ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah

TINJAUAN PUSTAKA Teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif. dan dikembangkan oleh David Ricardo pada awal abad ke 19, sehingga untuk

ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

BAB IV METODE PENELITIAN

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

IV METODOLOGI PENELITIAN

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

III. METODE PENELITIAN

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

IV. METODE PENELITIAN

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN. Oleh: AHMAD YOUSUF KURNIAWAN

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

III KERANGKA PEMIKIRAN

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

III. METODE PENELITIAN

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF SERTA IMPLIKASI KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN BENGKAYANG

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

IV METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

IV. METODE PENELITIAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Rangkuman Kebutuhan Investasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAKAO

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini

BAB I PENDAHULUAN. pangan utama di Indonesia setelah padi dan jagung. Di Indonesia, budidaya

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

JURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FANNYTA YUDHISTIRA A

ANALISIS INTEGRASI PASAR KARET ALAM ANTARA PASAR FISIK DI INDONESIA DENGAN PASAR BERJANGKA DUNIA WANTI FITRIANTI

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAKAO. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR

III. KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KEUNGGULAN KOMPETITIF USAHATANI TEMBAKAU ASELI PADA LAHAN SAWAH DAN LAHAN PERBUKITAN DI KABUPATEN MOJOKERTO SKRIPSI

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GARUT

DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA WIDARTO RACHBINI

Transkripsi:

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Agustus 2009 Zulkifli Mantau NRP. H353070191

ABSTRACT ZULKIFLI MANTAU. The Analysis of Comparative and Competitive Advantages of Maize and Paddy Farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, North Sulawesi Province (HARIANTO as a Chairman and NUNUNG NURYARTONO as a Member of the Advisory Committee). The aims of this research are : (1) to analyze the profitability of maize and paddy farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, (2) to analyze the comparative and competitive advantages of maize and paddy farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, (3) to analyze the impact of government policy on competitiveness of maize and paddy farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, (4) to analyze the price changed sensitivity of input, output and wage of labor on comparative and competitive advantages of maize farming in Kabupaten Bolaang Mongondow. The analysis method use a Policy Analysis Matrix (PAM). The PAM results showed that private and social profitability of maize farming are Rp. 218 926 and Rp. 3 045 938. Private Cost Ratio of maize and paddy farming were 0.97 and 0.69. Domestic Resources Cost Ratio of maize and paddy farming were 0.65 and 0.68. Based on the results of Output Transfer and Nominal Protection Coefficient on Output can be indicated that output price in domestic market was lower than output price in international market. Based on the results of Input Transfer and Nominal Coefficient on Input can be indicated that there s subsidy policy impact in input price of maize farming. In additional, factor transfer result indicated that there s tax policy impact in domestic factors. The result of Effective Protection Coefficient of maize (0.80) indicates that there s low protection of maize product in Bolmong. Net Transfer result was negative. The profitability rates of maize farming just only 7 percent in private price. Subsidy Ratio to Producers was negative. It means that there s a high budget of production budget of maize farming, especially in private factor. Finally, based on sensitivity analysis can be shown that the ninth scenario (fertilizer price decreased 10 percent and output price increased 30 percent) was the best scenario with result of private and social profitabilities, PCR and DRCR are Rp. 3 027 171/ year and Rp. 6 849 398/ year, 0.69 and 0.46. Keywords : comparative and competitive advantages, maize and paddy farming, Policy Analysis Matrix

RINGKASAN ZULKIFLI MANTAU. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara (HARIANTO sebagai Ketua, dan NUNUNG NURYARTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Pemerintah Indonesia menargetkan swasembada jagung pada tahun 2007 setelah pencanangan kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) pada tahun 2005. Selanjutnya pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Utara menyambut RPPK 2005 tersebut dengan meluncurkan Crash Program Agribisnis, dimana ditetapkan beberapa komoditas pertanian dan perikanan yang menjadi prioritas utama untuk ditumbuh kembangkan yaitu jagung, rumput laut dan VCO (Virgin Coconut Oil). Mengacu dari strategi kedua kebijakan RPPK yaitu peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian produksi dan distribusi PPK melalui praktek usaha pertanian yang baik (good agriculture practice), maka perlu dilakukan penelitian dan atau kajian mengenai aspek daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) khususnya komoditi jagung di Bolaang Mongondow yang merupakan sentra jagung di Sulawesi Utara selain juga terkenal sebagai lumbung berasnya Sulawesi Utara, agar dapat dirumuskan suatu kebijakan yang sesuai (langkah-langkah intervensi) untuk pengembangan komoditas unggulan tersebut, dimana sasaran akhirnya tidak terlepas dari faktor peningkatan produksi dan kesejahteraan petani (berhubungan dengan strategi pertama yaitu pengurangan kemiskinan dan kegureman petani). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis aspek profitabilitas usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow, (2) menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow, (3) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing usahatani jagung dan padi di Bolaang Mongondow, dan (4) menganalisis sensitivitas perubahan harga input, output dan upah tenaga kerja terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung di Bolaang Mongondow. Metode analisis menggunakan Policy Anylisis Matrix (PAM). Dengan PAM dapat diketahui nilai profitabilitas privat dan sosial, Private Cost Ratio (PCR) untuk rasio keunggulan kompetitif, Domestic Resources Cost Ratio (DRCR) untuk rasio keunggulan komparatif dan aspek divergensi atau dampak kebijakan yang terdiri dari Output Transfer (OT), Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), Input Transfer (IT), Nominal Coefficient on Input (NPCI), Factor Transfer (FT), Effective Protection Coefficient (EPC), Profitability Coefficient (PC) dan Surplus Ratio to Producer (SRP). Dari 100 orang petani responden diperoleh hasil usia rata-rata sebesar 45 tahun dengan pendidikan terakhir umumnya sekolah dasar (49 persen). Petani responden di lima kecamatan lokasi penelitian (Poigar, Bolaang, Bolaang Timur, Lolayan dan Lolak) semuanya bermata pencaharian utama dari kegiatan usahatani, baik tanaman pangan, peternakan maupun perkebunan. Sebagian besar petani merupakan pemilik lahan, hanya satu kecamatan saja yang keseluruhan

