7 SISTEM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROSPEK PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN PROVINSI RIAU Development Prospect of Capture Fisheries in the Waters of Riau Province

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODOLOGI UMUM. Kabupaten Bengkalis. Kabupaten Indragiri Hilir

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KONSEP PUBLIK DALAM KEBIJAKAN DR. NIMMI ZULBAINARNI STAF PENGAJAR DEPARTEMEN PSP-FPIK, IPB

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

9.1 Pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan di Kota Tegal

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU. Oleh. T Ersti Yulika Sari ABSTRAK

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

X. ANALISIS KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Provinsi Jambi memiliki sumberdaya perikanan yang beragam dengan jumlah

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN (Dalam miliar Rupiah) Prioritas/ Rencana Prakiraan Rencana.

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN INDRAPURWA LHOK PEUKAN BADA BERBASIS HUKUM ADAT LAOT. Rika Astuti, S.Kel., M. Si

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia dan sebaliknya, Provinsi Riau akan menjadi daerah yang tertinggal

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB 6 PENUTUP. temuan penelitian tentang bagaimana pengelolaan sektor kelautan dan perikanan

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia

Kiat Kiat Jurus Jitu Pengembangan Minapolitan

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Perikanan Tangkap

ANALISIS KEBERLANJUTAN RAPFISH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA, IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) DI PERAIRAN TANJUNGPANDAN ABSTRAK

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun.

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2008

Tujuan Pengelolaan Perikanan. Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM

Transkripsi:

7 SISTEM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU 7.1 Komponen yang Berperan dan Keterkaitannya dalam Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Langkah akhir setelah melakukan kajian terhadap tiga topik penelitian, yaitu (1) perkembangan usaha perikanan tangkap sebelum dan setelah pemekaran di perairan Provinsi Riau (Bab 4), yang mencakup kondisi perikanan tangkap Provinsi Riau sebelum dan setelah berpisahnya Kepulauan Riau, (2) evaluasi sumberdaya ikan unggulan (Bab 5), yang mencakup alokasi hasil tangkapan, sumber daya ikan unggulan yang dapat dikembangkan, jenis teknologi pilihan untuk menangkap sumber daya ikan unggulan, alokasi optimum terhadap alat penangkapan ikan, dan (3) faktor konflik dalam pengembangan perikanan tangkap (Bab 6), yang mencakup identifikasi terhadap tipologi konflik, menganalisis konflik yang terjadi dan faktor-faktor penyebabnya serta melakukan evaluasi terhadap kelembagaan yang menangani konflik, adalah menyusun sistem pengembangan perikanan tangkap di Perairan Provinsi Riau. Kajian terhadap tiga topik dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun sistem pengembangan perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau khususnya dan perairan lain pada umumnya dengan penyesuaian berdasarkan kondisi masing-masing. Dahuri (2002) mengemukakan bahwa penciptaan perikanan berkelanjutan harus mencakup tiga hal, yaitu ekologi (lingkungan), ekonomi dan sosial. Charles (2001) menyatakan hal yang lebih konservatif, bahwa unsur kelembagaan yang terlibat sangat diperlukan untuk melengkapi ketiga unsur tersebut agar sumber daya perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Fauzi dan Anna (2005) juga menyatakan bahwa pembangunan perikanan tangkap harus didekati dengan pendekatan menyeluruh (holistic) yang menyangkut beberapa aspek, seperti: ekologi (tingkat eksploitasi, keragaan rekruitmen, perubahan ukuran tangkap, dan sebagainya), ekonomi (tingkat subsidi, kontribusi perikanan terhadap GDP, penyerapan tenaga kerja dan sebagainya), sosial (pertumbuhan komunitas, status konflik, tingkat pendidikan, dan sebagainya), teknologi (produktivitas alat, selektivitas alat, ukuran kapal, dan

