VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

BAB 8 STRATEGI PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya otonomi daerah. Sebelum menerapkan otonomi daerah,

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 65 TAHUN 2006 TENTANG TAMBAHAN BANTUAN PAJAK HOTEL DAN PAJAK RESTORAN

BAB 5 BAB V SIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN ANGGARAN 2007

ANALISIS ALOKASI BELANJA LANGSUNG PADA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 41 TAHUN 2006 TENTANG

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Kalimantan Utara Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengujian dan analisis yang telah dilakukan mengenai

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

M. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA Kediri

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB V PENUTUP. dengan rencana yang telah dibuat dan melakukan pengoptimalan potensi yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

ANALISIS PADA CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN KABUPATEN KUDUS DAN KABUPATEN JEPARA TAHUN ANGGARAN Oleh : Yusshinta Polita Gabrielle Pariury

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. daerah masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan salah satu

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2010

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 44 TAHUN 2007 TENTANG

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Disusun Oleh : NPM : Pembimbing : Dr. Emmy Indrayani

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 30 TAHUN 2005 TENTANG

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN 2015

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

Pemerintah Provinsi Bali

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

Lampiran 1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Tahun (Juta Rupiah).

Transkripsi:

205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah yang telah diuraikan secara terinci pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan basis spasial dan kinerja perekonomiannya dapat dikelompokkan menjadi tiga wilayah. Tiga wilayah tersebut adalah Sumatera, Jawa-Bali, dan wilayah Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Nusa Tenggara (KSPN). Pengelompokkan ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan pembangunan daerah. 2. Jumlah PAD per tahun per wilayah sangat bervariasi dari 457.41 milliar rupiah di wilayah KSPN sampai dengan 2.98 trilliun rupiah di wilayah Jawa- Bali. Demikian juga besarnya jumlah Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Dana Alokasi Umum tertinggi di wilayah Jawa- Bali yaitu sebesar 7.66 trilliun rupiah dan terendah di wilayah KSPN sebesar 3.11 trilliun rupiah. Untuk Dana Alokasi Khusus yang tertinggi di wilayah KSPN 394.24 milliar rupiah dan terendah sebesar 297.97 milliar rupiah di wilayah Sumatera. 3. Kapasitas fiskal yang merupakan penjumlahan dari PAD dengan dana perimbangan jumlah antar wilayahnya bervariasi. Kapasitas fiskal tertinggi dimiliki oleh provinsi-provinsi yang berada di wilayah Jawa Bali, yaitu

206 sebesar 4.28 trilliun rupiah per tahun. Sementara yang terendah adalah di wilayah KSPN hanya sebesar 1.5 trilliun rupiah. 4. Pengeluaran pemerintah tertinggi adalah untuk belanja urusan konstruksi, yaitu sebesar 1.62 trilliun rupiah per provinsi di Wilayah Jawa-Bali. Dalam hal jumlah investasi, provinsi-provinsi di wilayah Jawa-Bali juga menduduki posisi paling tinggi yaitu sebesar 22.98 trilliun rupiah. Sementara yang terendah adalah pada provinsi di wilayah Sumatera yaitu 7.34 trilliun rupiah. 5. Tenaga kerja terbanyak diserap oleh sektor pertanian. Hal ini terjadi di seluruh wilayah. Tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian di wilayah Jawa-Bali mencapai 3.41 juta; di wilayah Sumatera dan Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa-Tenggara Barat (KSPN) masing masing mencapai 1.18 juta dan 779.76 ribu tenaga kerja. Secara total jumlah tenaga kerja yang bekerja di wilayah Jawa-Bali mencapai 9.25 juta sementara di Sumatera dan wilayah KSPN masing-masing mencapai 2.148 juta dan 1.33 juta tenaga kerja. 6. IPM tertinggi adalah 70.96 yang terjadi di provinsi-provinsi pada wilayah Sumatera dan yang terendah di wilayah KSPN, yaitu sebesar 67.26. Sedangkan jumlah penduduk miskin terbanyak di provinsi wilayah Jawa- Bali, yaitu sebesar 3.48 juta orang dan yang terendah adalah di provinsi pada wilayah KSPN, yaitu sebesar 653.44 ribu orang. 7. Besarnya pajak dipengaruhi oleh besarnya PDRB, jumlah kendaraan bermotor dan jumlah penduduk. Besarnya retribusi dipengaruhi oleh PDRB dan jumlah kendaraan bermotor. Bagi hasil pajak dipengaruhi oleh PDRB