petaninya tidak memiliki lahan atau hanya menggarap (HGU) yaitu di Kecamatan Lolak (Desa Lolak II). Hasil analisis PAM menunjukkan profitabilitas privat usahatani jagung dan padi masing-masing sebesar Rp. 218 926 dan Rp. 3 870 106 dengan RC-ratio sebesar 1.02 dan 1.39, sedangkan provitabilitas sosial masing-masing sebesar Rp. 3 045 938 dan Rp. 3 446 567 per dua musim tanam dengan RC-ratio sebesar 1.33 untuk jagung dan 1.37 untuk padi. Berdasarkan nilai PCR dapat dikemukakan bahwa usahatani jagung memerlukan 0.97 satuan untuk dapat bersaing dengan usahatani padi yang hanya memerlukan tambahan biaya faktor domestik pada harga privat sebesar 0.69 satuan. Nilai DRCR usahatani jagung menunjukkan bahwa setiap US $ 1.00 yang dibutuhkan untuk mengimpor produk tersebut, hanya membutuhkan biaya domestik sebesar US $ 0.65, artinya untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas jagung sebaiknya di produksi sendiri di Bolaang Mongondow dan tidak perlu didatangkan atau diimpor dari daerah atau negara lain. Demikian halnya dengan usahatani padi yang memiliki nilai DRCR sebesar 0.68. Sehingga dapat dikemukakan bahwa kedua komoditas tersebut lebih menguntungkan diproduksi di dalam Kabupaten Bolaang Mongondow daripada mengimpornya. Selanjutnya berdasarkan analisis dampak kebijakan dalam Tabel PAM diperoleh hasil untuk usahatani jagung nilai OT negatif (Rp. -3 016 041.83) dengan NPCO 0.75 sedangkan usahatani padi nilai OT positif (Rp. 944 028.37) dengan NPCO 1.07. Hasil ini menunjukkan harga domestik jagung lebih rendah dari harga internasionalnya sebaliknya harga domestik padi (beras) lebih tinggi dari harga internasionalnya, yang mengindikasikan adanya kebijakan disinsentif terhadap output jagung (pajak komoditas). Hasil IT baik usahatani jagung maupun padi sama-sama negatif, yaitu Rp. -1 219 818.82 dan Rp. -785 522.96 dengan NPCI masing-masing 0.64 dan 0.62. Hasil ini menunjukkan secara implisit adanya subsidi terhadap faktor input yang besarannya 64 persen untuk jagung dan 62 persen untuk padi. Sebaliknya hasil FT yang positif, yaitu Rp. 1 030 788.26 untuk jagung dan Rp. 1 306 012.31 untuk padi menunjukkan adanya subsidi sebesar nilai-nilai tersebut terhadap faktor domestik masing-masing usahatani. Nilai EPC untuk jagung lebih kecil dari satu (0.80) sedangkan padi lebih besar dari satu (1.16) yang menunjukkan adanya kebijakan proteksi terhadap komoditi padi (beras). Nilai NT dan SRP usahatani jagung yang negatif menunjukkan adanya pengurangan surplus produsen (petani) dan tingginya biaya produksi, dengan rasio keuntungan pada harga privat hanya sebesar 7 persen (PC). Berdasarkan analisis sensitivitas maka kebijakan yang dapat diambil pemerintah daerah pada usahatani jagung di Bolaang Mongondow adalah dengan menurunkan harga pupuk sebesar 10 persen dan menaikkan harga output sebesar 30 persen (skenario ke-9). Kata kunci : keunggulan komparatif dan kompetitif, Policy Analysis Matrix, usahatani jagung dan padi

Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto, M.Ec

Judul Tesis : Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara Nama Mahasiswa : Zulkifli Mantau Nomor Pokok : H353070191 Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Harianto, MS Ketua Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS Anggota Mengetahui, 2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS Tanggal Ujian Tesis : 13 Juli 2009 Tanggal Lulus: 4 September 2009

KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas rakhmat dan hidayah-nya sehingga Tesis Program Magister Sains ini dapat terselesaikan. Tesis ini mengkaji dan mengulas mengenai aspek-aspek daya saing serta kebijakan bagi usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara. Dengan selesainya tesis ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.Ir. Harianto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.Ir. Nunung Nuryartono, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan arahan, saran serta pemikirannya dari awal penulisan proposal sampai dengan penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sama penulis sampaikan pula kepada Dr.Ir. Heny K.S. Daryanto, M.Ec selaku penguji luar komisi. Banyak terima kasih penulis sampaikan juga kepada : 1. Kepala Badan Litbang Pertanian Deptan serta Kepala BPTP Sulawesi Utara yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan pendidikan S-2 di IPB. 2. Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Koordinator serta seluruh staf dosen dan pegawai Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian SPS IPB (mba Rubi, mba Yani, mba Aam, Ibu Kokom, Pak Husen) yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan, wawasan kepada penulis selama kuliah di EPN - IPB. 3. Para Penyuluh Pertanian Lapangan, Ketua GAPOKTAN, Kepala Desa dan petani responden di Desa Poigar, Bolaang, Langagon, Lolayan dan Lolak II yang telah banyak membantu penulis memperoleh data dan informasi selama penelitian lapang berlangsung.

4. Saudara Aryanto, SPt dan Ben Kumontoi yang telah membantu penulis saat pengambilan data lapang. 5. Para staf di dinas pertanian, dinas perdagangan propinsi dan kabupaten, bea cukai Pelabuhan Bitung dan Gorontalo, Pelindo Bitung, BPS Propinsi, Direktorat Bina Pasar Departemen Perdagangan, yang telah banyak membantu dalam penyediaan dan penelusuran data-data. 6. Teman-teman EPN angkatan 2007 : Adhi Setyanto, Ferryanto W.K, Narta, M.Suryadi, Ambar Kurniawan, Roni Afrizal, Desi Aryani, Dian Hafizah, Wanti Fitrianti, Asri, Wiwik Hidayati, atas bantuan dan dorongan semangatnya. 7. Teman-teman peneliti, penyuluh serta staf administrasi di BPTP Sulut atas segala bantuan yang diberikan. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Papi Abdullah Mantau (Alm) dan yang teristimewa untuk Mami tercinta Hj. Kartin Ali atas doa, dukungan dan perhatiannya. Kepada Istri terkasih Salmah Tirajoh serta dua permata hati Zahra dan Raya yang telah dengan sabar menanti dan mendoakan penulis. Kepada Kakak-kakakku Abdul Halim dan Mercy atas doa dan dukungannya. Akhirnya, semoga tesis ini dapat lebih memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan penelitian di Indonesia. Bogor, Agustus 2009 Zulkifli Mantau

