BAB II KERANGKA TEORITIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional.

BAB I PENDAHULUAN. organisasi dan kelangsungan hidup organisasi. Peran kepemimpinan yang sangat

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang merupakan tempat dimana

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. zaman yang semakin berkembang. Berhasilnya pendidikan tergantung pada

PEMBAHASAN. 1.Pengertian Gaya Kepemimpinan Partisipatif

BAB V. Berdasarkan rumusan masalah pada BAB I, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pada mutu output pengajarannya. Bila seluruh guru menunjukkan. pemimpin pengajaran yang bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan.

BAB I PENDAHULUAN. guru, siswa, orang tua, pengelola sekolah bahkan menjadi tujuan pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Secara konseptual desentralisasi pendidikan adalah suatu proses dimana suatu

PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN MELALUI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DI MTs. DARUL FALAH PONOROGO

T E S I S. Oleh : SUTADI NIM : Q Program Studi : Magister Manajemen Pendidikan Konsentrasi : Sistem Pendidikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Semangat Kerja. Mathis (2002) mengatakan masalah semangat kerja di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), cet. 1, hlm Rohiat, Kecerdasan Emosional Kepemimpinan Kepala Sekolah,

BAB I PENDAHULUAN. A. latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. investasi. Dengan demikian nilai modal ( human capital ) suatu bangsa tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. M, telah membawa perubahan besar pada kebijakan pengembangan sektor

BAB I PENDAHULUAN. bidangnya. Pendidikan dalam pengertian bahasa disebut proses melatih dan

SIGNIFIKANSI PERAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)

BAB II KAJIAN TEORI. jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari

2.1.2 Tipe-Tipe Kepemimpinan Menurut Hasibuan (2009: ) ada tiga tipe kepemimpinan masing-masing dengan ciri-cirinya, yaitu:

II. TINJAUAN PUSTAKA Kepemimpinan

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

MAKALAH KEPEMIMPINAN KONSEP KEPEMIMPINAN

BAB I PENDAHULUAN. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, salah satunya adalah

BAB IV ANALISIS TENTANG UPAYA KEPALA SEKOLAH DALAM MENCAPAI VISI DAN MISI SEKOLAH DI SD NEGERI 03 PODODADI KARANGANYAR PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu

masalah penelitian yaitu gaya kepemimpinan kepala sekolah, sistem pelayanan administratif, sistem penyelenggaraan proses pendidikan (pembelajaran dan

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. OLEH: ASEP SURYANA,M.Pd.

Sekolah Dasar seseorang dikembangkan untuk menguasai berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. profesional. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003

RESPON GURU TERHADAP VISI SUPERVISI

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang didasarkan kepada Undang-Undang. Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Derah, menekankan adanya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperbaiki lingkungan kerja di tempat kerja. Lingkungan kerja yang buruk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tersebut dan tujuan atau akhir daripada gerakan atau perbuatan. Motivasi

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas. Menurut Suryadi (2011: 2) warga negara berhak memperoleh pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Kepemimpinan selalu diperlukan sebagai aktivitas untuk. mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan tindakan individu atau

I. PENDAHULUAN. identifikasi masalah, pembatasan masalah dan rumusan masalah. Untuk

Penerapan MBS, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm Nanang Fattah, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan dalam Konteks

BAB I PENDAHULUAN. reformasi diindikasikan dengan adanya perombakan di segala bidang kehidupan,

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

Strategi Pengembangan Sekolah Efektif untuk Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. efektivitas dan keberhasilan organisasi (Yulk, 2005: 4). Kepemimpinan didefinisikan

1. PENDAHULUAN. Madrasah, dalam konteks ini Institusi Pendidikan formal yang berbasis Agama

BAB IV ANALISIS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KINERJA GURU DI SMP ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG

TINJAUAN PUSTAKA. tujuan perusahaan. Tujuan ini tidak mungkin terwujud tanpa peran aktif

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH (STUDI KASUS DI SD NEGERI SRONDOL 02 SEMARANG) RINGKASAN TESIS. Oleh: UTIK SETYARTI Q

Latihan: UJI KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH 2012

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini secara berturut-turut di bahas mengenai latar belakang, fokus

