BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Kecamatan Ambarawa Kecamatan Bandungan Kecamatan Sumowono 4824 ha. Sumowono. Bawen. Bergas.

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 4.5 Kriteria Panen, Penilaian Tingkat Kematangan Secara Visual

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

SALURAN DISTRIBUSI JAMUR TIRAM PUTIH DI P4S CIJULANG ASRI DALAM MENINGKATKAN KEUNTUNGAN. Annisa Mulyani 1 Sri Nofianti 2 RINGKASAN

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA

Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah

APLIKASI COMMODITY SYSTEM ASSESSMENT METHOD PADA PENANGANAN PASCAPANEN JERUK KEPROK (Citrus reticulata) DARI KECAMATAN PUPUAN SAMPAI DENPASAR.

DISTRIBUSI DAN PENANGANAN PASCAPANEN KACANG PANJANG

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

HASIL DAN PEMBAHASAN

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN

POLA DISTRIBUSI PEMASARAN CABAI ( STUDI KASUS DI TIGA KECAMATAN KABUPATEN SEMARANG ) Oleh : SKRIPSI PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

BAB III METODE PENELITIAN. ke konsumen membentuk suatu jalur yang disebut saluran pemasaran. Distribusi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN

8.2. PENDEKATAN MASALAH


POLA PERJALANAN KERJA PEDAGANG SAYURAN (Kasus pada Wanita Pedagang Sayuran di Pasar Ungaran Kabupaten Semarang) Abstract PENDAHULUAN

PENANGANAN PASCA PANEN

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN SAYURAN WORTEL DI SUB TERMINAL AGRIBISNIS (STA) KABUPATEN KARANGANYAR

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Banjar termasuk salah satu wilayah di Kecamatan Banjar Kabupaten

TATA NIAGA SALAK PONDOH (Salacca edulis reinw) DI KECAMATAN PAGEDONGAN BANJARNEGARA ABSTRAK

MEMPELAJARI JALUR DISTRIBUSI DAN PENANGANAN PASCAPANEN STRAWBERRY DARI KECAMATAN BATURITI KE KOTA DENPASAR.

I. PENDAHULUAN. (b) Mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

KUESIONER 7. LAMPIRAN. Lampiran 1. Kuesioner untuk Petani Kepada Yth. Ibu/Bapak/Saudara Responden Di tempat

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah

ANALISIS TATANIAGA BERAS

TEKNOLOGI PRODUKSI BAWANG MERAH OFF-SEASON MENGANTISIPASI PENGATURAN IMPOR PRODUK B. MERAH. S u w a n d i

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi bagi tingkat inflasi di beberapa wilayah di Indonesia. Solopos

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PEMASARAN CABAI MERAH (Capsicum annum) DI DESA GOMBONG KECAMATAN BELIK KABUPATEN PEMALANG ABSTRAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PERKEMBANGAN KOMODITAS STRATEGIS 2015

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

BAB I PENDAHULUAN. adalah jamur konsumsi (edible mushroom). Jamur konsumsi saat ini menjadi salah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan oleh pelaku industri karena merupakan salah satu bahan pangan

METODE PENELITIAN. dengan menggambarkan atau menjelaskan suatu obyek kelompok secara detail

Herman Subagio dan Conny N. Manoppo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah ABSTRAK

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BAWANG MERAH DI KECAMATAN GERUNG KABUPATEN LOMBOK BARAT

[GROUPER FAPERIK] April 1, 2014

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data strategis Kabupaten Semarang tahun 2013, produk sayuran yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VI SISTEM KEMITRAAN PT SAUNG MIRWAN 6.1 Gambaran Umum Kemitraan Kedelai Edamame PT Saung Mirwan sangat menyadari adanya keterbatasan-keterbatasan.

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. ditanam di lahan kering daerah pengunungan. Umur tanaman melinjo di desa ini

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya didukung oleh pertanian. Salah satu produk pertanian Indonesia

PENANGANAN PASCA PANEN MANGGIS. Nafi Ananda Utama. Disampaikan dalam siaran Radio Republik Indonesia 20 Januari 2017

ANALISIS MARJIN PEMASARAN JERUK SIAM (Citrus nobilis) PETANI DI DESA MUARA RENGAS KECAMATAN MUARA LAKITAN

PERDAGANGAN KOMODITAS STRATEGIS 2015

BAB III DATA TENTANG GAMBARAN UMUM PRAKTIK JUAL BELI BAWANG MERAH KELILING DI KECAMATAN BABADAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi dalam upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. barangnya ke pemakai akhir. Perusahaan biasanya bekerja sama dengan perantara untuk

