BAB II LEVEL MIKROSKOPIK DALAM BUKU TEKS KIMIA SMA, PEMBELAJARAN, DAN PEMAHAMAN SISWA PADA MATERI LARUTAN PENYANGGA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengkategorian Penggunaan Level Mikroskopik dalam Buku Teks. Kimia SMA pada Materi Larutan Penyangga

BAB I PENDAHULUAN. sifat, dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Belajar merupakan proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PETA KONSEP. Larutan Penyangga. Larutan Penyangga Basa. Larutan Penyangga Asam. Asam konjugasi. Basa lemah. Asam lemah. Basa konjugasi.

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan salah satu cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lia Apriani, 2014

kimia ASAM-BASA III Tujuan Pembelajaran

LARUTAN PENYANGGA (BUFFER)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu kimia adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur, susunan, sifat,

LARUTAN PENYANGGA Bahan Ajar Kelas XI IPA Semester Gasal 2012/2013

Larutan penyangga dapat terbentuk dari campuran asam lemah dan basa

Kemampuan Siswa Menghubungkan Tiga Level Representasi Melalui Model MORE (Model-Observe-Reflect-Explain)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berpikir merupakan tujuan akhir dari proses belajar mengajar. Dengan

I. PENDAHULUAN. Kimia merupakan salah satu ilmu yang memunculkan fenomena yang abstrak.

LAPORAN PRAKTIKUM 3 ph METER, BUFFER, dan PENGENCERAN DISUSUN OLEH : MARIA LESTARI DAN YULIA FITRI GHAZALI Kamis 04 Oktober s/d 16.

Yusria Izzatul Ulva, Santosa, Parlan Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Negeri Malang Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa penelitian terhadap pembelajaran kimia menunjukkan bahwa

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN. Untuk mengembangkan strategi pembelajaran pada materi titrasi asam basa

Larutan Penyangga XI MIA

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan ilmu yang mempelajari tentang struktur, susunan,

wanibesak.wordpress.com 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mempelajari sains, termasuk Ilmu Kimia kurang berhasil jika tidak

LARUTAN PENYANGGA (BUFFER)

BAB I PENDAHULUAN. Pepy Susanty, 2014

BAB 6. Jika ke dalam air murni ditambahkan asam atau basa meskipun dalam jumlah. Larutan Penyangga. Kata Kunci. Pengantar

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Belajar didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang diakibatkan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Arin Ardiani, 2014

LARUTAN PENYANGGA (BUFFER)

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan ilmu yang mempelajari struktur, susunan, sifat dan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan salah satu rumpun bidang IPA yang fokus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2014 PENGEMBANGAN VIDEO PEMBELAJARAN YANG MENGINTEGRASIKAN LEVEL MAKROSKOPIK, SUB- MIKROSKOPIK, DAN SIMBOLIK PADA MATERI POKOK LARUTAN PENYANGGA

Kimia Study Center - Contoh soal dan pembahasan tentang hidrolisis larutan garam dan menentukan ph atau poh larutan garam, kimia SMA kelas 11 IPA.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dikemukakan oleh Ehrenberg (dalam Pakaya, 2008: 3) bahwa konsep merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya kimia dibentuk dari berbagai konsep dan topik abstrak.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

2014 PENGARUH PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS ZONE OF PROXIMAL DEVELOPMENT TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP BERDASARKAN GENDER PADA MATERI HIDROLISIS GARAM

2015 PENGEMBANGAN TES DIAGNOSTIK TWO-TIER BERBASIS PIKTORIAL UNTUK MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Kimia merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari mengenai materi,

MATERI HIDROLISIS GARAM KIMIA KELAS XI SEMESTER GENAP

KIMIa ASAM-BASA II. K e l a s. A. Kesetimbangan Air. Kurikulum 2006/2013

Larutan penyangga adalah larutan yang dapat mempertahankan harga ph terhadap pengaruh penambahan sedikit asam atau basa, atau terhadap pengenceran.

I. LARUTAN BUFFER. 1. Membuat Larutan Buffer 2. Mempelajari Daya Sanggah Larutan Buffer TINJAUAN PUSTAKA

Tentukan ph dari suatu larutan yang memiliki konsentrasi ion H + sebesar 10 4 M dengan tanpa bantuan alat hitung kalkulator!

BAB I PENDAHULUAN. Hasil studi lima tahunan yang dikeluarkan oleh Progress in. International Reading Literacy Study (PIRLS) pada tahun 2006, yang

DESKRIPSI KEMAMPUAN REPRESENTASI MIKROSKOPIK DAN SIMBOLIK SISWA SMA NEGERI DI KABUPATEN SAMBAS MATERI HIDROLISIS GARAM

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005

LARUTAN PENYANGGA DAN HIDROLISIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cara. Secara umum strategi ialah suatu garis besar haluan dalam bertindak

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Keterampilan Berkomunikasi Sebagai Bagian Dari Keterampilan Proses

BAB I PENDAHULUAN. energi yang ditinjau dari aspek struktur dan kereaktifan senyawa. Struktur dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai bagian dari ilmu sains, kimia merupakan salah satu mata pelajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Cicih Juarsih, 2015

BAB I PENDAHULUAN. sifat, dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu kimia adalah ilmu yang termasuk ke dalam rumpun IPA yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. melalui generalisasi dan berfikir abstrak. Konsep merupakan prinsip dasar

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

Lampiran 2.2 (Analisis Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pada Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Intan Fitriyani, 2014 Profil model mental siswa pada materi termokimia dengan menggunakan TIM_POE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Belajar merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Lampiran Sumber Belajar : Purba, Michael Kimia SMA. Erlangga. Jakarta

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya

2015 PROFIL MODEL MENTAL SISWA PADA POKOK BAHASAN TITRASI ASAM LEMAH OLEH BASA KUAT BERDASARKAN TDM- IAE

CH 3 COONa 0,1 M K a CH 3 COOH = 10 5

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... A. Latar Belakang B. Perumusan Masalah...

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nabila Fatimah, 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. pemahaman siswa mengenai materi kimia yang harus mereka kuasai (Senam,

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu aspek yang penting dalam meningkatkan kualitas sumber

LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN. A. Penurunan Struktur Global dan Struktur Makro Pengajaran Guru. pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan

BAB I PENDAHULUAN. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia, FKIP, UNS, Surakarta, Indonesia 2. Dosen Program Studi Pendidikan Kimia, FKIP, UNS, Surakarta, Indonesia

SOAL LARUTAN PENYANGGA MAN 2 KAB. BOGOR

Nova Nurfauziawati Kelompok 11A V. PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nur dalam Trianto (2009), menyatakan bahwa menurut teori kontruktivis, satu

Penambahan oleh sedikit asam-kuat (H + ) menyebabkan kesetimbangan. CH 3 COOH(aq) CH 3 COO - (aq) + H + (aq) (9.1) asam lemah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Andika Nopihargu, 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai a plan, method, or

II. TINJAUAN PUSTAKA. Representasi dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu representasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nur Komala Eka Sari, 2013

TINJAUAN PUSTAKA. Learning Cycle (LC) adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan ilmu yang mempelajari tentang strukur, susunan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving adalah model pembelajaran yang menyajikan

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN. Dalam pengembangan strategi pembelajaran intertekstual pada materi

H + + OH - > H 2 O. Jumlah mol asam (proton) sama dengan jumlah mol basa (ion hidroksida). Stoikiometri netralisasi

Transkripsi:

BAB II LEVEL MIKROSKOPIK DALAM BUKU TEKS KIMIA SMA, PEMBELAJARAN, DAN PEMAHAMAN SISWA PADA MATERI LARUTAN PENYANGGA 2.1 Konsep Konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut yang sama. Selain itu, disebutkan pula bahwa konsep-konsep adalah abstraksi-abstraksi berdasarkan pengalaman (Rosser dalam Dahar, 1996). Dengan demikian, setiap orang akan membentuk konsep sesuai dengan pengalamannya. Konsep-konsep yang serupa dapat dikomunikasikan dengan menggunakan namanama yang diterima bersama. Sejalan dengan itu, Sagala (2005) menyatakan bahwa konsep diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman melalui generalisasi dan berpikir abstrak. Konsep yang dimiliki seseorang dapat mengalami perubahan sesuai dengan fakta dan pengetahuan yang dimilikinya. Konsep berguna untuk menjelaskan dan meramalkan (Sagala, 2005). Konsep-konsep yang dijelaskan secara serupa dapat digolongkan dalam satu kelas dengan nama tertentu. Dengan demikian, maka konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili satu kelas stimulusstimulus. Seseorang yang dapat menghadapi benda atau peristiwa sebagai satu kelompok, golongan, kelas, atau kategori, ia dikatakan telah belajar konsep 7

