Wanita Usia 20 Tahun dengan Rhinitis Alergi Intermiten Sedang-Berat. A 20 Years Old Woman with Moderate-Severe Intermittent Allergic Rhinitis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

Efektivitas imunoterapi terhadap gejala, temuan nasoendoskopik dan kualitas hidup pasien rinosinusitis alergi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

PROBLEM BASED LEARNING SISTEM INDRA KHUSUS

By: Kelompok 2 Amelia Leona Ayu Afriza Cindy Cesara Dety Wahyuni Fitri Wahyuni Ida Khairani Johan Ricky Marpaung Silvia Syafrina Ibrahim

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

Pengaruh imunoterapi spesifik terhadap adenoid pada pasien rinitis alergi

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

EFEKTIVITAS EDUKASI UNTUK MENINGKATKAN PENGETAHUAN MASYARAKAT DALAM PENANGANAN RINITIS ALERGI

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi

Perbandingan efektivitas flutikason furoat intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

TUGAS JURNAL LATIHAN PERNAFASAN HIDUNG DAN PENGARUHNYA TERHADAP RHINITIS ALERGI

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai Asma Bronkial

- Asma pada Anak. Arwin AP Akib. Patogenesis

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K)

LAMPIRAN. : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU. RSUP. H. Adam Malik, Medan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

Costs incurred by rhinitis are substantial.

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN. Kelamin Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya Periode 16 Juni. 2. Pada 6 orang pasien yang memiliki riwayat Rinitis Alergi,

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

LAMPIRAN 1. Biaya Penelitian 1. Alergen / pemeriksaan Rp ,- 2. Transportasi Rp ,- 3. Fotokopi dll Rp

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan adanya gejala-gejala nasal seperti rinore anterior atau posterior, bersinbersin,

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 3. METODA PENELITIAN. Tenggorok sub bagian Alergi dan Imunologi. Waktu penelitian : tahun

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Faktor Risiko Rinitis Alergi Pada Pasien Rawat Jalan Di Poliklinik THT- KL Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh Tahun 2011

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

128 Rinitis Alergi pada Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. populasi masyarakat yang menderita alergi. Suatu survei yang dilakukan oleh World

Penyakit Alergi lain yang Dialami Anak dengan Asma

Transkripsi:

Wanita Usia 20 Tahun dengan Rhinitis Alergi Intermiten Sedang-Berat Ranti Apriliani Putri Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Rhinitis alergi merupakan masalah kesehatan yang memiliki dampak berupa penurunan kualitas hidup bagi penderitanya. Prevalensi penyakit ini terus meningkat. Keluhan penderita biasanya berupa bersin, hidung tersumbat, rinore, gatal pada mata dan hidung. Pasien wanita, 20 tahun, datang ke Poliklinik THT dengan keluhan bersin berulang sejak 3 bulan terutama pagi dan malam hari dengan frekuensi bersin lebih dari 6 kali. Pasien mengatakan saat bersin keluar cairan berwarna bening encer, kadang pasien merasakan cairan tersebut juga menetes ke bagian belakang hidung. Pasien juga mengeluhkan hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung dan mata. Pasien memiliki riwayat alergi debu. Pada pemeriksaan status lokalis hidung, didapatkan allergic shinner, mukosa kavum nasi pucat, sekret serosa, konka inferior dan media dekstra sinistra tampak pucat disertai edema pada mukosa. Pada pasien ini, tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Pasien didiagnosis sebagai rhinitis alergi intermiten sedang-berat. Penatalaksaan rhinitis alergi pada pasien ini adalah dengan pemberian antihistamin dan dekongestan, serta edukasi pencegahan terhadap paparan alergen. Prognosis pasien ini baik. Diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien rhinitis alergi akan memberikan prognosis yang baik bagi pasien. Kata Kunci: penatalaksanaan, pencegahan, rhinitis alergi A 20 Years Old Woman with Moderate-Severe Intermittent Allergic Rhinitis Abstract Allergic rhinitis is a health problem that has an impact in the form of reduced quality of life for the sufferer. The prevalence of the disease is increasing. Patient complaints are usually sneezing, nasal congestion, rhinorrhea, itchy eyes and nose. Female patient, 20 years old, came to the ENT Clinic with complaints of sneezing since 3 months, especially morning and evening with a frequency of sneezing more than 6 times. Patients say while sneezing, the clear liquid watery out, sometimes patients feel these fluids also trickle into the back of the nose. Patients also complain of nasal congestion and itching of the nose and eyes. Patients had a history of dust allergy. On nose examination localist status, there are allergic shinner obtained, pale mucous rice cavity, serous discharge, inferior and media's chonca right and left looked pale with mucosal edema. In these patients, supporting examination was not done. Patients diagnosed as moderate-severe intermittent allergic rhinitis. Treatment for allergic rhinitis in these patients is the administration of antihistamines and decongestants, as well as preventive education against exposure to allergens. Patient's prognosis is good. Diagnosis and appropriate treatment for patients with allergic rhinitis will provide a good prognosis for the patient. Keywords: allergic rhinitis, treatment, prevention Korespondensi: Ranti Apriliani Putri, S.Ked, alamat Jalan Abdul Muis Tuan Ria No. 64 Kemiling Langkapura Bandarlampung, HP 081273855222, e-mail ranti.putri25@yahoo.com Pendahuluan Rhinitis alergi merupakan masalah kesehatan yang memiliki dampak berupa penurunan kualitas hidup bagi penderitanya. Prevalensi penyakit ini terus meningkat. Keluhan penderita biasanya berupa bersin, hidung tersumbat, rinore, gatal pada mata dan hidung. 1,2 Gejala terjadi pada hidung dan mata dan biasanya setelah terpapar debu, atau serbuk sari musiman. 1,3 Berdasarkan saat pajanan, rhinitis alergi diklasifikasikan menjadi rhinitis alergi musiman (seasonal) dan rhinitis alergi tahunan (perennial). ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) pada tahun 2001 membuat klasifikasi rhinitis berdasarkan atas lama dan beratnya penyakit yakni terdiri dari rhinitis intermiten ringan, intermiten sedang berat, persisten ringan dan persisten berat. 2,4 Rhinitis alergi dapat terjadi pada semua usia, namun lebih sering pada usia di bawah 30 tahun. 3 Genetik, dalam hal ini riwayat atopi, merupakan salah satu faktor dari timbulnya rhinitis alergi. 5 Apabila kedua orang tua pasien memiliki riwayat atopi, maka risiko mengalami rhinitis alergi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %. Lingkungan juga berperan dalam timbulnya suatu rhinitis alergi. Pasien dengan riwayat alergi dan terpapar alergen dari lingkungan akan memiliki risiko yang lebih besar mengalami rhinitis alergi. 6 Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap J Medula Unila Volume 4 Nomor 2 Desember 2015 138

provokasi/reaksi alergi (Gambar 1). Reaksi alergi terdiri dari 2 fase, yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. 2,7,8 Berdasarkan paparan pada paragrafparagraf sebelumnya, telah dijelaskan bahwa rhinitis alergi merupakan penyakit yang kompleks dengan berbagai faktor risiko sebagai pemicunya. Selain itu, rhinitis alergi juga masih sering kita temui dalam praktek sehari-hari. Oleh karena itu, pada jurnal ini akan dilakukan pembahasan lebih dalam mengenai kasus rhinitis alergi. Gambar 1. Patofisiologi Rhinitis Alergika. 5 Kasus Pasien wanita, seorang pelajar usia 20 tahun datang ke Poliklinik THT dengan keluhan bersin berulang sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan keluhannya tidak timbul setiap hari. Keluhan muncul paling sering 3 kali (3 hari) dalam seminggu. Keluhan sering terjadi pagi dan malam hari dengan frekuensi bersin berulang dalam sehari lebih dari 6 kali. Pasien juga mengeluhkan hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung dan mata. Keluhan hidung tersumbat tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi. Saat bersin, dari hidung pasien keluar cairan berwarna bening encer dengan jumlah banyak dan tidak berbau. Pasien juga merasakan cairan tersebut menetes ke belakang hidung. Pasien mengatakan keluhan bersin berulangnya tersebut mengganggu aktivitas. Pasien kadang tidak tidur nyenyak akibat keluhannya tersebut. Pasien memiliki riwayat alergi terhadap debu. Riwayat sesak napas dan napas berbunyi (mengi) disangkal oleh pasien. Keluhan tidak disertai dengan nyeri pada dahi dan pipi, demam, maupun batuk. Riwayat penyakit keluarga, ibu dan adik pasien memiliki keluhan serupa, ayah pasien memiliki riwayat sesak napas dan napas berbunyi. Pasien tidak memiliki binatang peliharaan. Pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Status lokalis hidung pada inspeksi didapatkan allergic shinner. Rinoskopi anterior didapatkan mukosa kavum nasi pucat, sekret serosa, konka inferior dan media dekstra sinistra tampak pucat disertai edema pada mukosa. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Pasien ini didiagnosis sebagai rhinitis alergi intermiten sedang-berat. Diagnosis bandingnya adalah rhinitis vasomotor. Pada pasien ini diberikan terapi medikamentosa berupa antihistamin (cetirizin 1x10 mg) dan dekongestan (pseudoefedrin 3x60 mg). Terapi J Medula Unila Volume 4 Nomor 2 Desember 2015 139

