VIII. ANALISIS KEBUTUHAN LAHAN DAN ALTERNATIF PILIHAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP DALAM KERANGKA REDD 8.1. PENDAHULUAN 8.1.1. Latar Belakang Keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, telah berlangsung cukup lama dan terus berkembang dengan jumlah desa sebanyak 16 dan 7 desa diantaranya berada di dalam areal TPTII PT. SBK Nanga Nuak, dengan mata pencaharian pokok masyarakat yaitu tani ladang dan berkebun. Adanya pemukiman dan aktivitas usaha masyarakat berpengaruh terhadap ketersediaan areal efektif TPTII, yaitu dari rencana luasan 147.600 ha menjadi 90.000 ha areal efektif, sehingga terjadi penurunan sebesar 57.600 ha. Penurunan luasan ini diperuntukan sebagai areal penggunaan lain (APL) untuk menampung kegiatan permukiman dan berladang (25.600 ha) dan areal tidak efektif lainnya seperti kawasan lindung, bekas tebangan, dan areal dengan tingkat gangguan perambahan yang tinggi (32.000 ha). Untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya hutan, maka pengelolaan hutan secara berkelanjutan perlu mengembangkan alternatif sistem pengelolaan yang terintegasi antara kebutuhan masyarakat dengan keberlanjutan kawasan. Untuk itu perlu kajian yang menjembatani kebutuhan hidup masyarakat dengan penyediaan lahan dan pilihan tanaman yang disukai masyarakat. Keberadaan program REDD hendaknya juga memperhatikan berbagai kebutuhan dan keinginan masyarakat terhadap lahan dan tanaman komersial yang diharapkan dapat memenuhi berbagai kebutuhan ekonominya. Pemenuhan kebutuhan dengan opsi pengembangan jenis tanaman komersial di luar lahan pertanian menurut Niles, et.al (2002), merupakan salah satu opsi dalam menurunkan emisi karbon. Adanya perhatian terhadap masyarakat ini dijelaskan Saunders,et.al (2002) sebagai upaya pembentukan modal sosial
160 dalam pelaksanaan REDD mendapat pengakuan masyarakat di sekitar kawasan hutan. 8.1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kebutuhan akan lahan bagi masyarakat dengan memasukan usulan kebutuhan akan jenis tanaman komersial yang diinginkan oleh masyarakat. 8.2. METODE PENELITIAN 8.2.1. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan di areal HPH PT. SBK Nanga Nuak Provinsi Kalimantan Tengah yang menerapkan Sistem Silvikultur TPTI Intensif pada bulan Maret 2007 April 2008. Lokasi penelitian untuk mengetahui pilihan komoditas masyarakat meliputi tiga obyek desa sampel yaitu : Tumbang Kaburai, Sungkup dan Tanjung Paku. 8.2.2. Sampel Penelitian Sampel penelitian berjumlah 10 orang terdiri atas peladang/petani, kepala adat, tokoh masyarakat, dan perguruan tinggi. Sampel ditentukan secara purposive (dipilih) berdasarkan pengetahuan dan pemahaman terhadap aktivitas perladangan masyarakat dan jenis tanaman unggulan yang layak di kembangkan oleh masyarakat di sekitar lokasi penelitian. 8.2.3. Jenis dan Sumber Data Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan metode wawancara langsung terhadap responden. Wawancara menggunakan daftar pertanyaan yang memuat: (a) luas areal perladangan, pilihan komoditas, luas dan jenis komoditas, status lahan masyarakat, produksi per komodtas, biaya perkomoditas, perkiraan pendapatan perkomoditas, dan pasar komoditas. Data sekunder yang dibutuhkan antara lain: (a) jumlah penduduk, data
