1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan ekonomi dan sosial. Semakin besar intensitas kegiatan pembangunan maka semakin besar pula peningkatan eksploitasi sumberdaya alam yang bersifat berlebihan antara lain kegiatan pertanian, perikanan, pariwisata, industri, dan pertambangan, sehingga terjadi konflik kepentingan yang memicu kerusakan lingkungan. Tumbuhnya kemiskinan akibat pertambahan penduduk telah menghancurkan lingkungan demi kelangsungan hidupnya (WCED 1987). Salah satu contoh akibat dari terjadinya kerusakan lingkungan adalah rusaknya daerah tangkapan air (hutan, situ, danau, waduk dll.) Waduk adalah danau buatan manusia sebagai tempat menampung dan tangkapan air yang umumnya dibentuk dari sungai atau rawa dengan tujuan tertentu. Waduk dibangun dengan tujuan multi fungsi yaitu sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA), sumber air minum, kegiatan pertanian, pengendali banjir, sarana olahraga air, budidaya perikanan, dan untuk pariwisata. Indonesia mempunyai sekitar 800 danau serta 162 waduk buatan besar dan kecil untuk kepentingan irigasi pertanian, bahan baku air bersih, dan PLTA. Sekitar 500 danau dan waduk di Indonesia mulai terancam punah akibat pengelolaan yang tidak optimal, dimulai dari hulu hingga hilir (http://www.pusairpu.go.id/artikel/kesatu.pdf). Waduk Cirata merupakan salah satu waduk besar di Jawa Barat yang selesai dibangun pada tahun 1988. Waduk tersebut dibangun dengan fungsi utama sebagai PLTA untuk menghasilkan daya listrik terpasang sebesar 1008 MW atau energi per tahun 1.426 GW jam sebagai pemasok tenaga listrik Jawa dan Bali (BPWC 2003). Volume air pada waktu normal sekitar 2.160.000.000 m 3, dengan luas permukaan sekitar 6.200 ha, kedalaman rata-rata sekitar 34,9 m, kedalaman maksimum mencapai 106 m. Status kesuburan Waduk Cirata adalah mesotropic hingga eutropic (BPWC 2003). Waduk Cirata merupakan waduk yang mendapat sumber air terbesar dari daerah aliran Sungai Citarum. Pada awal dibangun luas Waduk Cirata mencapai 6.200 ha, adapun
2 daerah yang tergenang dan menjadi Waduk Cirata ini, berasal dari 28 desa yang berada dalam delapan kecamatan yang termasuk ke dalam daerah administrasi Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan Bandung Barat. Salah satu permasalahan yang dihadapi waduk di Indonesia saat ini adalah tingginya sedimentasi yang telah menjadi faktor utama penyebab penurunan daya dukung ekosistem waduk. Waduk Cirata telah mengalami permasalahan seperti halnya waduk lainnya di Indonesia yaitu pendangkalan dan penurunan luasan perairan akibat tingginya sedimentasi. Peningkatan beban sedimentasi ini diduga disebabkan oleh peningkatan laju erosi akibat aktivitas-aktivitas di daratan, buangan limbah industri dan rumah tangga di DAS, serta aktivitas manusia di perairan seperti budidaya ikan dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA) di waduk dengan pemberian pakan buatan yang berlebihan. Jumlah sedimen yang masuk ke waduk yang melebihi daya dukung akan mengurangi kapasitas volume daya tampung air waduk, dan merusak kualitas perairan pada akhirnya dapat memperpendek usia fungsional waduk tersebut. Turunnya volume air waduk menyebabkan waduk tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, baik untuk keperluan irigasi maupun pembangkit tenaga listrik. Sebagai contoh Waduk Djuanda, Saguling, dan Cirata di DAS Citarum volumenya