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di era otonomi daerah menghadapi tantangan besar dan

PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI SD NEGERI BENDUNGAN GAJAHMUNGKUR SEMARANG TESIS

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. SMA Negeri 2 Sarolangun) dapat disimpulkan sebagai berikut :

Perilaku Kepemimpinan Transpormasional Kepala SMA di Kabupaten Karawang

BAB I. PENDAHULUAN. menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara administrasi

BAB I PENDAHULUAN. baru memusatkan perhatianya kepada investasi sumber daya manusia yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

Manajemen Mutu Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tuti Rohayati, 2014

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. pusat sumber belajar untuk siswa Sekolah Dasar (SD). SDN ini terletak sangat

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi dewasa ini, sebuah perusahaan bertaraf nasional maupun

BAB II LANDASAN TEORI. Kepemimpinan dimasukkan dalam kategori ilmu terapan dari ilmu-ilmu sosial,

BAB I PENDAHULUAN. melalui Otonomi Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia bukan merupakan tugas yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen yang menentukan proses belajar mengajar

BAB I PENDAHULUAN. inovasi yang berdampak pada meningkatnya kinerja sekolah. seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh banyak pihak, baik dilakukan oleh pemerintah maupun

PENINGKATAN EFEKTIVITAS SEKOLAH

I. PENDAHULUAN. ketatanegaraan adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem. dalam wujud Otonomi Daerah yang luas dan bertanggung jawab untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu cara dalam mengembangkan sumber

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan, baik secara pendidikan formal, non formal maupun

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DAN RELEVANSINYA DI ERA PENDIDIKAN MASA KINI. DR. H. Ma mur Sutisna WD, M.M.Pd Dosen FKIP Universitas Subang ABSTRAK

II TINJAUAN PUSTAKA. kinerja atau keberhasilan organisasi. Pokok kepemimpinan adalah cara untuk

BAB I PENDAHULUAN. kependidikan sebagai unsur yang mempunyai posisi sentral dan strategis

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

yang sistematis untuk mendukung pengambilan keputusan kepala sekolah

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. dari analisis data dapat digeneralisasikan pada populasi penelitian. Berdasarakan rumusan

SEJARAH MBS DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang kita ketahui bahwa pada saat ini persaingan antar perusahaan

pujian atau kritik atas hasil kerja karyawan Tabel 4.14 Tanggapan responden mengenai pemimpin selalu meminta karyawan untuk berpartisipasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah investasi sumber daya manusia jangka panjang yang

BAB 1 PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang

Transkripsi:

BAB II KERANGKA TEORITIS A. Kepemimpinan Siagian (2002) mengemukakan bahwa kepemimpinan memainkan peranan yang dominan, krusial, dan kritikal dalam keseluruhan upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja, baik pada tingkat individual, pada tingkat kelompok, dan pada tingkat organisasi. Peranan yang dominan tersebut dapat mempengaruhi moral kepuasan kerja, keamanan, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Terry menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah keseluruhan kegiatan atau aktivitas untuk mencapai tujuan. Terry juga mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah aktivitas pemegang kewenangan dan pengambil keputusan. Pada dasarnya teori kepemimpinan itu menjelaskan tentang peran para pemimpin mempengaruhi orang lain dalam hubungan kepemimpinannya di organisasi (Soetomo W. E, 2009). Kebanyakan para peneliti lebih cenderung berfokus pada satu aspek kepemimpinan dengan variablevariabel yang terbatas. Akibat fokus kepemimpinan itu, maka para ahli mengelompokkan kepada 4 kategori, yaitu: 1. ciri kepemimpinan, 2. kekuatan pendekatan kepemimpinan, 3. sikap kepemimpinan, 4. gaya kepemimpinan.