161 eksisting luas dan jumlah tanaman yang diusahakan masyarakat saat ini, data jumlah dan luas perladangan, peta penutupan kawasan hutan dan lahan di sekitar areal TPTII PT. SBK, dan informasi pendukung lainnya. 8.2.4. Analisis Data 8.2.4.1. Pendugaan Kebutuhan Lahan Masyarakat Pendugaan kebutuhan lahan masyarakat diproyeksikan untuk jangka waktu 50 tahun atas dasar ketersediaan Areal Penggunaan Lain - APL (25.600 ha) dan atau total areal tidak efektif (ATE) yang berada dalam wilayah kerja PT. SBK (57.600 ha) yaitu luas APL (25.600 ha) ditambah luas kawasan lindung, bekas tebangan dan perambahan (32.000 ha). Perhitungan kebutuhan lahan mempertimbangkan laju pertumbuhan penduduk, jumlah kepala keluarga peladang, luas ladang per kepala keluarga, rotasi perladangan dan proyeksi kebutuhan ladang. Proyeksi kebutuhan luas ladang dihitung menggunakan kondisi eksisting ada TPTII dan PMDH pada kondisi eksisting saat ini (alternatif-1), dan tiga peluang alternatif kondisi lain yaitu: (1) ada PMDH namun tidak ada TPTII (alternatif-1); (2) tidak ada PMDH maupun TPTII (alternatif-2); dan (3) ada PMDH yang terpadu dan TPTII ditingkatkan (alternatif-3). Ketiga alternatif ini akan dijelaskan pada Bab berikut. Dalam menghitung kebutuhan lahan perladangan masyarakat berdasarkan kondisi eksisting saat ini (alternatif-1) menggunaan asumsi-asumsi sebagai berikut: (1) Laju perladangan diasumsikan semakin bertambah seiring dengan laju pertumbuhan penduduk jika tidak ada pembinaan dan pengembangan mata pencaharian alternatif, dan berlaku sebaliknya jika ada pembinaan dan pengembangan mata pencaharian alternatif. (2) Laju pertumbuhan penduduk diasumsikan tetap yaitu rata-rata 4,59%/tahun (laju pertumbuhan 5 tahun terakhir).
162 (3) Jumlah penduduk di dalam dan sekitar areal TPTII sebanyak 4.628 jiwa dengan 1.205 KK (2006). (4) Jumlah kepala keluarga peladang dalam kurun waktu 2001-2006 sebanyak 419 KK (35%) dari jumlah kepala keluarga saat penelitian (Alternatif-1).. (5) Rotasi perladangan petani rata-rata 5 tahun pada kondisi saat penelitian (Alternatif-1).. Proyeksi kebutuhan lahan masyarakat atas dasar luas ladang dan ketersediaan areal penggunaan lain (APL) dan total areal tidak efektif (ATE) yang berada di dalam wilayah kerja PT. SBK, pada kondisi eksiting saat penelitian (alternatif-1) dilakukan dengan tahapan dan metode analisis data sebagai berikut: (1) Perhitungan jumlah penduduk dan jumlah peladang proyeksi 50 tahun, dianalisis dengan mengadopsi persamaan laju pertumbuhan Issard (1960) dalam Simon (2004) yang dimodifikasi sesuai kebutuhan penelitian: P t+o = P t (1+r) o Dimana : P t+o = jumlah penduduk dan jumlah peladang pada tahun proyeksi ke t+o Pt = jumlah penduduk dan jumlah peladang saat ini tahun dasar 2006 r = laju pertumbuhan penduduk dan jumlah peladang dalam 5 tahun terakhir o = proyeksi jumlah penduduk dan peladang untuk 50 tahun ke depan (2) Pendugaan kebutuhan lahan masyarakat didasarkan atas jumlah peladang, luas ladang perkepala keluarga dan rotasi ladang, dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: KLL n = JKKP n x LL n x RL n Dimana: KLL = Kebutuhan lahan ladang pada tahun ke n (ha/thn) JKKP = Jumlah kepala keluarga peladang pada tahun ke- n (orang/thn) LL = Luas lahan per kepala keluarga pada tahun ke-n (ha/orang) RL = Rata-rata rotasi ladang pada tahun ke-n (tahun) n = tahun proyeksi