ANALISIS PEMASARAN LADA PERDU (Studi Kasus di Desa Marga Mulya Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis) Abstrak

III KERANGKA PEMIKIRAN

ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, hilangnya lahan sawah akibat

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. didominasi oleh usaha tani kecil yang dilaksanakan oleh berjuta-juta petani yang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERAN PEDAGANG PENGUMPUL DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA. Husnarti Dosen Agribisnis Faperta UMSB. Abstrak

BAB V GAMBARAN UMUM WILAYAH

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman cabai yang memiliki nama ilmiah Capsicum annuuml. ini berasal dari

Nurida Arafah 1, T. Fauzi 1, Elvira Iskandar 1* 1 Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

BAB I PENDAHULUAN. ditingkatkan nilai tambah, daya saing dan ekspornya adalah produk hortikultura.

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. Bruto (PDB) Indonesia, dan berperan penting dalam perekonomian nasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN JAMBU AIR DI DESA MRANAK KECAMATAN WONOSALAM KABUPATEN DEMAK

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. sebagian penduduk indonesia berprofesi sebagai petani. Perkembangan komoditas

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

PEMETAAN STRUKTUR PASAR DAN POLA DISTRIBUSI KOMODITAS STRATEGIS PENYUMBANG INFLASI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang subur tanahnya dan berada di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IX ANALISIS PEMASARAN PEPAYA SPO DAN PEPAYA NON SPO. memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen.

Transkripsi:

BAB. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Secara administratif Kabupaten Semarang terbagi menjadi 19 Kecamatan, 27 Kelurahan dan 208 desa. Batas-batas Kabupaten Semarang adalah sebelah utara berbatasan dengan Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Boyolali. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Magelang. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Kendal. Dalam bab sebelumnya peneliti memberi batasan wilayah untuk diteliti. Penelitian ini hanya membatasi tiga kecamatan saja yakni: Ambarawa, Bandungan dan Sumowono. Berikut gambaran umum mengenai keadaan di tiap Kecamatan dapat dilihat pada tabel 4.1 Tabel 4.1 Gambaran Umum Kecamatan Ambarawa, Bandungan dan Sumowono. Penelitian Kecamatan Ambarawa Kecamatan Bandungan Kecamatan Sumowono -Luas areal 4840,020 ha. 4824 ha. 1345 ha -Pembagian Terbagi menjadi 8 Terbagi menjadi 1 Terbagi menjadi 16 desa. desa kelurahan dan 2 desa. kelurahan dan 9 desa. -Jumlah 56.570 jiwa 50.611 jiwa 31.735 jiwa penduduk -Batas wilayah Sebelah barat = Kec. Sebelah barat = Kec. Sebelah barat = Kab. Jambu Sumowono Temanggung Sebelah timur = Kec. Sebelah timur = Kec. Sebelah timur = Kec. Bawen Bawen Bandungan Sebelah utara = Kec. Sebelah utara = Kec. Sebelah utara = Kab. Kendal Bandungan Bergas Sebelah selatan = Kab. Sebelah selatan = Kec. Sebelah selatan = Kec. Temanggung dan Kec. Jambu Banyu Biru Ambarawa Sumber : Data Sekunder ( BPS 2010, Kabupaten Semarang) 4.2. Gambaran Umum Partisipan dan Key Informant 4.2.1 Partisipan Dalam penelitian ini terdapat 9 orang sebagai partisipan, diantaranya 3 petani dan 6 pedagang perantara yang meliputi pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang 12

