VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1 Kesimpulan 1. Model DICE ( Dinamic Integrated Model of Climate and the Economy) adalah model Three Boxes Model yaitu suatu model yang menjelaskan dampak emisi gas CO 2 terhadap pemanasan global dan perubahan iklim karena meningkatnya konsentrasi emisi gas CO 2 di atmosfir. Meningkatnya konsentrasi emisi gas CO 2 akan berdampak pada meningkatnya radiative forcing yang ditandai dengan meningkatnya suhu rata-rata permukaan global. Kenaikan suhu ratarata global akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi setiap negara melalui perubahan output nasional (GDP). Pajak emisi gas CO 2 atau pajak karbon untuk Indonesia dapat dijelaskan melalui model DICE yang telah dimodifikasi dan variabel dalam model disesuaikan dengan kondisi Indonesia. 2. Simulasi model juga menunjukkan bahwa makin besar nilai rate of social time preference (R) maka semakin tinggi kenaikan suhu rata-rata permukaan global dan semakin kecil pajak emisi yang dikenakan untuk setiap unit bahan bakar dan semakin kecil level pengendalian (control rate) yang diperlukan. 3. Hasil simulasi model dengan program GAMS ( General Algebraic Modelling System ) menunjukkan bahwa pada skenario optimal dengan rate social time preference sebesar 3% maka tingkat pendapatan per kapita tidak mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kondisi Base Case yaitu suatu kondisi dimana GDP bertumbuh sebesar 5% per tahun dan pertumbuhan penduduk sebebsar 1,2% per tahun. Pada skenario optimal pajak karbon untuk BBM akan berada pada kisar USD 54,2 USD 8714 untuk periode 1990-2019 dan pajak emisi gas CO 2 akan berada pada kisar USD 0,00 USD 2376 per ton. Sedangkan untuk batubara pajak emisi gas CO 2 berada pada kisar USD 0,00 USD 4373,2 per ton batubara. Nilai tersebut ekivalen dengan USD 0,00
122 USD 5,20 per liter untuk emisi gas CO 2 bahan bakar minyak. Pendapatan per kapita pada skenario optimal berada dibawah skenario base, tetapi masih berada diatas skenario reduction. 4. Berdasarkan analisis sensitivitas dengan menggunakan berbagai nilai rate of social time preference (R), maka output dari model menunjukkan bahwa nilai social time preference 5% dan 6% memberikan nilai pajak optimal yang rendah relatif dibandingkan jika menggunakan nilai dari R3% (gambar 80). Jika kondisi optimal dengan R3% akan dipakai sebagai suatu skenario, maka level pengendalian terhadap emisi dari kondisi yang ada pada saat ini berada pada level 40-99%. Dengan menggunakan skenario ini maka hampir sepanjang tahun selama periode 1990 2019 level pengendalian tersebut berada pada kisar 40-99% (lihat gambar 82). Dengan nilai R 5% pada skenario optimal hasil simulasi menunjukkan tingkat GDP lebih tinggi relatif jika model mengunakan nilai R6% tetapi lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan R3%. Pendapatan per kapita pada skenario optimal dengan nilai R5% dan 6% masih berada diatas rata-rata skenario Base Case (gambar 84) sedangkan pendapatan menggunakan nilai R5% sedikit berada diatas 5. R6%. Berdasarkan output model dengan skenario optimal biaya abatement berkisar antara 0,1-6,7% dari GDP untuk periode 1990-2019. Pajak karbon berada pada kisar USD 3,90 USD 40,35 per ton karbon atau pajak emisi gas CO 2 sama dengan USD 1,06 USD11,00 per ton. Besarnya pajak emisi gas CO 2 tersebut ekivalen dengan USD 0,002 USD 0,024 per liter BBM untuk periode tahun 1990-2019. Pajak emisi gas CO 2 untuk batubara berada pada kisar USD 1,959 USD 20,251 per ton. 6. Berdasarkan estimasi tren emisi gas CO 2 Indonesia untuk periode 1990-2019, maka perkiraan penerimaan pajak emisi CO 2 pada kondisi optimal untuk sektor BBM adalah antara USD 232,52 juta USD 1.585,6 juta per tahun dan penerimaan pajak CO 2 yang berasal dari