163 (3) Membandingkan proyeksi kebutuhan lahan masyarakat (KLL) dengan APL (25.600 ha) ditambah dengan total areal tidak efektif lainnya (ATE = 57.600 ha) yang berada dalam areal kerja PT. SBK. Jika hasil perbandingan: KLL > APL, diasumsikan masyarakat berpotensi merambah ke dalam kawasan areal tidak efektif lainnya (ATE), jika tidak ada upaya pembinaan dan TPTII. KLL > ATE, diasumsikan masyarakat berpotensi merambah ke dalam areal tanaman TPTII dan atau ke wilayah di luar areal kerja PT SBK (Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya dan HPH Lain), jika tidak ada upaya pembinaan dan pelaksanaan TPTII yang terpadu. 8.2.4.2. Pemilihan Tanaman Unggulan Sebagai Bentuk Kompensasi Yang Diberikan Kepada Masyarakat Analisis yang digunakan adalah analisis AHP. AHP atau Analitycal Hierarchy Process adalah salah satu metode yang telah meluas penggunaannya dalam analisis kebijakan pemerintah. Dalam AHP ditekankan pada penentuan skala penting dari berbagai pilihan yang akan dibuat. Penentuan skala penting mengikuti skala Saaty seperti pada Tabel 39. Tabel 39. Penentuan Skala Penting Berdasarkan Skala Saaty (Saaty, 1986) Tingkat Definisi Kepentingan 1 Sama penting 3 Sedikit lebih penting 5 Jelas lebih penting 7 Sangat jelas lebih Penting 9 Pasti/mutlak lebih penting (kepentingan yang ekstrim) 2,4,6,8 Jika ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan 1/(1-9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1-9
164 Hasil pembobotan terhadap pemilihan jenis pohon dalam model konservasi karbon didapatkan dari pendapat 10 orang ahli yang menjadi responden dalam penelitian ini. Model pemilihan tanaman unggulan dapat dilihat pada tahapan kegiatan sebagaimana pada (Gambar 45). TUJUAN : PEMILIHAN JENIS TANAMAN KEHUTANAN YANG COCOK KRITERIA KARET SENGON MERANTI GAHARU ASPEK EKONOMI KEMUDAHAN BUDIDAYA / PEMELIHARAAN PENERIMAAN MASYARAKAT ASPEK PEMASARAN KESESUAIAN DENGAN LINGKUNGAN / LAMA DAUR / UMUR TANAMAN KEMAMPUAN MENYERAP CO 2 ALTERNATIF TANAMAN TENGKAWANG MAHONI 8.3. HASIL DAN Gambar PEMBAHASAN 45. Struktur Hirarki Pemilihan Jenis Tanaman 8.3. HASIL DAN PEMBAHASAN 8.3.1. Kebutuhan Lahan Masyarkaat Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa luas ladang yang terdapat di dalam dan sekitar kawasan pengusahaan TPTII sampai tahun 2006 yaitu 1.501 ha dengan jumlah KK sebanyak 419 jiwa atau 35% dari total kepala keluarga (1.205 KK). Luas areal ladang per kepala keluarga mencapai