pengecer. Partisipan tersebut ditetapkan sesuai dengan kriteria umum yaitu petani Cabai, sudah menekuni usahataninya dengan pengalaman menjadi petani lebih dari 15 tahun, sedangkan Pedagang perantara Cabai memiliki pengalaman berdagang minimal 3 tahun. Selain itu ada kriteria khusus yaitu partisipan mampu untuk menjawab setiap pertanyaan dalam kuisioner yang diberikan secara menyakinkan dan berwawasan luas. Berdasarkan kriteria tersebut, maka ditetapkan bahwa para partisipan yang akan menjadi obyek penelitian adalah bapak Puji Slamet, ibu Pariah atau ma tofah, bapak Sarrodin, ibu Sri Rumiati, ibu Siti Nuraini, ibu Kotimah,ibu Ngatinem, Mak yem atau Ngatiyem dan bapak Mujianto. Hal tersebut dapat dilihat data umum partisipan berdasarkan tabel 4.2. Tabel 4.2 Gambaran Umum Partisipan No. Nama Pendidikan Umur Luas lahan Lama menjadi Pekerjaan (tahun) petani/pedagang 1. Puji Slamet SLTA 46 5.000 m² 21 Petani 2. Ma tofah SD 54 2.500 m² 35 Petani 3. Sarrodin SLTA 59 3.400 m² 45 Petani 4. Sri Rumiati Tidak sekolah 50-6 Pedagang pengecer 5. Ngatinem SD 40-4 Pedagang pengecer 6. Siti Nuraini SLTA 42-3 Pedagang grosir 7. Mak yem Tidak sekolah 60-21 Pedagang grosir 8. Kotimah SD 43-5 Pedagang pengumpul 9. Mujianto SLTP 30-5 Pedagang pengumpul Sumber : Data Primer, 2011 Berdasarkan tabel 4.2 diketahui usia partisipan petani dan pedagang ditiga kecamatan kabupaten Semarang pada sampel yang didapat berkisar antara 42 60 tahun. Dengan luas lahan berkisar antara 2.500-5.000m² dari keseluruhan partisipan, telah memiliki pengalaman menjadi petani berkisar antara 21-45 tahun sedangkan pedagangnya berkisar antara 3-21 tahun. Pada jenjang pendidikan, terdapat berbagai macam partisipan yang berpendidikan rendah maupun tinggi mulai dari yang tidak sekolah hingga tamatan SLTA. Hal ini terjadi karena adanya syarat atau kriteria umum maupun khusus yang dipakai oleh peneliti untuk mempermudah proses penelitian. Semisal ibu Sri Rumiati beliau saat diwawancarai mengaku tidak pernah sekolah 13

karena faktor lingkungan dimasa kecilnya, tetapi beliau diajari oleh teman dan orang tua untuk belajar membaca dan menulis. Meskipun beliau tidak sekolah, tetapi sesuai kriteria beliau dapat dipilih sebagai partisipan, sama seperti Mak yem. Beliau juga tidak pernah merasakan duduk dibangku sekolah tetapi karena orang tuanya sebagai pedagang maka Mak yem belajar dari kedua orang tuanya sehingga beliau lebih berpengalaman. 4.2.2 Key Informant Untuk pengambilan data, selain dari para partisipan di atas diambil juga data dari para key informant yang bertujuan untuk melengkapi dari hasil wawancara dengan para partisipan. Data umum mengenai key informant dapat dilihat dari tabel 4.3 dibawah ini: Tabel 4.3 Gambaran umum key informant Nama Keterangan Kecamatan Didik Cahyadi Wakil ketua kelompok tani Albarokah Ambarawa Dedi Suhanto Ketua kelompok tani Kuda Manunggal Ambarawa Rosamaji Ketua kelompok tani Subur Makmur Bandungan Bandhi Anggota Kelompok tani Maju Makmur Sumowono Sumber: Data Primer, 2011 Dari tabel 4.3 yang menjadi key informant dalam penelitian ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti agar lebih terarah. Yang menjadi key informant terdapat ketua, wakil dan anggota dimana orang tersebut dianggap pas dan mampu untuk dipilih sebagai informasi kunci. Pemilihan key informant tidak selalu didasarkan dengan jabatan yang dimiliki, melainkan pengetahuan yang dimiliki. Seperti bapak Bandi, beliau tidak memiliki jabatan sebagai ketua maupun wakil dalam suatu kelompok tani, tetapi oleh masyarakat sekitar beliau dianggap sebagai panutan dalam teknik budidaya serta penyalurannya sehingga peneliti memilihnya sebagai key informant. 4.3. Pola Distribusi Pemasaran Cabai Pola distribusi adalah rute dan status kepemilikan yang ditempuh oleh suatu komoditas ketika Cabai ini mengalir dari penyedia produk melalui petani sampai ke konsumen akhir. Pola ini terdiri dari pedagang perantara yang memasarkan komoditas Cabai dari petani sampai ke konsumen (Dillon, 2007). Menurut Kartasapoetra (1986), pemasaran produk pertanian harus menjamin agar produk tersebut dapat cepat tersalurkan, mengingat produk tersebut cepat busuk 14