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 6 Juni 1974 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Drs.Abdullah Mantau (Alm) dengan Ir.Hj.Kartin Ali. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Laboratorium IKIP Negeri Manado pada tahun 1986, kemudian pendidikan menengah di SMP Laboratorium IKIP Negeri Manado pada tahun 1989 dan SMA Negeri 7 Manado pada tahun 1992. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi Manado dan meraih gelar sarjana pada tahun 1997. Penulis bekerja sebagai staf peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara sejak April 1998. Pada tahun 2007 memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan S-2 pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...... xiv DAFTAR GAMBAR...... xvi DAFTAR LAMPIRAN...... xvii I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 5 1.3. Tujuan Penelitian... 6 1.4. Manfaat Penelitian... 7 1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 7 1.6. Keterbatasan Penelitian... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA... 9 2.1. Teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif... 9 2.2. Kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan... 15 2.3. Penelitian Terdahulu... 18 III. KERANGKA PEMIKIRAN... 22 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis... 22 3.2. Policy Analysis Matrix... 25 IV. METODOLOGI PENELITIAN... 28 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian... 28 4.2. Data dan Sumber Data... 28 4.3. Prosedur Penelitian dan Metode Pengambilan Contoh... 30 4.4. Metode Analisis... 32 4.5. Metode Penentuan Harga Bayangan... 38 4.5.1. Harga Bayangan Output... 39 4.5.2. Harga Bayangan Lahan... 39 4.5.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan... 40 4.5.4. Harga Bayangan Tenaga Kerja... 41

4.5.5. Harga Bayangan Suku Bunga Modal... 42 4.5.6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah... 42 4.6. Analisis Sensitivitas... 43 V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 47 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 47 5.2. Karakteristik Petani Responden... 49 5.3. Struktur Pendapatan Petani dan Kepemilikan Lahan... 53 5.4. Justifikasi Harga Bayangan... 56 5.4.1. Harga Bayangan Output... 57 5.4.2. Harga Bayangan Lahan... 58 5.4.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan... 58 5.4.4. Harga Bayangan Tenaga Kerja... 61 5.4.5. Harga Bayangan Suku Bunga Modal... 63 5.4.6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah... 63 5.5. Profitabilitas Privat dan Sosial... 64 5.6. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif... 69 5.7. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah... 73 5.7.1. Kebijakan Output... 74 5.7.2. Kebijakan Input... 78 5.7.3. Kebijakan Input-Output... 85 5.8. Analisis Sensitivitas... 88 VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN... 92 6.1. Kesimpulan... 92 6.2. Implikasi Kebijakan... 93 DAFTAR PUSTAKA... 95 LAMPIRAN... 100 xiii

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Perkembangan Produksi dan Luas Tanaman Padi dan Jagung di Sulawesi Utara Tahun 2003 2005... 21 2. Policy Analysis Matrix... 27 3. Persentase Kenaikan Harga Jagung kurun waktu Tahun 1991 2006... 46 4. Curah Hujan selang Tahun 2004 2008... 47 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Lapangan Usaha Tahun 2007... 48 6. Luas Tanam Usahatani Tanaman Pangan Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2007... 49 7. Karakteristik Usia Petani Responden... 50 8. Karakteristik Pendidikan Terakhir Petani Responden... 51 9. Status dan Peranan Anggota Keluarga... 53 10. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2009... 54 11. Struktur Pendapatan Rumah tangga Tani Responden... 55 12. Rekap Harga Sewa Lahan Rata-Rata di Lokasi Penelitian... 58 13. Rekap Harga Privat dan Sosial Sarana Produksi Usahatani Jagung di Lokasi Penelitian... 60 14. Rekap Harga Privat dan Sosial Upah Tenaga Kerja Tidak Terampil Usahatani Jagung... 62 15. Hasil Analisis Policy Analysis Matrix Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow... 66 16. Hasil Perhitungan Privat Cost Ratio dan Domestic Resource Cost Ratio Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow... 69 17. Output Transfer dan Nominal Protection Coeficient on Output Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow... 74 xiv

18. Retribusi Distribusi Komoditi Kabupaten Bolaang Mongondow sesuai Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2001... 76 19. Input Transfer, Nominal Protection Coeficient Input dan Factor Transfer Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow... 79 20. Rata-Rata Harga Beli Pupuk Bersubsidi pada Lima Lokasi Penelitian di Kabupaten Bolaang Mongondow... 80 21. Effective Protection Coefficient, Net Transfer, Profitability Coeficient dan Susidy Ratio to Producers Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow... 85 22. Analisis Sensitivitas Usahatani Jagung di Bolaang Mongondow... 89 xv

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Dua Belas Pilar Competitiveness... 14 2. Tahapan-Tahapan dalam Membangun Competitiveness... 14 3. Hubungan Tingkat Pendidikan Petani dengan Jenis Usahatani... 52 xvi

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian... 101 2. Rekap Pendapatan Rata-Rata Rumah tangga Tani Responden di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2008... 102 3. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2008... 103 4. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2008... 105 5. Koefisien PAM Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow... 107 6. Koefisien PAM Usahatani Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow... 108 7. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Unggulan Sulawesi Utara Tahun 2002-2007... 109 8. Pola Tanam Usahatani Jagung dan Padi secara Umum di Lokasi Penelitian... 110 xvii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sampai kurun waktu 1976 Indonesia masih termasuk salah satu negara pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah kurun waktu tersebut, dari negara pengekspor menjadi negara pengimpor (net importer) (Swastika, 2002; Nuryartono, 2005). Hal ini berkaitan erat dengan pola konsumsi yang lambat laun berubah, dimana jagung tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan) namun juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri, khususnya pakan ternak (Nuryartono, 2005). Tercatat kebutuhan jagung nasional untuk bahan baku pakan ternak pada tahun 2005 saja sudah mencapai 4.5 juta ton dan diprediksi akan meningkat setiap tahunnya (WWF Indonesia, 2008). Sedangkan sampai akhir tahun 2007 kebutuhan jagung nasional secara keseluruhan sebesar 13.8 juta ton, dimana 13.2 juta ton merupakan produksi dalam negeri sementara 600 ribu ton diimpor dari negara lain. Adapun peningkatan permintaan terhadap komoditas jagung tersebut diperkirakan mencapai 2.40 persen per tahun (Antara News, 2007). Kebijakan swasembada beras selama ini menempatkan beras sebagai produk pangan utama di Indonesia, sementara jagung menjadi second commodity dalam tatanan produk pangan di Indonesia. Hal ini tidaklah mengherankan karena sejak era orde lama komoditi padi (dalam hal ini beras) telah memiliki peran strategis terutama menyangkut isu ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan stabilitas politik.