sebagainya), dan etik (illegal fishing, mitigasi terhadap habitat dan ekosistem, sikap terhadap limbah dan bycatch, dan sebagainya). Dari setiap aspek tersebut, ada beberapa atribut yang harus dipenuhi, karena merupakan indikator keberhasilan pembangunan perikanan tangkap dan juga sekaligus menjadi indikator keberlanjutannya. Monintja (2001) modifikasi dari Kesteven (1973) mengemukakan bahwa komponen-komponen utama dari sistem perikanan tangkap adalah sumber daya ikan, unit penangkapan ikan, masyarakat (nelayan), prasarana pelabuhan, sarana penunjang (galangan kapal, bahan alat tangkap ikan, dan mesin kapal), unit pemasaran dan unit pengolahan. Keseluruhan komponen tersebut sangat menentukan dalam upaya mewujudkan perikanan tangkap bertanggungjawab. Pengembangan perikanan tangkap bertanggungjawab pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, utamanya nelayan, memenuhi kebutuhan pangan, dan sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya ikan beserta lingkungannya. Pengembangan usaha perikanan tangkap di Perairan Provinsi Riau sudah seharusnya diarahkan untuk pembangunan perikanan tangkap bertanggungjawab yang akan terwujud jika setiap komponen utama dari sistem perikanan tangkap dapat berjalan secara optimum dan terintegrasi. Belum adanya perencanaan yang terintegrasi dalam pengembangan komponen-komponen usaha perikanan tangkap di Perairan Provinsi Riau menyebabkan komponen-komponen tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga aktivitas pengembangan usaha perikanan tangkap belum optimum. Komponen yang berperan dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau, adalah : 1) Sumber daya ikan Perubahan wilayah administrasi yang terjadi di Provinsi Riau memberikan dampak terhadap penurunan jumlah produksi hasil tangkapan di provinsi ini. Pemulihan terhadap kondisi ini perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengembalikan kondisi produksi perikanan tangkap seperti semula, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan pemilihan terhadap sumber daya 181

ikan yang memiliki nilai ekonomis penting dengan ketersedian yang cukup untuk dapat dikembangkan secara lestari dan berkelanjutan. Pengembangan perikanan tangkap tidak dapat dipisahkan dari daya dukung (carrying capacity) komponen penyusun perikanan tangkap. Daya dukung sumber daya perikanan tangkap merupakan faktor penting diperhatikan karena sumber daya perikanan sangat rentan terhadap perubahan. Khususnya sumber daya ikan, karena merupakan sumber daya hayati yang dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar ekosistem banyak dipengaruhi oleh perubahanperubahan eksternal dan internal, sebagai akibat perubahan lingkungan biotik dan abiotik. Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumber daya perikanan pada kondisi yang seimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya tidak melebihi kemampuan sumber daya untuk memperbaharui diri. Tingkat pemanfaatan masing-masing sumber daya perikanan berbeda bergantung pada ukuran masiong-masing sumber daya perikanan. Informasi mengenai sumberdaya ikan sangat diperlukan dalam merencanakan pengembangan perikanan tangkap bertanggungjawab di suatu wilayah perairan. Penyediaan informasi sumberdaya ikan dalam bentuk kuantitatif seperti angka perkiraan potensi sangat ditentukan oleh ada tidaknya data dasar. Tingkat eksploitasi sumber daya ikan di Perairan Provinsi Riau perlu dikendalikan agar kelestarian sumber daya ikan tersebut dapat dijaga dan dipertahankan. Pengelolaan yang terkoordinasi dengan baik antara stakeholder (nelayan, pemilik armada penangkapan dan pemerintah) dapat mengendalikan tingkat eksploitasi sumber daya dan meningkatkan efisiensi, manfaat dan keuntungan aktivitas penangkapan. Sumber daya ikan di Provinsi Riau dimanfaatkan oleh nelayan-nelayan dari dalam provinsi maupun dari luar, seperti dari Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Jambi bahkan nelayan dari luar Indonesia, seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. King (1995) mengemukakan bahwa agar penangkapan suatu jenis ikan tertentu dan yang berlangsung di perairan tertentu dapat berlangsung terus menerus maka status sumber daya ikan tersebut harus dikaji untuk menentukan kemampuan rekrutmen sumber daya ikan tersebut. Di samping estimasi stok yang 182