dan rusak, sehingga ketepatan dalam penggunaan pedagang perantara perlu diperhatikan. Dari hasil penelitian di kabupaten Semarang ditemukan pola distribusi pemasaran Cabai seperti pada gambar 4.1 sebagai berikut: PETANI PEDAGANG PENGUMPUL GROSIR PENGECER KONSUMEN Gambar 4.1 Pola Distribusi Pemasaran Cabai. 4.3.1 Pola Distribusi Panjang Menurut Soekartawi (2001), untuk mata rantai pemasaran panjang, produsen sering menggunakan beberapa pedagang pengumpul sebagai perantara, dalam penyaluran produk kepada pedagang pengumpul ke pedagang grosir yang kemudian menjualnya ke pedagang pengecer dan berakhir ke konsumen. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: Petani Pedagang Pengumpul Grosir Pengecer Konsumen Gambar 4.2 Pola Distribusi Panjang Setiap petani memiliki karakter masing-masing dalam penyaluran Cabainya. Seperti yang dilakukan oleh bapak Sarrodin dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penyalurannya terdapat beberapa jalur untuk memasarkan Cabainya, dengan mempertimbangkan harga tinggi dan kecocokan harga. Penyaluran yang dilakukan oleh bapak Sarrodin merupakan pola distribusi panjang, mengenai hal tersebut terdapat ketentuan hasil panen yang diberikan ke pedagang grosir yakni 15-50 kilogram. Berikut penuturan dari bapak Sarrodin mengenai hal diatas: Sesuai dengan kecocokan harga dalam penyalurannya, saya melakukan penjualan kepedagang pengumpul menurut informasi yang saya dapatkan, selanjutnya akan disalurkan kepedagang grosir di pasar Ngasem, dan berlanjut disalurkan kepedagang pengecer yang ada di daerah Ambarawa, serta untuk menyediakan pedagang keliling di pasar Sumowono dan sekitar rumah saya. Bapak Bandi juga menambahkan mengenai hal diatas berikut penuturannya: Hasil panen Cabai saya jual sendiri dan beberapa pedagang perantara agar dapat tersalurkan ke berbagai daerah tidak hanya di Sumowono, Bandungan dan sekitarnya saja, biasanya bagi pedagang grosir dipasar Ngasem terdapat ketentuan untuk hasil panen 15

15-50 kilogram. Saya selalu mencari informasi harga dari pedagang maupun teman sesama petani. Pedagang pengumpul yang dimaksud yakni ibu Kotimah. Beliau mencari Cabainya dengan terjun langsung ke lokasi penanaman untuk dikumpulkan terlebih dahulu sebelum komoditas Cabai yang dikumpulkan akan dijual ke pedagang grosir. Dalam melakukan pembelian, biasanya pedagang pengumpul langsung membeli hasil produksi Cabai dari petani atau dilokasi panen (Soekartawi, 2001). Berikut penuturan dari ibu Kotimah mengenai hal diatas: Biasanya saya ambil produk Cabai dari para petani disekitar Sumowono. Untuk pengambilan Cabai saya datang langsung ke lapangan baik sawah maupun tempat tinggal petaninya yang nantinya saya jual ke pedagang grosir. Bapak Mujianto menambahkan mengenai hal diatas: Penjualan ke pedagang grosir dapat memberi keuntungan tersendiri baik pihak saya maupun pedagang grosir. Pedagang grosir untuk pasokan Cabai dapat terjamin dengan adanya pedagang pengumpul, karena grosir tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan jumlah Cabai yang memadai. Pedagang grosir yang dimaksud adalah ibu Siti Nuraini sebagai perwakilan pedagang grosir di pasar Ngasem. Ibu Siti untuk mendapatkan komoditas Cabainya, beliau biasanya mengambil dari para pedagang pengumpul langganananya. Dari hasil Cabai yang didapat beliau selalu memperhatikan mutu dan kualitas agar dapat bertahan lama. Untuk penyaluran komoditas Cabai selanjutnya akan dijual ke pedagang pengecer dan berlanjut ke konsumen. Menurut Soekartawi (2001), pedagang grosir pada umumnya menjual ke pedagang pengecer. Berikut penuturan dari ibu Siti Nuraini mengenai hal diatas: Untuk mendapatkan Cabai saya dapat dari para pedagang pengumpul, sehingga dalam penyaluran cabainya akan menjadi lebih lama. Hal ini diperlukan tambahan penanganan khusus untuk menjaga mutu dan kualitasnya yang nantinya saya jual kembali ke pedagang pengecer. Seperti ibu Sri Rumiati agar penjualan dapat berlangsung, beliau akan mengambil dari pedagang grosir apabila tidak ada pasokan dari pedagang pengumpul, maka partisipan menggunakan dua alternatif untuk dapat berjualan yakni dari pedagang pengumpul maupun pedagang grosir. Berikut penuturan dari ibu Sri Rumiati mengenai hal diatas: 16

