V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana Pemerintah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Disparitas antar Kabupate/kota di Provinsi Sulawesi Selatan :

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

PERSATUAN AHLI GIZI INDONESIA (INDONESIAN NUTRITION ASSOCIATION) PROVINSI SULAWESI SELATAN

Lampiran 1. Nilai Indeks Williamson PDRB per. (fi/ fi)/(yi- ỳ)^2. Kabupaten/K ota PDRB (000) (fi/ fi) (yi-ỳ) (yi-ỳ)^2.

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

Kesenjangan Sektor Riil dan Keuangan di Sulsel

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SULAWESI SELATAN AGUSTUS 2014

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

Pengantar Diskusi Kinerja APBD Sulsel. Oleh. Syamsuddin Alimsyah Koor. KOPEL Indonesia

BAB V SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Analisis Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah

Keadaan Ketenagakerjaan Sulawesi Selatan Agustus 2017

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

Tipologi Wilayah Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014

Tinjauan Ekonomi. Keuangan Daerah

BOX UMKM : PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN KOMODITAS 'GERBANG EMAS' OLEH PERBANKAN SULAWESI SELATAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

BERITA RESMI STATISTIK

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI SELATAN 2014

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. LKPJ Gubernur Sulawesi Selatan Tahun

DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI SULAWESI SELATAN DEVELOPMENT OF DISPARITIES SOUTH SULAWESI PROVINCE

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Tantangan dalam Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di Sulawesi Selatan

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

STRATEGI DAN KESIAPAN SEKTOR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN SULAWESI SELATAN MENGHADAPI AEC 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

Indikator Sosial Ekonomi Makro Kabupaten Pinrang 2015

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

1. Perkembangan Umum dan Arah Perencanaan

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DAN KETIMPANGAN REGIONAL DI PROPINSI SULAWESI SELATAN TAHUN SKRIPSI

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI SULAWESI SELATANTAHUN Disusun Oleh: Denis Jakson Bimbin

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

Klasifikasi Kabupaten-Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Menggunakan Logika Fuzzy

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Metodologi Quick Count

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

FORUM PEMBANGUNAN DAERAH MENUJU PEMBANGUNAN EKONOMI SULAWESI SELATAN YANG LEBIH INKLUSIF

Analisis Isu-Isu Strategis

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

BAB I PENDAHULUAN. dokumen RPJP Provinsi Riau tahun , Mewujudkan keseimbangan

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

ANALISIS RASIO TREND KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH OTONOM PROPINSI SULAWESI SELATAN TAHUN

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Sulawesi Selatan Tahun 2013 sebanyak rumah tangga

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. mengurangi kemiskinan (Madris, 2010). Indikator ekonomi makro (PDRB)

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB V ANALISA PEREKONOMIAN ANTAR KABUPATEN/KOTA

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan

Laporan Pembayaran Iuran Kehutanan DR Bulan Januari Tahun 2015 BPPHP Wilayah XV Makassar

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik Provinsi Lampung ( time series ) pada jangka waktu 6 tahun. terakhir yakni pada tahun 2006 hingga tahun 2007.

BAB I PENDAHULUAN. P r o f i l K e s e h a t a n P r o v. S u l s e l T a h u n Hal :1

GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. P r o f i l K e s e h a t a n P r o v. S u l s e l T a h u n Hal :1

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan yang diharapkan itu adalah kemajuan yang merata antarsatu

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

71 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan dan Tingkat Perkembangan Wilayah Adanya ketimpangan (disparitas) pembangunan antarwilayah di Indonesia salah satunya ditandai dengan adanya wilayah-wilayah tertinggal. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki cukup banyak daerah tertinggal, yaitu sebanyak 199 daerah dimana sebesar 43 persen Kabupaten tertinggal, dengan konsentrasi kawasan timur Indonesia 62 persen, dan kawasan barat Indonesia 38 persen. (Menteri, 2008) Sulawesi Selatan memiliki 13 Kabupaten yang dikategorikan tertinggal, yaitu Jeneponto, Luwu, Selayar, Enrekang, Pangkajene Kepulauan, Luwu Timur, Sinjai, Takalar, Tana Toraja, Bulukumba, Bantaeng, Barru, dan Pinrang. Daerah ini memiliki permasalahan aspek pengembangan ekonomi lokal, permasalahan aspek pengembangan sumber daya manusia, permasalahan aspek kelembagaan, permasalahan aspek sarana dan prasarana dan permasalahan aspek karakteristik daerah (Soetomo, 2008). Namun sebaliknya di Sulawesi Selatan juga terdapat beberapa daerah yang cenderung maju dengan kecenderungan aktivitas perekonomian yang berkembang cepat. Perbedaan kondisi geografis, sasaran program, serta kebijakan, dan juga kondisi sarana dan prasarana mengakibatkan terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah. Hal tersbut selanjutnya dapat memicu terjadinya ketimpangan wilayah. Untuk mengetahui sejauh mana ketimpangan wilayah yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan, maka dilakukan analisis melalui pendekatan keterkaitan sektoral-spasial (sektoral-spatial linkages approach). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) indeks Williamson dan (2) indeks Theil. Indeks Williamon mempunyai keunggulan ukuran nilai ketimpangan wilayah yang jelas terutama antar subwilayah, sedangkan indeks Theil mampu menjelaskan penyebab ketimpangan wilayah yang terjadi. Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering digunakan dalam mengukur disparitas antar wilayah (Rustiadi et al, 2007). Indeks Williamson ini digunakan untuk mendeskripsikan ketimpangan wilayah dengan

72 menggunakan nilai PDRB per kapita dapat digunakan untuk mendeskripsikan ketimpangan wilayah. Indeks Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika dihasilkan nilai indeks sama dengan nol, berarti tidak ada disparitas antar wilayah yang terjadi, sedangkan indeks lebih besar dari nol menunjukkan adanya disparitas perekonomian atau pembangunan antarwilayah. Semakin besar indeks yang dihasilkan maka semakin besar tingkat ketimpangan antarwilayah di suatu tempat yang lebih luas. Analisis indeks Williamson ini menggunakan data PDRB per kapita dan jumlah penduduk tiap kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir yaitu dari tahun 2004 hingga tahun 2008, dengan tingkat disparitas dapat dilihat di Tabel 16. Tabel 16. Indeks Ketimpangan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009 No Tahun Indeks Williamson Perubahan 1 2004 0,57-2 2005 0,70 0,13 3 2006 0,70 0 4 2007 0,71 0,01 5 2008 0,67-0,04 6 2009 0,69 0,02 Sumber: Hasil Analisis Indeks Williamson, data diolah Nilai indeks Williamson Provinsi Sulawesi Selatan masih di bawah nilai Indeks Williamson Indonesia sebesar 0,836 dan Indeks Williamson Kawasan Barat 0,6625 di tahun 2006. Terlihat bahwa ketimpangan Provinsi Sulawesi Selatan berada di bawah ketimpangan Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia. Tahun 2009 terjadi ketimpangan yang lebih tinggi yaitu sebesar 0,69. (BPS, 2007)

73 Gambar 15. Nilai Indeks Williamson dari tahun 2004-2009 Terdapat ketimpangan dari nilai indeks williamson Sulawesi Selatan, terlihat dari perjalanan 5 tahun tahun 2004-2009 memiliki nilai indeks lebih dari nol. Meski di bawah Indeks Williamson Indonesia sebesar 0,836, dan berada di atas ketimpangan kawasan barat Indonesia 0,66 di tahun 2006. Berdasarkan hasil analisis tersebut, tingkat disparitas Provinsi Sulawesi Selatan mengalami kecenderungan peningkatan di tahun 2004 hingga 2005 terlihat dari hasil analisis dari 0,57 menjadi 0,70. Terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada tahun 2005 sebesar 0,13 pada tahun 2005. Namun setelah 2005 tidak terjadi peningkatan maupun penurunan di tahun 2006 berada pada 0,70 pada tahun 2006, dan terus mengalami peningkatan sebesar 0,01 pada tahun 2007 menjadi 0,71. Pada tahun 2008 terjadi penurunan sebesar 0,04 menjadi 0,67 dan naik sebesar 0,02 di tahun 2009 menjadi 0,69. Nilai Indeks Williamson yang berada di atas nol ini menunjukkan telah terjadi ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan, dan besarnya nilai Indeks Williamson menunjukkan tingginya ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, jika melihat ketimpangan yang ditunjukkan Provinsi Sulawesi Selatan selama 5 tahun terakhir dengan mengeluarkan 3 kota besar di Provinsi Sulawesi Selatan, terlihat kecenderungan penurunan ketimpangan. Tetapi besaran Indeks Williamson di Provinsi Sulawesi Selatan tetap berada lebih dari nol. Jadi secara umum, peningkatan ketimpangan atau memburuknya ketimpangan yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan lebih dikarenakan kehadiran tiga kota tersebut. Seperti terlihat pada Gambar 16.