tepat, faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi pengelolaan. Hasil analisis terhadap sumber daya ikan unggulan untuk menduga potensi lestari dengan metode Schaefer menunjukkan bahwa secara teoritis pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Provinsi Riau relatif masih baik. Hal ini terlihat dengan masih adanya peluang peningkatan pemanfaatan yang cukup besar. Pemilihan terhadap sumber daya ikan unggulan pada Bab 5 berdasarkan pada analisis pasar dapat diketahui jenis-jenis komoditi yang mempunyai potensi untuk pasar lokal, pasar antar daerah maupun pasar internasional atau pasar dunia. Sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau berdasarkan aspek pemasaran untuk perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis adalah ikan kurau, malung, senangin, bawal putih dan udang putih, sedangkan sumber daya ikan unggulan untuk perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah ikan kurau, udang mantis, bawal putih, malung dan tenggiri. Pengelolaan sumber daya ikan dalam pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Riau dapat berupa pembatasan hasil tangkapan dan tingkat upaya penangkapan, pengaturan mesh size dan menentukan teknologi penangkapan pilihan. 2) Teknologi penangkapan pilihan Pemanfaatan sumber daya ikan yang dilakukan oleh masyarakat, umumnya menggunakann berbagai jenis alat tangkap dengan berbagai tingkatan teknologi penangkapan ikan. Penggunaan teknologi penangkapan ikan memiliki variasi pada setiap jenis alat tangkap dan sangat bergantung pada skala usaha penangkapan ikan, karena semakin kompleks teknologi yang digunakan, maka semakin besar juga modal yang dibutuhkan. Tingkatan penggunaan teknologi penangkapan ikan juga akan meningkatkan produktivitas suatu jenis alat tangkap ikan, dengan demikian jumlah dan jenis alat tangkap yang dioperasikan akan menentukan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan dan pada akhirnya akan berdampak terhadap potensi sumber daya ikan. Tahap awal penelitian untuk menentukan jenis teknologi penangkapan pilihan adalah menentukan alat tangkap yang dominan menangkap sumber daya unggulan untuk dikembangkan. Bab 5 memaparkan, di perairan Selat Malaka 183

Kabupaten Bengkalis terdapat empat alat tangkap dominan yaitu rawai (longline), jaring kurau (bottom drift gillnet), jaring atom (trammel net) dan jaring apollo (trammel net), untuk perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah rawai (longline), jaring kurau (bottom drift gillnet), jaring insang (gillnet), jaring udang (trammel net). Penentuan teknologi pilihan untuk menangkap sumber daya ikan unggulan berdasarkan aspek teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis menempatkan jaring kurau pada urutan pertama diikuti rawai, jaring atom dan jaring apollo. Munculnya konflik di perairan ini yang disebabkan oleh beroperasinya jaring kurau (dijelaskan secara rinci pada Bab 6) menyebabkan dalam pengembangan perikanan tangkap di perairan Kabupaten Bengkalis alat ini tidak disarankan. Teknologi pilihan di perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir secara berurutan adalah jaring insang, rawai, jaring udang dan jaring kurau. Garcia et al. (2001) mengemukakan bahwa pada tahap awal dalam pemanfaatan sumber daya perikanan yang stoknya masih berlimpah, penekanan pengembangan umumnya dengan pertimbangan sektor ekonomi saja. Bertambahnya pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya akan mengancam status stok sumber daya tersebut, pada tahap ini pemanfaatan sumber daya perikanan harus memperhatikan unsur sosial dan lingkungan agar pemanfaatan sumber daya tersebut berkelanjutan. Salah satu sarana penting dalam rangka memanfaatkan sumberdaya ikan di laut adalah unit penangkapan ikan berupa kapal dan alat penangkap ikan. Pengaturan terhadap jumlah optimum dari unit penangkapan ikan dilakukan untuk mewujudkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan yang optimal dan berkelanjutan. 3) Masyarakat (nelayan) Salah satu faktor yang dapat mendukung upaya pengembangn perikanan tangkap di Provinsi Riau adalah tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang memenuhi kualitas dan kuantitas, yaitu nelayan, pengusaha di bidang perikanan dan instituai lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pengembangan. 184