Untuk memperoleh Cabai yang akan dijual, sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk mengambil Cabai dari pedagang grosir di pasar Ngasem sebagai cadangan bila dari pengumpul tidak ada yang setor atau memasok. Pedagang pengecer banyak terdapat di berbagai daerah konsumsi (Soekartawi, 2001). Seperti yang diungkapkan diatas, yang merupakan salah satu daerah konsumsi Cabai adalah Ambarawa. Para pedagang pengecer di daerah Ambarawa dan sekitarnya dalam memenuhi permintaan konsumen akan komoditas Cabai, biasanya mengambil dari grosir dipasar Ngasem. Pendistribusian yang dilakukan dengan melibatkan beberapa pedagang perantara memberikan kepuasan tersendiri dalam pemasaran Cabai, karena dengan melibatkan beberapa pedagang perantara maka petani dapat diberi pengetahuan mengenai berbagai informasi usahatani Cabai maupun harga dipasaran. Distribusi ini merupakan jalur panjang, karena melibatkan tiga pedagang perantara yakni pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang pengecer. Distribusi semacam ini mempunyai keunggulan yakni: dengan adanya pedagang pengumpul maka akan menjamin pasokan Cabai bagi para pedagang grosir dan dapat menjangkau berbagai daerah yang lebih luas. Sedangkan kelemahannya: dapat memakan waktu lebih lama dan membutuhkan penanganan yang lebih dalam menjaga mutu dan kualitas Cabai tersebut. 4.3.2 Pola Distribusi Menengah Pola distribusi menengah tergolong yang sering di pakai oleh petani untuk mempermudah penjualannya. Menurut Soekartawi (2001), pola ini disebut juga pola tradisional karena hanya memakai pedagang grosir dan pengecer yang banyak digunakan oleh petani. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: Petani Grosir Pengecer Konsumen Gambar 4.3 Pola Distribusi Menengah Menurut Kotler (1997), petani hanya melayani penjualan dalam jumlah besar kepada pedagang grosir. Dari hasil temuan dilapangan menunjukkan bahwa penyaluran yang dilakukan oleh Ma tofah,yang sudah menjadi kebiasaan selalu menjual ke pedagang grosir. Bagi pedagang grosir untuk mendapatkan Cabainya terdapat dua alternatif. Pedagang grosir dapat langsung berhubungan dengan petaninya maupun mengambil dari pedagang pengumpul. Dari hasil temuan 17

dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar petaninya menjual produk Cabai ke pedagang grosir. Untuk menyalurkan Cabainya para pedagang grosir selalu menjamin akan disalurkan ke pedagang pengecer lainnya. Berikut penuturan dari Ma tofah mengenai hal diatas: Dengan memperhatikan mutu dan kualitas hasil Cabai setelah dipanen biasa saya berikan ke pedagang grosir di pasar Ngasem yang selanjutnya akan diecerkan di pasar tradisional yang lain untuk melewati proses distribusi selanjutnya. Bapak Rossamaji juga menuturkan mengenai hal diatas: Hasil panen Cabai biasanya saya memanfaatkan pedagang perantara yakni pedagang grosir di pasar Ngasem, soalnya sudah menjadi kebiasaan baik saya maupun masyarakat sekitar. Apalagi di pasar Ngasem ini merupakan Sub Terminal Agribisnis (STA) sehingga saya berfikiran Cabai saya pasti laku dan terjamin bila saya jual kesana. Melalui pernyataan Ma tofah diatas didukung oleh pendapat dari bapak Rosamaji yakni menjual hasil panen ke pedagang grosir memberi keuntungan, diantaranya dalam proses pendistribusian dimudahkan dalam memasarkan hasil panenanya. Di pasar Ngasem yang merupakan STA yakni tempat berkumpulnya para pedagang grosir sehingga banyak pedagang pengecer yang datang ke pasar tersebut. Selain itu sudah menjadi kebiasaan bagi partisipan setelah panen langsung menjual ke pedagang grosir. Pedagang grosir yang dimaksud adalah ibu Ngatiyem yang lebih akrab dipanggil mak Yem. Beliau berprofesi sebagai pedagang sudah mencapai 21 tahun. Pembelian Cabai selalu dari petaninya langsung di daerah Bandungan, karena kebanyakan petani disana selalu menjual Cabainya dalam jumlah besar dan menjadi kebiasaan untuk memakai pedagang grosir. Berikut penuturan dari Mak Yem mengenai hal diatas: Selama 21 tahun menjadi pedagang grosir, yang menjadi pemasok utama yakni dari petaninya langsung. Bagi saya dengan jumlah Cabai yang dipasok dari petani saja untuk mengumpulkannya tidak butuh waktu lama. Dengan strategi khusus guna menekan harga bagi petaninya, maka saya dapat memenuhi kebutuhan bagi para pedagang pengecer. Seperti ibu Ngatinem salah satunya yang menjadi pedagang pengecer di pasar Ngasem. Beliau selalu berjualan pada pagi dan siang hari untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Pada pasar Ngasem ini tidak banyak pedagang pengecer yang berjualan, karena kebanyakan merupakan pedagang besar. Perlu diketahui bahwa pasar Ngasem ini para pedagang grosir mulai aktif mulai pukul 16.00 WIB dan pagi harinya pasar ini sepi, terkecuali bila ada pedagang 18