non-medikamentosa berupa edukasi untuk menghindari kontak alergen yaitu dengan menggunakan masker saat akan berkontak dengan debu. Prognosis pasien ini baik. Pembahasan Berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA tahun 2000, menurut sifat berlangsungnya rhinitis alergi dibagi menjadi (1 intermiten yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu dan (2 persisten yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4 minggu. 9,10,11 Menurut berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi (1 ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu dan (2 sedang atau berat, yaitu satu atau lebih gejala, tidur terganggu, aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai terganggu, gangguan saat bekerja, dan sekolah, ada keluhan yang mengganggu. 1 Pasien ini memiliki keluhan berupa bersin berulang sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan pasien tidak timbul setiap hari melainkan paling sering 3 kali (3 hari) dalam seminggu. Keluhan sering terjadi pagi dan malam hari dengan frekuensi bersin berulang dalam sehari lebih dari 6 kali. Pasien juga mengeluhkan hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung dan mata. Keluhan hidung tersumbat tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi. Saat bersin, dari hidung keluar cairan berwarna bening encer dengan jumlah banyak dan tidak berbau. Pasien juga merasakan cairan tersebut menetes ke belakang hidung. Pasien mengatakan bersin berulangnya mengganggu aktivitas. Pasien kadang tidak tidur nyenyak akibat keluhannya tersebut. Pasien memiliki riwayat alergi terhadap debu. Sedangkan, berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan adanya allergic shinner, rinoskopi anterior mukosa kavum nasi pucat, sekret serosa, konka inferior dan media dekstra sinistra tampak pucat disertai edema pada mukosa. Hal inilah yang mendasari ditegakkannya diagnosis rhinitis alergi intermitten sedang-berat pada pasien ini. Diagnosis banding pada pasien ini adalah rhinitis vasomotor. Rhinitis vasomotor merupakan reaksi neurovaskuler terhadap beberapa rangsang mekanis/kimia, juga psikologis yang biasanya terjadi pada dekade 3 dan 4. Pada rhinitis vasomotor tidak ada riwayat terpapar alergen. Rasa gatal pada hidung dan mata juga tidak menonjol. 8,11 Gejala hidung tersumbat pada rhinitis vasomotor biasanya bervariasi dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain tergantung posisi pasien. 1 Pasien ini berusia 20 tahun dengan riwayat alergi terhadap debu. Pasien juga mengeluhkan adanya rasa gatal pada hidung dan mata. Berdasarkan anamnesis, diagnosis rhinitis vasomotor dapat dieliminasi. Selain dari anamnesis, pemeriksaan penunjang juga dapat digunakan untuk membedakan rhinitis alergi dengan rhinitis vasomotor. 9 Pada rhinitis alergi, biasanya tes kulit akan memberikan hasil positif. Pemeriksaan eosinofil sekret, eosinofil darah, dan IgE darah akan menunjukkan peningkatan. 10,12 Namun, pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena kurangnya biaya yang dimiliki pasien. Selain pemeriksaan penunjang laboratorium, pemeriksaan lain yang dapat dilakukan dalam rangka menegakkan diagnosis rhinitis alergi adalah uji alergen kulit. 2,4 Uji alergen kulit dapat dilakukan dengan dua cara yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal adalah tes kulit gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration). Skin Endpoint Titration dilakukan untuk alergen inhalan dengan cara menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi. Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Pada alergi makanan, dapat dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative Food Test (IPFT). 2,4,13,14 Secara garis besar penatalaksanaan rhinitis terdiri dari 3 cara, yaitu menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung. Edukasi sebaiknya selalu diberikan terutama kepada pasien dengan J Medula Unila Volume 4 Nomor 2 Desember 2015 140

