BAB III METODOLOGI 3.1 Kerangka Pikir Dalam kerangka pikir ini digambarkan secara sistematis pola pikir dalam penyelesaian tesis, dimana dalam kerangka pikir ini dimulai dari mengidentifkasikan isu pokok Departemen Pertanian dalam kebijakan ketahanan pangan, serta berbagai masalah yang ada. Selanjutnya dari kedua hal di atas ditentukan landasan teori pendukung guna kemudian dibuatkan solusinya berdasarkan suatu metodologi penelitian yang akan dilakukan. Penentuan metodologi yang digunakan di sesuaikan antara landasan teori dan kondisi organisasi. Hal ini bertujuan agar solusi yang didapatkan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Dengan demikian maka solusi Sistem Informasi Eksekutif yang sesuai dengan kebutuhan Departemen Pertanian, khususnya Badan Bimas Ketahanan Pangan dalam kebijakan ketahanan pangan dapat dibangun secara tepat. 25
26 1. Meningkatkan kualitas pengkajian, pengembangan dan penyusunan kebijakan yang menyangkut aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi, pemberdayaan dan kewaspadaan pangan 2. Ketersediaan informasi yang tepat, cepat dan akurat serta mudah digunakan Belum tersedianya tool /sistem untuk eksekutif dalam memanfaatkan data dan Informasi Kerawanan Pangan untuk mendukung pengambilan kebijakan 1. Analisis kerangka sitem ketahanan pangan 2. Analisis model bisnis penyediaan informasi eksekutif Badan Bimas Ketahanan Pangan 3. Analisis kebutuhan sistem informasi eksekutif dengan Metode CSF 4. Analisis struktur data serta jenis data yang digunakan dalam mendukung sistem informasi eksekutif PROTOTYPE SISTEM INFORMASI EKSEKUTIF KETAHANAN PANGAN Gambar 3.1 Kerangka Pikir
27 3.2 Model Bisnis Badan Bimas Ketahanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1996, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sedangkan dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Departemen Pertanian, Badan Bimas Ketahanan Pangan sebagai salah satu organisasi pemerintah mempunyai tugas melaksanakan pengkajian, pengembangan, dan koordinasi pemantapan ketahanan pangan. Pengkajian diarahkan untuk menghasilkan rumusan alternatif kebijakan, pengembangan diarahkan guna menginformasikan model-model pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, dan koordinasi diarahkan untuk menciptakan sinergi dan harmonisasi kebijakan, program pusat dan daerah, maupun antar pemerintah dan masyarakat (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2001). Subsistem yang mendukung terwujudnya ketahanan pangan adalah subsistem ketersediaan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi. Ketiga unsur subsistem ini saling berinteraksi dan pembangunan ketahanan pangan memerlukan harmonisasi dari ketiga subsistem ini (Badan Bimas Ketahanan Pangan). Secara garis besar kerangka sistem ketahanan pangan disajikan pada gambar berikut ini :
28 INPUT : KETERSEDIAAN DISTRIBUSI KONSUMSI OUTPUT Prasarana, Sarana dan Kelembagaan - Produksi - Pasca Panen - Pengolahan - Penyimpanan - Distribusi/ Pemasaran Kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan yang berasal dari : - Produksi dalam negeri - Ekspor impor - Cadangan Pangan Kestabilan harga pangan dan aksebilitas pangan - Antar waktu - Antar wilayah Kecukupan konsumsi dalam - Jumlah - Keragaman - Mutu gizi / Nutrisi - Keamanan Pemenuhan hak asasi atas pangan - Ketahanan Nasional - Ketahanan Ekonomi - Pemenuhan hak asasi atas pangan - Pengembangan SDM Berkualitas PENDEKATAN Pemberdayaan, Sistem Agribisnis, Koordinasi Faktor Pendukung : Kebijakan, Pengaturan dan Fasilitas Sistem Perdagangan Domestik dan Luar Negeri Gambar 3.2 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan Sumber : Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Rencana Strategis dan Program Kerja Pemantapan Ketahanan Pangan Tahun 2001 2002. Dari kerangka sistem ketahanan pangan ini selanjutnya akan dianalisis untuk menentukan pihak-pihak yang dapat memenuhi kebutuhan bagi pembangunan subsistem ketersediaan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi. Model bisnis Badan Bimas Ketahanan Pangan dikaitkan dengan elemenelemen pendukung bagi terbangunnya sistem informasi Eksekutif Kerawanan Pangan digambarkan sebagai berikut :
29 Penyokong Data Ketersediaan Pangan Penyokong Data Distri busi Pangan Penyokong Data Konsumsi Pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan INFORMASI EKSEKUTIF Gambar 3.3 Model Bisnis Informasi Eksekutif Badan Bimas Ketahanan Pangan Dari model bisnis tersebut didapatkan posisi Badan Bimas Ketahanan Pangan sebagai suatu instansi pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan pengkajian, pengembangan, dan koordinasi pemantapan ketahanan pangan bekerja sama dengan pihak lain dalam menyajikan informasi Eksekutif Kerawanan Pangan, yaitu sebagai berikut : a. Penyokong Data Ketersediaan Pangan Yaitu pihak-pihak yang menyediakan data produksi dalam negeri, ekspor, impor serta stok/cadangan pangan nasional b. Penyokong Data Distribusi Pangan Meliputi pihak-pihak yang menyediakan data laporan distribusi, harga, dan aksebilitas pangan antar waktu dan wilayah. c. Penyokong Data Konsumsi Pangan Yaitu pihak-pihak yang mampu menyediakan jumlah konsumsi nasional, keragaman pangan, mutu gizi serta keamanan pangan nasional.
30 Berdasarkan model bisnis yang ada di Badan Bimas Ketahanan Pangan, selanjutnya digali informasi mengenai sumber-sumber penyedia dan penyokong data ketersediaan, konsumsi dan distribusi pangan. Metode pengumpulan data mengenai sumber-sumber penyedia dan penyokong data mengenai ketersediaan, konsumsi dan distribusi pangan guna mendukung EIS Ketahanan Pangan diperoleh melalui wawancara dengan para eksekutif dan staf pendukung di Badan Bimas Ketahanan Pangan. 3.3 Struktur Organisasi Struktur organisasi di Badan Bimas Ketahanan Pangan sebagai Eselon I di Departemen Pertanian adalah sebagai berikut : BADAN BIMAS KETAHANAN PANGAN SEKRETARIS BADAN BIMAS KETAHANAN PANGAN BAGIAN PERENCANAAN BAGIAN HUKUM, ORTALA DAN HUMAS BAGIAN EVALUASI BAGIAN UMUM PUSAT PENGEMBANGAN KETERSEDIAAN PANGAN PUSAT PENGEMBANGAN DISTRIBUSI PANGAN PUSAT PENGEMBANGAN KONSUMSI PANGAN PUSAT PEMBERDAYAAN KETAHANAN PANGAN PUSAT KEWASPADAAN PANGAN PEMANTAUAN PRODUKSI PANGAN SISTEM DISTRIBUSI BID. PENGANEKA- RAGAMAN KONS. PANGAN POLA PEMBERDAYAAN SISTEM INFORMASI KP CADANGAN PANGAN ANALISIS HARGA PANGAN KONSUMSI PANGAN LOKAL MOTIVASI DAN PROMOSI KERAWANAN DAN MUTU PANGAN Gambar 3.4 Struktur Organisasi Badan Bimas Ketahanan Pangan
31 Sistem jaringan informasi yang ada untuk mendukung pelaksanaan ketahanan pangan saat ini adalah sebagai berikut : PDP PWP Sesha Pusdatin Ditjen TP PKP BBKP Intranet Deptan Ditjen Horti PSP PPKPM Ditjen Nak! Anggota Dewan KP WFP Ditjen P2HP Pasar-pasar Induk Ditjen Bun Gizi.net Internet WWW Bakornas/ Satkorlak TPG FAO B2KP Daerah BPS BMG Gambar 3.5 Sistem Jaringan Informasi Kerawanan Pangan 3.4 Metode Analisis Metode analisis yang dilakukan untuk mengetahui kebutuhan sistem informasi eksekutif dalam menunjang pengambilan keputusan di Badan Bimas Ketahanan Pangan dilakukan berdasarkan hasil pengumpulan informasi tersebut di atas. Berdasarkan pada pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam pengumpulan informasi maka penelitian ini dilaksanakan melalui :