Yukl (1994) mengatakan bahwa kepemimpinan itu melibatkan proses pengaruh sosial yang pengaruhnya dengan sengaja dilakukan terhadap banyak orang untuk membuat aktivitas organisasi. Bennis (1989) menegaskan bahwa pemimpin itu melakukan hal yang benar dan berfokus pada yang dipimpin. Lebih lanjut Hanson (1996) mengatakan bahwa kepemimpinan itu lebih berkonsentrasi pada visi yang strategis dan ketrampilan membuat pengikutnya secara aktif menjalankan tugas, sehingga visi organisasi itu tercapai. Dengan adanya pemahaman di atas, maka kepala sekolah perlu belajar kepemimpinan agar mereka: a. mampu menilai kelebihan dan kekurangan dirinya dalam memimpin, b. mampu menggunakan pengaruh secara tepat dan secara positif agar dapat mengendalikan kemampuan organisasi yang dipimpinnya, c. dan juga mampu melihat kembali nilai dan kepercayaan diri dalam hubungan dengan dirinya dan organisasi yang dipimpin (Soetomo W.E,2009) Anwar (2003) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah perilaku pemimpin dalam memimpin, mempengaruhi dan memberikan bimbingan kepada yang dipimpin ( mengelola sebuah institusi) agar mencapai tujuan yang diharapkan. Fungsi pemimpin menunjukkan adanya berbagai aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh seorang kepala dalam upaya menggerakan karyawan, dan anggota masyarakat agar bisa berbuat sesuatu untuk melaksanakan program-program yang telah disusun.

Anwar (2003) juga mengatakan bahwa untuk memungkinkan tercapainya tujuan kepemimpinan pendidikan disekolah, terdapat tiga fungsi yang perlu diperhatikan, yaitu : 1. Fungsi dalam membantu kelompok dalam merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai dan dijadikan pedoman untuk menentukan kegiatan yang akan dilakukan. 2. Fungsi dalam menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa, dan anggota masyarakat untuk menyukseskan program pendidikan disekolah. 3. Fungsi menciptakan sekolah sebagai suatu lingkungan kerja yang harmonis, sehat, dinamis, dan nyaman, sehingga segenap anggota dapat bekerja dengan penuh produktivitas dan memperoleh kepuasan kerja guru tinggi. Ini berarti bahwa pemimpin mesti dapat menciptakan iklim organisasi yang dapat mendorong produktivitas pendidikan yang tinggi dan kepuasan kerja yang maksimal. Kemampuan seorang pemimpin dalam mempengaruhi orang lain didukung oleh kelebihan yang dimiliki pemimpin itu, baik yang bersifat pribadi maupun yang berkaitan dengan keluasan pengetahuan dan pengalamannya dan mendapat pengakuan dari orang yang dipimpin. Menurut Lezotte (1993) sekolah yang efektif tercipta karena kepemimpinan yang diterapkan disekolah dan diarahkan pada proses pemberdayaan guru, sehingga kinerja guru lebih

berdasarkan pada prinsip-prinsip dan konsep bersama dan bukan merupakan instruksi dari pimpinan. Jika defenisi-defenisi tersebut disimak dengan cermat akan tersirat adanya kesamaan mengenai 4 hal yang hendak dikemukakan yaitu: 1. Seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan mengatur, mengelola dan mempengaruhi orang lain, 2. Kepatuhan bawahan merupakan elemen penting dalam menjalankan kepemimpinan, 3. Kemampuan pemimpin mengubah egosentrisme para bawahan menjadi organisasisentrisme, 4. Adanya pimpinan dan bawahan yang bekerja sama dalam suatu organisasi. Peningkatan mutu sekolah memerlukan perubahan kultur organisasi yang mendasar tentang bagaimana individu-individu dan kelompok memahami pekerjaan dan peranannya dalam sebuah organisasi sekolah. Kultur sekolah terutama dihasilkan oleh kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah wajib memahami bahwa sekolah sebagai suatu sistem organik. Kepala sekolah harus mampu berperan sebagai pemimpin (leader) dibandingkan dengan manager. Nawawi (2003) mengatakan bahwa sebagai leader kepala sekolah berkewajiban : a. Mengarahkan daripada mendorong atau memaksa, b. Menyandarkan pada kerjasama dalam menjalankan tugas dibandingkan dengan bersandar pada kekuasaan atau surat tugas, c. Menanamkan kepercayaan pada diri guru dan staf administrasi, bukan menciptakan rasa takut, d. Menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu daripada menunjukkan bahwa kepala sekolah tahu