165 3,6 ha/kk, dengan siklus perladangan setiap 5 tahun, dengan laju pertumbuhan penduduk 4,59%/tahun. Hasil analisis kondisi eksisting saat ini (skenario-1) pada lokasi TPTII dengan proyeksi kebutuhan lahan untuk perladangan masyarakat pada periode 25 tahun dan 50 tahun ke depan dapat di lihat pada Gambar 46 dan Lampiran 28. 80000 Jumlah Total KK Luas (Ha) 60000 40000 20000 0-20000 -40000-60000 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 Tahun Ke- Jumlah KK Peladang (35%) dari Total KK Proyeksi Kebutuhan Lahan Perladangan 35% KK, 3,6 Ha/KK, rotasi 5 tahun (ha) Areal tidak efektif (Ladang, Pemukiman, kawasan lindung, eks tebangan) (ha) Ketersediaan Lahan Untuk Ladang/Mukim (APL) Selisih (areal 57.600 ha - kebutuhan lahan bagi 35% KK peladang) Selisih (areal 25.600 ha - kebutuhan lahan bagi 35% KK peladang) Gambar 46. Proyeksi Luas Areal Perladangan Dalam Kaitannya dengan Pelaksanaan TPTII Proyeksi kebutuhan lahan perladangan masyarakat sampai tahun ke 25 mencapai 23.316 Ha, yang jika dibandingkan dengan ketersediaan areal penggunaan lain (APL) seluas 25.600 ha, maka masih ada potensi lahan untuk perladangan seluas 2.284 ha, namun hanya mampu menampung kegiatan perladangan sampai tahun ke 27. Jika diproyeksikan untuk 50 tahun ke depan, maka APL yang ada saat ini sudah tidak mencukupi lagi untuk perladangan masyarakat, sebab lahan yang dibutuhkan mencapai 71.600 ha dibanding luas APL 25.600 ha, sehingga terdapat kekurangan lahan perladangan seluas 46.000 ha. Demikian halnya pada total areal tidak efektif seluas 57.600 ha (APL dan kawasan lindung, eks tebangan dan perambahan) mengalami
166 kekurangan lahan seluas 14.000 ha dan hanya mampu menampung kegiatan perladangan sampai tahun ke 45, apabila pola pemanfaatan lahan masyarakat saat ini tidak mengalami perubahan. Hal ini memberikan implikasi bahwa ketergantungan masyarakat terhadap lahan untuk kegiatan perladangan cukup tinggi akibatnya kebutuhan lahan dengan sistem rotasi ladang akan semakin luas dalam jangka panjang, Olehnya itu untuk mengurangi tingkat okupasi lahan perlu adanya usaha pembinaan dengan pola sistem pertanian menetap dengan sjkala usaha yang ekonomis dan mampu meningkatkan pendapatan atau keuntungan bagi petani setempat. Kondisi permintaan lahan yang semakin meningkat untuk kegiatan perladangan dan permukiman masyarakat setiap tahunnya, akan semakin meningkatkan tekanan terhadap keberadaan kawasan hutan dan APL yang berada di luar areal TPTII. Sehingga untuk menekan laju perladangan berpindah dan kegiatan perambahan ke dalam kawasan dalam jangka panjang, perlu adanya peningkatan pembinaan kepada masyarakat. Usaha-usaha pembinaan yang telah dilakukan selama ini oleh perusahaan yang mengelola areal TPTII (HPH. PT SBK), merupakan salah satu contoh yang baik dan relatif mampu menekan laju perladangan masyarakat terutama pada desa-desa binaan perusahaan yang berada di dalam dan sekitar areal pengusahaan TPTII, sehingga secara langsung dapat menekan laju deforestasi dan degradasi sumberdaya hutan. Hal lain yang perlu dilakukan adalah melakukan pemilihan jenis yang tepat untuk mendukung kegiatan masyarakat. Adanya pembinaan dan pelibatan masyarakat di sekitar kawasan hutan dalam pengelolaan hutan diyakini oleh Blom, et. al (2010) sebagai cara baru ke depan untuk tropis hutan konservasi, selain akses pasar untuk hasil hutan bukan kayu dan sertifikasi hutan.