2 Kebijakan perberasan nasional kemudian dimantapkan dalam GBHN 1999 2004, yang mengatur landasan utama perumusan kebijakan perberasan nasional (Puslitbangtan, 2005). Selanjutnya kebijakan perberasan nasional semakin dipermantap dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (INPRES) No. 3 Tahun 2007 dan No.1 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan Nasional. Dimana pada intinya mengatur mengenai: (1) harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah (kering panen dan kering giling), beras dan stabilisasi harga beras, (2) fasilitasi pupuk untuk usahatani padi, (3) penyaluran beras bersubsidi serta sasarannya, (4) masalah ekspor dan impor beras, dan (5) menyangkut koordinasi dan instruksi bagi kementrian dan departemen terkait serta pemerintah daerah. Selanjutnya jagung lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri baik untuk pakan ternak maupun bio-energi, daripada antisipasi ketahanan pangan. Sehingga aspek regulasi pun tidak semantap dan sekonsisten kebijakan perberasan. Alasan yang mendasari perubahan isu dari kepentingan pangan menjadi kepentingan industri pakan adalah semata-mata sebagai antisipasi dari perkembangan industri ternak Indonesia yang semakin pesat. Sebagai gambaran umum bahwa kapasitas produksi Perusahaan Makanan Ternak (PMT) di Indonesia, sekitar 6 908 000 ton per tahun. Apabila 50 persen berat bahan bakunya adalah jagung, berarti setiap tahun memerlukan pasokan hampir 3.5 juta ton. Dengan rata-rata produksi jagung hibrida 5 ton per ha dan 2 kali tanam per tahun, ini berarti untuk memenuhi kebutuhan PMT saja akan diperlukan lahan sekitar 350 000 ha per tahun (Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil Bank Indonesia, 2008).

3 Menurut Gabungan Perusahaan Makanan Ternak Indonesia (GPMTI) proyeksi kebutuhan jagung untuk pakan ternak akan naik dari 3.5 juta ton per tahun menjadi 7 juta ton per tahun dalam kurun waktu tahun 2004 2010 (Departemen Perindustrian, 2004). Data FAO menunjukkan bahwa produksi jagung nasional pada tahun 2006 sebesar 11 610 646 ton dengan luas areal panen sebesar 3 346 427 ha (FAO, 2008). Sedangkan Produksi jagung Sulawesi Utara pada tahun 2006 menurut data BPS, sebesar 406 759 ton dengan luas areal panen sebesar 115 664 ha (Badan Pusat Statistik, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 30 persen dari produksi jagung nasional tersebut tersedot oleh kebutuhan pabrik pakan ternak, dan ini akan meningkat terus setiap tahunnya sesuai dengan proyeksi dari GPMTI. Sementara produksi jagung Sulawesi Utara hanya memberikan kontribusi sekitar 12 persen dari total kebutuhan jagung untuk pakan ternak. Seiring kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan pada tahun 2005, pemerintah Indonesia kemudian memandang optimis akan perkembangan jagung ini dengan menargetkan swasembada jagung pada tahun 2007 (Nuryartono, 2005). Antisipasi ini dimungkinkan mengacu pada pertumbuhan produksi jagung lima tahun terakhir (2000-2004) yang besarnya 4.24 persen per tahun dan laju peningkatan kebutuhan yang besarnya 2.74 persen per tahun (Badan Litbang Pertanian, 2005 dalam Suryana, 2006). Target pemerintah ini tidak lepas dari kebijakan umum RPPK, dimana strategi kedua adalah peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian produksi dan distribusi PPK melalui praktek usaha pertanian yang baik (good agriculture practice) (Departemen Pertanian, 2005).

4 Selanjutnya pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Utara menyambut RPPK 2005 tersebut dengan meluncurkan Crash Program Agribisnis, dimana ditetapkan beberapa komoditas pertanian dan perikanan unggulan yang menjadi prioritas utama untuk ditumbuhkembangkan yaitu jagung, rumput laut dan kelapa dalam bentuk Virgin Coconut Oil (VCO). Mengacu dari strategi kedua kebijakan RPPK tersebut (aspek daya saing komoditas unggulan), maka perlu dilakukan penelitian dan atau kajian mengenai aspek daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) khususnya komoditi jagung di Bolaang Mongondow yang merupakan salah satu wilayah sentra jagung di Sulawesi Utara selain juga terkenal sebagai lumbung berasnya Sulawesi Utara. Komoditas jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow sejak tahun 2006 mengalami peningkatan produksi yang signifikan. Tahun 2005 tercatat produksi total jagung Bolmong sebesar 69 000 ton, meningkat menjadi 110 670 ton pada tahun 2006, selanjutnya naik menjadi 119 282 ton pada tahun 2007 dan tahun 2008 meningkat lagi menjadi 126 857 ton (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008). Peningkatan produksi tersebut diikuti oleh peningkatan luas areal tanam, luas areal panen dan produktivitasnya. Pada tahun 2006 luas areal tanam, luas areal panen dan produktivitas jagung berturut-turut masih sebesar 38 692 ha, 36 835 ha dan 30.15 ton per ha. Kemudian meningkat pada tahun 2008 sebesar 38 813 ha, 37 839 ha dan 35.50 ton per ha (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008). Bahkan pada tahun 2007 sebanyak 2000 ton jagung Bolmong telah diekspor ke Davao, Phillipina (Harian Komentar, 2 Juni 2007).