Pengelolaan sumber daya manusia memegang peranan penting karena kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dilakukan oleh manusia, sehingga menurut Nikijuluw (2002), selain perubahan-perubahan alamiah, faktor manusia merupakan variabel penting yang menentukan status eksploitasi dan potensi sumber daya perikanan. Sayangnya, faktor manusia seringkali tidak diperhitungkan secara serius atau diremehkan dalam pengelolaan sumber daya perikanan, karena seringkali manusia diposisikan sebagai subyek pengelolaan. Pengelolaan sumber daya ikan pada hakekatnya adalah pengelolaan terhadap manusia yang memanfaatkan sumber daya ikan tersebut. Pengelolaan terhadap manusia adalah pengaturan tingkah laku mereka dalam hal eksploitasi dan pengelolaan sumber daya. Pengembangan sumber daya manusia dalam suatu kegiatan pembangunan adalah upaya-upaya yang dilaksanakan untuk pengembangan kemampuan diri dalam penguasaan teknologi dalam pemanfaatan sumber daya ikan secara efisien dan efektif guna menghasilkan suatu output/produk yang ekonomis dan mempunyai nilai dan daya saing yang tinggi. Pemberdayaan nelayan diupayakan untuk memberikan alternatif terbaik bagi nelayan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan sumber daya manusia khususnya nelayan adalah : (1) Melakukan pembinaan, penyuluhan, pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kinerja usaha nelayan (2) Penyediaan sarana prasarana yang dapat meningkatkan potensi nelayan Jumlah signifikan nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan di perairan Provinsi Riau (Bab 4), beragamnya jenis alat tangkap yang dapat menangkap satu jenis ikan dan kebijakan tata ruang masing-masing kabupaten yang ada di provinsi ini perlu mendapat perhatian besar dalam menentukan sistem pengembangan perikanan tangkap. Jika beberapa aspek diabaikan dalam pengelolaan bersama sumber daya perikanan maka konflik akan muncul karena berbedanya kepentingan masing-masing pihak. Upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagai salah satu tujuan pembangunan perikanan dan kelautan, selama ini dilaksanakan dengan upaya 185

peningkatan produksi, namun berdasarkan hasil kajian-kajian peningkatan produksi tidak berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan. Hal ini dikarenakan sebagian keuntungan dimiliki oleh unit usaha lain yang bergerak di bidang pasca panen, pengolahan dan pemasaran. Arah pengembangan perikanan tangkap sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan dilaksanakan melalui upaya meningkatkan nilai tambah hasil perikanan baik melalui usaha penanganan dan pengolahan hasil serta terlibat secara langsung dalam pemasaran hasil perikanan (perikanan tangkap terintegrasi), sehingga keuntungan yang tadinya dimiliki oleh pihak lain (tauke) dapat kembali lagi pada masyarakat nelayan. Untuk itu pengembangan perikanan tangkap tidak terlepas dengan upaya pengembangan sumberdaya manusia nelayan itu sendiri dan pengembangan kelembagaan masyarakat nelayan guna meningkatkan posisi tawar dari masyarakat nelayan dengan kelembagaannya. Upaya lain yang dilaksanakan untuk pengembangan kelembagaan masyarakat nelayan adalah penumbuhan usaha kemitraan yang saling menguntungkan antara nelayan dengan pihak pengusaha perikanan, kegiatan ini dimaksudkan untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya konflik antara nelayan dengan pengusaha perikanan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan dengan pihak pemerintah sebagai fasilitatornya. 4) Kelembagaan Pengelolaan sumber daya ikan perlu dilandasi oleh dukungan data dan informasi serta teknologi sebagai bahan penyusunan berbagai formulasi rencana kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan laut, maka diperlukan adanya aransemen institusional yang bisa menata kelembagaan yang tepat guna. Aransemen institusional disini dapat berupa instansi pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, swasta, masyarakat yang kesemuanya berada dalam satu kerangka kerja kelembagaan. Kelembagaan merupakan salah satu kriteria dan indikator sistem perikanan berkelanjutan. Kelembagaan yang kuat adalah penguatan untuk melahirkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat diperkuat implementasi hukum. Oleh karena itu kebijakan yang baik dapat berfungsi efektif apabila dibarengi dengan implementasi hukum yang kuat. Ketersediaan kelembagaan 186