167 8.3.2. Pemilihan Tanaman Unggulan Sebagai Bentuk Kompensasi Yang Diberikan Kepada Masyarakat Dalam Konteks Konservasi Karbon Hasil pembobotan AHP pada tingkat kriteria berturut-turut dari yang terbesar adalah aspek pemasaran (25,2 %), aspek penerimaan masyarakat (24,8 %), aspek budidaya (12,0 %), aspek ekonomi (11,4 %), aspek lingkungan (10,2 %), aspek daur (9,1 %) serta aspek penyerapan CO 2 (7,4 %). Hasil penghitungan tingkat konsistensi sebesar 0,04 yang berarti masih dibawah tingkat konsistensi yang diperbolehkan (kurang dari 0,10) sehingga perbandingan antar kriteria yang dilakukan oleh responden dikatakan konsisten. Hasil pembobotan akhir pada pemilihan jenis pohon dalam model konservasi karbon oleh masyarakat dapat dilihat pada Gambar 47. Mahoni Gaharu Meranti Tengkawang Karet 0.06 0.127 0.176 0.216 0.327 Gambar 47. Hasil Pembobotan Akhir dalam Pemilihan Jenis Pohon Berdasarkan diatas dapat dilihat bahwa hasil pembobotan akhir yakni pembobotan yang telah mempertimbangkan ke tujuh aspek seperti yang telah disebutkan di atas menempatkan jenis pohon karet sebagai prioritas utama dengan bobot 32,7 %, kemudian diikuti berturut-turut tengkawang (21,6 %), meranti (17,6 %), gaharu (12,7 %), sengon (9,3 %) serta mahoni (6,0 %). Tingkat konsistensi pada pembobotan tingkat akhir atau alternatif ini sebesar
168 0,04 yang berarti perbandingan antar jenis pohon yang telah dilakukan oleh para responden konsisten karena masih di bawah 0,10. Hal ini berarti model perbandingan antar jenis pohon ini valid dalam menentukan jenis komoditas yang disenangi oleh petani. Dominasi pilihan terhadap komoditas karet, tengkawang, meranti dan gaharu sangat dipengaruhi besaran manfaat ekonomi yang diperoleh dalam mengusahakan jenis-jenis tanaman tersebut. Bagi masyarakat suku dayak yang tinggal di sekitar HPH PT. SBK, tanaman karet, tengkawang, meranti serta gaharu merupakan tanaman yang sudah sangat dikenal. Masyarakat jauh lebih mengenal pohon karet, tengkawang, meranti serta gaharu ketimbang jenis pohon sengon dan mahoni seperti yang ditawarkan dalam model konservasi karbon. Keberadaan pohon tengkawang, meranti dan gaharu belum banyak dibudidayakan oleh masyarakat, dalam memanfaatkannya masyarakat masih banyak mengadalkan keberadaannya di alam. Sementara untuk jenis pohon sengon dan mahoni walaupun bernilai ekonomi, tetapi masyarakat belum tertarik untuk membudidayakannya. Hal ini disebabkan belum jelasnya pemasaran serta teknik budidayanya. Model pengelolaan lahan masyarakat disekitar kawasan hutan ini dengan mengemnbangan jenis tanaman tahunan dan tanaman pangan dalan suatu unit lahan dikenal dengan istilah agroforestri. Menurut Sathaye, et.al (2001) bahwa praktik pertanian intensif dan agroforestri yang demikian memiliki potensi tinggi untuk mengurangi deforestasi yang disebabkan oleh perladangan berpindah. 8.3.3. Aspek Sosial Ekonomi Lainnya dari Konservasi Karbon Pengetahuan masyarakat yang melatarbelakangi dari pilihan tanaman diatas ternyata berbanding terbalik dengan pilihan idealis tanaman. Masyarakat memilih tanaman bukan karena tahu sebagai penggunaan untuk program konservasi karbon namun lebih pada kesukaan, pengalaman teknis menanam, merawat, serta informasi yang beredar dalam masyarakat.
169 Kesediaan masyarakat terlibat dalam konservasi karbon terlihat bahwa sebagian besar masyarakat sangat setuju untuk ikut dalam konservasi karbon sebesar 93% dan tidak setuju hanya 7% walaupun masyarakat belum mengerti dengan benar apa tujuan program tersebut (Gambar 48). Pengetahuan tentang CDM Kesukaan menanam pohon Kesediaan ikut CDM Tahu 14.0% Tidak Suka 7.0% Tidak bersedia 7.0% tidak Tahu 86.0% Suka Menanam 93.0% Bersedia 93.0% Sumber: Lampiran 27 Gambar 48. Proporsi Pengetahuan Masyarakat Terhadap Konservasi Karbon, Kesukaan Masyarakat dalam Menanam Pohon, dan Kesediaan Ikut dalam Konservasi Karbon Keterlibatan kelembagaan bagi masyarakat di wilayah hutan dapat dilihat pada Gambar 49. Berdasarkan tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat menginginkan adanya lembaga yang terlibat dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan dengan besaran persetujuan sebesar 76,7%, 72,1%, dan 69,8%. Sedangkan untuk proses pemantauan, masyarakat menolaknya yaitu sebesar 55,8%, dan setuju hanya 44,2%. Hal ini sangat terkait dengan keinginan masyarakat untuk mengurangi campur tangan lembaga yang terlibat di dalam proses konservasi karbon. Masyarakat lebih mempercayakan hal tersebut kepada tokoh masyarakat yaitu tokoh adat berserta lembaga adat, tokoh agama, serta pemerintahan lokal.