riwayat atopi, perlu dijelaskan bahwa pengobatan memerlukan waktu yang lama dan penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan kortikosteroid inhalasi. Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya adalah alergen inhalasi. 15 Farmakoterapi hendaknya berdasar keamanan obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan utama sehubungan dengan kronisitas penyakit (Gambar 2). 16 Antihistamin merupakan terapi utama pada rhinitis alergi. Obat ini bekerja secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin pada reseptor histamin-1. Efeknya mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan refleks iritasi untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor H-1 dibagi menjadi dua generasi berdasarkan sifat sedatifnya. Generasi pertama bersifat sedatif karena bersifat lipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik. 16,17 Contoh antihistamin generasi pertama adalah klorfeniramin, difenhidramin, siproheptadin. Antihistamin generasi kedua memiliki keuntungan tidak menyebabkan sedasi, namun efek sampingnya dapat menyababkan anemia aplastik dan jika diberikan kepada paseien dengan gangguan jantung akan menyebabkan aritmia. Antihistamin generasi kedua yang aman adalah loratadin, cetirizin, feksofenadin. Konsumsi antihistamin dianjurkan secara regular agar efektif meredakan gejala alergi. Apabila antihistamin generasi pertama dipilih, maka pemberian secara regular atau teratur akan membuat pasien lebih tahan terhadap efek sedasinya. 16,17,18 Dekongestan bekerja mengurangi edema pada membran mukus hidung karena bersifat vasokonstriksi (alfa adrenergic), sehingga efek obat ini melengkapi pengobatan gejala rhinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema membran mukus. Contoh obat dekongestan oral adalah pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin. Dianjurkan pemberian dekongestan oral dibandingan dekongestan topikal karena efek rebound phenomena obat tersebut terhadap mukosa hidung yang dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa. Pemberian obat ini merupakan kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi atau dalam fase tappering off dari obat-obatan penginhibisi monoamin oksidase karena dapat menyebabkan krisis hipertensi. 1,2,8 Sodium kromolin bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel mastosit yaitu mencegah pelepasan mediatormediator ke luar sel. Kerja obat ini adalah menghambat influx Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehingga degranulasi mediator terhambat. 1,2 Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan alternatif apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien. 10 Kortikosteroid inhalasi bekerja dengan mengurangi kadar histamin. Kadar histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam aminohistidin menjadi histamin, selain itu kortikosteroid juga meningkatkan produksi c- AMP sel mast. Secara umum kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap rangsang alergen baik pada fase cepat maupun lambat. 1,2 Efek kortikosteroid bekerja secara langsung mengurangi peradangan di mukosa hidung dan efektif mengurangi eksaserbasi. Preparat yang tersedia seperti beklometason, budesonide, dan flunisolid. Efek samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid sistemik kecuali pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi. 1,2,11 J Medula Unila Volume 4 Nomor 2 Desember 2015 141

Gambar 2. Algoritma Penatalaksaan Rhinitis Alergi. 1 Imunoterapi lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi. Caranya adalah memberikan injeksi berulang dengan dosis yang ditingkatkan dari alergen, tujuannya adalah mengurangi beratnya reaksi tipe 1 atau bahkan menghilangkannya. Imunoterapi bekerja dengan menggeser produksi antibodi IgE menjadi produksi IgG atau dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T. 19,20 Dengan adanya IgG, maka antibodi ini akan bersifat blocking antibody karena berkompetisi dengan IgE terhadap alergen. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam tubuh dan tidak merangsang membran mastosit. 21,22 Penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat sesuai dengan algoritma penatalaksanaan rhinitis alergi menurut WHO Initiative ARIA 2001 (Gambar 2). Pasien ini mendapatkan terapi berupa antihistamin dan dekongestan. Antihistamin yang diberikan pada pasien ini berupa cetirizin 1x10mg. Cetirizin merupakan antihistamin non-sedatif. Pemilihan cetirizin sudah tepat mengingat pasien adalah seorang pelajar. Pasien juga mendapatkan dekongestan berupa pseudoefedrin 3x60 mg. Pemberian dekongestan dilakukan sebagai penunjang dari pengobatan antihistamin yang diberikan. Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah. 7 Pencegahan tersebut dibagi menjadi 3 tahap, yaitu (1 pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester 3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan; (2 pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji kulit; dan (3 pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan. 7,23 Pada pasien ini, selain pengobatan dengan medikamentosa, juga diberikan edukasi berupa himbauan untuk menghindari pajanan alergen. Pasien disarankan untuk menggunakan masker saat melakukan aktivitas yang diduga akan berkontak dengan debu, seperti menyapu rumah dan bepergian dengan motor. J Medula Unila Volume 4 Nomor 2 Desember 2015 142