dalam pengembangan perikanan tangkap sangat diperlukan terutama dalam penentuan kebijakan dan upaya menciptakan perikanan yang berkelanjutan. Peningkatan dan pengembangan kapasitas kelembagaan diyakini akan memperlancar jalannya berbagai fungsi kelembagaan, baik fungsi-fungsi di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, hukum maupun lingkungan hidup. Berjalannya fungsi-fungsi kelembagaan dalam bidang tersebut secara optimal dipahami akan mampu mengentaskan lembaga-lembaga yang ada dari krisis multidimensi. Fungsi-fungsi kelembagaan tersebut secara statik ada di dalam tata kelembagaan (institutional arrangement) dan secara dinamik ada di dalam mekanisme kelembagaan (institutional framework) (Purwaka 2008). Kapasitas kelembagaan terdiri atas (Purwaka 2008) : 1) Kapasitas potensial kelembagaan (potencial capacity), yaitu kemampuan terpendam sumber daya manusia dari suatu organisasi kelembagaan yang siap untuk digunakan secara optimal guna melaksanakan tugas pokok dan fungsi organisasi kelembagaan. 2) Daya dukung kelembagan (carrying capacity), yaitu kemampuan sumber daya manusia untuk menanggung beban atau melaksanakan sejumlah pekerjaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang terkandung di dalam posisi tersebut. 3) Daya tampung kelembagan atau daya lentur (absorptive capacity), yaitu kemampuan untuk mengantisipasi perubahan sehingga tidak mempengaruhi keberadaan atau eksistensi kelembagaan dari organisasi kelembagaan dan hasil pekerjaannya Kapasitas kelembagaan yang terlibat dalam pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Riau perlu ditingkatkan guna memenuhi kualitas dan kuantitas yang diperlukan dalam pengembangan. Terutama dalam pengelolaan konflik pemanfaatan sumber daya yang telah terjadi di perairan Kabupaten Bengkalis dan sebagai upaya pencegahan terjadinya konflik pemanfaatan. Komponen kelembagaan memegang peranan penting dalam pengembangan perikanan tangkap, karena kemajuan teknologi alat penangkapan ikan yang terjadi di Kabupaten Bengkalis justru menimbulkan konflik dalam pemanfaatan sumber daya ikan. Kemajuan teknologi dan kebutuhan konsumsi ikan yang meningkat 187