5 Peningkatan luas areal tanam, luas areal panen, produktivitas dan produksi jagung di Bolaang Mongondow selama kurun waktu tiga tahun terakhir terjadi karena sejak dicanangkannya Crash Program Agribisnis Sulawesi Utara jagung dipacu dan diangkat menjadi komoditas unggulan, sehingga bisa lebih memiliki daya saing serta membuka peluang untuk ekspor (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008). 1.2. Perumusan Masalah Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan ekspor hasil pertanian dapat dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu: (1) permasalahan yang timbul sebagai konsekuensi kebijaksanaan pemerintah yang diambil selama ini, (2) permasalahan yang berkaitan dengan sifat-sifat yang melekat pada komoditas pertanian, dan (3) permasalahan yang berkaitan dengan kebijaksanaan perdagangan yang dilakukan oleh partner dagang. Permasalahan-permasalahan ini perlu diatasi dalam upaya pengembangan ekspor hasil pertanian guna meningkatkan penerimaan ekspor dengan melakukan reorientasi kebijaksanaan ekspor dan kebijaksanaan pembangunan pertanian (Dillon dan Suryana, 1990 dalam Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, 2000). Di lain pihak, untuk mengembangkan komoditas ekspor pertanian perlu mempertimbangkan aspek keunggulan komparatif dan kompetitifnya, sehingga tercipta pewilayahan komoditas yang benar-benar mencerminkan kemampuan suatu wilayah dalam menghasilkan komoditi pertanian serta mampu menangkap peluang pasar.

6 Berhubungan dengan hal tersebut, hasil penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Utara pada tahun 1999 menunjukkan komoditas jagung di Bolaang Mongondow memiliki keunggulan komparatif dengan nilai Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) sebesar 0.53, sedangkan padi memiliki nilai DRCR sebesar 0.61 (BPTP Sulut, 2000). Sementara itu, selama kurun waktu hampir 10 tahun tidak banyak diperoleh informasi terbaru mengenai tingkat keunggulan komparatif maupun kompetitif usahatani jagung serta padi di wilayah tersebut. Apakah telah mengalami peningkatan atau bahkan penurunan, sebab keunggulan komparatif bersifat dinamis dan sewaktu-waktu keunggulan yang dimiliki tersebut dapat diambil alih oleh komoditas lain. Padahal informasi atau data ini sangat penting tersedia sebagai acuan bagi pemerintah daerah dalam menentukan arah kebijakan atau langkah-langkah intervensi guna pengembangan komoditas jagung tersebut dalam rangka mensukseskan Crash Program Agribisnis Propinsi Sulawesi Utara. Berdasarkan permasalahan tersebut memunculkan beberapa pertanyaan bahwa apakah usahatani jagung yang dilakukan selama ini masih memiliki keunggulan komparatif dan bagaimana keunggulan kompetitifnya dengan komoditas lain yang merupakan kompetitor utama di Bolaang Mongondow, yaitu padi? Selanjutnya, bagaimana kontribusinya terhadap tingkat pendapatan petani di Kabupaten Bolaang Mongondow? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan pada bagian 1.1. dan 1.2. maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

7 1. Menganalisis aspek profitabilitas usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow 2. Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow. 3. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing usahatani jagung dan padi di Bolaang Mongondow. 4. Menganalisis sensitivitas perubahan harga input, output dan upah tenaga kerja terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung di Bolaang Mongondow. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan masukan dan informasi bagi pihak pengambil kebijakan daerah tentang sejauh mana atau seberapa besar keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung serta padi di Kabupaten Bolaang Mongondow saat ini. Sehingga dapat dirumuskan langkah kebijakan selanjutnya mengenai program revitalisasi jagung khususnya di Kabupaten Bolaang Mongondow, terutama dalam hal penentuan kadar intervensi pemerintah terhadap usahatani tersebut. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Lingkup pokok bahasan dalam penelitian ini meliputi analisis komparatif dan kompetitif usahatani jagung dan padi yang meliputi perhitungan/ penentuan Domestic Resource Cost Ratio (DRCR), Private Cost Ratio (PCR), analisis keuntungan baik sosial maupun privat serta aspek dampak kebijakan pemerintah

8 yang mempengaruhi daya saing jagung serta padi. Keseluruhan indikator tersebut akan menunjukkan seberapa besar tingkat daya saing (komparatif dan kompetitif) dari usahatani jagung serta padi di Kabupaten Bolaang Mongondow. Disamping itu, pengamatan lebih difokuskan pada tingkat usahatani dan bukan pada tingkat/skala industri besar seperti industri pakan ternak yang memanfaatkan jagung sebagai bahan baku utamanya. 1.6. Keterbatasan Penelitian Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini hanya dibatasi pada analisis komparatif dan kompetitif termasuk profitabilitas sosial dan privat serta dampak kebijakan sesuai hasil Policy Analysis Matrix (PAM) untuk perumusan suatu kebijakan. 2. Keterbatasan informasi atau kegagalan informasi dari pedagang pengumpul mengenai harga beli riil jagung di tingkat petani serta keterbatasan informasi dari pihak birokrat sebagai alasan untuk pengamanan program daerah. 3. Batas-batas wilayah administratif yang belum jelas sebagai akibat proses pemekaran wilayah yang belum tuntas menyebabkan kesulitan dalam hal koordinasi dan validasi data sekunder terutama data potensi serta luas lahan dan pertanaman jagung secara total di Kabupaten Bolaang Mongondow. 4. Penentuan input-input tradable serta validitas harga yang berlaku di Kabupaten Bolaang Mongondow khususnya dan Sulawesi Utara pada umumnya.

9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Teori ini disinggung pertama kali oleh Adam Smith kemudian diperkaya dan dikembangkan oleh David Ricardo pada awal abad ke 19, sehingga untuk menggambarkan teori ini secara umum, maka sering digunakan istilah Ricardian Model (Gonzalez, 2004). Gonzalez (2004) mengemukakan bahwa terdapat kesalahpahaman dalam mengartikan keunggulan komparatif. Pertama, prinsip dari keunggulan komparatif adalah sangat kontra-intuitif. Banyak hasil dari model formal mengandung kontroversi secara logika. Kedua, teori tersebut sangat mudah untuk membawa kebingungan dengan dugaan lain mengenai keuntungan, yang dikenal dalam teori perdagangan sebagai teori keunggulan absolut. Dasar pemikiran dari keunggulan absolut cukup intuitif. Kebingungan antara dua konsep teori ini membuat banyak orang untuk berpikir bahwa mereka paham keunggulan komparatif dalam faktanya, padahal yang dipahami adalah keunggulan absolut. Dalam penjelasan mengenai teori keunggulan komparatif sering disajikan dalam bentuk matematis, menggunakan contoh-contoh numerik atau representasi diagrammatic untuk menggambarkan hasil dasar dan implikasi terdalam dari teori tersebut. Bagaimanapun, teori tersebut mudah untuk dilihat secara matematik, tanpa perlu memahami intuisi dasar dari teori tersebut. Selanjutnya dikemukakan bahwa disebabkan ide dasar dari keunggulan komparatif yang tidak intuitif, maka cara terbaik untuk memahami teori ini adalah dengan mempelajari temuan dari David Ricardo. Dalam contohnya, Ricardo