(Nasution, 2005). Gagne (Dahar, 1996) membagi konsep dalam dua kategori, yaitu konsep konkret dan konsep terdefinisi. Konsep konkret dapat diperoleh melalui observasi atau pengamatan, sedangkan konsep terdefinisi adalah gagasan yang diturunkan dari objek-objek atau peristiwa-peristiwa abstrak. Konsep terdefinisi yang diturunkan dari objek-objek abstrak ini disebut juga dengan dengan konsep mikroskopik (Effendy, 2002). Kimia penuh dengan konsep-konsep yang dapat diaplikasikan dalam ranah mikroskopik (Sastrawijaya, 1988). Gejala kimia yang dapat diamati pada level makroskopik dapat dijelaskan dengan perilaku dan sifat-sifat atom pada level mikroskopik. Metode yang digunakan dalam pembelajaran melalui representasi mikroskopik dan pemahaman tingkat molekuler merupakan hal yang sangat mendasar dalam kimia (Nakhleh, et.al, 1996). Banyaknya konsep kimia yang bersifat abstrak, menyebabkan adanya kecenderungan bahwa konsep-konsep tersebut akan dapat dipahami dengan baik oleh anak-anak yang telah mampu berpikir abstrak. Namun, kemampuan untuk berpikir abstrak tersebut hanya merupakan sebagian dari kemampuan yang diperlukan untuk mempelajari kimia. Kemampuan lain yang diperlukan dalam mempelajari kimia diantaranya adalah kemampuan menghafal, kemampuan matematis, dan kemampuan visual-spatial. Siswa yang tidak memiliki kemampuan-kemampuan tersebut, dikhawatirkan akan mendapat kesulitan dalam mempelajari dan memahami konsep kimia sehingga mengakibatkan terjadinya miskonsepsi. 8

Di sekolah, belajar konsep dibantu dan dipercepat dengan bantuan verbal. Namun, jika hanya memberikan definisi yang abstrak dengan bantuan verbal, maka memahami konsep akan jauh lebih sukar, apalagi untuk pelajaran kimia yang sebagian besar konsepnya bersifat abstrak (Herron, Wiseman, Pavelich, Abraham, Kean, dan Middlecamp dalam Effendy, 2002). Ali (1984) menyebutkan bahwa berdasarkan alur pengalaman manusia ternyata pengajaran melalui penuturan kata-kata mempunyai nilai yang sangat rendah. Ia menyarankan agar pengajaran dapat memberikan pengalaman yang lebih konkret bagi anak, perlu dipikirkan bentuk media tertentu yang membawa anak pada pengalaman yang lebih konkret. Sejalan dengan pendapat Ali tersebut, Nasution (2005), menyatakan bahwa pembelajaran yang hanya mengandalkan penuturan kata-kata akan menimbulkan bahaya anak-anak mempelajari konsep-konsep tanpa mengetahui referensinya dalam dunia pendidikan, sehingga timbul bahaya verbalisme yang harus dicegah dengan menggunakan alat peraga, alat bantu, praktikum, dan lainlain sehingga dapat dicegah anak menggunakan konsep tanpa memahaminya. 2.2 Miskonsepsi 2.2.1 Definisi Miskonsepsi Setiap orang dapat menafsirkan suatu konsep menurut caranya masingmasing. Tafsiran perorangan terhadap suatu konsep disebut konsepsi (Berg, 1990). Tafsiran tersebut bisa sama dengan tafsiran para ahli yang telah disederhanakan atau pun bertentangan dengan para ahli di bidangnya. Berg (1990) 9

menyatakan bahwa jika konsepsi tersebut bertentangan atau tidak cocok dengan maksud konsep menurut ilmu sekarang, konsepsi itu disebut miskonsepsi. Berikut diberikan beberapa pengertian miskonsepsi yang dikemukan oleh para ahli, diantaranya: a. Miskonsepsi adalah suatu konsep atau ide menyimpang dari pendapat umum yang sesuai dengan konsensus keilmuwan (Nakhleh, 1992). b. Menurut Paul Suparno (2005), miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. c. Miskonsepsi adalah suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima (Novak dalam Suparno, 2005). d. Feldsine (1987) menemukan miskonsepsi sebagai suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep (Suparno, 2005). e. Flower (1987) memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hirarkis konsepkonsep yang tidak benar (Suparno, 2005). f. Ozkawa (2002) mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu konsep dan masalah pengetahuan yang tidak bersesuaian dengan atau berbeda dari kesepakatan ilmiah dan tidak mencukupi untuk menjelaskan gejala ilmiah (Suparno, 2005). 10

2.2.2 Ciri-Ciri Miskonsepsi Ciri-ciri miskonsepsi yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Miskonsepsi sangat tahan (resistan) terhadap perubahan, sehingga sulit sekali diubahnya (Berg, 1990). b. Seringkali salah konsep terus-menerus mengganggu walaupun dalam soal-soal yang sederhana (Berg, 1990). c. Seringkali terjadi regresi yaitu siswa yang sudah pernah mengatasi miskonsepsi, beberapa bulan kemudian salah lagi (Suparno, 2005). d. Salah konsep tidak dapat dihilangkan dengan metode ceramah (Clements, dalam Suparno, 2005). e. Siswa, mahasiswa, guru, dan dosen maupun peneliti dapat terkena salah konsep (Gil Perez, Brown dalam Suparno, 2005). 2.2.3 Penyebab Miskonsepsi Peneliti miskonsepsi menemukan beberapa hal yang menjadi penyebab miskonsepsi pada siswa diantaranya yaitu siswa, guru, dan buku teks (Suparno, 2005). Berikut ini akan diuraikan bagaimana siswa, guru, dan buku teks dapat menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi. a. Siswa Penyebab miskonsepsi bisa berasal dari diri siswa itu sendiri. Menurut filsafat konstruktivisme, adanya miskonsepsi menunjukkan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh siswa sendiri. Berg (1990) menyatakan bahwa terjadinya 11

miskonsepsi dapat disebabkan oleh gagasan-gagasan yang muncul dari pikiran siswa yang bersifat pribadi. Miskonsepsi yang berasal dari siswa dikelompokkan dalam beberapa hal, antara lain: 1) Konsep awal siswa Sebelum siswa mengikuti pelajaran formal di sekolah, siswa sudah mempunyai konsep awal tentang suatu bahan pelajaran. Apabila konsep awal yang dimiliki siswa mengandung miskonsepsi, maka konsep awal ini akan menyebabkan miskonsepsi pada materi-materi selanjutnya, sampai kesalahankesalahan itu diperbaiki. Konsep awal siswa bisa didapat dari beberapa hal misalnya dari orang tua, teman, sekolah awal, dan pengalamannya sendiri di lingkungannya. Miskonsepsi akan lebih banyak terjadi jika yang mempengaruhi pembentukan konsep awal siswa tersebut mempunyai banyak miskonsepsi. 2) Pemikiran asosiatif siswa Asosiasi siswa terhadap istilah-istilah sehari-hari kadang bisa menyebabkan miskonsepsi (Aron, Gilbert, Watts, Asborne Marioni, dalam Suparno, 2005). Perbedaan pengertian suatu kata yang sama antara siswa dengan guru dapat menyebabkan miskonsepsi. Kata dan istilah yang digunakan oleh guru pada pembelajaran diasosiasikan lain oleh siswa, karena kata dan istilah itu mempunyai arti lain dalam kehidupan mereka sehari-hari. 3) Reasoning yang tidak lengkap atau salah Menurut Comins (Suparno, 2005), miskonsepsi juga dapat disebabkan reasoning atau penalaran siswa yang tidak lengkap atau salah. Tidak 12