belum dikuti dengan mekanisme pengaturan yang sistematis terhadap pemanfaatan sumber daya ikan. Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan pengembangan perikanan tangkap di Perairan Provinsi Riau dilakukan melalui: 1) intensifikasi penangkapan ikan, 2) pengaturan penambahan/rasionalisasi armada penangkapan, 3) penanganan/pasca panen dan pengendalian mutu hasil tangkapan, 4) pelaksanaan standarisasi mesin kapal dan alat tangkap, 5) pengaturan penambahan/rasionalisasi armada penangkapan, dan 6) pengendalian pemanfaatan sumber daya perikanan dilakukan dengan sistem pengawasan oleh masyarakat (community based fisheries management) dan pemberdayaan PPNS dan aparat pengawas lainnya. Intensifikasi penangkapan ikan dilakukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan unggulan yang tersedia dengan cara-cara penangkapan yang bertanggung jawab, di antaranya; (1) pembentukan kelembagaan nelayan dan koperasi primer nelayan (2) meningkatkan peran masyarakat khususnya tokoh masyarakat dalam penyelesaian konflik yang terjadi, (3) terbangunnya pranata sosial masyarakat nelayan yang menerapkan prinsipprinsip penangkapan ikan yang bertanggung jawab, (4) meningkatkan fungsi lembaga pengawasan yang melibatkan SNKB, Lembaga Non Pemerintah, Dinas Perikanan dan Kelautan dan pengusaha perikanan dalam pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Provinsi Riau. Berdasarkan analisis terhadap komponen yang terdapat pada usaha perikanan tangkap dan mendapatkan solusi optimum dari setiap komponen yang dikaji pada Bab 4 sampai dengan Bab 6 maka dapat dibangun pola pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau, seperti yang disajikan pada Gambar 38. 5) Regulasi/Kebijakan Kebijakan akan dilakukan dengan bertolak pada dasar hukum dan peraturan yang berlaku. Hukum tidak akan terlepas dengan roda pemerintahan baik dalam menjalankan kebijakan maupun dalam pengambilan keputusan. 188

Kebijakan pengelolaan (policy management) untuk pengembangan usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau mengacu pada upaya yang merupakan suatu bentuk tindakan yang sedemikian rupa (deliberate way) untuk dapat menangani isu kebijakan dari awal hingga akhir, termasuk di dalamnya isu-isu yang dapat menimbulkan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap. Pengembangan jenis teknologi di Provinsi Riau diarahkan sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 45 Tahun 2009, tujuan pembangunan perikanan harus disepakati dengan syarat-syarat pengembangan teknologi yang dapat menyediakan kesempatan kerja, menjamin pendapatan nelayan, menjamin stok produksi, menghasilkan produksi yang bermutu dan tidak merusak lingkungan khususnya sumberdaya ikan. Pengelompokan skala usaha perikanan, jenis alat tangkat pancing dan jaring insang merupakan alat tangkap yang umum digunakan oleh rakyat yang skalanya sangat kecil, sarana dan prasarananyapun terbatas, hal ini disebabkan karena keterbatasan modal usaha. Kegiatannyapun bersifat tradisional hal ini akan berdampak pada rendahnya produksi sehingga akan mempengaruhi daya saing. Monintja (2005) menyatakan apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap banyak tenaga kerja dengan pendapatan yang memadai. Selain itu untuk menyediakan produksi perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting maka akan lebih baik jika di pilih unit penangkapan yang produktivitasnya tinggi namun ramah terhadap lingkungan. Usaha perikanan tangkap merupakan bentuk dari suatu industri perikanan kompetatif. Industri ini memiliki ciri tersendiri yakni tepat jenis, tepat jumlah, tepat mutu, tepat harga, tepat waktu, tepat tempat dan tepat hukum Nikijuluw (2002) mengatakan bahwa rezim pengelolaan akan selalu berubah sesuai dengan sifat khasnya yang tidak ditemukan pada sumberdaya lain. Kekhasan sifat tersebut dalam pengelolaan terdapat tiga bentuk sifat utama (1) sifat ekskludabilitas, (2) sifat substraktabilitas, dan (3) indivisibilitas. Sifat yang dimiliki pemerintah adalah sifat yang terkait dengan pengendalian dan pengawasan terhadap akses sumberdaya (sifat ekskludabilitas). Oleh karena itu 189