sesuatu, e. Mengembangkan suasana antusias bukan mengembangkan suasana yang menjemukan, f. Memperbaiki kesalahan yang ada daripada menimpakan kesalahan pada seseorang yang bekerja dengan penuh kesungguhan. Agar kepemimpinan kepala sekolah partisipatif, ada beberapa sifat dan gaya kepemimpinan. Sifat dan gaya seorang pemimpin itu antara lain dalam menggalang hubungan baik dengan orang-orang yang dipimpin (Admodiwirio & Totosiswanto, 2002). Contohnya (1) Pemimpin itu memberikan orientasi pada kualitas, (2) Bekerja dengan landasan hubungan kemanusiaan yang baik, (3) Memahami masyarakat sekitarnya, (4) Memiliki sikap mental yang baik, (5) Berkepentingan dengan staf dan sekolah, (6) Melakukan kompromi untuk mencapai kesepakatan, (7) Mempertahankan stabilitas, (8) Mampu mengatasi stress, (9) Menciptakan struktur yang mapan agar sesuatu bisa terjadi, yaitu mentolerir adanya kesalahan, tidak menciptakan konflik pribadi, memimpin melalui pendekatan yang positif, tidak mendahului orang-orang yang dipimpinnya, mudah dihubungi oleh orang, dan memiliki keluarga yang serasi. Dari pemahaman di atas, maka kepala sekolah adalah seorang pemimpin pendidikan yang mempunyai tugas untuk membuat perencanaan, mengorganisasikan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan menyelesaikan seluruh kegiatan pendidikan disekolahnya dalam usaha mencapai suatu tujuan pendidikan dan pengajaran. Kesimpulannya bahwa

kepala sekolah memiliki tujuh peran yaitu kepala sekolah sebagai educator, manajer, advisor, supervisor, leader, innovator, dan motivator (Mulyasa, 2004) Pemimpin yang bijaksana umumnya lebih memperhatikan kondisi bawahan guna pencapaian tujuan organisasi. Kepemimpinan yang berpola untuk mementingkan pelaksanaan kerjasama, berkeyakinan bahwa dengan kerjasama yang intensif, efektif, dan efisien, semua tugas dapat dilaksanakan secara optimal. Namun jika hasilnya tidak seperti yang diharapkan, tidak ada pilihan lain, selain mengganti pelaksananya tanpa menghiraukan siapa orangnya. B. Partisipatif Partisipatif sering didefinisikan sebagai keterlibatan mental, pikiran, dan emosional atau perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan, serta turut bertanggungjawab terhadap usaha yang bersangkutan (Santoso, 1988) Jadi dari pengertian ini ada keterlibatan mental, pikiran, dan emosi yang harus dipadukan dalam usaha mendorong sesuatu untuk mencapai tujuan. Pengertian partisipatif berasal dari bahasa asing bentuk kata kerja participare (latin) artinya berperan serta atau menjadi terlibat (Hornby, 1988). Partisipatif dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : partisipatif yang bersifat swakarsa atau swasembada (Swakarsa yang berarti keikutsertaan dan peran sertanya atas

kesadaran serta kemauan sendiri), dan yang kedua adalah partisipatif yang bersifat dimobilsasikan (Dimobilisasikan yang artinya keikutsertaan atau berperan sertanya seseorang atas dasar pengarahan orang lain). Dengan demikian kata partisipatif mengandung semangat demokrasi yang bersifat terangsang positif dan sukarela (Ndraka, 1990) Dari pengertian-pengertian di atas bahwa partisipatif adalah keterlibatan secara aktif dalam suatu kegiatan pembangunan sehingga hakikat partisipatif adalah merupakan tingkah laku balas (respon) terhadap program atau kegiatan pembangunan sebagai rangsangan. Jadi partisipatif lebih cenderung berperan serta atau keterlibatannya pada pembangunan atau kegiatan (W.S Winkel, 1982) Atas dasar pemikiran inilah maka partisipatif yang memiliki artian wujud keterlibatan para siswa pada peran sertanya atau keikutsertaan pada suatu kegiatan sebagai respon atau rangsangan dari kegiatan tersebut. Partisipatif mengandung nilai dan strategi serta sarana bukan hanya untuk mencapai tujuan, melainkan juga merupakan tujuan. Partisipatif sebagai suatu nilai merupakan tumpuan demokrasi. Partisipatif mengisyaratkan wujud kerjasama dengan banyak pihak dan di dalam kerjasama itu seseorang mengaktualisasikan diri dengan merealisasikan segenap dan sebatas kemampuan. Sebagai strategi berpartisipatif berarti turut menentukan arah dan cara mencapai suatu tujuan.