123 batubara berkisar antara USD 81,4 juta USD 777,219 juta untuk periode yang sama. Perkiraan total penerimaan untuk BBM dan batubara berkisar USD 457,6 juta USD 2.362,8 juta untuk periode tahun1990-2019 (gambar 88). 7. Variabel kebijakan MIU ( μ ) untuk nilai R5% pada skenario optimal berada pada kisar 0,2 0,8 ( 20% -80%). Artinya jika pembuat kebijakan akan memilih skenario optimal, pengurangan emisi dari kondisi yang ada pada saat ini akan berada pada kisar 20% sampai dengan 80 % untuk periode 1990-2019. Selama periode 2012 sampai 2016 nilai MIU(μ) berada pada kisar 60-100% 8. Total konsumsi bahan bakar terhadap penduga parameter 89% dapat diterangkan oleh variabel bahan bakar dan pendapatan. Koefisien diterminasi antara bahan bakar dan total konsumsi adalah sebesar 82,5% dan koefisien antara total konsumsi terhadap pendapatan sebesar 72,8%. Model ekonometrik juga menjelaskan bahwa harga bahan bakar tidak elastis terhadap total konsumsi. 6.2 Implikasi Kebijakan 1. Emisi antropogenik yang disebabkan oleh bahan bakar minyak (BBM) yang berupa emisi gas CO 2 pada saat ini terus meningkat. Indonesia tidak termasuk kedalam negara yang harus mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama CO 2 sebagai mana yang telah ditetapkan dalam Protokol Kyoto, tetapi Indonesia sudah meratifikasi protokol tersebut sebagai komitmen dalam bekerja sama dengan negara lain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Penurunan tingkat emisi oleh suatu negara tidak memiliki dampak pada berkurangnya konsentrasi CO 2 di atmosfir, hal ini berimplikasi bahwa tingkat penurunan tersebut harus dilakukan melalui komitmen bersama oleh semua negara penghasil emisi gas rumah kaca khususnya emisi gas CO 2.
124 2. Sebagai salah satu intrumen ekonomi, maka pajak emisi gas CO 2 atau pajak karbon dapat digunakan sebagai alternatif dari kebijakan pengawasan dan pengendalian (command and control) yang ada pada saat ini. Dengan adanya pajak emisi gas CO 2 atau pajak karbon terhadap bahan bakar minyak dan batubara, maka setiap individu diharapkan dapat bertanggung jawab dan bijaksana dalam menggunakan setiap unit BBM. Sebagai salah satu faktor untuk penghematan energi, maka pajak emisi gas CO 2 atau pajak karbon diharapkan dapat merubah pola konsumsi masyarakat terhadap energi khususnya BBM. Faktor lain yang akan mempengaruhi penghematan energi adalah perubahan teknologi. Dengan instrumen ekonomi yang berupa pajak emisi maka pencemar memiliki pilihan dan tidak harus mengganti alat produksi atau peralatan yang ada pada saat ini karena adanya penerapan peraturan yang bersifat perintah dan awasi (command and control), peralatan yang lama dapat tetap dioperasikan sejauh pencemar memberikan kompensasi dari konsekuensi tindakan yang diambil melalui pembayaran pajak emisi. Dengan mekanisme pajak emisi, penggantian peralatan, mesin-mesin produksi dan kendaraan dapat dilakukan secara bertahap dengan tetap melakukan efisiensi energi dan mengurangi kerusakan lingkungan. Hal ini sulit dilakukan jika pembuat kebijakan hanya 3. menggunakan Dengan adanya instrumen pajak karbon regulasi atau yang pajak bersifat emisi top-down. gas CO 2, maka setiap individu akan mencari keseimbangan dimana konsumen akan menggunakan setiap peralatan produksi yang hemat energi tetapi disisi lain pihak produsen akan berusaha untuk melakukan penelitian dan pengembangan didalam menemukan efisiensi penggunakan BBM secara terus menerus jika mereka menginginkan produk mereka akan tetap berada dipasaran. Pajak emisi gas CO 2 akan memberikan signal kepada masyarakat untuk berpindah dari BBM kepada energi alternatif. Hal ini disebabkan karena bekerjanya mekanisme harga. Perubahan harga akan mempengaruhi perubahan teknologi melalui