lengkapnya informasi atau data yang diperoleh, bisa menyebabkan alasan yang tidak lengkap pula. Hal ini akan berakibat pada siswa saat menarik kesimpulan. Siswa akan salah menarik kesimpulan dan menyebabkan miskonsepsi. Selain tidak lengkapnya informasi yang diperoleh, alasan yang salah juga dapat terjadi karena logika yang salah dalam mengambil kesimpulan atau menggeneralisasi, sehingga terjadi miskonsepsi. 4) Tahap perkembangan kognitif siswa Perkembangan kognitif siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digelutinya dapat menyebabkan miskonsepsi siswa. Pada umumnya, siswa yang masih dalam tahap operasional konkrit akan sulit untuk menangkap suatu bahan yang abstrak dan sering salah mengerti tentang konsep tersebut. Siswa yang masih dalam tahap operasional konkrit, berpikir berdasarkan hal-hal yang konkret, nyata yang dapat dilihat oleh indra. Untuk itu, agar konsep ketidakpastian tersebut dapat dikonstruksi oleh siswa, maka perlu disajikan dalam contoh yang konkret. Dalam ilmu kimia, objek konkret dalam level mikroskopik harus diganti dengan model, misalnya model atom atau model molekul (Sastrawijaya, 1988). Walaupun model yang disajikan seringkali tidak dapat mencakup keutuhan abstraksi, namun dengan adanya model, diharapkan akan membantu siswa memahami konsep kimia secara utuh. Effendy (2002) menyatakan bahwa konsep kimia pada umumnya merupakan penyederhanaan dari keadaan sebenarnya, terutama yang berkaitan dengan gambaran mikroskopik dari objek atau peristiwa kimia. 13

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stork (1988) ternyata mayoritas siswa tingkat XI belum dapat berpikir secara operasional formal, sehingga masih diperlukan berupa visualisasi konkret untuk konsep-konsep abstrak dalam proses pembelajaran di kelas. 5) Kemampuan siswa Perbedaan kemampuan siswa juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Siswa yang kurang berbakat atau kurang mampu dalam mempelajari suatu bidang tertentu, sering mengalami kesulitan untuk menangkap konsep yang benar pada proses belajar. 6) Minat belajar Siswa yang tidak tertarik pada suatu bidang studi tertentu, biasanya kurang berminat untuk mempelajarinya dan kurang memperhatikan penjelasan guru pada saat proses belajar. Akibatnya mereka akan lebih mudah salah menangkap dan menimbulkan miskonsepsi. b. Guru Miskonsepsi siswa dapat terjadi karena guru kurang menguasai bahan pelajaran atau memahami pelajaran tidak benar. Beberapa guru kimia dinyatakan miskonsepsi dalam memahami konsep kimia yang melibatkan level mikroskopik (Finatri, 2007). Salah pengertian ini diteruskan kepada siswa sehingga siswa juga miskonsepsi dalam memahami konsep kimia. Miskonsepsi seperti ini akan melekat dalam benak siswa dan biasanya sulit diperbaiki. Oleh karena siswa menganggap apa-apa yang diberikan guru selalu 14

benar, maka siswa memegang konsep itu dengan kuat. Akibatnya, miskonsepsi siswa juga sangat kuat dan biasanya sulit diperbaiki. c. Buku Teks Para peneliti menemukan bahwa miskonsepsi datang dari buku teks (Lona dan Renner dalam Suparno, 2005). Penyebab miskonsepsi biasanya terdapat pada penjelasan atau uraian yang salah. Buku teks yang terlalu sulit bagi level siswa yang sedang belajar juga dapat menumbuhkan miskonsepsi karena mereka sulit menangkap isinya. Akibatnya, mereka hanya menangkap sebagian atau bahkan tidak mengerti sama sekali. Pengertian yang tidak utuh ini dapat menimbulkan miskonsepsi yang besar, terlebih bila siswa menghadapi persoalan yang lebih luas dan mendalam. Selain itu, buku teks yang tidak lengkap dalam menyajikan pembahasannya juga dapat membuat siswa mencoba menjelaskan konsep yang tidak lengkap tersebut. Penjelasan yang dipikirkan oleh siswa bisa sama atau bahkan bertentangan dengan penjelasan para ahli. 2.2.4. Cara Mendeteksi Miskonsepsi Sebelum menangani miskonsepsi yang dialami siswa, maka kita perlu mengetahui apa saja miskonsepsi yang terjadi dan dari mana miskonsepsi tersebut berasal. Oleh karena itu, diperlukan cara mendeteksi miskonsepsi tersebut. Ada beberapa alat yang sering digunakan oleh peneliti dan guru (Suparno, 2005) diantaranya: 1. Peta konsep (Concept Maps) 15

Peta konsep mengungkap hubungan yang berarti antar konsep-konsep dan menekankan gagasan-gagasan pokok yang disusun secara hirarkis dan jelas. Melalui peta konsep, miskonsepsi dapat diidentifikasi dengan melihat apakah hubungan antar konsep-konsep itu benar atau salah. Novak dan Gowin menyatakan bahwa biasanya miskonsepsi dapat dilihat dalam preposisi yang salah dan tidak adanya hubungan yang lengkap antar konsep (Suparno, 2005). Feldsine dan Fowler dalam penelitiannya mendapatkan bahwa peta konsep adalah alat yang baik untuk mengidentifikasi baik kerangka alternatif atau miskonsepsi siswa. Dalam mendeteksi miskonsepsi, peta konsep akan lebih baik bila digabungkan dengan wawancara. Dalam wawancara itu, siswa dapat mengungkapkan lebih mendalam gagasan-gagasannya, dan mengapa ia menyatakan gagasan seperti itu. 2. Tes multiple choice dengan reasoning terbuka Tes pilihan ganda dengan alasan terbuka dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi. Beberapa peneliti menggunakan tes ini sebagai alat untuk mendeteksi miskonsepsi. Pada tahun 1987, Amir (Suparno, 2005) menggunakan tes pilihan ganda dengan pertanyaan terbuka dimana siswa harus menjawab dan menulis mengapa ia mempunyai jawaban seperti itu. Pada tahun yang sama, Treagust menggunakan pilihan ganda dengan alasan dimana pada bagian alasan itu siswa harus menuliskan mengapa ia memilih jawaban itu. Beberapa peneliti lain menggunakan tes pilihan ganda dengan wawancara. Berdasarkan jawaban yang tidak benar dalam pilihan ganda itu, mereka mewawancarai siswa untuk meneliti bagaimana siswa berpikir, dan 16

mengapa mereka berpikiran seperti itu. Beberapa peneliti lain juga ada yang menggunakan tes pilihan ganda dengan alasan yang sudah tentu. Dalam tes model ini, siswa tidak dibebaskan memberikan alasan, karena alasanalasannya sudah tersedia. Kelemahan model ini adalah tidak terungkapnya alasan siswa yang tidak tercantum dalam pilihan itu. 3. Tes esai tertulis Untuk mendeteksi miskonsepsi yang terjadi pada siswa, guru juga dapat menggunakan tes esai tertulis yang memuat beberapa konsep yang akan diajarkan atau yang sudah diajarkan. Dari tes tersebut dapat diketahui miskonsepsi yang dibawa siswa dan dalam hal apa siswa tersebut mengalami miskonsepsi. Untuk lebih mendalami, tes model ini juga dapat dipadukan dengan wawancara untuk mengetahui mengapa mereka mempunyai gagasan seperti itu. 4. Wawancara diagnosis Wawancara yang digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi dapat berbentuk bebas dan terstruktur. Dalam wawancara bebas, guru atau peneliti memang bebas bertanya kepada siswa dan siswa dapat dengan bebas menjawab. Urutan atau apa yang akan ditanyakan dalam wawancara itu tidak dipersiapkan terlebih dahulu. Berbeda dengan wawancara bebas, dalam wawancara terstruktur pertanyaan sudah disiapkan dan urutannya pun secara garis besar sudah disusun, sehingga mempermudah pada wawancara berlangsung. Kelebihan dari wawancara terstuktur adalah peneliti dapat secara sistematis 17