10 menyajikan dua negara, Inggris dan Portugal yang memproduksi dua barang, yaitu pakaian dan anggur dengan menggunakan tenaga kerja sebagai input penjualan dalam produksi. Ricardo berasumsi bahwa produktivitas tenaga kerja (seperti kuantitas produksi per pekerja) bervariasi antara industri dan antar negara. Inggris lebih produktif dalam produksi salah satu barang dan Portugal lebih produktif pada hal yang lain, Ricardo berasumsi bahwa Portugal lebih produktif pada kedua barang tersebut. Jika Portugal dua kali relatif lebih produktif dalam produksi kain dan tiga kali dalam produksi anggur, maka kemudian dikatakan bahwa Portugal memiliki keunggulan komparatif untuk produk anggur. Sebaliknya Inggris dikatakan lebih memiliki keunggulan komparatif untuk produk kain. Hal ini menyiratkan bahwa untuk mendatangkan keuntungan dari spesialisasi produk dan perdagangan bebas, maka Portugal harus mengkhususkan diri memproduksi dan memperdagangkan barang-barang yang paling baik dalam produksi, sedangkan Inggris mengkhususkan diri memproduksi dan memperdagangkan barang-barang yang sedikit buruknya dalam produksi (Gonzalez, 2004). Namun dewasa ini teori keunggulan komparatif (comparative advantage) telah mengalami pergeseran, seiring dikonsepkannya kembali comparative advantage oleh Paul Krugman, seorang ekonom penerima hadiah Nobel tahun 2008. Menurut Handerson (2008) teori Krugman menjelaskan bahwa banyak perdagangan inernasional mengambil lokasi antar negara dengan ratio capital yang sama untuk tenaga kerja. Teori Krugman mencontohkan industri mobil di Swedia yang menggunakan intensive capital dimana Swedia mengeskpor mobil ke Amerika, sementara konsumen Swedia juga mengimport mobil dari Amerika.

11 Penjelasan Krugman mengenai comparative advantage didasari pada economies of scale. Teori Krugman mengatakan bahwa: sebab dari economies of scale, produsen mempunyai insentif untuk berkonsentrasi memproduksi setiap barang atau jasa pada jumlah terbatas dari lokasi tertentu. Disebabkan karena biaya transaksi melewati jarak (secara geografis), maka lokasi yang diinginkan dari tiap produsen adalah tempat dimana permintaan besar atau jumlah input yang sesuai yang secara umum adalah suatu lokasi yang dipilih oleh produsen yang lain. Sehingga (secara geografis) konsentrasi dari industri, sekali dimapankan/ dimantapkan, sehingga cenderung untuk berkelanjutan dengan sendirinya (Handerson, 2008). Intinya, tidak seperti Ricardo yang menyarankan bahwa setiap negara atau daerah harus memiliki spesialisasi dalam memproduksi suatu barang agar dapat memiliki comparative advantage terhadap negara/daerah lain dengan memproduksi barang yang berbeda, namun Krugman mengemukakan bahwa setiap negara dapat memiliki comparative advantage terhadap negara lainnya dengan memproduksi barang yang sama atau tidak perlu spesialisasi produksi karena adanya kemajuan teknologi (Krugman and Venables, 1996; Handerson, 2008). Berhubungan dengan hal spesialisasi produk, Ricci (1999) dalam penelitiannya mengenai aglomerasi versus spesialisasi menemukan bahwa aglomerasi dalam suatu negara akan mengurangi spesialisasi dalam industri yang Increasing Return to Scale (IRS). Selanjutnya dikemukakan bahwa keunggulan komparatif menentukan model atau pola spesialisasi. Dimana dalam aktivitas IRS, masing-masing negara akan lebih mengkhususkan pada produksi barang yang memiliki keunggulan komparatif. Tsakok (1990) mengemukakan bahwa konsep dari keunggulan komparatif dan absolut memang sering membingungkan, namun pada prinsipnya mereka sangat berbeda. Keungguan absolut merujuk pada perbedaan dalam tingkat biaya

12 absolut pada produksi suatu negara. Sedangkan keunggulan komparatif merujuk pada perbedaan dalam opportunity cost diantara negara yang melakukan perdagangan. Keunggulan komparatif memiliki dua pengertian. Pertama, pengertian mengenai efisiensi produksi yang membandingkan antara dua atau lebih negara-negara yang melakukan perdagangan. Negara-negara dengan opportunity cost yang paling rendah adalah relatif lebih efisien dan memiliki keunggulan komparatif. Mereka memiliki biaya keunggulan dibanding dengan produsen lainnya dan memiliki daya saing internasional (internationally competitive). Kedua, pengertian keunggulan komparatif merujuk pada efisiensi dari berbagai jenis produksi di dalam ekonomi domestik, yang dibandingkan pada pendapatan atau simpanan dari setiap unit devisa. Adapun konsep atau teori keunggulan kompetitif (competitiveness) digunakan untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku (analisis finansial). Porter (2008) mengemukakan bahwa competitiveness merupakan suatu konsep yang tidak mudah dipahami, namun dilain pihak arti pentingnya diterima secara luas. Definisi yang paling intuitif mengenai competitiveness adalah share suatu negara dari pasar dunia untuk produk tertentu. Hal ini membuat competitiveness sebagai suatu zero-sum game, sebab salah satu keuntungan suatu negara datang dari biaya negara lainnya. Gambaran mengenai competitiveness ini adalah legalisasi tindakan suatu negara untuk intervensi pasar atau disebut juga kebijakan industrial, termasuk kebijakan untuk menyediakan subsidi, menahan upah lokal dan mendevaluasi mata uang suatu negara. Faktanya,