Komplikasi paling sering dari rhinitis alergi adalah polip nasi, otitis media efusi residif terutama pada anak-anak, dan sinusitis paranasal. Pada pasien ini belum terjadi komplikasi. Pada pemeriksan fisik tidak ditemukan adanya polip nasi. Selain ini, pasien ini juga tidak memenuhi kriteria mayor dan minor untuk diagnosis sinusitis. Prognosis pada pasien dengan rhinitis alergi secara umum baik. 22,23 Penyakit rhinitis alergi secara menyeluruh berkurang dengan bertambahnya usia, tetapi kemungkinan menderita asma bronkial meningkat. Remisi spontan dapat terjadi sebanyak 15-25 % selama jangka waktu 5-7 tahun. 5,24,25 Pasien ini berusia 20 tahun, diharapkan akan terjadi pengurangan gejala rhinitis alergi dengan bertambahnya usia. Pasien ini juga telah mendapatkan terapi medikamentosa maupun non medikamentosa yang baik. Prognosis pasien ini baik. Simpulan Pasien wanita, 20 tahun, memenuhi kriteria untuk didiagnosis sebagai rhinitis alergi intermiten sedang-berat. Penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat dan sesuai dengan algoritma penatalaksanaan rhinitis alergi menurut WHO Iniatiative ARIA 2001 yaitu dengan pemberian antihistamin dan dekongestan serta edukasi pentingnya menghindari pajanan alergen. Daftar Pustaka 1. Rusmarjono, Erfiaty AS, Nurbiaty, dkk, Editors. Sumbatan Hidung, Rhinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm. 118-22, 128-33. 2. Lumbanraja PL. Distribusi Alergen pada Penderita Rhinitis Alergi di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2007. 3. Bachert C, van Cauwenberge P, Olbrecth D, van Schoor J. Prevalence, classification and perception of allergic and non allergic rhinitis in Belgium. Allergy [internet]. 2006 [disitasi tanggal 6 Mei 2015]; 61:693-8. Tersedia 1 111/j.1398-9995.2006.01054.x/pdf 4. Plaut M, Valentine MD. Allergic Rhinitis. Engl J of Med [internet]. 2005 [disitasi tanggal 6 Mei 2015]; 353:1934-44. Tersedia http://www.nejm.org.html. 5. Filon FL, Radman G. Latex allergy: a follow up study of 1040 healthcare workers. Occup Environ Med [internet]. 2006 [disitasi tanggal 6 Mei 2015]; 63:121 5. Tersedia http://oem.bmj.com/content/63/2/12 1.short 6. Snow Jr, James BB, John J. Balllenger s Otorhinolarynology Head and Neck Surgery Sixteenth Edition. Hamilton: BC Decker Inc; 2003. hlm. 708-39. 7. Goldman L, Auisello D. Cecil: Textbook of medicine. Edisi ke-22. Philadelphia: Saunders; 2004. hlm. 1590 608. 8. Fokkens W, Lund V, Bachert C, dkk. EAACI position paper on rhinosinusitis and nasal polyps executive summary. Allergy [internet]. 2005 [disitasi tanggal 6 Mei 2015] 60:583 601. Tersedia 1111/j.1398-9995.2005.00830.x/full 9. Bousquet J, Khaltaev K, Cruz A, Denburg, Fokkens W, Togias A, dkk. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA). Allergy; 2008. hlm 8 160. 10. Starling-Schwanz R, Peake HL, Salome CM, dkk. Repeatability of peak nasal inspiratory flow measurements and utility for assessing the severity of rhinitis. Allergy [internet]. 2005 [disitasi tanggal 6 Mei 2015]; 60:795 800. Tersedia http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 15876310. 11. Ottaviano G, Scadding GK, Coles S, Lund VJ. Peak nasal inspiratory flow; normal range in adult population. Rhinology [internet]. 2006 [disitasi tanggal 6 Mei 2015]; 44:32 5. Tersedia http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 16550947. 12. O Meara TJ, Sercombe JK, Morgan G, Reddel HK, Xuan W, Tovey ER. The reduction of rhinitis symptoms by nasal filters during natural exposure to ragweed and grass pollen. Allergy J Medula Unila Volume 4 Nomor 2 Desember 2015 143