pemerintah harus membuat suatu kebijakan yang mampu mengendalikan dan mengatur serta melakukan pengawasan yang melibatkan masyarakat. Intervensi atau keterlibatan pemerintah dalam suatu kegiatan ekonomi adalah kepentingan umum yang pada akhirnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah memiliki proses yang berbeda dan melibatkan kelompok masyarakat yang berbeda pula dalam implementasinya. Pengembangan usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau akan dilakukan secara selektif dalam rangka memanfaatkan potensi sumber daya yang tersedia secara optimal dan berkelanjutan, guna mewujudkan usaha perikanan yang bertanggungjawab sesuai dengan code of conduct for responsible fisheries (CCRF) di bidang penangkapan. Dalam kerangka ini dilakukan reorientasi terhadap tujuan pengembangan usaha perikanan tangkap yang semula lebih ke arah produksi menjadi ke arah pendapatan usaha, disertai dengan penyediaan pelabuhan perikanan/pangkalan Pendaratan Ikan, standarisasi unit penangkapan, perekayasaan teknologi, diversifikasi usaha nelayan dan rehabilitasi sumberdaya ikan. Upaya pengembangan usaha perikanan tangkap sekaligus untuk mengantisipasi isu yang berkembang di bidang penangkapan ikan yaitu adanya pemahaman bahwa sumberdaya ikan seolah-olah tidak terbatas, sumber daya ikan merupakan milik suatu wilayah perairan serta isu lainnya yang dapat menimbulkan konflik dalam pemanfaatan sumber daya ikan pada suatu perairan. 190

Sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau Junlah Tangk apan yang di Bolehkan (JTB) (ton) Jenis tek nologi penangk apan pilihan Jumlah alok asi optimum tek nologi penangk apan Kabupaten Bengkalis :Ikan kurau, malung, senangin,bawal putih dan udang putih Kabupaten Indragiri Hilir : Ikan kurau, udang mantis, bawal putih, malung dan tenggiri Kabupaten Bengk alis : Ikan kurau 1876,5; malung 1189; senangin 1021.1; bawal putih 5237.8 dan udang putih 4449.4 Kabupaten Indragiri Hilir : Ikan kurau 1014.1; udang mantis 2602.1; bawal putih 3617.7; malung 1091.4; dan tenggiri 4558.98 Kabupaten Bengk alis : jaring kurau, rawai, jaring atom, jaring apollo Kabupaten Indragiri Hilir : jaring insang, rawai, jaring udang dan jaring kurau Kabupaten Bengkalis 6482 unit dengan alok asi: jaring kurau 208 unit, rawai 3211 unit, jaring atom 2862 unit, jaring apollo 314 unit Kabupaten Indragiri Hilir 5910 unit dengan alok asi : jaring insang 3039 unit, rawai 844 unit, jaring udang 1942 unit dan jaring kurau 131 unit Resolusi k onflik pemanfaatan sumber daya perik anan tangk ap Tipologi Konflik : alokasi internal dan yurisdiksi Faktor konflik : perbedaan teknologi penangkapan dan perebutan daerah penangkapan Penahapan konflik : prakonflik (tahun 1970-1981); konfrontasi (tahun 1983-1997); krisis (tahun 1998-1999; 2001-2004); akibat (tahun 2000); pascakonflik (2005-sekarang) Resolusi konflik : penguatan terhadap fungsi SNKB dan pengakuan secara formal terhadap hal ulayat, peningkatan pengawasan terpadu, diversikasi usaha, mekanisme pengaturan yang sistematis Bentuk kelembagan yang sesuai karena sudah mencakup mekanisme pengelolaan konflik adalah community based management dalam bentuk kelembagaan mediasi Tidak Puas? ya ya terjadi konflik? tidak implementasi sistem pengembangan usaha perik anan tangk ap Gambar 38 Pola pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik di perairan Bengkalis Provinsi Riau. 191

7.2 Sistem pengembangan usaha perikanan tangkap Charles (2001) menyatakan bahwa sistem perikanan merupakan sebuah kesatuan dari 3 komponen utama yaitu : (1) sistem alam (natural system) yang mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan fisik; (2) sistem manusia (human system) yang terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan konsumen, rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir serta lingkungan sosial, ekonomi dan budaya yang terkait dengan sistem ini; (3) sistem pengelolaan perikanan (fishery management system) yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan peencanaan perikanan, pembangunan perikanan, rejim pengelolaan perikanan dan riset perikanan (Gambar 39). Dalam menggunakan perspektif informal, sistem dikatakan kompleks apabila struktur dan fungsi dari sistem tersebut dapat diketahui dengan bail sebagaimana terjadi untuk sistem perikanan. Selain itu, definisi kompleks adalah apabila sistem tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain secara dinamik maupun statis. Semakin banyak jumlah unsur dalam struktur sebuah sistem maka semakin kompleks sistem tersebut. NATURAL ECOSYSTEM MANAGEMENT SYSTEM Policy Manage ment Aquatic environment Fish population Developm ent Reserach External forces (e.g. Climate change) Harvesters External forces (e.g. Government downizing) community Post harvest HUMAN SYSTEM External forces (e.g. Macroeconomics policy) Gambar 39 Perikanan sebagai sebuah sistem (Charles 2001). Keragaman sistem perikanan bersumber dari beberapa hal, Charles (2001) menggambarkan sebagai the sources of complexity in fishery systems, yaitu (1) 192

banyaknya tujuan dan seringkali menimbulkan konflik antar tujuan; (2) banyaknya spesies dan interaksi antar spesies dalam konteks level tropik; (3) banyaknya kelompok nelayan beserta interaksina dengan sektor rumah tangga dan komunitas; (4) banyaknya jenis alat tangkap dan interaksi teknologi antar mereka; (5) struktur sosial dan pengaruhnya trhadap perikanan; (6) dinamika informasi perikanan dan diseminasi; (7) dinamika interaksi antar sumber daya perikanan, nelayan dan lingkungan; (8) ketidakpastian dalam masing-masing komponen sistem perikanan; dan lain-lain. Sumber daya perikanan tangkap merupakan suatu sistem sehingga di antara komponen dalam sumber daya perikanan tangkap akan saling mempengaruhi sebagai suatu kegiatan ekonomi. Sifat sebagai suatu kegiatan ekonomi, sumber daya perikanan tangkap pada akhirnya akan memberikan dampak terhadap siapa yang memanfaatkan, yaitu pasar. Komponen yang menyusun sumber daya perikanan tangkap adalah sumber daya ikan, teknologi penangkapan ikan dan sumber daya manusia selaku operator maupun konsumen, serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya, baik terhadap sumber daya ikan dan proses pengoperasian alat tangkap. Sistem yang diterapkan dalam mengembangkan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau berdasarkan Charles (2001) melalui analisis optimasi pada setiap komponennya, maka dapat disintesis menjadi bentuk umum dari sistem pengembangan usaha perikanan tangkap pada suatu wilayah tertentu. Sistem pengembangan dimulai dengan melakukan evaluasi potensi sumber daya dari komoditas ikan unggulan berbasis pasar. Selanjutnya, ditentukan jumlah optimum dari setiap jenis unit penangkapan ikan unggulan yang ada berdasarkan aspek teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan serta adanya analisis terhadap konflik yang terjadi di perairan Bengkalis Provinsi Riau. Walaupun setiap komponen utama ini memiliki fungsi dan peran tersendiri, namun setiap komponen usaha perikanan tangkap tidak dapat berdiri sendiri, karena adanya saling keterkaitan antara satu dengan lainnya. Terwujudnya pengelolaan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik juga memerlukan dukungan aspek kelembagaan. Lebih jelasnya disajikan pada Gambar 40. 193

Gambar 40 Sistem pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik (SIPUTREFIK). 194

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam sistem pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik (SIPUTREFIK) adalah : 1) Potensi sumber daya perikanan tangkap unggulan masih layak untuk dikembangkan 2) Nilai parameter dan koefisiennya dapat diketahui secara pasti (deterministik) 3) Pelaku dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap memiliki keinginan untuk melakukan pengembangan usaha perikanan tangkap di wilayahnya 195