bertanya dan mengorek pemikiran siswa. Agar data wawancara tidak hilang, ada baiknya wawancara itu direkam. 5. Diskusi dalam kelas Dalam diskusi di kelas, siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang sudah diajarkan atau yang hendak diajarkan. Dari diskusi tersebut, dapat dideteksi juga apakah gagasan yang mereka kemukakan tepat atau tidak. Melalui diskusi, guru atau peneliti dapat mengetahui dan mengerti konsep-konsep alternatif yang dimiliki siswa. Mendeteksi miskonsepsi dengan cara diskusi ini, cocok digunakan pada kelas yang besar, dan sebagai penjajakan awal. Yang harus diperhatikan guru dalam diskusi ini adalah membantu siswa agar setiap siswa berani bicara untuk mengungkapkan pikiran mereka tentang persoalan yang sedang dibahas. 6. Praktikum dengan tanya jawab Praktikum dengan tanya jawab antara guru dan siswa juga dapat digunakan untuk mendeteksi apakah siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep pada praktikum itu atau tidak. Selama proses praktikum berlangsung, guru harus selalu bertanya bagaimana konsep siswa dan bagaimana siswa menjelaskan persoalan dalam praktikum tersebut. Berdasarkan penelaahan terhadap kepentingan penelitian ini, miskonsepsi yang dialami siswa akan dapat dideteksi dengan memberikan tes esay tertulis. Dari tes esay tertulis yang diberikan terhadap siswa diharapkan dapat memetakan pemahaman level mikroskopik siswa pada materi larutan penyangga termasuk ada 18

tidaknya miskonsepsi yang dialami siswa. Tes esay tertulis juga mampu mendeteksi jenis miskonsepsi yang dialami siswa. 2.3 Level Mikroskopik dalam Kimia Johnstone (Treagust at al, 2003) mendeskripsikan bahwa fenomena kimia dapat dijelaskan dengan tiga level representasi yang berbeda, yaitu makroskopik, mikroskopik, dan simbolik (Gambar 2.1). Masing-masing level representasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Level makroskopik, yaitu fenomena kimia yang benar-benar dapat diamati termasuk di dalamnya pengalaman siswa setiap hari. 2. Level mikroskopik, yaitu suatu fenomena kimia yang tidak dapat dilihat secara langsung seperti elektron, molekul, dan atom. 3. Level simbolik, yaitu suatu representasi dari fenomena kimia menggunakan media yang bervariasi termasuk di dalamnya model-model, gambar-gambar, aljabar, dan bentuk komputansi. Makroskopik Simbolik Mikroskopik Gambar 2.1 Tiga level representasi kimia (dalam Treagust at al, 2003) 19

Ketiga level tersebut dihubungkan dan semua level ini memberi kontribusi pada perkembangan pengertian dan pemahaman siswa yang dapat terefleksikan dari hasil belajar kimia siswa (Treagust, Chittleborough, dan Mamiala, 2003). Maksudnya ketiga level ini merupakan level yang tidak dapat terpisahkan dalam suatu pembelajaran kimia. Level mikroskopik tidak dapat diamati secara langsung sehingga Chittleborough menyatakan bahwa perlu ada suatu model yang menghubungkan ketiga level representasi kimia ini. Representasi seringkali menimbulkan kesalahpahaman pada siswa akibat keterbatasan pandangan mereka untuk menjadikan suatu tiruan dari sesuatu yang nyata yang dapat menjadi alat yang kuat pada pengembangan model mental dari gejala kimia (Treagust, Chittleborough, dan Mamiala, 2003). Representasi menghubungkan kenyataan dan teori menuju suatu penjelasan yang penting. Level makroskopik yang merupakan level yang dapat diamati secara langsung merupakan basis dari kimia. Level ini memerlukan suatu representasi simbol dan representasi mikroskopik untuk menjelaskan suatu gejala (Treagust, Chittleborough, dan Mamiala, 2003). Johnstone juga mengemukakan kembali bahwa level makroskopik adalah level yang berhubungan dengan suatu gejala kimia yang dapat dilihat atau dapat dirasakan dengan panca indera. Gejala yang termasuk ke dalam level makroskopik ialah seperti bagaimana garam padat dapat larut dalam air. Level yang kedua yaitu level mikroskopik adalah level yang berhubungan dengan gejala kimia yang tidak dapat dilihat dengan panca indera seperti terjadinya ionisasi garam di dalam air. Level ketiga yaitu level simbolik adalah suatu level yang 20

merepresentasikan bentuk materi kimia dalam bentuk formula atau pun persamaan reaksi (Dori dan Hercovitz, 2003). Representasi pada level simbolik pada proses pelarutan garam sebagai berikut: NaCl(s) + H2O(l) NaCl(aq) Sebagian besar siswa mengalami kesulitan untuk mentransfer bentuk dari satu level ke level yang lain. Namun terkadang guru kimia tidak memberikan perhatian yang cukup untuk menjelaskan transisi ini. Untuk memperbaiki hal ini, Johnstone menyarankan bahwa penekanan terhadap keberadaan tiga level dan hubungan antar level akan memudahkan siswa untuk menjadi lebih baik (Dori dan Hercovitz, 2003). Fenomena-fenomena yang dapat diamati dapat dimasukkan ke dalam level makroskopik (Chittleborough, Treagust, dan Mamiala Wu, 2003). Berdasarkan definisi tersebut, ungkapan yang diberikan oleh guru untuk menjelaskan fenomena yang dapat diamati oleh siswa, dapat dimasukkan ke dalam level makroskopik meskipun siswa tidak benar-benar mengamati fenomena-fenomena tersebut. Terdapat beberapa transformasi antar level dalam representasi kimia antara lain: a. Transformasi dari makroskopik ke simbolik Level makroskopik adalah level sensori yang dapat dilihat, disentuh atau dicium dengan kemungkinan adanya perubahan warna atau massa. Level pertama ini biasanya telah dikenal siswa dalam pengalaman mereka, sebelum dikenalkan pada kimia. Namun ada kemungkinan siswa mengalami kesulitan dalam mengekspresikan keadaan makroskopik ke dalam bahasa dari simbol kimia (Dori dan Hercovitz, 2003). 21

b. Transformasi dari makroskopik ke mikroskopik Level makroskopik yang dapat diindera dapat dijelaskan dengan level mikroskopik secara konseptual. Pengetahuan konseptual mengizinkan siswa untuk menginterpretasikan informasi makroskopik yang disediakan dan untuk menyimpulkan/ menduga detil mengapa fenomena itu terjadi (Lesh, Post, dan Behr, dalam Wu, 2001). c. Transformasi dari mikroskopik ke simbolik Nurrenberg dan Pickering menyatakan bahwa siswa yang kurang dalam pemahaman konseptual dari partikel unsur dan tidak dapat membayangkan partikel yang menjadi bagian dalam reaksi kimia, mereka tidak menghubungkan simbol kimia dengan arti mikroskopik dalam kimia yang berhubungan dengan simbol. Banyak siswa yang menemukan kesulitan dalam mengerti reaksi kimia dan simbol kimia (Dori dan Hercovitz, 2003). d. Transformasi dari proses ke simbolik Transformasi ini adalah bentuk dari proses kimia untuk mempersiapkan suatu set simbol dalam suatu persamaan reaksi kimia yang menetapkan proses itu atau sebaliknya (Dori dan Hercovitz, 2003). Banyak siswa yang mengalami kesulitan mempelajari level pemahaman simbolik dan molekuler dalam kimia (Wu, 2000). Berdasarkan penelitian empiris (e.g., Ben-Zvi, Eylon, & Silberstein, Ben-Zvi, Eylon, & Silberstein, Griffiths & Preston, 1992) menunjukkan bahwa level mikroskopik dan simbolik merupakan kesulitan teristimewa pada siswa karena level ini invisibel dan abstrak sedangkan 22

pikiran siswa mengandalkan informasi sensori motorik yang dialami oleh pancainderanya (Wu, 2000). Untuk membantu siswa memahami kimia pada tiga level tersebut, para peneliti telah mengusulkan variasi pada pendekatan instruksional (Wu, 2000), seperti menggabungkan aktivitas laboratorium ke dalam pelajaran di kelas (Johnstone & Letton, 1990), menggunakan model konkret (Copolo & Hounshell, 1995), dan menggunakan teknologi sebagai media pembelajaran (Barnea & Dori, 1996; Kozma, Russel, Jones, Marx, & Davis, 1996). Diantara beberapa pendekatan ini, penggunaan model konkret dan teknologi sebagai media pembelajaran nampaknya lebih menjanjikan (Wu, 2000). Pemahaman pada level mikroskopik dalam pelajaran kimia di sekolah seringkali diabaikan. Padahal, gejala kimia yang dapat diamati pada level makroskopis dapat dijelaskan dengan perilaku dan sifat-sifat atom pada level mikroskopis. Walaupun sudah banyak siswa yang melakukan praktikum kimia (makroskopik), namun mereka terkadang tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya (mikroskopik) dalam percobaan yang mereka lakukan tersebut. 2.4 Peranan Model Level Mikroskopik Luasnya pemakaian kata model yang dipergunakan dalam berbagai bidang kajian keilmuwan seperti ilmu pengetahuan alam, sosial, seni dan lain-lain menyebabkan bermacam-macam pengertian dari kata model tersebut dan juga bisa menunjukan objek yang sama sekali berbeda. Sebagai contoh, model bisa menunjukkan miniatur objek yang sudah ada, seperti model dari Candi 23