[internet]. 2005 [disitasi 2015 May 6]; 60:529 32. Tersedia http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 15727589. 13. Garavello W, Di BF, Romagnoli M, Sambataro G, Gaini RM. Nasal rinsing with hypertonic solution: an adjunctive treatment for pediatric seasonal allergic rhinoconjunctivitis. Int Arch Allergy Immunol [internet]. 2005 [disitasi tanggal 6 Mei 2015]; 137(3):310 4. Tersedia http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 15970639. 14. Scadding GK, Durham SR, Mirakian R, Jones NS, Leech SC, Farooqe S, dkk. BSACI Guidelines for the management of allergic and non allergic Rhinitis. Clin and Exp Allergy [internet]. 2008 [disitasi 2015 May 6]; 38:19-42. Tersedia http://www.bsaci.org/guidelines/allergi c-non-allergic-rhinitis 15. Sheikh A, Khan-Wasti S, Price D, Smeeth L, Fletcher M, Walker S. Standardized training for healthcare professionals and its impact on patients with perennial rhinitis: a multi-centre randomized controlled trial. Clin Exp Allergy [internet]. 2007 [disitasi tanggal 6 Mei 2015]; 37:90 9. Tersedia 1111/j.1365-2222.2006.02619.x/full. 16. Patou J, De SH, Van CP, Bachert C. Pathophysiology of nasal obstruction and meta-analysis of early and late effects of levocetirizine. Clin Exp Allergy [internet]. 2006 [disitasi 2015 May 6]; 36:972 81. Tersedia 1111/j.1365-2222.2006.02544.x/full. 17. Canonica GW, Tarantini F, Compalati E, Penagos M. Efficacy of desloratadine in the treatment of allergic rhinitis: a meta-analysis of randomized, doubleblind, controlled trials. Allergy [internet]. 2007 [disitasi tanggal 6 Mei 2015]; 62:359 66. Tersedia 1111/j.1398-9995.2006.01277.x/full. 18. de Blic J, Wahn U, Billard E, Alt R, Pujazon MC. Levocetirizine in children: evidenced efficacy and safety in a 6-week randomized seasonal allergic rhinitis trial. Pediatr Allergy Immunol [internet]. 2005 [disitasi tanggal 6 Mei 2015]. 16:267 75. Tersedia 1111/j.1399-3038.2005.00216.x/abstract. 19. Didier A, Malling HJ, Worm M, Horak F, Jager S, Montagut A, dkk. Optimal Dose, Efficacy, and Safety of Once Daily Sublingual Immunotherapy with A 5- grass pollen tablet for seasonal allergic Rhinitis. J Allergy Clin Immunol [internet]. 2007 [disitasi tanggal 6 Mei 2015]; 120(6):1338-45. Tersedia http://www.jacionline.org/article/s009 1-6749(07)01447-9/abstract. 20. Creticos PS, Schroeder JT, Hamilton RG, Balcer-Whaley SL, Khattignavong AV, Lindblad R, dkk. Immunotherapy with a Radweeg-Toll-Like Receptor 9 Agonis Vaccine for Allergic Rhinitis. Engl J of Med [internet]. 2006 [disitasi tanggal 6 Mei 2015]; 355(14):1445-55. Tersedia http://www.nejm.org.html. 21. Gidaro GB, Marcucci F, Sensi L, Incorvaia C, Frati F, Ciprandi G. The safety of sublingual-swallow immunotherapy: an analysis of published studies. Clin Exp Allergy [internet]. 2005 [disitasi tanggal 6 Mei 2015]; 35:565 71. Tersedia 1 111/j.1365-2222.2005.02240.x/abstract. 22. Wilson DR, Lima MT, Durham SR. Sublingual immunotherapy for allergic rhinitis: systematic review and metaanalysis. Allergy [internet]. 2005 [disitasi tanggal 6 Mei 2015]; 60:4 12. Tersedia 1111/j.1398-9995.2005.00699.x/full. 23. Baena-Cagnani C, Canonica GW, Helal MZ, Gomez RM, Compalati E, Zernotti ME, dkk. The international survey on the management of allergic rhinitis by physicians and patiens (ISMAR). World Allergic Organization J. 2015; 8(10):1-11. 24. Meltzer EO, Gross GN, Katial R, Storms WW. Allergic rhinitis substantially impacts patient quality of life: findings from the Nasal Allergy Survey Assessing Limitations. J Fam Pract. 2012; 61(2):5-10. J Medula Unila Volume 4 Nomor 2 Desember 2015 144

25. Laforest L, Bousquet J, Pietri G, dkk. Quality of life during pollen season in patients with seasonal allergic rhinitis with or without asthma. Int Arch Allergy Immunol 2005; 136):281 6. J Medula Unila Volume 4 Nomor 2 Desember 2015 145