74 Gambar 16. Perbandingan Indeks Willimson tanpa 3 kota di Sulawesi Selatan Indeks Williamson dapat menunjukkan tingkat ketimpangan suatu wilayah, namun analisis ketimpangan ini dirasa kurang mendalam dalam melihat hubungan antarwilayah penyebab ketimpangan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini juga digunakan analisis indeks Theil untuk lebih jauh mengkaji besarnya disparitas (disparitas total) yang dikomposisi menjadi dua, yaitu disparitas antar Kabupaten/kota (between) dan disparitas dalam Kabupaten/kota (within). Dimana diperoleh bahwa disparitas di Provinsi Sulawesi Selatan sebagian besar disebabkan oleh ketimpangan yang terjadi intern kabupaten/kota yang ditunjukkan nilai theil within yang lebih besar. Seperti terlihat lebih rinci pada Tabel 17. Tabel 17. Indeks Theil Within dan Between Tahun 2004-2009 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Nilai (persen) Nilai (persen) Nilai (persen) Nilai (persen) Nilai (persen) Nilai (persen) Theil Within (Sektoral) 0.05 94.18 0.14 62.21 0.12 58.36 0.11 57.23 0.08 53.28 0.09 54.10 Theil Between (Regional) 0.0032 5.82 0.08 37.79 0.08 41.64 0.08 42.77 0.07 46.72 0.08 45.90 Indeks Theil (Total) 0.06 100.00 0.22 100.00 0.20 100.00 0.19 100.00 0.16 100.00 0.17 100.00 Sumber : Hasil Analisis Indeks Theil, data dioleh, 2010 Hasil perhitungan indeks Theil menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan dengan tingkat ketimpangan sebesar 0,06 untuk tahun 2004, 0,22 untuk tahun 2005, 0,20 untuk tahun 2006, 0,19 untuk tahun 2007, dan 0,16 untuk tahun 2008 serta 0,17 untuk tahun 2009. Dari hasil perhitungan Theil within dan Theil between, diketahui bahwa proporsi theil within lebih besar dari

75 theil between. Dimana nilai indeks theil within sebesar 0,052 atau 94,1838 persen sedangkan theil between 0,0032 atau 5,8162 persen untuk tahun 2004. Untuk tahun 2005, theil within sebesar 0,1387 atau 62,2068 persen sedangkan untuk indeks theil between sebesar 0,0842 atau 37,7932 persen. Untuk tahun 2006, indeks theil within sebesar 0,1168 atau 58,3614 persen sedangkan indeks theil between sebesar 0,0834 atau 41,6386 persen. Untuk tahun 2007, indeks theil within sebesar 0,1110 atau 57,2319 persen sedangkan untuk theil between sebesar 0,0830 atau 42,7681 persen. Untuk tahun 2008, indeks theil within sebesar 0,0835 atau 53,2834 persen sedangkan indeks theil between sebesar 0,0733 atau 46,7166 persen. Ditinjau dari besarnya persentase dekomposisi Indeks Theil dapat diketahui bahwa sumber disparitas yang berasal dari disparitas dalam Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Seperti terlihat Gambar 17. Gambar 17. Komposisi Indeks Theil Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009

76 Tabel 18. Indeks Theil Between Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan, Tahun 2004-2009 No Kabupaten/Kota Theil Between 2004 Theil Between 2005 Theil Between 2006 Theil Between 2007 Theil Between 2008 Theil Between 2009 1 Selayar -0.0025-0.0022-0.0021-0.0020-0.0021-0.0020 2 Bulukumba -0.0059-0.0047-0.0065-0.0081-0.0065-0.0075 3 Bantaeng -0.0039-0.0040-0.0037-0.0035-0.0023-0.0036 4 Jeneponto -0.0075-0.0067-0.0069-0.0070-0.0072-0.0068 5 Takalar -0.0051-0.0050-0.0047-0.0044-0.0043-0.0043 6 Gowa -0.0114-0.0119-0.0113-0.0107-0.0121-0.0113 7 Sinjai -0.0028-0.0036-0.0038-0.0040-0.0033-0.0032 8 Maros -0.0051-0.0045-0.0044-0.0043-0.0047-0.0036 9 Pangkep 0.0090 0.0068 0.0075 0.0083 0.0068 0.0087 10 Barru -0.0024-0.0023-0.0019-0.0016-0.0018-0.0010 11 Bone -0.0113-0.0124-0.0111-0.0098-0.0099-0.0110 12 Soppeng -0.0025-0.0033-0.0033-0.0034-0.0022-0.0019 13 Wajo -0.0014-0.0018-0.0022-0.0025-0.0020-0.0021 14 Sidrap -0.0005-0.0005-0.0003-0.0003-0.0016 0.0008 15 Pinrang 0.0045 0.0042 0.0035 0.0031 0.0024 0.0044 16 Enrekang -0.0037-0.0045-0.0042-0.0040-0.0036-0.0038 17 Luwu -0.0039-0.0030-0.0031-0.0032-0.0026-0.0005 18 Tana Toraja -0.0066-0.0078-0.0091-0.0101-0.0082-0.0090 19 Luwu Utara -0.0099-0.0041-0.0039-0.0038-0.0038-0.0029 20 Luwu Timur * 0.0700 0.0666 0.0627 0.0525 0.0467 21 Makassar 0.0753 0.0834 0.0863 0.0896 0.0898 0.0922 22 Parepare -0.0001 0.0005 0.0007 0.0009 0.0000 0.0002 23 Palopo 0.0008 0.0015 0.0012 0.0010 0.0002 0.0005 Tabel 18 dan Gambar 19 menunjukkan bahwa Kota Makassar mempunyai konstribusi terbesar terhadap terjadinya ketimpangan antar Kabupaten/kota, yaitu sebesar 0,0753 di tahun 2004, 0,0834 di tahun 2005, 0,0863 di tahun 2006, 0,0896 di tahun 2007 dan 0,0898 di tahun 2008 dan 0.0922 untuk tahun 2009. Selanjutnya diikuti oleh daerah lainnya, yaitu Luwu Timur, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Palopo dan Kota Pare-Pare dan Sidrap. Khusus untuk Sidrap ini menjadi pemberi proporsi ketimpangan antara Kabupaten/kota pada tahun 2009 berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk daerah lainnya, menunjukkan belum optimal atau belum berkembangnya pembangunan di Kabupaten/kota tersebut.

77 Gambar 18. Peta Ketimpangan Daerah Dari Gambar 18, dapat diketahui bahwa ada 6 daerah yang memberikan proporsi terbesar terhadap ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Kota Makassar, Kabupaten Pangkajene dan Kep, Kota Pare-Pare, Kabupaten Pinrang, Kota Palopo dan Kabupaten Luwu Timur.