13 hal ini masih sering dikatakan bahwa upah yang lebih rendah atau devaluasi akan membuat suatu negara lebih kompetitif. Untuk dapat mengerti competitiveness, maka harus diawali atau didasari pada sumber-sumber kemakmuran. Standar hidup suatu negara ditentukan oleh produktivitas ekonominya yang diukur dengan nilai barang dan jasa per unit yang diproduksi dari sumberdaya manusia, kapital dan sumberdaya alam suatu negara. Produktivitas tergantung pada nilai produk dan jasa suatu negara yang diukur dengan harga di pasar bebas serta efisiensi. Selain itu competitiveness suatu negara atau wilayah membaik jika negara atau wilayah tersebut mampu meningkatkan kapabilitas produksi mereka yang didorong oleh faktor-faktor : level negara, industri, perusahaan dan individu (Porter, 2008). Martin et al. (2008) mengemukakan bahwa terdapat dua belas pilar dari competitiveness. Pernyataan tersebut dijelaskan pada Gambar 1, dimana walaupun keduabelas pilar competitiveness tersebut digambarkan secara terpisah, namun hal ini tidak mengaburkan fakta bahwa bukan hanya terkait satu dengan lainnya namun keduabelas pilar tersebut cenderung saling menguatkan satu sama lain. Contohnya, inovasi (pilar keduabelas) tidak mungkin ada didunia ini tanpa suatu institusi (pilar pertama) yang menjamin kebebasan intelektual. Dimana hal ini tidak dapat dibentuk pada negara-negara dengan tingkat pendidikan dan kualitas angkatan kerja yang rendah (pilar kelima). Selain itu, tidak akan mendapat tempat dalam ekonomi dengan pasar yang inefisien (pilar keenam, tujuh dan delapan) atau tanpa infrastruktur yang ekstensif dan efisien (pilar kedua). Namun pengaruh pilar-pilar tersebut akan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya, terutama antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju.

14 Basic requirements Institutions Infrastructure Macroeconomic stability Health and primary education Key for Factor-driven economies Efficiency enhancers Higher education and training Goods market efficiency Labor market efficiency Financial market sophistication Technological readiness Market size Innovation and sophistication factors Business sophistication Innovation Key for Efficiency-driven economies Key for Innovation-driven economies Sumber : Martin et al. (2008) Gambar 1. Dua Belas Pilar Competitiveness Selanjutnya berdasarkan kluster yang terbentuk dari keduabelas pilar tersebut, Porter (2008) menggambarkan tahapan dalam membangun competitiveness seperti terlihat pada Gambar 2. Factor-driven economy Investment-driven economy Innovation-driven economy Input Cost Efficiency Unique value Sumber: Porter (2008) Gambar 2. Tahapan-Tahapan dalam Membangun Competitiveness Tahap factor-driven merupakan faktor kondisi awal seperti biaya tenaga kerja rendah dan sumberdaya alam yang tidak terproses (terolah). Dimana hal tersebut merupakan sumber yang dominan dari keunggulan kompetitif dan eksport. Perusahaan memproduksi komoditi atau produk yang relatif sederhana. Pada tahap investment-driven, efisiensi dalam memproduksi produk standar dan

15 jasa menjadi sumber dominan dari keunggulan kompetitif. Sedangkan faktor investasi besar dalam infrastruktur, administrasi negara yang baik, insentif terhadap investasi dan akses yang baik pada kapital menciptakan produktivitas yang baik. Investment-driven economy dikonsentrasikan pada manufaktur dan jasa-jasa eksport. Pada tahap innovation-driven, kemampuan inovasi produk dan jasa menjadi terdepan. Dengan menggunakan beberapa metode lanjutan, maka hal ini menjadi sumber yang dominan dari keunggulan kompetitif. Institusi dan insentif mendukung inovasi dengan baik. Perusahaan-perusahaan bersaing dengan produk-produk strategis secara global. Pada tahap ini ekonomi memiliki high share dari jasa-jasa dalam ekonomi dan tahan terhadap external shock. 2.2. Kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan RPPK merupakan salah satu dari Triple Track Strategy Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan daya saing ekonomi nasional. Target penurunan kemiskinan dari 16.6 persen tahun 2004 menjadi 8.2 persen tahun 2009 dan penurunan pengangguran terbuka dari 9.7 persen tahun 2004 menjadi 5.1 persen tahun 2009, mengharuskan dilakukannya berbagai usaha pembangunan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 6.6 persen per tahun, rasio investasi terhadap PDP harus naik dari 16 persen pada tahun 2004 menjadi 24.4 persen pada tahun 2009 (www.aphi-net.com, diakses pada 26 Agustus 2008 jam 14:00). Triple Track Strategy tersebut yaitu: (1) stabilisasi ekonomi makro mendukung pertumbuhan 6.6 persen per tahun, (2) menggerakkan kembali sektor riil, khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan (3) revitalisasi

16 pertanian dan perekonomian pedesaan. Sebagai konsekuensi maka diperlukan kebijakan yang mensinergikan sektor pertanian, industri dan jasa. Berkaitan dengan hal tersebut, Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) ditetapkan sebagai salah satu program pembangunan, dengan maksud: 1. Menegaskan komitmen pemerintah terhadap revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan Indonesia. 2. Mensosialisasikan arah dan strategi revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan Indonesia. 3. Memberi arah dan mendorong investasi di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan, baik investasi publik, investasi swasta, maupun investasi masayarakat. 4. Menjadi awal bagi perumusan dan implementasi rangkaian kebijakan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan. 5. Menfasilitasi komunikasi antar petani, nelayan, pengusaha pertanian, investor, pemerintah, akademisi dan stakeholder lainnya (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008). Sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat tersebut, maka Pemerintah Propinsi Sulawesi Utara meluncurkan Crash Program Agribisnis pada tahun 2005, dimana salah satunya adalah program revitalisasi komoditas jagung. Pemilihan jagung dengan alasan bahwa kebutuhan Indonesia terhadap jagung mencapai 11 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri baru mencapai 9 juta ton, sedangkan impor jagung setiap tahun mencapai 2 juta ton. Produksi jagung Sulawesi Utara sekitar 140 ribu ton pada tahun 2004, sementara lahan yang potensial untuk pertanaman jagung sebesar 200 ribu hektar. Sehingga