32 1. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan guna mempelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan topik penelitian ini, yaitu mengenai pengembangan sistem informasi eksekutif. 2. Penelitian Lapangan Penelitian lapangan dilakukan melalui pengamatan langsung, wawancara untuk memperoleh informasi. Wawancara dilakukan dengan orang-orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan di Badan Ketahanan Pangan. Informasi yang dibutuhkan misalnya mengenai struktur dan variabel-variabel data yang digunakan dalam pengambilan keputusan/ kebijakan. Dari hasil analisis kebutuhan informasi tersebut akan menghasilkan faktor penentu keberhasilan (CSF) dan kebutuhan informasi kritis yang diperlukan Badan Bimas Ketahanan Pangan, sehingga dapat dirancang suatu EIS. Dari rancangan ini akan dihasilkan informasi mengenai karakteristik variabel data yang sesuai dengan kebutuhan Badan Bimas Ketahanan Pangan dalam pengambilan keputusan/ kebijakan. 3.3.1 Metode Pengumpulan Informasi Pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan informasi dalam pengembangan Sistem Informasi Eksekutif di Badan Bimas Ketahanan Pangan ini adalah pendekatan Wetherbe. Tahap pertama yang dilakukan adalah wawancara dengan eksekutif dan beberapa staf struktural untuk
33 menentukan kebutuhan informasi yang diperlukan oleh eksekutif. Metode wawancara struktural tersebut meliputi wawancara dari perencanaan sistem bisnis (BSP) dan faktor penentu keberhasilan (CSF). Tahap selanjutnya membuat prototipe bagi kebutuhan eksekutif melalui pengujian dan modifikasi sistem. Pengujian dan modifikasi berlangsung selama beberapa tahap sampai kebutuhan yang terperinci dapat ditetapkan sesuai dengan keperluan eksekutif. Namun demikian, pada beberapa bagian tahapan dilakukan dengan pendekatan Watson dan Frolick serta pendekatan Volonino dan Watson. Pendekatan Watson dan Frolick digunakan dalam pendekatan dimensi sumber informasi, sedangkan pendekatan Volonino dan Watson digunakan dalam menyimpulkan kebutuhan dari sistem informasi yang ada sekarang. Pendekatan yang digunakan disesuaikan dengan kondisi organisasi Badan Bimas Ketahanan Pangan. 3.3.2 Metode Wawancara Metode wawancara dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Watson dan Frolick melalui pendekatan terhadap sumber informasi eksekutif. Kegiatan wawancara melalui interaksi langsung dilakukan meliputi diskusi informal tentang kebutuhan informasi, melacak kegiatan eksekutif maupun sesi CSF formal dengan eksekutif. Sedangkan interaksi tidak langsung dilakukan melalui diskusi dengan personil pendukung, pemeriksaan informasi
34 yang tidak dihasilkan komputer dengan struktural yang ada di Badan Bimas Ketahanan Pangan. 3.3.3 Struktur Data Pendukung Sistem Informasi Eksekutif Struktur dan jenis data yang digunakan dalam mendukung EIS di Badan Ketahanan Pangan meliputi data ketersediaan pangan yang meliputi produksi; distribusi yang meliputi akses pangan; dan konsumsi meliputi pola konsumsi masyarakat. Ketersediaan pangan termasuk didalamnya mengenai produksi beberapa jenis pangan strategis yaitu padi, palawija yang meliputi jagung, kedele, dan ubi kayu serta kacang tanah, susu sapi, telur, daging ayam, daging sapi, minyak goreng dan gula pasir. Ketersediaan jenis pangan strategis itu dihitung dari produksi, ekspor dan impor. Sedangkan untuk distribusi dihitung dari keragaman harga antar wilayah. Semakin tinggi keragaman harga antar wilayah dan berprilaku tidak konsisten menunjukkan belum efesiennya sistem distribusi (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2001). Selain itu juga keterjangkauan harga pangan oleh masyarakat dapat tercermin dari persentase pengeluaran untuk pangan dibandingkan dengan total pengeluarannya. Semakin rendah persentase pengeluarannya untuk membeli pangan menunjukkan bahwa semakin sedikit