78 Tabel 19. Indeks Theil Within Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 No Kabupaten/Kota Theil Within Theil Within Standardized Theil Within Theil Within Standardized Theil Within Theil Within Standardized Theil Within Theil Within Standardized Theil Within Theil Within Standardized Theil Within Theil Within Standardized 1 Selayar 0.0703 0.0006 0.0482 0.0004 0.0425 0.0004 0.0464 0.0004 0.0864 0.0008 0.0468 0.0004 2 Bulukumba 0.0112 0.0004 0.0193 0.0007 0.0064 0.0002 0.0458 0.0016 0.037 0.0013 0.0244 0.0009 3 Bantaeng 0.0146 0.0002 0.0082 0.0001 0.0103 0.0002 0.0151 0.0002 0.0276 0.0004 0.0081 0.0001 4 Jeneponto 0.0344 0.0007 0.0305 0.0006 0.042 0.0008 0.0549 0.001 0.0449 0.0008 0.0561 0.0010 5 Takalar 0.0341 0.0006 0.0078 0.0001 0.0125 0.0002 0.019 0.0003 0.0197 0.0004 0.0173 0.0003 6 Gowa 0.0163 0.0006 0.019 0.0007 0.0194 0.0007 0.0185 0.0007 0.03 0.0011 0.0123 0.0005 7 Sinjai 0.0255 0.0006 0.0325 0.0007 0.0385 0.0008 0.0417 0.0009 0.0374 0.0008 0.0407 0.0009 8 Maros 0.0632 0.0016 0.0387 0.0009 0.0573 0.0013 0.0874 0.002 0.0818 0.0019 0.0854 0.0020 9 Pangkep 0.3945 0.0201 0.4762 0.0241 0.3893 0.0196 0.3381 0.017 0.3275 0.0165 0.2623 0.0133 10 Barru 0.0124 0.0002 0.0149 0.0002 0.0144 0.0002 0.0322 0.0005 0.0211 0.0003 0.0148 0.0002 11 Bone 0.0333 0.0021 0.0306 0.0019 0.0446 0.0028 0.0826 0.0052 0.0367 0.0023 0.0454 0.0029 12 Soppeng 0.029 0.0007 0.0754 0.0018 0.0711 0.0017 0.0719 0.0017 0.0444 0.0011 0.0548 0.0014 13 Wajo 0.0373 0.0019 0.0755 0.0038 0.0508 0.0025 0.0362 0.0018 0.0638 0.0032 0.0480 0.0024 14 Sidrap 0.0103 0.0003 0.0109 0.0003 0.0129 0.0004 0.0179 0.0005 0.0173 0.0005 0.0062 0.0002 15 Pinrang 0.0061 0.0003 0.0195 0.001 0.0102 0.0005 0.016 0.0008 0.0099 0.0005 0.0272 0.0014 16 Enrekang 0.0607 0.001 0.0698 0.0011 0.0806 0.0012 0.0977 0.0015 0.0779 0.0012 0.0938 0.0014 17 Luwu 0.054 0.0018 0.037 0.0013 0.0566 0.0019 0.0737 0.0025 0.0518 0.0017 0.0325 0.0011 18 Tana Toraja 0.1168 0.0033 0.1666 0.0046 0.1627 0.0044 0.2023 0.0054 0.1472 0.0039 0.1748 0.0023 19 Luwu Utara 0.004 0.0001 0.0322 0.0009 0.0193 0.0006 0.0158 0.0005 0.0143 0.0004 0.0141 0.0004 20 Luwu Timur * * 0.6343 0.0696 0.509 0.056 0.4365 0.0477 0.3389 0.0337 0.4525 0.0412 21 Makassar 0.0515 0.0146 0.0736 0.0211 0.0642 0.0187 0.0593 0.0175 0.0334 0.0102 0.0526 0.0167 22 Parepare 0.0242 0.0004 0.1214 0.0018 0.0625 0.0009 0.0326 0.0005 0.0163 0.0002 0.0505 0.0008 23 Palopo 0.0101 0.0002 0.042 0.0008 0.035 0.0006 0.0415 0.0007 0.0252 0.0005 0.0729 0.0013 0.0522 0.1387 0.1168 0.111 0.0835 0.0931 Sumber : Hasil Analisis Indeks Theil, data diolah Dari data pada tabel 19 diatas menunjukkan bahwa nilai indeks Theil Within Provinsi Sulawesi Selatan adalah 0,0522 di tahun 2004, 0,1387 di tahun 2005, 0,1168 di tahun 2006, 0,1110 di tahun 2007, 0,0835 di tahun 2008 dan 0,0931 di tahun 2009. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan di Internal kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Daerah dengan ketimpangan terbesar di tahun 2004 di dalamnya adalah Kabupaten Pangkep (0,201) dan Kota Makassar (0,0146). Untuk Kabupaten Pangkep sendiri, sektor yang memberikan proporsi terbesar terhadap ketimpangan adalah sektor industri pengolahan dan sektor lainnya, begitu pula

79 untuk Kota Makassar, sektor yang memberikan proporsi terbesar terhadap ketimpangan adalah sektor industri pengolahan dan sektor lainnya. Tahun 2005, daerah dengan ketimpangan internal terbesar adalah Kabupaten Luwu Timur (0,0696), Kabupaten Pangkep (0,0241) dan Kota Makassar (0,0211), begitupula untuk tahun 2006, 2007 dan 2008. Sektor yang memberikan proporsi ketimpangan terbesar di Kabupaten Luwu Timur adalah sektor lainnya yang terdiri dari pertambangan, penggalian, transportasi, komunikasi, keuangan asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, asuransi, dan bisnis jasa. Kabupaten Luwu Timur terkenal dengan pertambangan nikel yang besar. Oleh sebab itu, sektor lainnya ini yang menjadi sektor dengan penyumbang terjadinya ketimpangan internal di kabupaten tersebut. Sektor lainnya ini terdiri dari pertambangan, penggalian dan transportasi, komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, asuransi dan bisnis jasa. Sedangkan untuk Kabupaten Pangkep dan Kota Makassar, sektor yang menjadi proporsi ketimpangan dalam kota ini adalah industri pengolahan dan sektor lainnya yang menjadi pemicu ketimpangan. Untuk Kabupaten Pangkep, sektor industri pengolahan yang sangat berkembang adalah pengolahan industri semen Tonasa. Sedangkan untuk melihat seberapa besar perkembangan aktivitas perekonomian pada suatu wilayah dapat dianalisis dengan menghitung diversifikasi dengan konsep entropi. Prinsip indeks entropi ini adalah semakin beragam aktivitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah, yang berarti bahwa wilayah tersebut semakin berkembang. Aktivitas suatu wilayah dapat dicerminkan dari perkembangan sektor-sektor perekonomian dalam PDRB. Semakin besar indeks entropinya maka dapat diperkirakan semakin berkembang dan proporsional komposisi antara sektor-sektor perekonomian, dan sebaliknya semakin kecil indeksnya maka dapat diperkirakan terdapat sektor tidak beragam di wilayah tersebut. Hasil analisis indeks entropi total untuk seluruh Kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2004-2009 ditunjukkan pada Tabel 27. Dari hasil entropi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 27 dapat diketahui bahwa nilai entropi total provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan dalam kurun waktu 2004 hinggga 2009 meskipun besarnya peningkatan nilai indeks tersebut tidak terlalu signifikan (yaitu sebesar 4,1497 menjadi 4,2125 di tahun