tinggal 57,6% dari volume pada saat rencana pembangunan. Salah satu penyebab dari sedimentasi di Waduk Cirata adalah akibat aktivitas budidaya perikanan yang meningkat dari tahun ke tahun. Teknik budidaya intensif di KJA, telah mendorong petani memberikan pakan buatan secara berlebihan (sistem pompa), sehingga sisa pakan yang diberikan ikan dan feses banyak terbuang ke perairan. Menurut BPWC (2008), pada awal pembangunan waduk jumlah petakan KJA yang dianjurkan 12.000 petak dengan jumlah pemilik 2.472 orang, tetapi pada kenyataannya sampai tahun 2007 tercatat 51.000 petak dari jumlah pemilik 3.899 orang. Perkembangan KJA di perairan Waduk Cirata sudah tidak terkendali, mulai tahun 1988-1994 meningkat 140% per tahun (Krismono 1999). Akibat dari pertambahan KJA yang tidak terkendali tersebut menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan perairan serta sedimentasi yang meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Goldburg et al. (2001), dampak negatif dari aktivitas budidaya ikan pada KJA di waduk adalah adanya buangan
3 limbah budidaya selama operasional, limbah tersebut adalah sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan serta feses yang larut ke dalam perairan. Menurut Mc Donald et al. (1996), dalam budidaya perikanan secara komersial 30% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan sekitar 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan diekskresikan. Kartamiharja (1998) mengemukakan bahwa pada budidaya KJA yang dilakukan petani ikan di Jawa Barat menunjukkan jumlah pakan yang terbuang ke perairan berkisar antara 30-40%. Menurut Mc Ghie et al. (2000), bahan organik yang dihasilkan dari aktivitas budidaya ikan akan terakumulasi di bawah KJA akibat dari pakan ikan yang tidak dikonsumsi dan kotoran ikan. BPWC (2003)menyatakan, selain permasalahan teknis yang dihadapi oleh Waduk Cirata, terdapat permasalahan non teknis yaitu sejak diberlakukannya otonomi daerah maka pengelolaan waduk sebagai sumberdaya alam menjadi kabur, belum jelas dalam wewenang dan tanggung jawab pengelolaannya. Selanjutnya dikatakan bahwa tata ruang waduk yang ada belum tepat dan belum ditaati dalam pelaksanaannya. Dalam pengelolaan waduk agar tetap lestari sebaiknya melibatkan multi stakeholder, yaitu: (1) pelaku usaha, baik yang bergerak di dalam kawasan maupun di luar kawasan waduk; (2) pemerintah, yakni Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Perikanan; (3) perguruan tinggi; (4) lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat umum (masyarakat nelayan dan non nelayan). Faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan dalam pengelolaan waduk, seperti kualitas sumberdaya manusia, organisasi, kelembagaan, regulasi, dan infrastruktur. Pengelolaan waduk merupakan suatu kegiatan yang penting, kompleks dan dinamis. Penting karena waduk memiliki fungsi ekologi, ekonomi, sosial. dan budaya, menjadi kompleks karena melibatkan multi stakeholder dengan karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat pencemaran dan sedimentasi selalu berubah seiring dengan perubahan waktu. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan waduk harus dilakukan secara integratif holistik dengan pendekatan kesisteman, bukan secara parsial sektoral. Pendekatan kesisteman ini didasarkan pada sybernetic, holistic, and effectiveness (SHE) dengan melibatkan seluruh stakeholder.