Dari pengertian teoritis seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud partisipatif adalah peran serta atau keterlibatan secara swakarsa dari seseorang atau sekelompok karena keinginan untuk menjaga agar tingkat kegiatan tersebut berhasil dengan optimal. C. Kepemimpinan Partisipatif Zhang (2005) mendefenisikan kepemimpinan partisipatif sebagai persamaan kekuatan dan sharing dalam pemecahan masalah dengan bawahan dan melakukan konsultasi dengan bawahan sebelum membuat keputusan. Kepemimpinan partisipatif berhubungan dengan penggunaan berbagai prosedur keputusan yang memperbolehkan pengaruh orang lain mempengaruhi keputusan pemimpin. Kepemimpinan partisipatif menyangkut usahausaha seorang pemimpin untuk mendorong dan memudahkan partisipasi oleh orang lain dalam membuat keputusan-keputusan yang tidak dibuat oleh pemimpin itu sendiri (Yulk, 2002). Adapun aspek-aspek dalam kepemimpin partisipatif mencakup konsultasi, pengambilan keputusan bersama, membagi kekuasaan, desentralisasi dan manajemen yang demokratis. Dari definisi- definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan partisipatif adalah kegiatan yang dapat mencapai tujuan dalam organisasi yang melibatkan peran anggotanya baik secara mental maupun emosional.

D. Manajemen Berbasis Sekolah Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut, maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. Dalam konteks manajemen pendidikan menurut MBS berpusat pada sumber daya yang ada di sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan paradigma manajemen sekolah, yaitu yang semula diatur oleh birokrasi di luar sekolah, menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah itu sendiri. Pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi kewenangan yang memandang sekolah secara individual. Sebagai bentuk alternatif, sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, maka otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumberdaya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, di samping itu agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Secara umum manajemen berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan

otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan parsitipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan,orangtua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Demikian juga, dengan pengambilan keputusan partisipatif, yaitu pelibatan warga sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan, maka rasa memiliki warga sekolah dapat meningkat (Mulyasa, 2009). Hasbullah (2007: 80) meneyebutkan manajemen berbasis sekolah pada dasarnya dimaksudkan untuk mengurangi peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, tetapi memberikan kesempatan pada masyarakat seluas-luasnya dan memberikan kontribusi berupa gagasan dan pelaksanaan pendidikan di tempat mereka masing-masing. Manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah lebih leluasa dalam mengelola sumber daya, dengan mengalokasikan dana sesuai dengan prioritas kebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Masyarakat dituntut partisipasinya agar mereka lebih memahami, membantu serta mengontrol pengelolaan pendidikan. Kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Menurut Slamet (2002: 2) bahwa manajemen berbasis sekolah adalah

pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otonomi oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok dalam kerangka kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan. Tujuan penerapan MBS adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum, baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum. MBS merupakan strategi peningkatan kualitas pendidikan melalui otoritas pengambilan keputusan dari pemerintah daerah ke sekolah. Pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi kewenangan yang memandang sekolah secara individual. Sebagai bentuk alternative sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, maka otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, MBS menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat sekolah setempat. Karena siswa biasanya datang dari berbagai latar belakang kesukuan dan tingkat sosial, salah satu perhatian Sekolah harus ditujukan pada asas pemerataan (peluang yang sama untuk memperoleh kesempatan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik) Di lain pihak, sekolah juga harus

meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan mutu serta bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah. Ciri-ciri MBS, bisa diketahui antara lain dari sudut sejauh mana sekolah dapat mengoptimalkan kemampuan manajemen Sekolah, terutama dalam pemberdayaan sumber daya yang ada menyangkut Sumber Daya Kepala Sekolah dan Guru, partisipasi masyarakat, pendapatan daerah dan orang tua,juga anggaran sekolah. Secara konsepsional MBS diharapkan membawa dampak terhadap peningkatan kerja Sekolah seperti mutu, efisiensi manajemen keuangan, pemerataan kesempatan, dan pencapaian tujuan politik suatu bangsa, lewat perubahan kebijakan desentralisasi di berbagai aspek seperti politik, edukatif, administrasi,manajemen dan anggaran pendidikan. Aspek-aspek yang menjadi bidang garapan Sekolah meliputi: perencanaan dan evaluasi program Sekolah, pengelolaan kurikulum yang bersifat inklusif, pengelolaan KBM, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan perlengkapan dan peralatan, pengelolaan keuangan, pelayanan siswa, hubungan Sekolah-masyarakat, dan pengelolaan iklim Sekolah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan Depdiknas (2001) lebih mendapatkan kata kunci diberlakukannya MBS, yaitu terletak pada empat komponen : 1. Pelimpahan dan Pembagian Wewenang Desentralisasi kewenangan dilakukan dengan cara pelimpahan wewenang kepada kepala sekolah,

guru, dan oran tua untuk mengambil keputusan. Untuk mengoperasikan pelimpahan wewenang tersebut dibutuhkan adanya pembagian kewenangan yang jelas antara dewan sekolah, pemerintah maupun para pelaksana pendidikan di Sekolah. 2. Informasi Dua Arah dan Tanggung Jawab Untuk Kemajuan Informasi bersifat dua arah, yaitu top down (dari atas ke bawah) dan botom up (dari bawah ke atas) yang berisi tentang ide, isu-isu dan gagasan pelaksanaan pelaksanaan tugas serta kinerja, produktivitas sikap pegawai. Informasi yang dua arah akan memungkinkan terjadinya proses komunikasi yang dialogis dan efektif sehingga semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan dapat berbagi informasi dalam upaya pengambilan keputusan atau perbaikan-perbaikan penyelenggaraan pendidikan. 3. Bentuk dan Distribusi Penghargaan Penghargaan dalam bentuk penggajian, insentif maupun penghargaan non material dalam bentuk internal (produk kerja, kepuasan kerja) maupun bentuk penghargaan eksternal (pujian, uang, dan penghargaan lainnya) akan terdistribusikan secara tepat terhadap individu-individu sesuai dengan kontribusi, partisipasi dan tingkat keberhasilannya di dalam pelaksanaan tugas yang diembannya.

4. Penetapan Standar Pengetahuan dan Keterampilan Berkaitan erat dengan penetapan standar kompetensi yang variatif sesuai dengan tuntutan yang ada serta memberikan peluang kepada pihakpihak pelaksana pendidikan untuk senantiasa meningkatkan kompetensinya secara mandiri dengan penuh kesadaran dan bertanggung jawab terhadap kinerja yang dihasilkannya. Pentingnya peran pemimpin dalam Manajemen Berbasis Sekolah tidak terlepas dari 1) pelimpahan dan distribusi kewenangan, 2) mekanisme pembuatan keputusan, 3) proses penetapan kebijakan, 4) melakukan pengawasan, 5) memberikan motivasi dan membangun suasana kerja yang kondusif. Beberapa faktor yang dapat mendukung keberhasilan implementasi MBS antara lain : sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan oleh pemerintah dan seluruh stakeholder pendidikan, gerakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Yang Dicanangkan Pemerintah, potensi Kepala Sekolah, organisasi Formal dan informal, organisasi Profesi Pada buku pedoman implementasi manajemen berbasis Sekolah yang diterbitkan oleh Pendidikan Agama dan Keagamaan Jakarta, 2002. bahwa faktor pendukung keberhasilan MBS terdiri dari: kepemimpinan dan manajemen sekolah yang baik, keadaan sosial ekonomi dan penghayatan masyarakat

terhadap pendidikan, dukungan pemerintah. Serta profesionalisme.