80 2009). Namun hal tersebut mencerminkan perekonomian di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami perkembangan, khususnya dilihat dari keberagaman jenis aktivitasnya. Tabel 20 No Indeks Entropi Kabupaten/Kota Berdasarkan PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009 Kabupaten/ Kota Indeks Entropi 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata- Rata 1 Selayar 0,0586 0,0577 0,0573 0,0575 0,0576 0,0584 0,0579 2 Bulukumba 0,1649 0,1639 0,1643 0,1644 0,1609 0,1672 0,1643 3 Bantaeng 0,0836 0,083 0,0826 0,082 0,0794 0,0828 0,0822 4 Jeneponto 0,1054 0,1022 0,1005 0,0991 0,0947 0,0972 0,0999 5 Takalar 0,1036 0,1033 0,1028 0,1026 0,0986 0,102 0,1022 6 Gowa 0,1807 0,1807 0,1806 0,181 0,1757 0,1843 0,1805 7 Sinjai 0,1119 0,1114 0,1119 0,1115 0,1088 0,1131 0,1114 8 Maros 0,1317 0,1291 0,1272 0,1257 0,1205 0,1247 0,1265 9 Pangkep 0,2253 0,2239 0,223 0,2226 0,2163 0,2234 0,2224 10 Barru 0,0875 0,0871 0,0861 0,0852 0,0827 0,0852 0,0856 11 Bone 0,2705 0,2677 0,2676 0,2695 0,2627 0,2742 0,2687 12 Soppeng 0,1321 0,1297 0,1304 0,1298 0,1262 0,1309 0,1299 13 Wajo 0,2345 0,2343 0,2336 0,233 0,2263 0,2327 0,2324 14 Sidrap 0,1512 0,1535 0,1547 0,1539 0,1504 0,1562 0,1533 15 Pinrang 0,218 0,219 0,2169 0,2162 0,2102 0,2191 0,2166 16 Enrekang 0,0882 0,0884 0,0868 0,0862 0,083 0,0865 0,0865 17 Luwu 0,1583 0,1595 0,161 0,1613 0,1557 0,1611 0,1595 18 Tana Toraja 0,1421 0,1416 0,1395 0,1392 0,0757 0,0784 0,1194 19 Luwu Utara 0,1289 0,1349 0,1393 0,1411 0,1396 0,1454 0,1382 20 Luwu Timur 0,3168 0,3184 0,319 0,318 0,2951 0,2887 0,3093 21 Toraja Utara - - - - 0,0779 0,0804 0,0792 22 Kota Makassar 0,8651 0,8706 0,8799 0,8889 0,8841 0,9233 0,8853 23 Kota Pare-pare 0,088 0,0879 0,0883 0,0887 0,0851 0,0901 0,0880 24 Kota Palopo 0,1026 0,1039 0,104 0,1045 0,1021 0,1071 0,1040 Total 41.497 41.518 41.574 41.617 40.693 42.125 41.504 Provinsi Sulawesi Selatan 1,93 1,94 1,95 1,96 1,96 1,97 1,95 Sumber : Hasil Analisis Indeks Entropi data diolah Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari tahun 2004 hingga tahun 2009, nilai entropi tertinggi dan terendah dimiliki oleh daerah yaitu tertinggi oleh kota Makassar dan terendah oleh Kabupaten Selayar. Dengan angka terendah berturutturut dari 2004 hingga 2007 adalah 0.0586, 0.0577, 0.0573, 0.0575 dan 0,0584.

81 Nilai tertinggi berturut-turut dari tahun 2004 hingga 2009 di Makassar adalah 0.8651, 0.8706, 0.8799, 0.8841 dan 0,9233. Sedangkan untuk tahun 2008 terdapat perubahan untuk daerah dengan nilai entropi terendah yaitu pada Kabupaten Bantaeng sebesar 0.0576, dan di tahun 2009 Kabupaten Selayar menjadi yang terendah dengan nilai entropi 0,0584. Hal ini menunjukkan bahwa kota Makassar merupakan kota/ daerah yang paling berkembang dari wilayah lainnya dari aspek perekonomiannya dan tiap sektor perekonomiannya berkembang dengan baik (relatif merata) sehingga tidak didominasi oleh sektor-sektor tertentu saja, sedangkan untuk Kabupaten Selayar merupakan Kabupaten/daerah yang kurang berkembang sektor-sektor perekonomiannya, dan cenderung didominasi oleh sektor tertentu saja, yaitu sektor pertanian sebesar 39,34 persen dari total PDRB wilayahnya. Daerah yang memiliki nilai indeks entropi tinggi selain Makassar pada tahun 2008 adalah Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Bone, Kabupaten Wajo. Sedangkan daerah yang memiliki nilai entropi rendah selain Kabupaten Selayar dan Kabupaten Tana Toraja, adalah Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Barru dan Kabupaten Enrekang. Secara umum perkembangan indeks entropi kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2004-2009 dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19. Perkembangan Entropi Kabupaten/Kota Tahun 2004 hingga 2009 Untuk melihat tingkat penyebaran setiap sektor yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun 2004 hingga 2009 dapat dilihat dari tabel

82 Tabel 21 Penyebaran Setiap Sektor Hasil Analisis Entropy Tahun 2004-2009 No Sektor 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata- Rata 1 Pertanian 1,3249 1,3055 1,2745 1,2472 1,2429 1,2291 1,2707 2 Pertambangan dan Penggalian 0,2753 0,2742 0,275 0,275 0,261 0,2471 0,2679 3 Industri Pengolahan 0,514 0,5143 0,5128 0,5101 0,5108 0,5062 0,5114 4 Listrik, Gas dan Air Minum 0,0646 0,0637 0,0636 0,0639 0,0658 0,067 0,0648 5 Bangunan/Konstruksi 0,2482 0,2541 0,2622 0,2719 0,2871 0,2982 0,2703 6 7 8 Sumber Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Perusahaan dan Jasa Perusahaan 0,5773 0,5845 0,5927 0,5991 0,616 0,6305 0,6000 0,3209 0,3251 0,3242 0,3303 0,3359 0,342 0,3297 0,2956 0,2962 0,3001 0,3095 0,319 0,3325 0,3088 9 Jasa-Jasa 0,5288 0,5343 0,5522 0,5547 0,5543 0,5597 0,5473 Hasil Analisis Indeks Entropi, data diolah Tabel 21 diatas menunjukkan bahwa perkembangan aktivitas di sebagian besar sektor cenderung belum merata. Sektor pertanian pada tahun 2009 memiliki nilai indeks entropi yang lebih besar dari yang lain yaitu sebesar 1,2291 menunjukkan bahwa penyebaran aktifitas setiap Kabupaten/kota di sektor pertanian cenderung merata dibanding sektor lainnya. Sektor yang paling tidak merata penyebaran aktivitasnya dapat dilihat pada tahun 2009 adalah sektor listrik, gas dan air minum, indeks entropi menunjukkan sebesar 0.0670 adalah nilai yang terendah diantara semua sektor. Pertanian sebagai sektor yang merupakan sektor utama negeri ini, sektor yang merupakan sektor yang lebih dulu dikenal oleh masyarakat Indonesia memiliki tingkat penyebaran yang cenderung merata di setiap Kabupaten/kota, sedangkan listrik, gas dan air minum cenderung tidak merata penyebaran aktivitasnya di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk melihat perkembangan seberapa maksimalkah perkembangan aktivitas ekonomi dan penyebaran ekonomi provinsi Sulawesi Selatan, dapat dilihat pada Tabel 22.