4 Salah satu pendekatan kesisteman yang memungkinkan teridentifikasinya seluruh variabel terkait, dan memudahkan untuk mengetahui pola perkembangan ke depan seiring dengan perubahan waktu adalah dengan sistem model dinamik. Pendekatan ini akan memudahkan bagi pengambil kebijakan dalam pengelolaan waduk untuk menyiapkan langkah langkah strategis dalam menghadapi setiap perubahan yang akan terjadi ke depan. Selanjutnya pendekatan ini juga dapat mengidentifikasi faktor pengungkit dalam pengelolaan waduk, sehingga kebijakan strategis yang akan diambil menjadi lebih efektif. Pendekatan sistem dinamik merupakan bagian dari pendekatan kesisteman yang dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam pengelolaan waduk karena pendekatan sistem dinamik ini dapat menyederhanakan struktur sistem yang kompleks dan rumit (Muhammadi et al. 2001). Secara garis besar pengembangan sistem model dinamik meliputi 3 tahap, yaitu: (a) cognitive map, (b) construction model, (c) simulation and policy analysis. Cognitif map merupakan langkah pengenalan masalah secara mendasar, dilakukan melalui studi literatur, wawancara pakar, dan diskusi dengan stakeholder melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion: FGD). FGD merupakan forum diskusi stakeholder untuk mengidentifikasi seluruh variabel, masalah, kendala, dan kebutuhannya dalam pengelolaan waduk. Hasil dari FGD kemudian dibuat kedalam system conceptualization dalam bentuk diagram sebab akibat (causal loop diagram) yang menggambarkan hubungan sebab akibat dan feed back-nya satu variabel terhadap lainnya, sehingga memudahkan pengendalian sesuai dengan yang diinginkan. Construction model merupakan tahap pengembangan model yang didasarkan pada causal loop diagram. Pengembangan model menggunakan software tool Powersim. Sebagai langkah akhir dari pengembangan model dinamis adalah simulasi dan analisis kebijakan. Analisis kebijakan ini dilakukan terhadap hasil simulasi model berdasarkan skenario yang dikembangkan. Selanjutnya hasil analisis kebijakan akan menjadi bahan rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan waduk secara berkelanjutan.
5 1.2 Kerangka Pemikiran Waduk Cirata adalah waduk terluas kedua di Jawa Barat yang terletak di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Purwakarta, Bandung Barat dan Cianjur, dibangun oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan utamanya sebagai pembangkit listrik tenaga air. Pada kenyataannya berfungsi sebagai waduk serbaguna yang diambil manfaatnya untuk kegiatan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Waduk Cirata seperti halnya waduk serbaguna lainnya, dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan ekonomi yaitu untuk budidaya ikan dalam KJA. Terjadinya alih fungsi utama sebagai PLTA menjadi fungsi untuk kegiatan ekonomi masyarakat mengakibatkan terjadinya konflik sosial antara Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) dengan masyarakat sebagai pelaku kegiatan usaha perikanan di Waduk Cirata. Oleh karenanya kondisi Waduk Cirata pada saat ini telah mengalami degradasi yang sangat serius karena masyarakat dalam melakukan kegiatan perikanan budidaya tidak memperhatikan fungsi lingkungan waduk tersebut. Luasan waduk yang makin lama semakin sempit dengan kedalaman air yang makin berkurang serta tingginya sedimentasi dan pencemaran perairan diduga mengakibatkan fungsi utama waduk sebagai PLTA terabaikan (Garno 2001). Secara garis besar ada dua aspek utama yang terkait dalam pengelolaan waduk. Pertama adalah aspek teknis yang berlangsung yaitu sistem pertanian di daerah aliran sungai, industri di daerah hulu, erosi, pendangkalan waduk, usaha karamba jaring apung, dan pemukiman penduduk. Kedua adalah aspek non teknis seperti kelembagaan, regulasi, teknologi, perilaku sosial, dan kesadaran masyarakat. Untuk menjamin keberlanjutan waduk maka dalam pengelolaannya, tidak hanya menekankan pada aspek teknis atau non teknis saja, tetapi keduanya harus dilaksanakan, dan secara menyeluruh (holistik) dengan menggunakan pendekatan kesisteman, bukan berdasarkan pendekatan yang terpisah yang hanya menekankan pada satu variabel saja. Menurut BPWC (2003), selain permasalahan teknis yang dihadapi oleh Waduk Cirata, terdapat permasalahan non teknis yaitu sejak diberlakukannya otonomi daerah maka pengelolaan waduk sebagai sumberdaya alam menjadi kabur, belum jelas dalam wewenang dan tanggung jawab pengelolaannya. Selanjutnya dikatakan bahwa zonasi waduk yang ada