170 Keterlibatan Lembaga dalam CDM pada Tahap Pemeliharaan Keterlibatan Lembaga dalam CDM pada Tahap Pemantauan Tidak Setuju 55.8% Tidak Setuju 30.2% Setuju 69.8% Setuju 44.2% Sumber: Lampiran 27 Gambar 49. Proporsi Keterlibatan Lembaga dalam Konservasi Karbon pada Tahap Perencanaan, Pelaksanaan, Pemeliharaan dan Pemantauan Luas kesediaan menanam tanaman hutan pada lahan masyarakat (sink enhancement) yaitu rata-rata sebesar 3,1 Ha dengan kisaran yang cukup tinggi dari 0 ha (tidak bersedia/belum ada lahan) sampai dengan 30 ha. karena walaupun rata-rata masyarakat bersedia menanam seluas 3,1 ha namun frekuensi masyarakat yang tidak menyediakan lahan untuk konservasi karbon sebesar 11,6% sehingga perlu adanya sosialisasi yang mendalam terhadap konservasi karbon. Kondisi ini terkait dengan minimnya informasi akan keuntungan ikut dalam keiatan sink enhancement sehingga sebagian besar masyarakat masih ragu untuk menyediakan lahan yang akan diikutsertakan dalam program tersebut. Sedangkan masyarakat yang bersedia sampai 30 ha ini karena informasi yang diperoleh cukup banyak sehingga mereka mengetahui keuntungan ikut dalam konservasi karbon yang diprakarsai oleh HPH (Tabel 40).
171 Tabel 40. Luas Kesediaan Menanam Konservasi Karbon Luas lahan Frekuensi proporsi (%) Kumulatif.00 5 11.6 11.6.50 1 2.3 14.0 1.00 10 23.3 37.2 2.00 12 27.9 65.1 3.00 5 11.6 76.7 4.00 2 4.7 81.4 5.00 5 11.6 93.0 10.00 2 4.7 97.7 30.00 1 2.3 100.0 Total 43 100.0 Sumber: hasil olahan data penelitian Kesediaan masyarakat menerima kompensasi lahan dari kesediaan untuk tanaman hutan (sink enhancement) dapat dilihat pada Gambar 50, terlihat bahwa masyarakat bersedia menerima kompensasi rata-rata sebesar Rp. 607.352,-/ha/tahun atau Rp.50.612.-/ha/bulan. Namun berdasarkan grafik juga terlihat bahwa masyarakat tidak mau menerima kompensasi dengan adanya nilai Rp. 0,-. Untuk mencapai titik temu maka perlu adanya mekanisme yang disepakati antar masyarakat serta penyalur kompensasi (dalam hal ini adalah HPH) mengenai besaran, hak milik, kewajiban, serta hal-hal lain yang menyangkut kontrak yang sedianya akan dilaksanakan selama 50 tahun, jika akan mengembangkan mekanisme REDD. Hal ini sejalan dengan penelitian di Way Tenong dan Sidrap oleh Suyamto, et.al dalam Murdiyarso and Skutsch (2006) yang menjelaskan jalan keluar antara menurunkan emisi karbon versus kesejahteran peladang atau petani adalah dengan mengusahakan adanya pengakuan hak-hak ulayat dan promosi sistem penanaman pohon yang didukung oleh penyuluhan, subsidi dan perbaikan pasar terhadap jenis usaha yang dikembangan oleh petani.