83 Tabel 22. Nilai Entropi Tahun 2004-2009 Tahun Entropi Total Entropi Maksimum Perkembangan Wilayah (Indeks Diversitas Entropy) 2004 4.1497 5.3327 0.7782 2005 4.1518 5.3327 0.7785 2006 4.1574 5.3327 0.7796 2007 4.1617 5.3327 0.7804 2008 4.1929 5.3753 0.7800 2009 4.2125 5.3753 0.7837 Sumber : Hasil Analisis Entropi, data olah Perkembangan maksimal yang dapat diperoleh Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebesar 5,3327 untuk tahun 2004 hingga 2007 dan 5,3753 untuk tahun 2008 dan 2009, dimana hingga saat ini Provinsi Sulawesi Selatan memiliki total nilai entropi berkisar antara 4,1497 hingga 4,2125, menunjukkan belum maksimalnya perkembangan wilayah yang dilakukan. Meski dari tahun ke tahun ada peningkatan nilai total entropi yang ada tetapi perkembangan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan masih berkisar antara 0.7782 hingga 0,7838. Hal ini menunjukkan masih perlunya Provinsi Sulawesi Selatan untuk mengembangkan aktivitas perekonomian setiap Kabupaten/kota. Hasil ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Gambar 20. Nilai Entropi Total dari tahun 2004 hingga tahun 2009

84 5.2 Analisis Keuangan Provinsi Sulawesi Selatan Analisis sumber disparitas di Provinsi Sulawesi Selatan. Terkait dengan belanja yang digunakan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang mencakup Rasio Belanja setiap sektor, baik yang terkait sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor sosial, sektor ekonomi dan infrastruktur umum. Gambar 21. Perkembangan Persentase Alokasi Belanja per Urusan/Bidang Prov. Sulawesi Selatan 2007 hingga 2009 1. Rasio Belanja Sektor Pendidikan Rasio belanja yang terkait dengan sektor pendidikan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan masih belum memberikan belanja yang cukup dan memenuhi kebutuhan pendidikan. Hal tersebut secara terperinci ditunjukkan pada gambar 21 yang menerangkan perkembangan rasio belanja di urusan pendidikan selama kurun waktu 3 tahun terakhir dari tahun 2007 hingga 2009. Dari gambar 21 pada tahun 2009 pemerintah provinsi Sulawesi Selatan hanya megalokasikan 24,04 persen untuk keperluan belanja yang terkait dengan urusan pendidikan, mengalami penurunan dari tahun 2007 yang

85 sebesar 23,93 persen, dimana tahun 2008 dengan persentase terbesar yaitu sebesar 27,55 persen. 2. Rasio Belanja Kesehatan Masalah kesehatan selalu menjadi hal yang penting dalam suatu Negara, karena ini merupakan kebutuhan dasar bagi setiap masyarakat yang ada. Dalam hal ini pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan secara umum dalam melihat kebutuhan dalam hal kesehatan dapat terlihat dari rasio belanja urusan kesehatan ini yang terkait dengan belanja dalam kurun waktu 3 tahun dapat terlihat dari gambar 21. Dari Gambar 21 terlihat persentase belanja kesehatan untuk Provinsi Sulawesi Selatan yang pada tahun 2007 sebesar 8,35 persen, meski mengalami peningkatan di tahun 2008 tetapi alokasi untuk urusan kesehatan ini masih cukup kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran secara keseluruhan. Dimana untuk tahun 2008 dengan alokasi belanja kesehatan terkecil yaitu 9,2 persen dan di tahun 2009 sebesar 9,8 persen. 3. Rasio Belanja Ekonomi Rasio belanja urusan ekonomi juga mengalami fluktuasi yang cukup besar yang terjadi dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, dimana kecenderungannya mengalami peningkatan di tahun 2008. Persentase terkecil berada di tahun 2007 sebesar 9,025 persen masih lebih besar daripada persentase urusan kesehatan. Dimana pada tahun 2008 mengalami kenaikan lagi menjadi 9,4210 persen. Perkembangan Rasio Belanja Ekonomi selama 3 tahun terakhir dari tahun 2007 hingga 2009 dapat dilihat pada Gambar 22. 4. Rasio Belanja Sosial Rasio belanja urusan sosial juga mengalami fluktuasi meski kecil yang terjadi dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, dimana kecenderungannya mengalami penurunan di tahun 2008. Persentase terkecil berada di tahun 2008 sebesar 1,6260 persen. Dimana pada tahun 2009 mengalami kenaikan lagi menjadi 1,8515 persen. Perkembangan Rasio Belanja ekonomi selama 3 tahun terakhir dari tahun 2007 hingga 2009 dapat dilihat pada Gambar 21.

86 5. Rasio Belanja Infrastruktur Selain itu Rasio belanja infrastruktur selama tiga tahun terakhir menunjukkan kecenderungan penurunan dari 19,98persen di tahu 2007, naik di tahun 2008 menjadi 20,06persen dan turun lagi di tahun 2009 menjadi 17,84persen. Secara terperinci di tunjukkan pada gambar 21. Yang kemudian dalam permodelan ekonometrika, faktor-faktor yang dibahas diatas yang dianggap menjadi sumber disparitas. Variabel-variabel yang diduga menjadi sumber-sumber disparitas pembangunan wilayah adalah pertumbuhan PDRB (Y), rasio belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, rasio belanja kesehatan, rasio belanja sosial,dan rasio belanja ekonomi. Disparitas pembangunan wilayah akan menggunakan indikator Indeks Williamson yang menunjukkan disparitas atau ketimpangan dari sisi pendapatan PDRB per kapita di Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun estimasi permodelan secara matematis dapat dilihat dibawah ini Iw = 2,12-0,190 Pertumbuhan PDRB - 0,0101 Rasio Infrastruktur - 0,0241 Rasio Pendidikan + 0,0836 Rasio Kesehatan - 0,03 Rasio Sosial + 0,181 Rasio Ekonomi Tabel 23 Analisis Ekonometrika Regresi Berganda Sumber Disparitas Pembangunan Wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan Variabel Coef t-stat Prob (t-stat) Constant 2,1209 3,38 0,000 Pertumbuhan PDRB -0,18988-2,34 0,000 Infrastruktur -0,01011-0,72 0,000 Pendidikan -0,02411-2,00 0,000 Kesehatan 0,08363 1,98 0,298 Sosial -0,0312-2,38 0,000 Ekonomi 0,18118 2,48 0,244 R2 88,6 F-Stat 15,6 Prob (F-Stat) 0,000 Sumber : Hasil Perhitungan, Tahun 2011

87 Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, diperoleh bahwa F-hitung untuk model sumber disparitas pembangunan 15,6, jika dibandingkan dengan nilai t-tabel pada tingkat signifikan 5 persen (2,447), nilai F-hitung yang diperoleh untuk model tersebut adalah lebih besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan PDRB, rasio belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, rasio belanja kesehatan, rasio belanja sosial dan rasio belanja ekonomi secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat disparitas yang dinilai melalui indeks Williamson di Prov Sulawesi Selatan. Pada perhitungan model dapat diketahui bahwa variabel laju pertumbuhan PDRB memberikan pengaruh paling besar terhadap menurunnya angka disparitas, yakni 0,18988. Jadi jika terjadi peningkatan laju pertumbuhan PDRB 1 persen maka Indeks Williamson akan menurun sebesar 0,18988. Variabel independen lainnya yang juga mempengaruhi penurunan indeks Williamson adalah rasio belanja infrastruktur (0,01011), rasio belanja pendidikan (0,02411), dan rasio belanja sosial (0,0312). Pertumbuhan PDRB di Provinsi Sulawesi Selatan secara sistematis oleh pertumbuhan PDRB akan ikut menurunkan tingkat disparitas pembangunan wilayah (Indeks Williamson). Ketimpangan proporsional pada PDRB per kapita secara signifikan menjadi salah satu sumber ketimpangan pembangunan yang diukur dengan Indeks Williamson di Provinsi Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, tingkat ketimpangan pembangunan mampu ditekan sekecil mungkin dengan cara meningkatkan pertumbuhan PDRB dan juga memperkecil tingkat proporsional pada PDRB per kapita tiap-tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, rasio belanja sosial juga menjadi salah satu sumber disparitas, kurang diperhatikannya masalah-masalah sosial khususnya di daerah-daerah tertentu dibanding Kabupaten/kota yang lebih maju menjadi salah satu penyebab utama disparitas yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Rasio belanja pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan menjadi salah satu sumber utama terjadinya ketimpangan pembangunan. Perbedaan rasio belanja ini juga berimplikasi pada kondisi IPM daerah-daerah di sebelah utara dan sebelah selatan Sulawesi Selatan. Kondisi daerah-daerah di sebelah utara memiliki tingkat kualitas sumber daya manusia yang lebih baik jika dibandingkan daerah-daerah di