6 sudah tidak tepat lagi, dan belum ditaati dalam pelaksanaannya, sehingga diperlukan zonasi baru yang sudah disesuaikan dengan kondisi Waduk Cirata sekarang. Kepadatan dan zonasi keramba jaring apung di Waduk Cirata yang sudah tidak sesuai dengan zonasi ditampilkan pada Gambar 1. Gambar 1 Kepadatan dan zonasi keramba jaring apung di Waduk Cirata. Sumber: Prihadi (2005) Dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan adalah sesuai dengan fungsi waduk tersebut, sedangkan dampak negatif dan permasalahan yang paling menonjol adalah pemukiman kembali penduduk asal kawasan yang digenangi, pengadaan lapangan kerja, hilangnya daratan, hutan, perkebunan, dan sumberdaya lainnya termasuk flora, fauna, serta dampak ekologi yang merugikan lainnya baru akan terasa dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, maka pembangunan waduk perlu dinilai dan dikaji dengan memperhitungkan arti dan peran pentingnya bagi pembangunan ekonomi dan kemudian memantapkan cara dan teknik pengelolaan sumberdaya perairan waduk agar diperoleh hasil optimal dengan meminimalkan efek atau dampak negatif yang tidak diinginkan. Berdasarkan hal tersebut, maka
7 diperlukan adanya suatu kajian untuk membahas masalah mengenai pengelolaan sumberdaya perairan waduk secara optimal dan terpadu, untuk mendukung suatu program pengelolaan yang efektif guna menjamin keberlanjutan fungsí utama dari waduk tersebut. Dahuri (2003) menyatakan bahwa pendekatan yang penting untuk diterapkan dalam pengembangan pemanfaatan sumberdaya perairan, khususnya perairan waduk adalah dengan pendekatan berkelanjutan. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki 4 dimensi yaitu: (1) ekologis, (2) sosial ekonomi-budaya, (3) sosial politik, serta (4) hukum dan kelembagaan. Dengan dasar pembangunan berkelanjutan maka strategi pengelolaan waduk sebaiknya mengikuti keempat dimensi tersebut. Gambar 2 memperlihatkan diagram alir kerangka pemikiran rencana penelitian. WADUK CIRATA Fungsi Ekonomi Fungsi Ekologi Fungsi Sosial Budaya PLTA KJA Konservasi Tenaga Kerja Pariwisata Pendapatan Kelestarian plasma nutfah dan tata guna air Penyerapan pengangguran Konfik Kepentingan Fungsi Turbin Kelembagaan/ Regulasi Daya dukung perairan Pengelolaan Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung Strategi Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian.
8 1.3 Tujuan Penelitian 1) Menghitung daya dukung lingkungan perairan Waduk Cirata (Jawa Barat). 2) Membuat model kelembagaan untuk pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat) berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA. 3) Merancang bangun model sistem dinamik pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat) berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA. 4) Menilai keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata berbasis perikanan budidaya karamba jaring apung. 1.4 Manfaat Penelitian 1) Manfaat praktis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai suatu masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan berbasis perikanan budidaya karamba jarring apung, sehingga kebijakan yang dibuat menjadi cepat, tepat, dan akurat. 2) Manfaat teoritis akademis: Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan rujukan bagi para peneliti lain yang akan melakukan pengkajian pengelolaan waduk dengan pendekatan kesisteman. 1.5 Kebaruan (Novelty) Kebaruan dari penelitian ini adalah model pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya dengan menggabungkan aspek ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosekbud. Penelitian terdahulu hanya melakukan kajian bersifat pemantauan terhadap kualitas perairan saja. Metoda yang digunakan pada penelitian ini dengan menggabungkan hard system methodology (daya dukung perairan) dengan soft system methodology (ekonomi, sosial budaya, kelembagaan) dengan sistem dinamik.