Borobudur. Selain itu, model juga bisa menunjukan rancangan objek yang belum ada, seperti model jembatan dengan konstruksi tertentu yang akan dibangun oleh seorang arsitek. Antara model dan bentuk objek yang dimodelkan selalu ada perbedaan dalam hal ukuran, bahan, maupun unsur-unsur lainnya. Bukan disebut model bila di antara keduanya semuanya sama, dan bukan pula disebut model bila model yang ditunjukkan tidak memiliki unsur yang sama dengan objek yang akan dimodelkan (Steinbuch dalam Sopandi, 2005). Model-model yang ada dalam kehidupan sehari-hari dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan seperti di atas, termasuk gambaran dari objek yang sudah ada atau rancangan dari objek yang belum ada. Dalam Sopandi (2005) disebutkan, khusus dalam ilmu kimia, model yang dipakai bisa berfungsi keduanya, bisa sebagai gambaran dari pemikiran tentang suatu objek (gedankliche nachbildung), dan bisa pula berfungsi sebagai rancangan gambaran suatu objek (vorlage). Model tersebut dikembangkan berdasarkan data yang dapat diamati, diukur, atau dihitung sehingga dengan adanya bantuan model tersebut, suatu fenomena atau peristiwa tertentu dapat dijelaskan. Level mikroskopik merupakan salah satu dari representasi kimia yang harus dipahami siswa selain level makroskopik dan simbolik. Banyak model yang berhubungan dengan level mikroskopik telah dibuat dan dikembangkan oleh para ahli ilmu pengetahuan alam untuk menjelaskan berbagai fenomena. Karena sampai saat ini belum ada teknologi yang mampu melihat level mikroskopik atau yang lebih kecil lagi secara langsung, maka model-model yang ada selalu bersifat teoritis atau hipotesis yang setiap saat bisa ditolak, diperbaharui, atau dimodifikasi 24

sesuai dengan perkembangan data yang ada (Kircher dan Teβmann, Barke, Barke dan Harsch dalam Sopandi, 2005). Selama model yang baru masih bersifat teoritis, model yang lama masih tetap bisa dipakai dan tidak bisa disalahkan. Masing-masing model akan tetap dapat digunakan sesuai dengan fenomena yang dijelaskannya. 2.5 Buku Teks 2.5.1 Arti Buku dalam Pendidikan Bacon (Tarigan dan Tarigan, 1986) mengemukakan bahwa buku ajar atau buku teks adalah buku yang dirancang buat penggunaan di kelas, dengan cermat disusun dan dipersiapkan oleh para pakar atau ahli dalam bidang itu dan dilengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi. Sedangkan pengertian buku teks menurut Lange (Tarigan dan Tarigan, 1986), buku teks adalah buku standar atau baku pada setiap cabang khusus studi atau mata pelajaran. Ahli lain mengatakan bahwa Buku teks adalah sarana belajar yang biasa digunakan di sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi untuk menunjang suatu program pengajaran (Buckingham, dalam Tarigan dan Tarigan, 1986). Sedangkan menurut Wilardjo (1990), dalam proses belajar buku ajar merupakan salah satu sumber pengetahuan dalam suatu bidang studi. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa buku teks merupakan buku standar atau baku untuk setiap cabang khusus studi atau mata pelajaran yang disajikan dalam bentuk yang mudah digunakan, disusun oleh 25

para ahli, digunakan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi untuk menunjang suatu program pengajaran dan dilengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi. Sebagai buku teks yang biasa digunakan di sekolah-sekolah, maka komponen-komponen yang harus diketahui dan dipahami oleh siswa haruslah ada dalam buku teks tersebut. Cara menyajikan dan mengembangkan konsep dalam buku teks dapat mempengaruhi pemahaman siswa tentang konsep tersebut. Oleh karena itu, dalam memilih suatu buku teks sebagai sumber belajar perlu memperhatikan kualitasnya, karena materi yang ada dalam buku teks sangat membantu siswa dalam mengembangkan konsep dalam struktur kognitifnya. Seorang guru seharusnya memberikan saran bagi siswa untuk menggunakan buku teks yang tidak hanya mementingkan atau menekankan pada materi tetapi juga cara penyampaiannya. Buku teks yang dibaca siswa dalam proses belajar mengajar seharusnya mengandung konsep yang jelas maksud dan kaitannya (Sri Redjeki, 1999). 2.5.2 Penilaian Kualitas Buku Untuk mengetahui suatu buku teks mengandung konsep yang jelas maksud dan kaitannya, perlu adanya penilaian kualitas buku. Suatu cara untuk mengadakan penilaian kualitas buku adalah dengan melakukan penganalisaan terhadap aspek-aspek tertentu dari buku. Beberapa aspek tersebut diantaranya kesesuaian dengan kurikulum yang berlaku, keterbacaan, kebenaran isi, dan 26

grafika (Nuryani R, 1995). Tingkat kemudahterbacaan, kemenarikan serta keterpahaman suatu buku teks, dapat dinilai berdasarkan dua kriteria, yaitu: 1. Kriteria umum penilaian buku, meliputi beberapa segi yaitu segi isi buku, segi dasar dan haluan negara, keamanan dan ketahanan nasional, segi penyajian fisik buku dan topografi serta segi bahasa. 2. Kriteria khusus penilaian buku, yang berlaku khas bagi jenis atau golongan buku tertentu mengingat kedudukannya, sifat, dan fungsinya. Budikase (1994), menjelaskan tentang kualitas buku teks berdasarkan: 1) Kesesuaian dengan standar isi Buku teks harus memuat semua bahan pelajaran dan materi yang dituntut oleh standar isi, bahkan lebih banyak dari apa yang dituntut oleh standar isi baik luas maupun kedalamannya. 2) Kejelasan pembahasan dan uraian Penjelasan suatu konsep, prinsip atau hukum-hukum harus komunikatif, mudah dipahami oleh pembaca, uraian tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek, kalimat yang terlalu panjang akan mengaburkan pembaca untuk menangkap inti dari bahan bacaan. 3) Ketepatan dan kebenaran konsep, prinsip, dan hukum 4) Gambar atau ilustrasi Gambar yang menunjang penjelasan buku harus jelas, mudah dibaca dan harus benar. Level pemahaman mata pelajaran kimia yang terdiri dari level makroskopik, mikroskopik, dan simbolik (Gabel, Johnstone, dalam Wu, 2001) 27

menuntut buku teks yang berkualitas menyajikan suatu konsep dalam tiga level tersebut dengan benar dan mudah dipahami. Larutan penyangga merupakan konsep dalam pelajaran kimia yang menuntut pemahaman dalam tiga level tersebut. Dalam penelitian ini dilakukan analisis level mikroskopik pada materi larutan penyangga yang terdapat dalam buku teks mata pelajaran kimia SMA sebagai salah satu cara untuk menilai salah satu aspek yang menentukan kualitas buku teks kimia SMA. 2.6 Model Level Mikroskopik pada Materi Larutan Penyangga 2.6.1 Definisi Larutan Penyangga Pengukuran dengan menggunakan ph meter menunjukkan bahwa bila ke dalam air ditambahkan sedikit (sejumlah tertentu) asam kuat atau basa kuat maka harga ph-nya akan berubah secara drastis. Misalnya, ke dalam 1 liter air ditambahkan 5 tetes HCl 6 M (1 tetes setara dengan 0, 05 ml), maka ph air akan berubah dari 7 menjadi 2,82. Bila ke dalam larutan tersebut ditambahkan larutan NaOH 6 M sebanyak 5 tetes, maka ph larutan tersebut akan melonjak menjadi sekitar 11. Adakah sistem atau larutan yang ph-nya tidak berubah secara drastis bila ditambah sedikit asam, sedikit basa, atau diencerkan? Suatu sistem reaksi kimia adakalanya hanya dapat berlangsung pada kondisi lingkungan yang mempunyai ph tertentu. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem yang dapat mempertahankan harga ph. Bila ke dalam larutan yang merupakan campuran CH 3 COOH 0,1 M dan CH 3 COONa 0,1 M ph 4,74 28