88 sebelah selatan. Maka salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk menekan angka disparitas ini adalah dengan meningkatkan belanja pendidikan khususnya di daerah-daerah selatan dengan tingkat IPM-nya yang cenderung lebih rendah. Selain variabel-variabel diatas, rasio belanja infrastruktur juga merupakan salah satu penyebab terjadinya disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan. Infrastruktur yang dimaksud berupa jalan, jembatan, listrik, saluran irigasi dan sumberdaya air bersih. Semakin baiknya kondisi infrastruktur yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini akan meningkatkan akses transportasi antar Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan sehingga ini akan berdampak pada perbaikan pola interaksi dan meningkatkan pula investasi yang terjadi di daerah tersebut. Tumbuhnya investasi ini akan mendorong peningkatan kapasitas ekonomi lokal yang akan mampu meningkatkan PDRB setiap Kabupaten/kota. Rasio belanja kesehatan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat disparitas pembangunan wilayah yang diukur dengan Indeks Williamson Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga rasio belanja kesehatan ini bukan sumber utama terjadinya ketimpangan pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan, begitu pula halnya dengan rasio belanja ekonomi, tidak berpengaruh nyata terhadap disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan. 5.3 Analisis Ketersediaan Infrastruktur Kabupaten/Kota Perkembangan wilayah merupakan salah satu aspek penting dalam pelaksanaan pembangunan. Tujuannya antara lain untuk memacu perkembangan sosial ekonomi dan mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengetahui perkembangan suatu wilayah, dapat dilakukan dengan menganalisis pencapaian hasil pembangunan melalui indikator-indikator kinerja di bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan kesehatan. Analisis skalogram merupakan salah satu alat untuk mengidentifikasi pusat perkembangan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimilikinya, dengan demikian dapat ditentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu

89 wilayah. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan pusat pelayanan, sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang lengkap akan menjadi daerah belakang (hinterland). Berdasarkan data Podes yang dianalisis, tingkat perkembangan wilayah dapat dicerminkan oleh nilai Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota (IPK). Pada analisis skalogram, semakin tinggi IPK maka semakin berkembang atau maju kabupaten/kota tersebut, sehingga dapat menjadi pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya atau bagi wilayah yang memiliki nilai IPK yang lebih rendah. Pusat wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat konsentrasi penduduk (permukiman); pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri; (3) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland, dan (4) lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output tertentu. Sedangkan hinterland berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi; (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur umumnya terdapat suatu interdependensi antara inti dan plasma; (4) penjaga fungsi-fungsi keseimbangan ekologis. Setiap pemusatan itu akan menghasilkan pengaruh positif dan negatif. Adanya pemusatan yang berlebihan pada daerah-daerah, disamping akan menimbulkan masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup juga akan menyebabkan dana dan sumber daya untuk pembangunan wilayah menjadi terbatas (Tarigan, 2002).

90 Tabel 24. Nilai IPK dan Jumlah Jenis Hasil Perhitungan Skalogram 2003 No. Kabupaten/ Jumlah Jumlah Jenis IPK Kota Penduduk Fasilitas/Infrastruktur 1 Pare-pare 107.791 80,07 92 2 Palopo 111.856 72,14 91 3 Makassar 1.130.343 61,30 86 4 Soppeng 224.177 49,00 85 5 Maros 277.910 57,94 84 6 Sidrap 241.708 64,57 82 7 Wajo 365.090 53,67 82 8 Gowa 524.020 32,44 82 9 Bone 665.728 46,98 81 10 Bulukumba 357.486 36,75 80 11 Luwu Utara 461.562 48,32 79 12 Barru 154.008 62,24 76 13 Takalar 234.306 41,27 76 14 Pinrang 313.789 25,32 76 15 Jeneponto 358.889 33,22 75 16 Selayar 104.040 76,95 74 17 Pangkajene 274.587 50,31 73 18 Enrekang 170.983 47,08 73 19 Bantaeng 162.859 40,38 73 20 Sinjai 206.936 29,63 73 21 Luwu 286.491 38,56 70 22 Tana Toraja 413.432 43,68 67 Sumber : Data diolah, 2010 Berdasarkan jumlah jenis Kota Pare-Pare, Kota Palopo dan Kota Makassar memiliki jumlah jenis yang lebih besar jika dibandingkan Kabupaten lainnya. Ketiga kota ini memiliki perkembangan yang lebih maju jika dilihat dari banyaknya jumlah fasilitas. Ketiga kota ini cenderung menjadi daerah yang bersifat pusat kegiatan bagi daerah-daerah di sekelilingnya maupun daerah yang dapat memberikan pelayanan bagi daerah di sekelilingnya. Baik itu pelayanan dari segi pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Pola ketersediaan infrastruktur yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini dapat dilihat pada Gambar 22.

91 Gambar 22. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2003 Peta skalogram berdasarkan jumlah jenis dapat terlihat (Gambar 22) daerahdaerah yang memiliki jumlah fasilitas yang ada di kelas kedua yaitu yang tersebar merata mengelilingi Kota Pare-Pare dan Kota Makassar, sedsangkan Kota Palopo dikelilingi daerah-daerah yang terkategori di kelas ketiga. Kecuali daerah-daerah seperti Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Selayar, Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Sinjai yang berada di sebelah selatan Pulau Sulawesi ini cenderung memiliki jumlah fasilitas yang lebih sedikit jenisnya. Daerah-daerah ini memiliki jarak yang jauh dari ibukota Provinsi. Sedangkan untuk melihat ketersediaan infrastruktur berdasarkan sektor aktivitas pendidikan, kesehatan, sosial dan

92 ekonomi ini dapat dilihat Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota bidang yang dominan seperti yang ditunjukkan Gambar 23. Gambar 23. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap Kabupaten/Kota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2003 Berdasarkan jumlah jenis yang dominan di tahun 2003 dari data yang berasal dari IPK sosial, sebagian besar Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki jumlah IPK sosialnya dominan dibandingkan IPK lainnya, kecuali Kota Makassar yang didominasi oleh IPK kesehatan, Kabupaten Enrekang oleh IPK pendidikan serta Kota Pare-Pare dan Kota Palopo IPK pendidikan. Ketersediaan IPK kesehatan dan pendidikan lebih baik dimiliki oleh ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan di Kabupaten/kota lainnya

93 perkembangan IPK Sosial belum diimbangi oleh IPK pendidikan, kesehatan maupun ekonomi. Sedangkan ketersediaan infrastruktur berdasarkan jumlah jenis yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan di tahun 2006 berdasarkan hasil perhitungan Skalogram 2006 adalah dapat terlihat pada peta di bawah (Gambar 24). Gambar 24. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2006 Ketersediaan infrastruktur di setiap Kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan tahun 2006 dengan jumlah jenis fasilitas yang masuk pada kelas pertama dengan total berkisar antara 91-99 jenis berada hampir di sebagian besar Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebanyak 13 Kabupaten dan 2 kota. Sedangkan untuk Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Selayar, Kabupaten Tana Toraja, dan Kabupaten

94 Enrekang menjadi daerah yang memiliki jumlah jenis fasilitas yang lebih sedikit atau berada pada kelas 2 dimana daerah-daerah ini merupakan daerah-daerah yang memiliki produktivitas rendah terlihat dari nilai kontribusi PDRB terhadap Sulawesi Selatan secara keseluruhan. Yang menarik terjadi di Kabupaten Maros meskipun Kabupaten Maros merupakan daerah yang berbatasan dengan Kota Makassar dan berjarak 21 Km dan menjadi lebih dekat dengan adanya fasilitas jalan TOL menuju Maros-Makassar, tidak serta merta membuat Maros di tahun 2003 dan 2006 memiliki jumlah jenis fasilitas yang tinggi. Dikarenakan masyarakat Kabupaten Maros sendiri lebih sering menikmati fasilitas di Kota Makassar dibanding di Kabupaten Maros sendiri. Sementara untuk melihat Ketersediaan Infrastruktur berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota yang dibagi kedalam 4 sektor, yaitu: IPK pendidikan, IPK kesehatan, IPK sosial dan IPK ekonomi dapat terlihat dari pada peta di bawah ini (Gambar 25). Gambar 25. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap Kabupaten/Kota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2006