pengecer yang berjualan. Untuk menyediakan para konsumen, sebelum pulang selalu ibu Ngatinem membeli Cabai ke pedagang grosir untuk dijual keesokan harinya. Berikut penuturan dari ibu Ngatinem mengenai hal diatas: Untuk menjamin kebutuhan konsumen dapat terpenuhi maka sudah menjadi kebiasaan tiap sore hari, saya membeli Cabai dari pedagang grosir agar dapat berjualan pada paginya, karena pasar Ngasem mulai beraktifitas pukul 16.00 wib. Dari uraian diatas, distribusi ini dapat dikatakan sebagai jalur menengah, karena melibatkan dua pedagang perantara yakni pedagang grosir dan pedagang pengecer. Distribusi semacam ini mempunyai keunggulan yakni: pasokan Cabai sampai ke konsumen terjamin jumlahnya, dengan demikian tanpa pedagang pengumpul grosir masih dapat lebih cepat mengumpulkan Cabai. Sedangkan kelemahannya: ada upaya untuk menekan harga ditingkat petani untuk memperebutkan jumlah Cabai di pasaran. 4.3.3 Pola Distribusi Pendek Pada jalur pemasaran Cabai dari petani langsung dijual ke konsumen maka pola ini dapat dikatakan sebagai pola distribusi pendek. Menurut Soekartawi (2001), distribusi pendek merupakan saluran yang sangat efisien karena rantai pemasarannya lebih singkat, sehingga dalam penyalurannya tidak banyak berhubungan dengan pedagang perantara. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: Petani Pengecer Gambar 4.4 Pola Distribusi Pendek Konsumen Pendistribusian yang dilakukan dengan jenis saluran secara langsung dapat memberi keuntungan sendiri bagi petani, meskipun pendapatan yang diterima antara petani menjual langsung ke konsumen, maupun petani menjual ke pedagang pengecer, hasil yang didapat sama. Pada pola secara langsung dapat digunakan oleh semua petani sebagai alternatif kedua apabila petani tersebut juga bertindak sebagai pedagang pengecer. Penyaluran secara langsung juga dilakukan oleh petani apabila hasil Cabai sedikit, kurang dari 15 kilogram ataupun faktor kepercayaan dengan pedagang perantara dalam pemasaran Cabainya. Hal diatas dibuktikan dari penuturan bapak Puji Slamet sebagai berikut: Biasanya saya langsung jual ke pasar tanpa menggunakan jasa perantara. Menurut saya pendapatan dari jual langsung ke konsumen maupun ke pengecer sama saja. Sebenarnya 19

lebih efisien bila saya jual langsung ke konsumennya, karena bila saya titipkan ke pengecer takut kalau nanti di bohongi masalah harganya. Bapak Didik Cahyadi juga menambahkan mengenai hal diatas. Dalam penjualan terdapat ketentuan yang harus diperhatikan yakni hasil panen kurang dari 15 kilogram langsung saya jual ke konsumennya dan bila lebih dari itu maka dapat di jual ke pengecer, tetapi hal tersebut jarang saya lakukan. Bagi saya dengan menanam Cabai hanya sebagai selingan saja biar mendapat tambahan pendapatan, bukan sebagai prioritas utama, meski demikian sepetak dua petak saya selalu tanam Cabai. Dari penuturan diatas menunjukkan bahwa pak Puji dalam pendistribusian Cabainya selalu menjual langsung ke konsumen. Pak Didik Cahyadi menambahkan mengenai jumlah panenan Cabai yang didapat terdapat dua ketentuan untuk penjualan ke pedagang pengecer maupun lagsung ke konsumen. Kebiasaan pemasaran Cabai seperti yang diterapkan oleh bapak Dedi Suhanto sejalan dengan yang dituturkan oleh bapak Didik, untuk hasil panen Cabai dijual ke pedagang pengecer apabila hasil panenan lebih dari 15 kilogram. Berikut penuturan dari bapak Dedi Suhanto mengenai hal diatas: Terkadang saya melakukan penjualan ke pedagang pengecer yang ada di pasar Ngasem, bila hasil panennya lebih dari 15 kilogram tetapi lebih sering saya menjual ke konsumennya langsung karena lahan di sekitar sini sempit-sempit. Tanaman Cabai bukan sebagai prioritas utamanya hanya sebagai pelengkap untuk menambah pendapatan. Pendistribusian yang diterapkan oleh bapak Puji, bapak Didik dan bapak Dedi Suhanto merupakan jalur yang pendek, karena selalu menjual ke konsumennya langsung. Dari distribusi ini mempunyai keunggulan yakni: distribusi pemasaran Cabai lebih efisien karena rantai pemasarannya lebih singkat dan penyampaian Cabai lebih cepat karena langsung di distribusikan ke konsumen. Sedangkan kelemahannya: tanaman Cabai bukan sebagai prioritas utama melainkan sebagai pelengkap untuk menambah pendapatan. 4.4 Aktifitas Distribusi Fisik Bagian Dari Pola Distribusi Pemasaran Cabai 4.4.1 Penanganan Pasca Panen Penanganan pascapanen Cabai di Indonesia umumnya masih sederhana sehingga tingkat kerusakannya sangat tinggi. Hal ini terjadi karena fasilitas dan pengetahuan petani tentang penanganan pasca panen masih terbatas. Oleh karena itu, petani Cabai perlu memiliki 20