125 proses peningkatan penelitian dan pengembangan dari energi yang berbasis karbon kepada yang bukan karbon. 4. Yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan bahwa pendapatan pajak karbon atau emisi tidak dapat diberlakukan sebagai kebijakan fiskal sebagaimana pendapatan yang diterima oleh negara dari sumber pajak yang ada pada saat ini. Pendapatan pajak emisi harus disiklus ulang melalui mekanisme khusus yang bertujuan agar penghasilan tersebut dapat digunakan untuk kegiatan lingkungan, seperti memberikan insentif kepada pihak-pihak yang mengembangkan energi substitusi, kemudahan impor bagi pihak manufaktur yang melakukan produksi bersih, lembaga penelitian ataupun perguruan tinggi yang melakukan penelitian efisiensi energi dan pihak produsen yang dengan kesadarannya ikut mengurangi emisi. 6. Emisi merupakan eksternalitas negatif, maka dengan pendapatan dari pajak emisi gas CO 2 eksternalitas tersebut dapat dikompensasi kepada pihak yang paling dirugikan. Pihak masyarakat yang rentan terhadap dampak eksternalitas tersebut pada umumnya adalah masyarakat yang pendapatannya rendah. Kompensasi ini dapat diberikan seperti pembebasan biaya sekolah dan kesehatan. 7. Pajak sudah dipastikan akan menghilangkan subsidi. Subsidi energi yang diberikan pemerintah saat ini bukan merupakan jalan keluar untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, karena biaya BBM yang murah dalam jangka panjang akan menjadi beban Nasional. BBM yang murah mengakibatkan banyak energi terbuang dan membuat kebiasaan pemborosan energi yang sulit dirubah. Penghilangan subsidi hanya akan berdampak dalam jangka pendek, karena berdasarkan output model penelitian pajak emisi tidak menurunkan pendapatan per kapita masyarakat. 8. Pembuat kebijakan memiliki opsi didalam menerapkan pajak emisi, karena pajak karbon seharusnya diterapkan dihulu (upstream)
126 sedangkan pajak emisi gas CO 2 terhadap konsumen akhir. Jika pajak diterapkan dihulu, maka itu sama artinya dengan menaikkan per satuan unit BBM atau energi sebelum dipakai oleh konsumen di hilir. Pilihan lain adalah pajak dapat dikenakan sesuai dengan proporsi tingkat emisi yaitu dengan menggunakan pajak karbon di hulu dan pajak emisii gas CO 2 pada konsumen akhir. 9. Hasil dari model ekonometri menunjukkan bahwa BBM dalam hal ini bensin dan solar secara statistik memiliki elastisitas lebih kecil dari satu (0,130) terhadap konsumsi BBM. Jika harga BBM naik sebesar 1%, maka tingkat konsumsi hanya akan berpengaruh sebesar 0,130 %. Hal ini merupakan signal penting bagi pembuat kebijakan karena kenaikan harga energi yang disebabkan oleh pajak emisi gas CO 2 tidak berdampak signifikan terhadap konsumsi energi. Informasi ini penting bagi Pemerintah dalam menerapkan kibijakan pajak. Pemerintah memiliki pilihan apakah pajak akan diberlakukan sebagai penghasilan pendapatan negara atau bertujuan untuk perbaikan lingkungan. 10. Karena sifatnya yang transparan, maka pajak emisi adalah lebih mudah terlihat dibandingkan dengan pembatasan emisi melalui command and control, maka mengenalkan pajak emisi gas CO 2 sebagai suatu instrumen baru akan lebih sulit dari pada merubah kebijakan yang ada pada saat ini. Proses ini yang memerlukan dukungan politik dari semua lembaga terkait termasuk masyarakat. Pajak emisi akan memicu pihak industri menjadi penentang utama, terutama dari kelompok industri yang sangat berpengaruh, karena industri merupakan konsumen energi terbesar. Oleh karena itu perlu sosialisasi yang baik dan waktu yang cukup didalam mengenalkan instrumen pajak emisi gas CO 2. 11. Model penelitian ini menggunakan variabel total faktor produktivity (TFP) sebagai variabel eksogen. Disarankan untuk dilakukan
127 penelitian lanjutan untuk mencari nilai TFP dengan cara menjadikan variabel ini sebagai variabel endogen yang spesifik untuk Indonesia. 12. Penelitian lebih lanjut juga perlu dilakukan untuk mencari nilai exponent cost control function (b 2 ) yang paling sesuai untuk Indonesia. Faktor exponent of cost control function sebesar 2,887 akan berpengaruh dalam menentukan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi kerusakan sebagai fraksi dari pengeluaran nasional.