ditambahkan 5 tetes HCl 6 M, maka ph menjadi 4, 73. Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 2.2. 5 tetes HCl 6 M Air ph = 7 1 L 1 L HCl 1,5 10-3 M ph = 2,82 5 tetes HCl 6 M CH 3 COOH 0,1 M CH 3 COONa 0,1 M ph = 4,74 1 L 1 L CH 3 COOH 0,1 M CH 3 COONa 0,1 M ph = 4,73 Gambar 2.2 Pengaruh penambahan sedikit asam terhadap air dan campuran larutan CH 3 COOH dan CH 3 COONa Dari gambar di atas, tampak bahwa larutan yang merupakan campuran dari CH 3 COOH dan CH 3 COONa dapat mempertahankan harga ph pada kisarannya ketika ditambahkan sedikit asam. Seperti halnya ketika ditambahan sedikit asam, larutan ini juga akan dapat mempertahankan harga ph-nya ketika ditambahkan sedikit basa seperti NaOH atau ketika diencerkan. Larutan yang memiliki sifat dapat mempertahankan harga ph-nya akibat dari penambahan sedikit asam atau basa, atau pengenceran disebut larutan penyangga atau buffer atau dapar. 29

2.6.2 Jenis-Jenis Larutan Penyangga Larutan penyangga dapat dibedakan atas larutan penyangga asam dan larutan penyangga basa. Larutan penyangga asam mempertahankan ph pada daerah asam (ph < 7), sedangkan larutan penyangga basa mempertahankan ph pada daerah basa (ph > 7). (1) Larutan Penyangga Asam Apabila pada suatu larutan asam lemah ditambahkan basa konjugasi dari garamnya pada perbandingan konsentrasi tertentu, akan terbentuk larutan penyangga asam, karena pada campuran tersebut [H + ] > [OH - ]. Contoh, larutan CH 3 COOH (asam lemah) ditambahkan ion CH 3 COO - (basa konjugasi) yang berasal dari garam yang mudah larut dalam air, seperti CH 3 COONa akan membentuk larutan penyangga asam. Dalam larutan tersebut, akan terdapat beberapa spesi berikut, yaitu ion H + hasil ionisasi sebagian kecil dari CH 3 COOH, ion CH 3 COO - hasil ionisasi sebagian kecil CH 3 COOH dan ionisasi sempurna CH 3 COONa, molekul CH 3 COOH yang tidak terionisasi, ion Na + hasil ionisasi sempurna dari CH 3 COONa, molekul-molekul H 2 O (air), dan ion H + dan ion OH - hasil ionisasi sebagian kecil H 2 O. Partikel-partikel tersebut bergerak secara terusmenerus dalam larutan. Partikel-partikel (spesi-spesi) yang terdapat dalam larutan penyangga asam tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.3. 30

Keterangan: 1. H 2 O 4. Na + 2. CH 3 COOH 5. H + 3. CH 3 COO - 6. OH - Larutan merupakan larutan encer sehingga jumlah molekul H 2 O dalam larutan sangat banyak. Partikel-partikel dalam larutan bergerak terus-menerus. Gambar 2.3 Model mikroskopik larutan penyangga asam CH 3 COOH dan CH 3 COONa Berdasarkan Gambar 2.3, tampak bahwa di dalam larutan terdapat molekul-molekul CH 3 COOH dan ion-ion CH 3 COO - yang merupakan komponen penyangga dengan ion H + lebih banyak dibandingkan ion OH -. Dengan demikian larutan tersebut merupakan penyangga asam. Secara simbolik partikel-partikel yang terdapat dalam larutan penyangga asam CH 3 COOH dan CH 3 COONa dapat dirumuskan sebagai berikut: CH 3 COOH(aq) CH 3 COONa(aq) H 2 O(l) CH 3 COO - (aq) + H + (aq) CH 3 COO - (aq) + Na + (aq) H + (aq) + OH - (aq) (2) Larutan Penyangga Basa Apabila pada suatu larutan basa lemah ditambahkan asam konjugasi dari garamnya pada perbandingan konsentrasi tertentu, akan terbentuk larutan penyangga basa, karena pada campuran tersebut [OH - ] > [H + ]. Contoh, larutan NH 3 (basa lemah) ditambahkan ion NH + 4 (asam konjugasi) yang berasal dari garam yang mudah larut dalam air, seperti NH 4 Cl akan membentuk larutan 31

penyangga basa. Dalam larutan tersebut, akan terdapat beberapa spesi berikut, yaitu ion OH - hasil ionisasi sebagian kecil dari NH 3, ion NH + 4 hasil ionisasi sebagian kecil NH 3 dan ionisasi sempurna NH 4 Cl, molekul NH 3 yang tidak terionisasi, ion Cl - hasil ionisasi sempurna dari NH 4 Cl, molekul-molekul H 2 O (air), serta ion H + dan ion OH - hasil ionisasi sebagian kecil H 2 O. Dari spesi-spesi yang terdapat dalam larutan tersebut, tampak bahwa jumlah ion OH - lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ion H +. Partikel-partikel tersebut bergerak secara terus-menerus dalam larutan. Partikel-partikel (spesi-spesi) yang terdapat dalam larutan penyangga basa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.4. Keterangan: 1. H 2 O 4. Cl - 2. NH 3 5. OH - + 3. NH 4 6. H + Larutan merupakan larutan encer sehingga jumlah molekul H 2 O dalam larutan sangat banyak. Partikel-partikel bergerak terusmenerus dalam larutan. Gambar 2.4 Model mikroskopik larutan penyangga basa NH 3 dan NH 4 Cl Dari gambar di atas, secara simbolik partikel-partikel yang terdapat dalam larutan penyangga basa dapat dirumuskan sebagai berikut: NH 3 (aq) + H 2 O(l) NH 4 Cl(aq) H 2 O(l) NH 4 + (aq) + OH - (aq) NH 4 + (aq) + Cl - (aq) H + (aq) + OH - (aq) 32

2.6.3 Sifat Larutan Penyangga Penambahan sedikit asam atau basa atau pengenceran ke dalam larutan penyangga tidak mengubah ph larutan. Bagaimanakah larutan penyangga mempertahankan ph? Sifat larutan penyangga didasarkan atas kesetimbangan disosiasi yang dialami oleh asam lemah atau basa lemah penyusun larutan penyangga. Ion asam atau basa konjugasinya akan membantu membuat kesetimbangan tersebut dinamis terhadap penambahan sedikit asam atau basa, atau pengenceran. Pergeseran kesetimbangan yang dialami larutan penyangga mengikuti asas Le Chatelier. (1) Sifat Larutan Penyangga Asam Bila larutan penyangga asam campuran CH 3 COOH dan CH 3 COONa ditambahkan sedikit asam (HCl) diperoleh ph yang relatif tetap terhadap ph mula-mula (tetap pada daerah asam kisarannya). Begitu pula bila pada larutan tersebut ditambahkan sedikit basa atau diencerkan. Mengapa larutan penyangga asam mampu mempertahankan ph pada daerah asam akibat penambahan sedikit asam atau basa atau pengenceran? Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Penambahan sedikit asam (misalnya, HCl) terhadap larutan penyangga asam (CH 3 COOH dan CH 3 COONa) Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa di dalam larutan penyangga asam CH 3 COOH dan CH 3 COONa terdapat beberapa spesi berikut yaitu, molekul CH 3 COOH, ion H +, ion CH 3 COO -, ion Na +, molekul H 2 O, dan ion OH - yang bergerak terus-menerus dalam larutannya (Gambar 2.3). Dalam 33

larutan tersebut terjadi kesetimbangan asam lemah CH 3 COOH dengan ion CH 3 COO - dan ion H + sebagai berikut: CH 3 COOH(aq) CH 3 COO - (aq) + H + (aq) Bila ke dalam larutan tersebut ditambahkan sedikit asam (HCl) akan meningkatkan jumlah ion H + dalam larutan (Ingat: HCl dalam air terionisasi menjadi ion H + dan ion Cl - ). Adanya peningkatan jumlah ion H + ini akan dinetralisir oleh ion CH 3 COO - membentuk molekul CH 3 COOH sehingga jumlah ion H + dalam larutan relatif tetap. Dengan demikian dalam larutan tersebut tidak terjadi perubahan perbandingan konsentrasi ion H + dan ion OH - sehingga ph larutan penyangga asam dapat dipertahankan. Model mikroskopik dari proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5. Awal Akhir Keterangan: 1. H 2 O 2. CH 3 COOH 3. CH 3 COO - 4. Na + 5. H + 6. OH - Partikel-partikel bergerak terus-menerus Gambar 2.5 Model mikroskopik penambahan sedikit asam ke dalam larutan penyangga asam CH 3 COOH dan CH 3 COONa 34