17 pemerintah menargetkan 50 ribu hektar diantaranya dapat dikelola secara intensif dengan target produksi 400 ribu ton per tahun. Hal ini diharapkan selain dapat memenuhi permintaan nasional, juga diorientasikan untuk penyediaan bahan baku bagi pabrik pakan ternak yang akan dibangun di Sulawesi Utara dengan kebutuhan sekitar 150 ribu ton per tahun. Disamping itu masyarakat Sulawesi Utara sangat familiar dengan tanaman jagung, hal ini ditunjukkan dengan adanya varietas unggul lokal yang bernama Manado Kuning (Manado Post, 10 November 2005). Secara umum kebijakan dan strategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan adalah sebagai berikut: 1. Pengurangan kemiskinan dan kegureman, pengurangan pengangguran, serta pencapaian skala keekonomian usaha Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (PPK) terutama melalui pengelolaan pertanahan, tataruang dan keagrariaan; fasilitasi pengembangan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha diluar usahatani diwilayah pedesaan, pengembangan agroindustri pedesaan, diversifikasi kegiatan produksi PPK, pengembangan infrastruktur, dan pengembangan kelembagaan usaha petani, nelayan dan petani-hutan serta pemenuhan hak-hak dasar petani, nelayan dan petani-hutan. 2. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian produksi dan distribusi PPK terutama melalui praktek usaha pertanian yang baik (good agriculture practices), pengembangan usaha baru dan multiproduk, pengembangan agroindustri pedesaan, pengembangan infrastruktur, pengembangan kelembagaan usaha petani, nelayan dan petani hutan, pengembangan dan peningkatan akses terhadap berbagai layanan usaha,

18 pengurangan hingga penghilangan berbagai hambatan usaha dan sumber ekonomi biaya tinggi, serta perlindungan usaha atas persaingan tidak adil. 3. Pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam secara berkelanjutan, terutama melalui pengelolaan konservasi, pengelolaan pertanahan, tata-ruang dan keagrariaan serta mendorong pengembangan usaha, penerapan teknologi dan kelembagaan yang ramah lingkungan serta penegakkan hukum (www.aphi-net.com, diakses pada 26 Agustus 2008 jam 14:00). 2.3. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai keunggulan komparatif dan kompetitif terutama untuk komoditas jagung dan padi telah banyak dilakukan di berbagai daerah. Di Sulawesi Utara sendiri pada tahun 1999 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Utara telah melakukan penelitian mengenai keunggulan komparatif dan kompetitif tanaman pangan di Kabupaten Bolaang Mongondow. Selain itu terdapat pula penelitian-penelitian di daerah lain yang relevan dengan penelitian penulis, seperti hasil penelitian Suryana (1980), Oktaviani (1991), Haryono (1991), Emilya (2001), Anapu et al. (2005) dan Suprapto (2006). Hasil penelitian BPTP Sulawesi Utara pada tahun 1999 menemukan bahwa tingkat produktifitas minimal masing-masing komoditas tanaman pangan dan holtikultura yang harus dihasilkan untuk berkompetisi dengan jagung adalah berturut-turut kedelai 4 566.04 kg per ha, padi sawah 3 826.6 kg per ha, nenas 2 410.15 kg per ha serta kentang 4 566.04 kg per ha. Rincian nilai tersebut relatif berbeda jauh jumlahnya dikaitkan angka produktifitas riil di lapangan. Demikian

19 pula dengan tingkat harga yang ditunjukkan bahwa untuk mampu bersaing dengan harga jagung yang sebesar Rp. 850 per kg pada tahun 1999, maka harga minimal masing-masing komoditas yang harus dihasilkan adalah Rp. 1 761 (padi/ beras), Rp. 2 660 (kentang), Rp. 2 100 (kedelai) serta Rp. 1 109 (nenas) (BPTP Sulawesi Utara, 2000). Realitas dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa komoditaskomoditas padi, kedelai dan nenas memiliki tingkat produktifitas serta harga yang mampu bersaing dengan jagung karena tingkat produktifitas dan harga yang cukup kompetitif karena berada di bawah nilai ambang dan tingkat harga riil di lapangan. Hasil analisis keunggulan komparatif komoditas tanaman pangan dan hortikultura berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa komoditas padi memiliki nilai DRCR sebesar 0.61, jagung (DRCR = 0.53), nenas (DRCR = 0.36), kemudian rasio DRC kentang dan kedelai masing-masing sebesar 0.33 dan 0.19. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa komoditas padi sawah merupakan komoditas tanaman pangan yang memiliki peluang terkecil untuk dimaksimalkan, dilain pihak kedelai memiliki peluang terbesar dari aspek komparatif (BPTP Sulawesi Utara, 2000). Suryana (1980) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa secara ekonomi berdasarkan hasil analisis DRCR menunjukkan usahatani ubi kayu lebih menguntungkan dibanding usahatani jagung baik di Lampung maupun di Jawa Timur, namun untuk pengembangannya Lampung lebih menguntungkan. Sebaliknya secara finansial usahatani ubi kayu dan jagung lebih menguntungkan jika dilaksanakan di Jawa Timur daripada Lampung.

20 Oktaviani (1991) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa kebijakan insentif (kebijakan harga) pada komoditas padi, jagung, kedele dan ubi kayu menyebabkan surplus produsen berkurang. Kebijakan pemerintah berupa subsidi input sebaiknya ditetapkan per wilayah. Pada daerah di luar Jawa, besaran subsidi disesuaikan dengan biaya distribusi agar Harga Eceran Tertinggi (HET) yang diterima petani produsen sama di tiap wilayah. Haryono (1991) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa hasil analisis DRCR menunjukkan komoditas kedelai, jagung dan ubi kayu di Propinsi Lampung memiliki keunggulan komparatif, dengan tingkat proteksi efektif (Effective Protection Coefficient) menunjukkan adanya proteksi pemerintah terhadap petani produsen kedelai dan jagung sementara petani produsen ubi kayu dirugikan. Emilya (2001) dalam tesisnya mengemukakan bahwa usahatani padi, kedelai dan jagung di Propinsi Riau memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, dimana yang tertinggi komoditas padi, diikuti kedelai dan jagung. Suprapto (2006) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa komoditas jagung di Jawa Timur untuk orientasi ekspor memperoleh proteksi dari pemerintah sedangkan komoditas jagung untuk orientasi subtitusi impor dan perdagangan antar daerah tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah. Hasil penelitian Anapu et al. (2005) mengenai dampak kebijakan tarif impor beras di Kabupaten Minahasa Propinsi Sulawesi Utara menunjukkan bahwa kebijakan tarif impor menciptakan pemborosan sumberdaya. Usahatani padi tidak efisien ditunjukkan dengan tingkat keuntungan sosial yang negatif. Sebaliknya usahatani kacang tanah memberikan keuntungan sosial yang jauh lebih tinggi dari