35 porsi dari pendapatannya yang digunakan untuk membeli pangan yang berarti harga pangan semakin terjangkau. Keragaan konsumsi pangan dilihat dari rata-rata konsumsi energi per kapita per hari. Semakin tinggi konsumsi energi per kapita per hari menunjukkan meningkatnya ketahanan pangan masyarakat berdasarkan konsumsi energi. Namun ketiga kelompok data tersebut mempunyai batasan minimum dalam menentukan tingkat kerawanan di suatu wilayah. Batasan minimum tersebut digunakan sebagai indikator bagi tingkat kerawanan pangan. Penyusunan tingkat kerawanan pangan tersebut dibuat untuk setiap wilayah seperti propinsi, kabupaten dan kecamatan. Informasi mengenai struktur data pendukung EIS didapatkan melalui wawancara dengan para eksekutif di Badan Bimas Ketahanan Pangan. Berikut ini adalah struktur dan jenis data yang digunakan dalam mendukung EIS di Badan Bimas Ketahanan Pangan : 1. Komoditas : Padi dan Jagung. 2. Indikator : Ketersediaan Pangan : Produksi, Ekspor, Impor, penggunaan bibit, pakan ternak, panen yang tercecer Akses terhadap Pangan dan Pendapatan : Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, Persentase Rumah tangga yang
36 tidak memiliki fasilitas listrik, panjang jalan yang dapat diakses roda empat, Pemanfaatan/Penyerapan Pangan : Persentase Rumah Tangga yang tinggal diatas 5 km dari fasilitas kesehatan, Persentase rumah tangga yang tanpa akses ke air bersih, Angka harapan hidup usia 1 tahun, Angka kematian bayi, Presentase perempuan buta huruf, Konsumsi Pangan : Konsumsi (Protein, Kalori), Pengeluaran, Jumlah penduduk. 3. Wilayah : Propinsi, Kabupaten, Kecamatan 4. Waktu : Tahunan, Semesteran, Triwulanan, Bulanan. 3.3.4 Prototyping Prototyping merupakan salah satu cara pengembangan sistem secara cepat dengan teknik modern, merupakan proses berulang yang melibatkan hubungan kerja sama antara perancang dan pengguna. Prototype dibangun untuk memberikan hasil (output) yang sederhana, dialog komputer, fungsi penting, keseluruhan subsistem atau bahkan keseluruhan sistem. Setiap prototype diamati oleh pengguna akhir dan manajemen, yang kemudian membuat rekomendasi tentang kebutuhan, metode, dan format. Prototype kemudian dikoreksi, ditingkatkan dan disempurnakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Teknologi prototyping melakukan revisi
37 dengan cara yang relatif cepat. Proses revisi dan pengamatan ulang dilanjutkan sampai prototype bisa diterima. Pendekatan prototipe ini merupakan proses tahap II pendekatan Wetherbe dalam proses mencari kebutuhan informasi. Prototipe dibuat setelah konsep kebutuhan informasi didapatkan pada fase I. Pengujian dan modifikasi prototipe dalam pendekatan Wetherbe berlangsung selama beberapa tahap sampai kebutuhan yang terperinci dapat ditetapkan. Sehingga pendekatan prototipe yang digunakan adalah melalui pendekatan Wetherbe. Menurut Alavi (1984), prototyping merupakan cara untuk membangun sebuah prototype dari sebuah sistem besar secara cepat. Namun prototype dapat berupa sebuah sistem yang kecil ataupun sistem yang lengkap dengan kemampuannya yang terbatas. Prototype dilakukan untuk memberikan gambaran dan perkiraan kepada yang berkepentingan terhadap sistem yang akan dibangun dan manfaatnya di masa mendatang. Prototyping yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pembangunan sistem secara lengkap dengan kemampuan yang terbatas pada beberapa lokasi/wilayah.