Berdasarkan gambar di atas tampak bahwa dalam larutan jumlah molekul CH 3 COOH bertambah dan jumlah ion CH 3 COO - berkurang, sedangkan jumlah ion H + tetap. Secara simbolik penambahan sedikit asam ke dalam larutan penyangga asam dapat dirumuskan sebagai berikut: CH 3 COO - (aq) + H + (aq) CH 3 COOH(aq) Pada reaksi tersebut ion H + dan basa konjugat (ion CH 3 COO - ) membentuk kesetimbangan sebelum reaksi mencapai sempurna. Bila jumlah ion H + yang ditambahkan menghabiskan ion CH 3 COO - dalam larutan penyangga, maka ph larutan akan berubah drastis. Larutan penyangga asam mampu mempertahankan ph pada kapasitas penyangganya. Jika lebih dari kapasitas penyangga, ph tidak dapat dipertahankan. b. Penambahan sedikit basa (misalnya, NaOH) terhadap larutan penyangga asam (CH 3 COOH dan CH 3 COONa) Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa di dalam larutan penyangga asam CH 3 COOH dan CH 3 COONa terdapat beberapa spesi berikut yaitu, molekul CH 3 COOH, ion H +, ion CH 3 COO -, ion Na +, molekul H 2 O, dan ion OH - yang bergerak terus-menerus dalam larutannya (Gambar 2.3). Dalam larutan tersebut terjadi kesetimbangan asam lemah CH 3 COOH dengan ion CH 3 COO - dan ion H + sebagai berikut: CH 3 COOH(aq) CH 3 COO - (aq) + H + (aq) Bila ke dalam larutan tersebut ditambahkan sedikit basa (NaOH) akan meningkatkan jumlah ion OH - dalam larutan (Ingat: NaOH dalam air terionisasi menjadi ion Na + dan ion OH - ). Adanya peningkatan jumlah ion 35

OH - ini akan dinetralisir oleh molekul CH 3 COOH membentuk ion CH 3 COO - dan molekul air, sehingga jumlah ion OH - dalam larutan relatif tetap. Dengan demikian dalam larutan tersebut tidak terjadi perubahan perbandingan konsentrasi ion H + dan ion OH - sehingga ph larutan penyangga asam dapat dipertahankan. Model mikroskopik dari proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.6. Awal Akhir Keterangan: 1. H 2 O 2. CH 3 COOH 3. CH 3 COO - 4. Na + 5. H + 6. OH - Partikel-partikel bergerak terus-menerus Gambar 2.6 Model mikroskopik penambahan sedikit basa ke dalam larutan penyangga asam CH 3 COOH dan CH 3 COONa Berdasarkan gambar di atas tampak bahwa dalam larutan tersebut jumlah ion CH 3 COO - bertambah dan jumlah molekul CH 3 COOH berkurang, sedangkan jumlah ion OH - tetap. Secara simbolik penambahan sedikit basa ke dalam larutan penyangga asam dapat dirumuskan sebagai berikut: CH 3 COOH(aq) + OH - (aq) CH 3 COO - (aq) + H 2 O(l) 36

Pada reaksi tersebut ion OH - dan asam lemah (CH 3 COOH) membentuk kesetimbangan sebelum reaksi mencapai sempurna. Bila jumlah ion OH - yang ditambahkan menghabiskan komponen CH 3 COOH dalam larutan penyangga, maka ph larutan akan berubah drastis. Larutan penyangga asam mampu mempertahankan ph pada kapasitas penyangganya. Jika lebih dari kapasitas penyangga, ph tidak dapat dipertahankan. c. Pengenceran Jika ke dalam larutan penyangga asam ditambahkan air (diencerkan), H 2 O terurai sedikit sekali menjadi ion H + dan ion OH -. Penambahan ion H + dan ion OH - dalam larutan sebanding, masing-masing dinetralisir oleh ion CH 3 COO - untuk ion H + dan molekul CH 3 COOH untuk ion OH - sehingga tidak mengubah perbandingan konsentrasi ion H + dan ion OH - dalam larutan. Disamping itu juga, kontribusi ion H + dan ion OH - yang diberikan terlalu kecil sehingga dapat diabaikan. Model mikroskopiknya dapat dilihat pada Gambar 2.7. 37

Awal Akhir Keterangan: 1. H 2 O 2. CH 3 COOH 3. CH 3 COO - 4. Na + 5. H + 6. OH - Partikel-partikel bergerak terus-menerus Gambar 2.7 Model mikroskopik pengenceran ke dalam larutan penyangga asam CH 3 COOH dan CH 3 COONa Berdasarkan gambar di atas tampak bahwa dalam larutan jumlah molekul H 2 O bertambah tapi tidak berkontribusi terhadap penambahan jumlah ion H + dan ion OH -. Secara simbolik dapat dirumuskan sebagai berikut: H 2 O(l) H + (aq) + OH - (aq) 10-7 M 10-7 M Jika air yang ditambahkan volumenya sangat besar, bisa mengubah ph secara drastis karena terjadi penambahan ion H + dan ion OH - yang tidak dapat dinetralisir oleh komponen asam dan basa larutan penyangga. Begitu pula halnya jika konsentrasi komponen penyangga sangat kecil akan dapat mengubah ph karena tidak mampu menetralisir ion H + dan ion OH - dari H 2 O. Jika demikian halnya, maka pengenceran akan mengubah perbandingan 38

konsentrasi ion H + dan ion OH - dalam larutan sehingga ph tidak dapat dipertahankan. (2) Sifat Larutan Penyangga Basa Sebagaimana halnya sifat larutan penyangga asam, bila larutan penyangga basa campuran NH 3 dan NH 4 Cl ditambahkan sedikit asam (HCl) diperoleh ph yang relatif tetap terhadap ph mula-mula (tetap pada daerah basa kisarannya). Begitu pula bila pada larutan tersebut ditambahkan sedikit basa atau diencerkan. Mengapa larutan penyangga basa mampu mempertahankan ph pada daerah basa akibat penambahan sedikit asam atau basa atau pengenceran? Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Penambahan sedikit asam (misalnya, HCl) terhadap larutan penyangga basa (NH 3 dan NH 4 Cl) Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa di dalam larutan penyangga basa NH 3 dan NH 4 Cl terdapat beberapa spesi berikut yaitu, molekul NH 3, ion OH -, ion NH + 4, ion Cl -, molekul H 2 O, dan ion H + yang terus-menerus bergerak dalam larutannya (Gambar 2.4). Dalam larutan tersebut terjadi kesetimbangan basa lemah NH 3 dengan ion NH + 4 dan ion OH - sebagai berikut: NH 3 (aq) + H 2 O(l) NH 4 + (aq) + OH - (aq) Bila ke dalam larutan tersebut ditambahkan sedikit asam (HCl) akan meningkatkan jumlah ion H + dalam larutan (Ingat: HCl dalam air terionisasi menjadi ion H + dan ion Cl - ). Adanya peningkatan jumlah ion H + ini akan dinetralisir oleh komponen basa (NH 3 ) membentuk ion NH + 4 sehingga jumlah ion H + dalam larutan relatif tetap. Dengan demikian dalam larutan tersebut 39

tidak terjadi perubahan perbandingan konsentrasi ion H + dan ion OH - sehingga ph larutan penyangga basa dapat dipertahankan. Model mikroskopik dari proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8. Awal Akhir Keterangan: + 1. H 2 O 2. NH 3 3. NH 4 Partikel-partikel bergerak terus-menerus 4. Cl - 5. OH - 6. H + Gambar 2.8 Model mikroskopik penambahan sedikit asam ke dalam larutan penyangga basa NH 3 dan NH 4 Cl + Berdasarkan gambar di atas tampak bahwa dalam larutan jumlah ion NH 4 bertambah dan jumlah molekul NH 3 berkurang, sedangkan jumlah ion H + tetap. Secara simbolik penambahan sedikit asam ke dalam larutan penyangga asam dapat dirumuskan sebagai berikut: NH 3 (aq) + H + (aq) NH 4 + (aq) Pada reaksi tersebut ion H + dan basa lemah (ion NH 3 ) membentuk kesetimbangan sebelum reaksi mencapai sempurna. 40