pengetahuan tentang penanganan komoditas yang mudah rusak dan busuk, agar cara penanganannya dapat ditentukan secara tepat sehingga kesegaran komoditi dapat dipertahankan lebih lama (Hendra, 2008). Setiap komoditi mempunyai tingkat kematangan tertentu untuk dipanen. Pemanenan yang terlalu muda dan terlalu tua, maka akan menghasilkan mutu yang kurang baik (terlampir pada gambar 4.5). Buah Cabai yang dipanen tepat masak dan tidak segera dipasarkan akan terus melakukan proses pemasakan, sehingga perlu adanya tempat pengemasan khusus. Hal ini dibuktikan dari penuturan bapak Rosamaji selaku key informant: Untuk pemanenan Cabai itu dalam proses pematangannya tidak serempak sehingga perlu dipilih mana yang layak untuk dipetik, sehingga bila sembarangan cara pemanenannya itu nantinya akan menimbulkan kerugian. Yang layak dipanen apabila warna Cabai sudah berwarna merah dan bila dipegang maka buahnya terasa keras. Pengalaman dalam penilaian tingkat kematangan secara visual dan perbedaan warna, bentuk, ukuran dapat digunakan sebagai kriteria panen. Proses pemanenan untuk komoditas Cabai dilakukan secara bertahap sehingga hasil panennya dapat dilakukan berulang kali. Hal ini dapat menguntungkan bagi petani apabila pemahaman dari petani untuk pemetikan yang tepat karena dapat memberikan kualitas dan mutu yang baik. Pengelompokan sangat tergantung pada jenis Cabai. Cara sortasi dan pengelompokan dapat berbeda-beda tetapi tujuannya adalah untuk membuat keseragaman dalam ukuran, warna dan jenis Cabainya (Anonimous, 2005). Pengelompokan pada komoditi hortikultura biasanya terdiri atas kelas super, kelas I, kelas II dan apkir (terlampir pada gambar 4.6). Hasil penelitian untuk menjaga mutu dan kualitas Cabai, dengan melakukan sortasi dan pengelompokan jenis Cabai perlu diperhatikan sebelum ke pelanggan. Sortasi perlu dilakukan untuk mempermudah penjualan. Kelas super merupakan kelompok yang dianggap sangat baik untuk penilaian faktor mutu dan cocok untuk diekspor maupun dikonsumsi dalam negri, selain itu dapat berpengaruh terhadap harga. Jenis-jenis kemasan (packing) yang biasa digunakan untuk Cabai adalah karung jala dan karung plastik (terlampir pada gambar 4.7). Prinsip pembuatan kemasan yang perlu diperhatikan adalah ekonomis, banyak tersedia, ringan, kuat dan dapat melindungi komoditi. Kapasitas kemasan khususnya Cabai adalah 5-20 kilogram cukup baik untuk Cabai. Semakin besar kapasitas kemasan maka akan semakin besar timbunan dan tekanan sehingga Cabai 21

