Indonesia dengan mengatakan bahwa sistem multi-partai justru menyulitkan pemulihan negara Indonesia. 4 Pipit R. Kartawidjaja dan Sidik Pramono (2007) Akal-akalan Daerah Pemilihan, Perludem, Jakarta. 5 Didik Supriyanto, Kata Pengantar, dalam Pipit R. Kartawidjaja dan Sidik Pramono (2007) Akalakalan Daerah Pemilihan, Perludem, Jakarta. 6 Pipit R. Kartawidjaja dan Sidik Pramono, Ibid. 3

Penyederhaan partai politik mengambil bentuk electoral threshold yang sejatinya adalah batas minimal suatu partai atau orang untuk memperoleh kursi (wakil) di parlemen (Healy, 1999; Lijphart, 1994; Reynolds dan Reilly, 1997). Maksudnya, agar orang atau partai itu mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil karena mendapat kekuatan memadai di lembaga perwakilan. Namun, di Indonesia, threshold dimaknai berbeda, yakni batas minimal perolehan suara suatu partai untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya. Berikut pandangan partai-partai besar yang kini menjadi arus utama dalam hubungannya dengan electoral threshold. Partai Usulan Electoral Threshold Partai Golkar 5 % PDIP 5 % PPP [ 7 partai ] PKB 5 % Partai Demokrat < 5 % PKS 3 % Selain ketiga isu ini sejatinya ada isu penting yang seringkali luput dari perhatian, yaitu mengenai perbaikan kualitas partai dalam kaitannya dengan tugas dan fungsi dasarnya sebagai agregator dan representator kepentingan publik. Persoalan pokoknya terutama bermuara pada masih rendahnya representasi (lack of representation). Ini bisa dilihat dari rendahnya representasi sektoral kelompokkelompok marjinal, seperti kelompok petani, buruh, nelayan, maupun kelompok kepentingan lainnya seperti representasi kelompok perempuan. Sementara itu, buruknya representasi juga dapat dilihat dari minimnya wacana kepartaian alternatif seperti diskursus mengenai partai lokal dan calon independen yang masih dilihat sebelah mata. Karena itu, reformasi kepartaian ke depan perlu dilakukan secara signifikan sehingga benar-benar mendukung terciptanya kehidupan demokrasi yang bermakna bagi perbaikan representasi secara substansial. Perspektif Demos: Dari Representasi Elitis Menuju Representasi Popular Jika demokrasi diandaikan sebagai proses dan alat kontrol masyarakat yang mengikat melalui keputusan kolektif dalam segenap persoalan publik, maka keterwakilan harus menjadi salah satu prasyaratnya. Sejauh mana institusi publik yang ada mampu mengakomodasi harapan dan kepentingan warga secara nyata? Pemilu merupakan salah satu contoh mekanisme demokrasi yang diyakini dan diharapkan banyak pihak akan menjadi alat untuk mengagregasikan kepentingan warganegara secara damai. Partai politik (Parpol) sebagai institusi demokrasi karenanya menjadi penting sebagai lembaga representatif yang mewakili kepentingan konstituennya. Namun demikian, iklim politik masa Orde Baru menunjukkan kepada kita bahwa peran Parpol telah dikebiri sehingga kehilangan elan vitalnya sebagai lembaga perwakilan yang mengakomodasi kepentingan rakyat. 7 Situasi itu ternyata masih berlanjut hingga kini. Meskipun iklim reformasi telah melahirkan kebebasan warga untuk membentuk partai baru dengan penyelenggaraan dan mekanisme Pemilu yang relatif lebih baik dan transparan 7 Sofian M. Asgart, Atau Pengabdi Atau Pembajak, dalam Majalah TEMPO, Edisi 19 Desember 2004. 4

tidak serta merta meningkatkan kualitas keterwakilan Parpol secara signifikan. Pemilu 2004 yang diharapkan akan melahirkan legislatif yang lebih baik dan berkualitas ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Elit politik malah sibuk dengan kepentingan pribadi dan kepentingan partainya masing-masing. Pada kenyataannya, Parpol masih melihat rakyat sebagai supporter bukan sebagai voters yang sesungguhnya. Celakanya lagi, orientasi partai untuk merebut voters tidak dengan memperjuangkan kepentingan-kepentingan vital mereka, tetapi lebih dengan memanipulasi sentimen-sentimen primordial seperti etnisitas dan agama serta penggunaan politik uang. 8 Dalam praktek kepartaian seperti itu, sulit dijumpai adanya representasi politik dari bawah secara genuin. Dalam istilah Olle Tornquist (2004) hal ini disebut sebagai oligarki elitis. Maksudnya masyarakat umum sebagai konstituen politik sejati diposisikan menjadi sebatas kelompok massa mengambang. Menurut Tornquist, gagalnya representasi kepentingan rakyat dan ide-ide pokok melalui partai politik merupakan masalah yang urgen. Kalau model keterwakilan murni seperti itu belum ditemukan, maka yang terjadi bukanlah demokrasi representatif, tetapi delegatif. Buruknya kualitas keterwakilan (lack of representative) merupakan salah satu temuan penting Riset Nasional Demos mengenai Masalah-masalah dan Pilihanpilihan Demokratisasi di Indonesia (2003-2004). Dalam hubungannya dengan Parpol dan lembaga legislatif, kualitas keterwakilan itu dapat disimak pada tebel berikut: No Hak dan Institusi (H/I) Demokrasi 1 Kebebasan membentuk partai, merekrut anggota dan mengkampanyekan calon-calon untuk menduduki kekuasaan pemerintah 2 Sikap partai-partai terhadap isu-isu dan kepentingan vital di dalam masyarakat 3 Indepedensi partai-partai dari kepentingan etnis dan agama 4 Indepedensi partai-partai dari politik uang dan kekuasaan 5 Kapasitas kontrol anggota partai dan akuntabilitas partai kepada konstituennya 6 Kemampuan partai untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan Kualitas H/I Demokrasi (%) Baik Buruk 74 23 19 71 34 60 9 78 16 70 19 75 Sumber: Demos (2005) Dari enam aspek keterwakilan yang menjadi indikator kualitas H/I demokrasi itu, hanya pada aspek kebebasan membentuk partai, merekrut anggota dan mengkampanyekan calon-calon untuk menduduki kekuasaan pemerintah saja yang kualitasnya baik. Sementara kelima aspek keterwakilan lainnya menunjukkan 8 Ibid. 5

kualitas yang amat buruk. Demikian pula perkembangannya setelah tahun 1999 secara umum menunjukkan bahwa kualitas keterwakilan cenderung memburuk atau sama saja dari perkembangan sebelumnya. Karena itu, masalah keterwakilan bukan hanya tidak memadai tetapi juga benar-benar terterlantarkan. 9 Berangkat dari keprihatinan akan rendahnya kualitas representasi itu, Demos melakukan beberapa penelitian tematis yang secara spesifik mengkaji kemungkinankemungkinan untuk meningkatkan kualitas representasi demokratik. Salah satu dari riset topikal yang punya relevansi kuat dengan persoalan representasi dan reformasi kepartaian adalah riset Legal Reform. Riset ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah dan peluang yang terdapat dalam Paket UU Politik yang dianggap masih menghalangi proses demokrasi dari bawah (democracy from below) dan/atau mengurangi/membatasi peran dan kapasitas aktor demokrasi untuk melakukan gerakan politik. Di samping itu juga berusaha untuk memfasilitasi upaya advokasi perubahan UU bidang politik yang lebih akomodatif dan mendukung gerakan demokrasi yang bermakna di Indonesia. 10 Temuan awal studi Legal-Reform yang dilakukan Demos menunjukkan bahwa masih kuatnya sentralisme dalam organisasi partai. Kultur dan karakter sentralisme ternyata tak hanya ditemukan dalam struktur pemerintahan, namun juga merasuk dalam kultur berorganisasi partai politik. Selama ini, tak dapat dipungkiri peran jajaran pimpinan pusat partai sangat berpengaruh terhadap hitam-putihnya partai, bahkan di tingkat lokal sekalipun. Sentralisme partai ini tercermin dalam keputusankeputusan partai berkaitan dengan persoalan-persoalan di tingkat daerah, misalnya pencalonan dan pengangkatan pimpinan partai di tingkat daerah. Selain itu, sentralisme ditujukan dengan kuatnya mekanisme untuk menunggu kata akhir dari DPP. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan partai harus keluar dari jajaran pimpinan pusat. Akibatnya, partai lamban merespon realitas di tingkat lokal. 11 Karena itu, meskipun menurut UU Partai Politik No 31/2002, partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga Negara RI secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkn kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan Negara melalui pemilihan umum, namun dalam kenyataannya, partai politik yang ada adalah gerombolan manusia yang dikendalikan oleh pusat dalam bentuk relasi patron-klien. 