95 Dari peta mengenai Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota yang terkait 4 sektor IPK pendidikan, IPK kesehatan, IPK sosial dan IPK ekonomi dapat dilihat bahwa kondisi yang mendominasi pembangunan infarastruktur di sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan adalah dengan melihat IPK ekonomi yang dominan di 14 Kabupaten/kota yang ada. Dan IPK Pendidikan memperlihatkan kondisi yang semakin membaik dengan munculnya 8 daerah yang dominan nilai IPK pendidikannya. Sementara untuk IPK kesehatan yang dominan berada di Kabupaten Soppeng. Terlihat masih rendahnya fokus pembangunan di Bidang Kesehatan hampir di seluruh Kabupaten/kota yang ada. Kondisi ketersediaan infrastruktur yang ada di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2008 dipetakan berdasarkan jumlah jenis infrastruktur yang ada (Gambar 26). Gambar 26. Peta Skalogram Berdasarkan Jumlah Jenis Tahun 2008 Berdasarkan jumlah jenisnya ketersediaan infrastruktur di Kota Pare-Pare, Kota Palopo dan Kabupaten Sidrap memiliki jumlah yang lebih lengkap

96 dibandingkan dengan Kabupaten/kota lain yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan jika dilihat dari sisi jumlah jenis. Sementara 9 Kabupaten/kota berada di kelas 2 dengan jumlah jenis berkisar 56 63 dan sebanyak 11 Kabupaten yang berada di kelas dengan jumlah jenis yang paling sedikit. Jumlah infrastruktur yang paling sedikit umumnya berada di bagian paling utara yang berada di sekitar kota Palopo dan di bagian Selatan yang berada di sekitar kota Makassar. Dari daerah-daerah yang memiliki ketersedian infrastruktur ini dapat diamati sektor apa yang kemudian di tahun 2008 dominan, seperti terlihat pada peta di bawah (Gambar 27). Gambar 27. Peta Skalogram Berdasarkan Indeks Perkembangan Kabupaten/Kota Sektor Pendidikan, Kesehatan, Sosial dan Ekonomi yang dominan di setiap Kabupaten/Kota di Prov. Sulawesi Selatan Tahun 2008 Dari peta diatas terlihat ketersediaan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan terkait IPK pendidikan, kesehatan dan IPK ekonomi cenderung lebih

97 merata. IPK Pendidikan didominasi di 13 Kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan. Kondisi IPK pendidikan yang semakin membaik, IPK ekonomi di dominasi di 8 Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan dan Kesehatan hanya sebanyak 2 Kabupaten 5.4 Analisis Pola Interaksi Antar Kabupaten/Kota Pendugaan keterkaitan antar wilayah ditinjau berdasarkan asal-tujuan perjalanan orang, digunakan variabel jarak (dalam satuan kilometer) dengan memperhitungan pengaruh infrastrukur pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Setelah dilakukan pemrosesan data dengan menggunakan analisis entopi interaksi spasial dengan sowtware statistica, dengan melakukan 5 kali pemrosesan, maka diperoleh hasil estimasi untuk setiap model. Maka peningkatan fasilitas ekonomi tidak mendorong terjadinya interaksi yang berlebih karena pada angka di bawah nilai estimasi untuk ekonomi bernilai negatif (-11,2144). Dari hasil ini juga dapat dilihat bahwa adanya kecenderungan pemusatan ekonomi pada wilayah tertentu sehingga tidak memberikan nilai interaksi yang lebih untuk sektor ekonomi (bernilai negatif). Sedangkan peningkatan infrastruktur pendidikan, peningkatan infrastruktur kesehatan dan peningkatan infrastruktur sosial memberikan nilai estimasi yang cenderung lebih baik jika ketiga infrastruktur ini diberikan perhatian khusus. Karena dengan mengembangkan ketiga sektor ini maka akan meningkatkan pola interaksi diantara Kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara umum, motif pola interaksi di Provinsi Sulawesi Selatan adalah faktor ekonomi. Dari hasil analisis Interaksi spasial ini akan diperoleh dugaan bernilai negatif maupun positif. Nilai negatif di setiap dugaan baik daerah asal maupun daerah tujuan mengindikasikan bahwa penambahan daya tarik atau daya dorong tidak akan memperluas atau menambah interaksi secara kesuluruhan berbeda halnya dengan dugaan yang bernilai positif di daerah asal maupun daerah tujuan maka penambahan daya tarik ataupun daya dorong di Kabupaten/kota tersebut maka akan meningkatkan interaksi secara keseluruhan di Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil analisis secara rinci terlihat pada Tabel 25.

98 Tabel 25. Hasil Dugaan Analisis Entropi Interaksi Spasial No Kabupaten/Kota Dugaan Asal Kabupaten/Kota Dugaan Tujuan 1 Jeneponto 50.105 Luwu Utara 14.844 2 Selayar 18.299 Bone 14.170 3 Luwu Timur 15.085 Luwu Timur 13.480 4 Wajo 0,967 Gowa 13.216 5 Bone 0,9667 Tana Toraja 10.798 6 Tana Toraja 0,6279 Bulukumba 10.463 7 Luwu Utara 0,5711 Wajo 0,7715 8 Barru 0,4845 Takalar 0,7004 9 Soppeng 0,4636 Luwu 0,6425 10 Pinrang 0,1922 Bantaeng 0,6256 11 Palopo 0,0000 Maros 0,5761 12 Gowa -0,0475 Enrekang 0,4457 13 Pangkep -0,1123 Pinrang 0,4412 14 Makassar -0,6322 Jeneponto 0,3733 15 Enrekang -0,772 Pangkep 0,2312 16 Bantaeng -0,8631 Sinjai 0,1066 17 Bulukumba -11.777 Palopo 0,0000 18 Takalar -13.744 Soppeng -0,0069 19 Sidrap -18.363 Pare-pare -0,0237 20 Pare-pare -20.824 Barru -0,1312 21 Sinjai -22.318 Sidrap -0,208 22 Maros -24.522 Makassar -16.186 23 Luwu -26.341 Selayar -17.228 Sumber data : Hasil Analisis Entropi Interaksi Spasial, 2009 Hasil interaksi tersebut juga menunjukkan bahwa Kota Makassar dan Kota Pare-Pare, serta Kabupaten Sidrap memiliki daya dorong (-) dan daya tarik (-) kota ini dikatakan mandiri, maka kedua kota ini telah tumbuh menjadi pusat pertumbuhan sendiri sehingga peningkatan kapasitas supply dan demand tak akan mempengaruhi interaksi. Kota Makassar yang merupakan ibukota provinsi dari Sulawesi Selatan kemudian telah berkembang lebih dahulu dibandingkan daerah lainnya, kondisi sektor-sektor yang berkembang pun cenderung lebih merata dibandingkan daerah lainnya. Sedangkan untuk kabupaten Sidenreng Rappang memiliki hasil yang sama dengan Kota Makassar dan Kota Pare-Pare. Daerah ini telah berkembang dan menjadi pusat pertumbuhan sendiri dan cenderung menjadi daerah yang lebih

99 mandiri. Sehingga peningkatan supply dan demand tidak akan mempengaruhi interaksi. Sedangkan untuk daerah-daerah yang bernilai (+) pada perkiraan daerah asal, seperti Jeneponto, Barru, Bone, Soppeng, Wajo, Pinrang, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur dan Palopo adalah daerah-daerah yang perlu adanya peningkatan daya dorong, karena dengan daya dorong ini akan meningkatkan pola interaksi antara daerah-daerah ini dengan daerah-daerah lainnya. Bila interaksi spasial atau pengembangan wilayah di Kabupaten/kota tersebut ditingkatkan, maka pengaruh pengembangan di wilayah penelitian secara keseluruhan dapat terlihat pada Gambar 28. Gambar 28. Peta Interaksi Kabupaten/Kota (Dugaan Asal) Jeneponto yang memiliki nilai dugaan tertinggi, dikaitkan dengan rendahnya PDRB per kapita, dan terbatasnya kemampuan wilayahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Oleh karena itu, apabila di wilayah ini