207 dan luas wilayah. Sementara dana alokasi umum dipengaruhi oleh besarnya PDRB per kapita kapasitas fiskal dan jumlah penduduk. 8. Penyerapan tenaga kerja sektoral secara umum dipengaruhi oleh upah sektoral dan PDRB sektoral. Sementara upah sektoral dipengaruhi oleh tenaga kerja sektoral dan upah sektor lain yang bersesuaian. 9. Besarnya PDRB sektoral dipengaruhi dengan tenaga kerja sektoral dan besarnya belanja sektoral. PDRB sektor pertanian dipenaruhi oleh jumlah tenaga kerja sektor pertanian, belanja sektor pertanian, dan investasi. Demikian juga PDRB konstruksi dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja sektor konstruksi, belanja sektor konstruksi dan investasi. PDRB sektor industri dipengaruhi oleh tenaga kerja sektor industri, belanja sektor industri dan investasi. 10. Besarnya investasi yang merupakan investasi pemerintah dan swasta dipengaruhi oleh besarnya nilai PDRB, jumlah penerimaan pajak pemerintah, dan tingkat suku bunga. Sedangkan tingkat konsumsi rumahtangga dipengaruhi oleh pendapatan disposibel, jumlah penduduk, dan suku bunga. 11. Pada blok IPM dan kemiskinan, IPM dipengaruhi oleh konsumsi per kapita dan rata-rata lama sekolah di daerah yang bersangkutan. Jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh PDRB, tingkat inflasi dan jumlah penduduk. Selanjutnya rata-rata lama sekolah dipengaruhi oleh PDRB per kapita, belanja sektor pendidikan, dan belanja sektor kesehatan serta jumlah penduduk miskin. 12. Investasi dan pengeluaran pemerintah daerah merupakan faktor yang mempengaruhi perekonomian daerah pada era otonomi termasuk dalam

208 mempengaruhi indikator kesejahteraan masyarakat. Secara umum, peningkatan investasi sebesar 10 persen memberikan dampak paling besar terhadap kinerja perekonomian daerah dibanding peningkatan belanja sektoral. Kinerja perekonomian daerah yang dimaksud dalam hal ini antara lain adalah meningkatnya nilai PDRB, meningkatnya penyerapan tenaga kerja, meningkatnya penerimaan daerah. Selain itu indikator kesejahteraan masyarakat juga semakin membaik yang ditandai dengan membaiknya indikator kesejahteraan masyarakat seperti IPM dan menurunnya jumlah penduduk miskin. 13. Besarnya pengeluaran pemerintah untuk pembangunan daerah diramalkan juga berdampak besar terhadap perekonomian daerah. Dampak meningkatnya belanja pertanian terhadap perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat diramalkan lebih besar dibandingkan dengan dampak peningkatan belanja industri dan belanja konstruksi. 14. Berdasarkan peramalan, dampak yang paling besar terhadap perekonomian daerah dan indikator kesejahteraan masyarakat adalah jika jumlah investasi dinaikkan 10 persen di daerah tersebut meningkat dan dibarengi dengan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian, indsutri, dan konstruksi yang besarnya diseleksi dengan cermat dan dilakukan secara simultan. 15. Peningkatan belanja sektor pendidikan sebesar 5 persen dan belanja sektor kesehatan sebesar 10 persen meningkatan IPM dan rata-rata tahun sekolah paling tinggi di wilayah Jawa-Bali, yaitu masing-masing sebesar 0.28 persen dan 0.85 persen.

209 16. Kebijakan agar rancangan peraturan daerah tentang rencana anggaran dan pendapatan belanja daerah provinsi untuk dievaluasi seperti yang diamanatkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berpengaruh nyata terhadap peningkatan alokasi belanja pertanian, industri dan konstruksi. 8.2. Implikasi Kebijakan 1. Untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah dan antar provinsi di Indonesia pada era otonomi dan desentralisasi fiskal ini diiperlukan kebijakan desentralisasi fiskal yang spesifik dan mendasarkan kebutuhan dan karakteristik daerah masing-masing. Berkaitan dengan hal tersebut pengelompokan provinsi-provinsi menjadi tiga wilayah, yaitu Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara Barat (KSPN) dapat menjadi salah satu alternatif yang penting. 2. Untuk meningkatkan belanja pemerintah daerah guna peningkatan kesejahteraan masyarakatnya diperlukan peningkatan kapasitas fiskal daerah. Hal ini didasarkan bahwa belanja merupakan fungsi dari penerimaan daerah. Sejalan dengan hal tersebut intensifikasi penerimaan dari pajak, retribusi dan dana bagi hasil menjadi strategis. Untuk itulah diperlukan kebijakan untuk meningkatkan penerimaan dari sektor tersebut melalui mengurangi kebocoran pajak dan peningkatan pelayanan terhadap wajib pajak. 3. Selain itu, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan peningkatan investasi karena peningkatan investasi dibutuhkan untuk peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, peningkatan angka Indeks

210 Pembangunan Manusia, peningkatan penyerapan tenaga kerja, dan pengurangan jumlah penduduk miskin. Sejalan dengan hal ini maka pemerintah daerah disarankan untuk menyusun kebijakan investasi yang komprehensif. 4. Secara umum peningakatan belanja pertanian mempunyai dampak yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan belanja sektoral yang lain. Oleh karena itu, maka diperlukan kebijakan alokasi anggaran pertanian yang berkualitas terutama dalam penyusunan kegiatan di sektor ini. 5. Investasi memberikan dampak yang lebih besar terhadap kinerja perekonomian daerah. Selain itu, belanja pertanian juga memberikan dampak yang lebih besar terhadap kinerja perekonomian daerah. Oleh karena itu, investasi yang prospektif diarahkan ke sektor pertanian agar membawa dampak yang optimal kepada kesejahteraan daerah. 6. Belanja sektor pertanian, sektor industri dan konstruksi mempengaruhi kinerja perekonomian daerah. Untuk menghasilkan hasil yang optimal maka diperlukan seleksi yang profesional dalam penyusunan kegiatan agar kegiatan dapat bermanfaat maksimal kepada masyarakat. Untuk itu para penyusun kegiatan perlu memedomani dokumen perencanaan seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah. 7. Besarnya pengeluaran pemerintah daerah sangat ditentukan oleh besarnya penerimaan daerah. Struktur penerimaan daerah masih didominasi oleh DAU yang merupakan dana transfer dari pemerintah pusat. Untuk kelanggengan kapasitas fiskal daerah diperlukan peningkatan penerimaan dari Pendapatan

211 Asli Daerah (PAD). Sejalan dengan hal ini maka intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, retribusi perlu ditingkatkan terutama terhadap faktor yang mempengaruhi pajak dan retribusi tersebut. 8. Optimalisasi belanja sektoral sangat diperlukan guna peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk itu evaluasi terhadap RAPBD sebelum menjadi dokumen APBD. Hal ini dimaksudkan agar APBD yang telah disusun benar-benar mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Hal ini sejalan dengan kebijakan evaluasi atas rancangan peraturan daerah yang telah disepakati oleh pemerintah provinsi dan DPRD seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. 8.3. Saran Penelitian Lanjutan Penelitian ini mempunyai banyak keterbatasan seperti telah diuraikan pada Bab I. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih komprehensif dan hasilnya dapat optimal sesuai dengan spesifikasi daerah penelitian, maka beberapa masukan berikut ini dapat menjadi pertimbangan untuk penelitian dengan topik otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dalam hubungannya dengan kinerja perekonomian daerah. 1. Pada penelitian ini tidak dibahas secara mendalam tentang faktor lain yang diduga kuat mempengaruhi kinerja pereknomian daerah tetapi belum dimasukkan sebagai variabel penentu dalam penelitian ini, seperti dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sejalan dengan hal tersebut maka diharapkan ada penelitian lanjutan kaitannya dengan pengaruh dana tersebut terhadap kinerja perekonomian daerah.

212 2. Penelitian ini belum membahas peran komponen ekspor dan impor antar daerah dengan berbagai alasan. Sejalan dengan hal ini maka diperlukan penelitian lanjutan dengan memasukan variabel ini sebagai salah satu variabel penting dalam mempengaruhi kinerja perekonomian daerah. 3. Untuk memperoleh hasil yang komprehensif, maka diperlukan pendekatan dengan memasukkan aspek lain seperti politik, sosial-budaya, ketentraman, ketertiban, akuntabilitas, dan konsistensi dalam akuntansi keuangan daerah terutama dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan daerah agar hasil yang diperoleh lebih menggambarkan kondisi yang sebenarnya. 4. Topik penelitian peran investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah perlu dilakukan lebih komprehensif dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Dengan demikian maka para penyusun kebijakan dapat mempunyai banyak alternatif kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah pada era otonomi.