12 Partai politik hanya menjadi alat bagi elit untuk merebut kekuasaan tanpa mempedulikan representasi kepentingan konstituen mereka. Kondisi ini masih terus berlangsung sekalipun telah ada beberapa perubahan pemerintahan. Hal lain yang tampak dari studi Legal-Reform ini adalah kuatnya hegemoni partai nasional yang didukung dengan ideologi negara kesatuan integralistik dalam UU kepartaian. Hal ini mempengaruhi batasan pendirian partai politik yang tidak memungkinkan adanya partai politik lokal. Di samping itu UU yang ada cenderung menekankan pengaturan syarat-syarat administratif dibanding substansi. Akibatnya 9 Ibid. 10 http://www.demosindonesia.org/more.php?id=156_0_4_0_m7 11 Rita O. Tambunan at all Draft Laporan Riset Legal Reform, Menyoal Problema-problema Representasi di Indonesia: Studi atas Partai Politik dan Kerangka Hukum yang Mengatur Sistem Kepartaian (Demos, 2007). 12 Pernyataan Tamrin Amal Tomagola, dalam sebuah diskusi di Demos. 6

sulit kita dapati partai politik nasional yang secara substansial representatif dan tidak sentralistik. 13 Salah satu contoh persoalan administratif yang menghambat adalah ketentuan mengenai anggota partai. Ketentuan mengenai Kartu Tanda Anggota (KTA) yang masih dicantumkan dalam draft RUU pemilu legislatif untuk pemilu 2009 dinilai banyak pihak akan mempersulit partai, terutama partai baru, untuk mengikuti pemilu. Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar N Gumay berpendapat bahwa pencantuman syarat keanggotaan tak tepat. Ia menilai verifikasi pemilu yang lalu menunjukkan mubazirnya aturan itu. Menurut Hadar, jumlah KTA tak mencerminkan kualitas sebuah partai. "Warga yang memiliki KTA juga belum teruji apakah betul-betul loyal kepada partainya atau tidak. Dalam bilik suara, siapa yang tahu," katanya. 14 Persoalan tersebut menjadi kendala tersendiri, terutama bagi kalangan aktor prodemokrasi yang mencoba masuk ke ranah praksis politik. Kendala legal-formal untuk menjadikan aktor pro-demokrasi semakin politis bermula dari semangat penyederhanaan partai politik di kalangan legislator yang praktis dikuasai oleh partai-partai besar. Usulan penyederhanaan partai politik memakan porsi terbesar dalam pembahasan undang-undang. Demikian pula dalam pembahasan RUU Partai Politik terbaru pada Maret 2007 yang masih menyiratkan semangat kepentingan partikular dan terkesan sangat prosedural. Karena itu, studi Legal-Reform yang dilakukan Demos antara lain merekomendasikan agar pembahasan RUU Partai Politik paling mutakhir ini dapat menyentuh pada persoalan-persoalan yang lebih substantif. Di lain pihak, kalangan pro-demokrasi yang selama ini terlanjur menghindari politik praktis juga dihimbau untuk melakukan rekoneksi dengan gerakan politik demokratik dengan membangun blok-politik yang solid dalam rangka memperkuat representasi. 15 Olle Tornquist mengungkapkan bahwa agenda utama blok-politik demokratik ini adalah membuka ruang-ruang politik baru agar sistem kepartaian bisa lebih terbuka sehingga terjadi perubahan signifikan dari representasi elitis menuju representasi popular. 16 Salah satu contoh, misalnya, dibukanya peluang bagi wacana alternatif kepartaian, seperti mengenai calon independen dan spesifikasi pada kebutuhan demokratisasi di tingkat lokal dengan mengakomodasi lahirnya partai alternatif yang lebih menjamin pengambilan keputusan atas macam-macam urusan publik di tangan rakyat. Selain itu, penting juga melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) persoalan perempuan dalam pengembangan partai disamping mendorong perempuan berpartisipasi secara aktif dalam politik formal. Dengan begitu, reformasi kepartaian akan menunjukkan elan-vitalnya bagi perbaikan representasi demokratik secara lebih bermakna.*** 13 Rita O. Tambunan at all. Ibid. 14 Kompas, 15 Mei 2007. 15 Ulasan lebih rinci mengenai persoalan ini dapat disimak dalam salah satu riset topikal Demos bertajuk Rekoneksi Gerakan Sosial ke Gerakan Politik (Link project) dapat diunduh di situs Demos: http://www.demosindonesia.org/more.php?id=108_0_4_0_m5 16 Simak: The Jakarta Post, 11 April 2007. 7