Bila jumlah ion H + yang ditambahkan menghabiskan komponen NH 3 dalam larutan penyangga, maka ph larutan akan berubah drastis. Larutan penyangga basa mampu mempertahankan ph pada kapasitas penyangganya. Jika lebih dari kapasitas penyangga, ph tidak dapat dipertahankan. b. Penambahan sedikit basa (misalnya, NaOH) terhadap larutan penyangga basa (NH 3 dan NH 4 Cl) Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa di dalam larutan penyangga basa NH 3 dan NH 4 Cl terdapat beberapa spesi berikut yaitu, molekul NH 3, ion OH -, ion NH + 4, ion Cl -, molekul H 2 O, dan ion H + yang bergerak terus-menerus dalam larutannya (Gambar 2.4). Dalam larutan tersebut terjadi kesetimbangan basa lemah NH 3 dengan ion NH + 4 dan ion OH - sebagai berikut: NH 3 (aq) + H 2 O(l) NH 4 + (aq) + OH - (aq) Bila ke dalam larutan tersebut ditambahkan sedikit basa (NaOH) akan meningkatkan jumlah ion OH - dalam larutan (Ingat: NaOH dalam air terionisasi menjadi ion Na + dan ion OH - ). Adanya peningkatan jumlah ion OH - ini akan dinetralisir oleh ion NH + 4 membentuk molekul NH 3 dan molekul air, sehingga jumlah ion OH - dalam larutan relatif tetap. Dengan demikian dalam larutan tersebut tidak terjadi perubahan perbandingan konsentrasi ion H + dan ion OH - sehingga ph larutan penyangga basa dapat dipertahankan. Model mikroskopik dari proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.9. 41

Awal Akhir Keterangan: + 1. H 2 O 2. NH 3 3. NH 4 Partikel-partikel bergerak terus-menerus 4. Cl - 5. OH - 6. H + Gambar 2.9 Model mikroskopik penambahan sedikit basa ke dalam larutan penyangga basa NH 3 dan NH 4 Cl Berdasarkan gambar di atas tampak bahwa dalam larutan tersebut jumlah molekul NH 3 bertambah dan jumlah ion NH + 4 berkurang, sedangkan jumlah ion OH - tetap. Secara simbolik penambahan sedikit basa ke dalam larutan penyangga asam dapat dirumuskan sebagai berikut: NH 4 + (aq) + OH - (aq) NH 3 (aq) + H 2 O(l) Pada reaksi tersebut ion OH - dan asam konjugat (NH 3 ) membentuk kesetimbangan sebelum reaksi mencapai sempurna. Bila jumlah ion OH - yang ditambahkan menghabiskan ion NH + 4 dalam larutan penyangga, maka ph larutan akan berubah drastis. Larutan penyangga basa mampu mempertahankan ph pada kapasitas penyangganya. Jika lebih dari kapasitas penyangga, ph tidak dapat dipertahankan. 42

c. Pengenceran Jika ke dalam larutan penyangga basa ditambahkan air (diencerkan), H 2 O terurai sedikit sekali menjadi ion H + dan ion OH -. Penambahan ion H + dan ion OH - dalam larutan sebanding, masing-masing dinetralisir oleh molekul NH 3 untuk ion H + dan ion NH + 4 untuk ion OH - sehingga tidak mengubah perbandingan konsentrasi ion H + dan ion OH - dalam larutan. Disamping itu juga, kontribusi ion H + dan ion OH - yang diberikan terlalu kecil sehingga dapat diabaikan. Model mikroskopiknya dapat dilihat pada Gambar 2.10. Awal Akhir Keterangan: + 1. H 2 O 2. NH 3 3. NH 4 Partikel-partikel bergerak terus-menerus 4. Cl - 5. OH - 6. H + Gambar 2.10 Model mikroskopik pengenceran ke dalam larutan penyangga basa NH 3 dan NH 4 Cl Berdasarkan gambar di atas tampak bahwa dalam larutan jumlah molekul H 2 O bertambah tapi tidak berkontribusi terhadap penambahan jumlah ion H + dan ion OH -. Secara simbolik dapat dirumuskan sebagai berikut: 43

H 2 O(l) H + (aq) + OH - (aq) 10-7 M 10-7 M Jika air yang ditambahkan volumenya sangat besar, bisa mengubah ph secara drastis karena terjadi penambahan ion H + dan ion OH - yang tidak dapat dinetralisir oleh komponen asam dan basa larutan penyangga. Begitu pula halnya jika konsentrasi komponen penyangga sangat kecil akan dapat mengubah ph karena tidak mampu menetralisir ion H + dan ion OH - dari H 2 O. Jika demikian halnya, maka pengenceran akan mengubah perbandingan konsentrasi ion H + dan ion OH - dalam larutan sehingga ph tidak dapat dipertahankan. 2.6.4 ph Larutan Penyangga ph larutan penyangga bergantung pada K a asam lemah atau K b basa lemah serta perbandingan konsentrasi asam dengan konsentrasi basa konjugasi atau perbandingan konsentrasi basa dengan konsentrasi asam konjugasi dalam larutan tersebut. (1) ph Larutan Penyangga Asam ph larutan penyangga asam bergantung pada K a asam lemah dan perbandingan konsentrasi asam dengan konsentrasi basa konjugasi dalam larutan tersebut. Marilah kita perhatikan larutan penyangga yang mengandung asam lemah (CH 3 COOH) dan basa konjugasinya (CH 3 COO - ) yang berasal dari garam yang mudah larut dalam air (CH 3 COONa). Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa asam asetat (CH 3 COOH) dalam larutan mengalami reaksi 44

ionisasi sebagian dalam kesetimbangan (persamaan 2.1), sedangkan garamnya mengalami reaksi ionisasi sempurna (persamaan 2.2). Misal jumlah asam asetat (CH 3 COOH) yang dilarutkan = a mol dan jumlah yang mengion = x mol, maka susunan kesetimbangan dapat dituliskan sebagai berikut. CH 3 COOH(aq) CH 3 COO - (aq) + H + (aq) (2.1) Mula-mula : a mol - - Reaksi : -x mol +x mol +x mol Setimbang : a x mol x mol x mol Misalkan jumlah mol CH 3 COONa yang dilarutkan = g mol. Dalam larutan, garam ini mengion sempurna membentuk g mol ion CH 3 COO - dan g mol ion Na +. CH 3 COONa(aq) CH 3 COO - (aq) + Na + (aq) (2.2) Mula-mula : g mol - - Reaksi : -g mol +g mol +g mol Akhir : - g mol g mol Tetapan kesetimbangan ionisasi untuk reaksi ionisasi asam asetat, sesuai dengan persamaan 2.1 adalah + [CH3COO ][H ] K a =.(2.3) [CH COOH] 3 Maka konsentrasi ion H + dalam larutan akan ditentukan oleh persamaan berikut. [H + ] [CH 3COOH] K (2.4) [CH COO ] = a 3 Jumlah ion CH 3 COO - dalam larutan = (x + g), sedangkan jumlah CH 3 COOH = (a x) mol. Oleh karena dalam larutan terdapat banyak ion CH 3 COO -, yaitu yang 45