didalamnya akan mengalami kerusakan yang lebih besar saat pengangkutan (Anonimous, 2005). Bagi petani yang menggunakan beberapa pedagang perantara selalu mempertimbangkan dengan hal diatas yakni pembagian kemasan dibagi atas dua bagian diantaranya pengemasan untuk pedagang grosir dan pedagang pengecer. Dalam proses pasca panen dilakukan pengemasan setelah pemanenan Cabai di lahan guna mempertahankan mutu dan kualitas. Pengemasan dilihat dari kebutuhan pelanggannya mengingat sifat Cabai yang mudah rusak dan busuk maka diperlukan penaganan khusus agar kesegaran Cabai dapat terjaga. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.4 sebagai berikut: Tabel 4.4 Kegiatan Penanganan Pasca Panen Pemasaran Cabai Saluran Penanganan pasca panen Distribusi Sortasi Pengemasan Panjang Lebih mengutamakan mutu dan kualitas Pengemasan dibagi menjadi dua sesuai untuk penyaluran yang relatif lama. Menyortasi sesuai keseragaman warna, ukuran dan tidak adanya cacat oleh kelompok tersebut sebagai kelas super kebutuhan pelanggannya baik menggunakan karung jala dengan berat 20 kilogram untuk pedagang besar maupun plastik, 1 kilogram Cabai dibagi 4-10 guna pedagang pengecer. Menengah Melakukan sortasi hanya sekedar untuk memudahkan bagi pelanggannya, karena biasanya dari petani belum disortir. Pengemasan secara khusus menggunakan karung jala dengan berat lebih dari 15 kilogram karena sasaran utamanya grosir. Pendek Saat kegiatan petik, petani langsung menyortir untuk keseragaman Cabainya. Pengemasan menggunakan plastik, biasanya dengan berat kurang dari 15 kilogram. Sumber : Data Primer, 2011 4.4.2 Sarana Transportasi Pengangkutan Cabai yang akan dikirim ke pasar dengan menggunakan kendaraan roda dua ataupun angkutan roda empat (terlampir pada gambar 4.8) dapat memberi kemudahan bagi pemakainya apabila penggunaanya tepat. Menggunakan jenis transportasi umum seperti kendaraan roda dua maupun roda empat merupakan alat transportasi yang sangat dibutuhkan dalam proses penyaluran dari petani ke konsumen (Anonim, 2012). Pemilihan kendaraan roda dua maupun roda empat dilihat dari jumlah Cabai yang akan dibawa untuk disalurkan perlu diperhatikan, agar mutu dan kualitasnya dapat tetap baik. Pemasaran yang diterapkan oleh partisipan, komoditas Cabai di salurkan ke pasar Ngasem dan Ambarawa. Hal ini dapat 22

mendatangkan keuntugan dan kerugian dalam usahataninya oleh karena itu pemilihan sarana transportasi secara efektif dapat memberi keuntungan. Pemilihan sarana transportasi dapat memberi nilai lebih untuk menjaga agar mutu dan kualitas suatu komoditas dalam proses penyalurannya dapat terjaga dan berjalan dengan baik. Dengan adanya sarana transportasi yang tepat untuk dipilih dalam penyalurannya dapat memberi keuntungan tersendiri bagi pemakainya. Kendaraan roda dua dapat dipakai bila Cabai yang akan dikirim dalam jumlah sedikit dengan ketentuan kurang dari 15 kilogram akan lebih efisien, sedangkan kendaraan roda empat atau mobil sayur lebih sering digunakan untuk mengangkut dalam jumlah yang banyak yakni lebih dari 15 kilogram, selain itu pengangkutannya mudah. Berikut penuturan dari bapak Dedi Suhanto mengenai hal diatas: Karena hasil Cabai yang saya panen tidak begitu banyak atau biasanya kurang dari 15 kilogram maka untuk penyalurannya menggunakan kendaraan roda dua. Bapak Rosamaji menambahkan mengenai hal diatas: Untuk memasok Cabai ke pedagang grosir dalam sekali panen biasanya Cabai yang terkumpul lebih dari 15 kilogram sehingga biasa saya menggunakan kendaraan roda empat untuk menyalurkannya selain mudah dan tidak repot. Dengan pemilihan alat transportasi yang tepat dapat mempermudah penyaluran. Demikian dengan jarak yang ditempuh dalam pengangkutan dengan kondisi jalan yang baik maka dapat memberi kemudahan bagi pemakainya, sehingga faktor terjadinya kehilangan hasil dapat terhindarkan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.5 Tabel 4.5 Penggunaan Sarana Transportasi Saluran Distribusi Panjang Menengah Pendek Sarana Transportasi Penggunaan alat transportasi dengan kendaran roda empat untuk menyediakan pedagang grosir dengan berat minimal 15-20 kilogram, sedangkan untuk roda dua dapat dipakai apabila jumlah Cabai yang akan di bawa antara 5-15 kilogram, agar lebih efisien. Sumber : Data Primer, 2011 Kendaraan roda empat merupakan kendaraan yang umum dipakai dengan berat lebih dari 15 kilogram karena sasaran utamanya grosir. Pengangkutan dilakukan dengan kendaraan roda dua, karena biasanya dengan berat kurang dari 15 kilogram. 23