172 Sumber: Lampiran 27 Gambar 50. Kesediaan Menerima Kompensasi Konservasi Karbon /Ha/Tahun Besarnya kompensasi yang diinginkan oleh masyarakat sebagaimana dijelaskan, diduga belum menggambarkan keinginan masyarakat jika dibandingkan dengan besarnya pengeluaran (Rp. 759.633 /bulan/kk) dan atau atas dasar pendapatan rumah tangga (Rp. 614.020/bulan/KK). Sehingga idealnya untuk menentukan kompensasi agar masyarakat mau menanam dan tidak merambah kawasan hutan yaitu sebesar Rp. 324.000/ha/bulan (atas dasar pendapatan) dan Rp. 380.000/ha/bulan (atas dasar pengeluaran rumah tangga). Nilai kompensasi kepada masyarakat sebagai bentuk ganti untung dari kesedian memberikan lahannya untuk ditanami meranti (sink enhancement) agar tidak merambah dan mau menjaga hutan (konservasi), belum mempertimbangkan biaya yang diperlukan dalam menyediakan bibit tanaman, dan kebutuhan sarana dan prasarana produksi dalam rangja pelaksanaan kegiatan penurunan emisi karbon. 8.4. KESIMPULAN DAN SARAN 8.4.1. Kesimpulan 1. Proyeksi lahan yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk berladang pada kondisi eksisting saat penelitian (baseline) bagi 35% KK, luas ladang 3,4 ha/kk, rotasi ladang 5 tahun, dan laju pertumbuhan penduduk 4,59%/tahun diketahui mengalami peningkatan setiap tahun dan melewati ambang batas ketersediaan APL 25.600 ha (tahun ke 28), sedang pada total areal tidak efektif seluas 57.600 ha (APL dan kawasan lindung, eks
173 tebangan dan perambahan) hanya mampu menampung kegiatan perladangan sampai tahun ke 45. Sehingga pada tahun ke 46, kegiatan perladangan berpeluang masuk ke dalam areal TPTII, Taman Nasional dan HPH lain. 2. Pilihan tanaman unggulan sebagai bentuk kompensasi kepada masyarakat dalam konteks konservasi karbon yang sangat diminati oleh lebih dari 70% masyarakat yaitu Karet, Meranti, dan Tengkawang sedangkan tanaman gaharu, mahoni, dan sengon relatif sedikit. Pilihan tanaman karet merupakan pilihan terbesar (dengan bobot 32,7%), disebabkan karena harga getah karet semakin meningkat, mudahnya perawatan dan diterima oleh masyarakat. 3. Dalam konteks konservasi karbon, masyarakat bersedia menerima kompensasi rata-rata sebesar Rp. 607.352,-/ha/tahun atau Rp.50.612.- /ha/bulan. Nilai kompensasi ini lebih rendah jika dibanding dengan kebutuhan kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan atas dasar pendapatan maupun pengeluaran rumah tangga, sehingga jumlah kompensasi yang paling layak untuk melibatkan masyarakat dalam sink enhancement yaitu antara Rp. 324.000/ha/bulan sampai Rp. 380.000/ha/bulan. Nilai ini akan lebih tinggi apabila memperhitungkan biaya produksi dan peralatan dalam pelaksanaan kegiatan. 8.4.2. Saran 1. Perlu adanya usaha pemerintah, pengusaha dan pihak lain untuk memberikan pelatihan dan pembinaan kepada masyarakat dalam bentuk kegiatan: PMDH dan adaposi sistem TPTII atau SILIN di wilayah eks perladangan untuk ditanami guna mencegah pembukaan dan perambahan kawasan hutan serta peningkatan alternatif matapencaharain masyarakat lokal, 2. Perlunya upaya pihak terkait untuk memenuhi kebutuhan minimal masyarakat melalui pemberian alternatif usaha diantaranya melalui pilihan tanaman unggulan komersial yang disukai masyarakat dan menguntungkan bagi masyarakat.