100 dilakukan kegiatan yang dapat meningkatkan daya dorong, maka akan terjadi peningkatan interaksi spasial dan diduga wilayah penelitian secara keseluruhan akan semakin berkembang. Pada Kabupaten Luwu Timur, kehadiran pertambangan nikel di daerah ini, diduga hasil dari nilai tambah pertambangan ini tidak mengalir menuju wilayah bersangkutan, tetapi di luar wilayah, dimana PDRB per kapita Luwu Timur yang tertinggi tahun 2008 (Rp. 18.584.100,-) di duga pendapatan tersebut tidak mengalir ke wilayah sekitarnya. (Kabupaten Luwu Utara yang mempunyai PDRB per kapita jauh lebih kecil Rp. 4.690.100,-). Sedangkan untuk daerah-daerah dugaan asal (+) seperti Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Selayar memiliki karakteristik daerah yang kurang berkembang untuk 2 wilayah ini sehingga peningkatan daya dorong di daerah ini bisa meningkatkan interaksi yang ada secara keseluruhan. Sedangkan daerah seperti Kabupaten Tana Toraja yang memiliki jarak daerah yang cukup jauh dimana pariwisata di daerah ini berkembang cukup pesat tetapi dari segi pembangunan dan aktivitas daerahnya daerah ini masih kurang berkembang, sehingga peningkatan daya dorong dapat meningkatkan interaksi yang ada. Begitupula halnya yang terjadi di Kabupaten Bone, Kabupaten Barru, Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Wajo, dimana sektor yang berkembang adalah sektor pertanian yang berkisar 40 persen hingga 50 persen. Jika daya dorong di daerah ini ditingkatkan maka akan terjadinya peningkatan interaksi. Untuk daerah-daerah yang memiliki nilai (+) pada perkiraan tujuan seperti Bulukumba, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkajene, Bone, Wajo, Pinrang, Luwu, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur dan Kota Palopo daya tariknya ditingkatkan, maka akan meningkatkan interaksi. Apabila kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan daya tarik tujuan perjalanan penumpang (misalnya penyediaan lapangan kerja) lebih dikonsentrasikan pada wilayah dengan nilai dugaan (+) maka akan terjadi peningkatan interaksi. Gambaran daerah-daerah ini dapat kita lihat pada peta dugaan tujuan Gambar 29.

101 Gambar 29. Dugaan Daerah Tujuan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Lebih lanjut, untuk daerah Kabupaten Selayar, Kabupaten Barru, Kabupaten Soppeng jika daya tarik ditingkatkan tidak membawa peningkatan interaksi pada daerah ini. Ketiga kabupaten ini tergolong daerah dengan kondisi yang kurang berkembang dimana sumbangan Kabupaten Selayar dan Kabupaten Barru ini terhadap PDRB Sulawesi Selatan juga sangat kecil. Selain itu untuk daerah dengan nilai (+) ini memiliki potensi daerah yang baik untuk dikembangkan sehingga peningkatan daya dorong ini akan meningkatkan interaksi yang ada.

102 5.4 Analisis Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan Pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan yang terjadi secara umum telah menimbulkan ketimpangan dalam prosesnya yang jika diamati dalam 6 tahun terakhir 2004 hingga 2009 memberikan gambaran yang sangat fluktuatif dengan kecenderungan yang terus meningkat. Ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki nilai yang cukup tinggi berada di atas ketimpangan yang terjadi di KBI (Kawasan Barat Indonesia) meski berada di bawah ketimpangan nasional untuk tahun 2006. Kecenderungan ini jika tidak cepat diminimalisir akan cenderung semakin memburuk dan membahayakan stabilitas pembangunan yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketimpangan yang secara umum terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan ini tidak terlepas dari andil 3 kota besar yang memperparah kondisi ketimpangan yang ada yaitu Kota Makassar, Kota Pare-Pare, dan Kota Palopo. Hadirnya 3 kota besar ini menyebabkan ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki kecenderungan peningkatan selama 6 tahun terakhir. Meski ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan nilai yang relative tetap, namun hal ini perlu diatasi. Ketimpangan terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan yang memberikan proporsi terhadap ketimpangan yang ada adalah ketimpangan antar sektor dalam kabupaten/kota tersebut. Hal ini diperkuat dengan melihat perkembangan aktivitas ekonomi yang belum mencapai maksimal untuk Provinsi Sulawesi Selatan dan perkembangan setiap sektor yang cenderung kurang merata. Sektor pertanian merupakan sektor yang lebih merata dibandingkan sektor lainnya. Sedangkan sektor listrik, gas dan air minum adalah sektor yang paling tidak merata penyebaran aktivitasnya di seluruh kabupaten/kota yang ada. Hadirnya ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan selain dilihat dari aktivitas ekonominya juga bisa dilihat dari realisasi alokasi dana belanja pemerintah daerah yang tertuang dalam APBD setiap kabupaten/kota. Alokasi dana belanja ini merupakan stimulus setiap daerah dalam mewujudkan pembangunan daerahnya yang dapat diukur dengan pertumbuhan PDRB. Alokasi belanja yang kemudian disederhanakan menjadi beberapa urusan/bidang yang umum dibutuhkan dalam

103 menciptakan pembangunan yaitu terkait belanja infrastruktur, belanja pendidikan, belanja kesehatan, belanja sosial dan belanja ekonomi. Dari urusan/bidang yang ada ini kemudian dapat disimpulkan bahwa yang memiliki pengaruh yang besar terhadap menurunnya angka disparitas selain pertumbuhan PDRB adalah rasio belanja infrastruktur, rasio belanja pendidikan, dan rasio belanja sosial. Meskipun rasio belanja kesehatan tidak signifikan memberikan pengaruh terhadap menurunnya angka disparitas tetapi dari hasil yang ditunjukkan dapat diketahui bahwa Kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan ini masih memiliki jumlah infrastruktur kesehatan sangat minim yang terlihat dari nilai IPK kesehatan yang dimiliki di setiap Kabupaten/kota. Tiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar, Kota Palopo, dan Kota Pare-Pare memiliki perkembangan yang lebih baik dari Kabupaten yang ada. Dilihat dari besarnya kontribusi PDRB terhadap PDRB Provinsi Sulawesi Selatan, perkembangan aktivitas ekonomi yang terkait aktivitas setiap sektor yang lebih merata dan berimbang, ketidakberimbangan yang terjadi ini kemudian menjadi hal yang dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan di Provinsi Sulawesi Selatan. Begitupula halnya dengan ketersediaan infrastruktur yang ada di ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini. Ketiganya memiliki jumlah jenis fasilitas yang lebih lebih baik dengan kategori paling banyak jumlah jenisnya jika dibandingkan dengan seluruh kabupaten yang ada. Ketersediaan infrastruktur yang lebih baik ini merupakan hal yang dapat memicu terjadinya ketimpangan. Diperkuat dengan melihat pola interaksi di Provinsi Sulawesi Selatan yang cenderung masih sangat kuat motif ekonominya, hadirnya infrastruktur ekonomi di suatu daerah tidak mempengaruhi interaksi yang ada karena urusan ekonomi ini hanya difokuskan pada daerah-daerah tertentu saja, hal ini akan mengakibatkan eksploitatif yang besar. Hadirnya ketiga kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ini ternyata tidak memberikan hasil yang baik bagi daerah-daerah di sekitarnya seperti Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros yang ada di sekitarnya. Karakteristik kedua daerah ini yang masih dominan oleh sektor pertanian, membuat perkembangan aktivitas ekonomi per sektornya tidak lebih baik dari daerah-daerah yang berada di utara Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Pinrang, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone.