HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Tomat termasuk tanaman sayuran buah, yang berasal dari benua Amerika

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Beberapa ciri yang membedakan antara bahan baku agroindustri dengan bahan baku industri lain antara lain : bahan baku agroindustri bersifat musiman,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Laju Respirasi Wortel Terolah Minimal

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...


TINJAUAN PUSTAKA. dari sekian banyak varietas jeruk yang sudah dikenal dan dibudidayakan. Buahnya

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu buah yang memiliki produktivitas tinggi di Indonesia adalah

Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk

I PENDAHULUAN. Mangga merupakan buah tropis yang populer di berbagai belahan dunia,

III. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Stroberi berasal dari benua Amerika, jenis stroberi pertama kali yang ditanam di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. dan mempertahankan kesegaran buah. Pada suhu dingin aktivitas metabolisme

Anang Suhardianto FMIPA Universitas Terbuka. ABSTRAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pati bahan edible coating berpengaruh terhadap kualitas stroberi (Fragaria x

I. PENDAHULUAN. terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan pasar. Pada umumnya

III. METODOLOGI PENELITIAN

TEKNIK PENANGANAN PASCA PANEN R i n i Y u l i a n i n g s i h

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Kardus tipe RSC yang digunakan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENANGANAN PASCA PANEN

METODE PENELITIAN. Bahan Dan Alat

METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan buah-buahan. Iklim di

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi

PERUBAHAN KUALITAS BUAH MANGGIS (Garcinia mangosiana L.) SETELAH PROSES TRANSPORTASI DAN PENYIMPANAN DINGIN

I. PENDAHULUAN. Jagung manis atau dikenal juga dengan sebutan sweet corn merupakan

TEKNOLOGI PENANGANAN PASCAPANEN BUAH-BUAHAN DAN SAYURAN

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

I. PENDAHULUAN. Buah jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu produk hortikultura.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bunga. Sayuran. Cold Storage. Hortikultura

MATA KULIAH TPPHP UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013 TIM DOSEN PENGAMPU TPPHP

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kentang Panen

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAB I PENDAHULUAN. yang seharusnya kita dapat mempelajari dan bersyukur kepadanya. Kekayaan yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kriteria yaitu warna, kenampakan, tekstur, rasa, dan aroma. Adapun hasil

TINJAUAN PUSTAKA. baik tumbuhan, manusia maupun hewan. Menurut Winarno (2004), respirasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

TEKNOLOGI PASCA PANEN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman dan Buah Manggis (Garcinia mangostana L.)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identifikasi Kerusakan Buah Apel Fuji Sun Moon. Identifikasi kerusakan merupakan tahapan awal penanganan sortasi buah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. IDENTIFIKASI KERUSAKAN BUAH APEL FUJI SUN MOON. IDENTIFIKASI KERUSAKAN MERUPAKAN TAHAPAN AWAL PENANGANAN SORTASI BUAH

Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian ISSN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman terung belanda berbentuk perdu yang rapuh dengan

BAB IV HASIL DAB PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jenis Pati Bahan Edible Coating terhadap Kualitas Buah Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.

I. PENDAHULUAN. Produksi buah pisang di Lampung setiap tahunnya semakin meningkat. Lampung

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum

Tabel 1. Pola Respirasi Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 24,5 ml) Warna Hijau kekuningan (+) Hijau kekuningan (++)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB III BAHAN DAN METODE

PENANGANAN PASCA PANEN CABAI Oleh: Masnun, S.Pt., M.Si.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. (a) TK 2 (b) TK 3 (c) TK 4 Gambar 5. Manggis dengan tingkat kematangan berbeda

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. interaksi antara perlakuan umur pemanenan dengan konsentrasi KMnO 4. Berikut

Buah-buahan dan Sayur-sayuran

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

3. PEMBAHASAN 3.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Bayam

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Pendahuluan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Spektra Buah Belimbing

I. PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penentuan waktu hydrocooling dan konsentrasi klorin optimal untuk pak choi Tahap precooling ini dilakukan untuk menentukan kombinasi lama hydrocooling dan konsentrasi klorin yang optimal pada penanganan pascapanen pak choi. Tan et al., (2005) menyatakan bahwa hydrocooling merupakan salah satu metode yang efektif untuk brassica. Pendinginan menggunakan air bersuhu 0.5 0 C dengan penambahan klorin 100 sampai dengan 300 ppm pada ph air 7.3 sampai dengan 7.6. Air yang digunakan untuk hydrocooling dalam penelitian ini memiliki ph yang berkisar antara 7 7.2 dengan suhu 3 5 0 C. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) memperlihatkan perlakuan lama hydrocooling tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kandungan klorofil a dan klorofil b, kandungan total mikroba, susut bobot, kekerasan juga indeks warna L a b dan C tetapi berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap laju respirasi CO 2 pak choi, perlakuan konsentrasi klorin juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan klorofil a dan klorofil b, kandungan total mikroba, susut bobot, kekerasan juga indeks warna L a tapi nyata untuk indeks warna b dan C pada hari kelima. Interaksi perlakuan lama hydrocooling dan konsentrasi klorin berpengaruh nyata untuk kandungan klorofil b dan tidak nyata untuk parameter lainnya. Perlakuan hydrocooling dan klorin tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil, semakin lama waktu hydrocooling dan meningkatnya konsentrasi klorin cenderung menurunkan kandungan klorofil pada daun pak choi. Pengaruh perlakuan lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap kandungan klorofil a dan klorofil b serta kandungan total mikroba pak choi disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 15. Pada Tabel 4 terlihat kandungan klorofil a dan klorofil b tertinggi adalah pada perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin yaitu sebesar 0.52 mg/cm 2 klorofil a dan 0.19 mg/cm 2 klorofil b. 33

Tabel 4. Pengaruh lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, dan total mikroba pak choi (Brassica rapa var. chinensis) Perlakuan Klorofil Daun Total Waktu Klorin ( mg/cm 2 ) Mikroba HC (ppm) a b (koloni/gram) 0 0.52 a 0.19 a 3.7 x 10 6 a 5 menit 2.5 0.44 a 0.16 ab 3.2 x 10 6 a 5 0.42 a 0.16 b 3.2 x 10 6 a 0 0.41 a 0.15 b 3.8 x 10 6 a 15 menit 2.5 0.44 a 0.17 ab 3.5 x 10 6 a 5 0.46 a 0.16 ab 3.4 x 10 6 a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Duncan multiple range test (DMRT) 0.60 0.50 Klorofil ( mg/cm 2 ) 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 HC 5, tanpa HC 15, klorin tanpa klorin HC 5, 2.5 ppm HC 15, 2.5 ppm HC 5, 5 ppm HC 15,5 ppm Klorofil b Klorofil a Gambar 15. Klorofil a dan klorofil b pak choi pada berbagai kombinasi perlakuan Pada Gambar 15 terlihat bahwa kandungan klorofil a lebih tinggi dari klorofil b. Pada tanaman klorofil terdapat dalam bentuk terikat secara kompleks oleh molekul protein. Khlorofil mempunyai struktur molekul menyerupai pigmen porphyrin seperti heme dimana pusatnya adalah ion Magnesium yang terdiri dari berbagai sisi rantai, biasanya termasuk rantai phytyl yang panjang. Pada umumnya klorofil yang banyak terdapat dalam tanaman adalah klorofil a dan klorofil b, dengan perbandingan mendekati 3:1 (von Elbe & Schwartz, 1996; Muchtadi, 1992; Winarno, 2002). 34

Sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan kombinasi perlakuan hyrocooling dan klorin berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil b pak choi, hal ini sesuai dengan sifat klorofil b yang tidak stabil bila dibandingkan dengan klorofil a. Uji lanjut Duncan (Tabel 4) menunjukkan bahwa perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin memiliki kandungan klorofil lebih tinggi dari perlakuan lain yaitu sebesar 0.19 mg/cm 2. Menurut Muchtadi (1992) perbedaan klorofil a dan b hanya terletak pada gugusan yang terikat pada atom C nomor 3, pada klorofil a (C 55 H 72 O 5 N 4 Mg) gugusan yang terikat adalah metil sedangkan pada klorofil b (C 55 H 70 O 6 N 4 Mg) adalah formaldehid (CHO), klorofil a diketahui lebih stabil terhadap panas dibandingkan klorofil b (Canjura, Schwartz, & Nunes, 1991; Schwartz & Lorenzo, 1991 diacu dalam Koca et al., 2003). Klorofil merupakan salah satu zat warna (pigmen) yang terdapat pada sayuran dan buah-buahan dan menjadi salah satu pembentuk warna dari sayuran dan buah-buahan. Sayuran terutama yang berwarna hijau mengandung banyak klorofil, klorofil terdapat didalam suatu organ sel yang disebut kloroplas dan sangat peka terhadap kerusakan selama pengolahan yang menyebabkan perubahan warna pada makanan (Schwartz & von Elbe, 1983). Pigmen pada sayuran dan buah-buahan mudah mengalami kerusakan oleh perlakuan-perlakuan yang dilakukan selama penanganan dan pengolahan diantaranya adalah oleh pengaruh panas, asam, alkali atau enzim (Muchtadi, 1992). Setelah panen klorofil mengalami degradasi yang mengakibatkan perubahan warna buah dan sayuran dari hijau menjadi kuning, sehinggga sering digunakan sebagai indeks kesegaran khususnya untuk sayuran daun ( Winarno, 2002; Sweeney & Martin, 1961 diacu dalam Koca et al., 2003). Sulistyaningsih et al., (2005) mengatakan bahwa dengan mengukur tingkat kehijauan untuk mengetahui jumlah klorofil daun dapat dijadikan salah satu pendugaan bahwa daun yang lebih hijau diduga memiliki kandungan klorofil yang tinggi. Penambahan klorin ditujukan untuk mengurangi kontaminasi mikroba pada sayuran. Meskipun penambahan klorin sampai 5 ppm belum memberikan pengaruh yang nyata menurunkan total mikroba pada sayuran namun cenderung 35

menurunkan jumlah total mikroba pada pak choi (Tabel 4). Tidak efektifnya perlakuan klorin dalam penelitian ini mungkin disebabkan oleh konsentrasi yang diberikan sangat rendah dan kemungkinan air yang digunakan untuk hydrocooling sudah mengandung klorin dan mengandung bahan-bahan organik lainnya yang mengakibatkan tidak efektifnya penambahan klorin sebagai disinfektan. Menurut Winarno (1994) pembentukan asam hipoklorit yang merupakan senyawa aktif dalam membunuh dan menghancurkan bakteri sangat tergantung pada ph, dimana pembentukannya akan maksimal pada ph 4.0 5.0. Kurang atau lebih pada ph tersebut akan menurunkan pembentukan dan efektifitasnya. Selain itu Forsythe et al., 1998 menjelaskan larutan hipoklorit harus selalu disimpan diruangan gelap dan dalam wadah yang tidak tembus cahaya agar stabilitasnya tetap terjaga. Jenie (1988) menambahkan bahwa klorin dari hipoklorit dan senyawa pelepas klorin lainnya dapat bereaksi dengan dan diinaktifkan oleh bahan organik yang tersisa, namun bila digunakan volume larutan klorin dalam konsentrasi yang cukup dan direkomendasikan efek sanitasi tetap dapat dicapai. Selanjutnya Winarno (1986) mengatakan beberapa jenis senyawa yang ada didalam air yang dapat bereaksi dengan klorin sehingga menginaktifkan klorin diantaranya adalah hidrogen sulfida, senyawa-senyawa yang mengandung besi, mangan dan nitrit. Pada Tabel 4 terlihat bahwa semakin lama waktu hydrocooling menyebabkan total mikroba pada pak choi juga semakin meningkat. Selain tidak efektifnya klorin sebagai disinfektan disebabkan oleh terhambatnya pembentukan senyawa asam hipoklorit, tingginya total mikroba pada pak choi juga diduga karena pak choi sudah mengandung mikroba, serta air yang digunakan untuk hydrocooling telah tercemar oleh mikroba sebelumnya, hal ini diketahui dari hasil analisa terhadap air yang digunakan untuk hydrocooling diketahui telah mengandung mikroba sebesar 1.9 x 10 3 koloni/gram. Kandungan total mikroba tertinggi pada penelitian ini adalah pada perlakuan hydrocooling 15 menit tanpa klorin yaitu sebesar 3.8 x 10 6 koloni/gram dan yang terendah adalah pada perlakuan hidrocooling 5 menit dengan 2.5 ppm klorin. Menurut Agar et al., (1999), batas maksimum jumlah total mikroba yang 36

berada pada buah atau sayur yang dikonsumsi secara segar adalah 10 6 CFU/g. Artinya pak choi yang di hydrocooling dengan dan tanpa penambahan klorin dalam penelitian ini masih aman untuk konsumsi. Selama penyimpanan susut bobot dan kekerasan pak choi cenderung meningkat, ini menunjukkan pak choi semakin layu. Penurunan bobot dan kekerasan pak choi selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17. Penelitian yang dilakukan oleh Niyomlao et al., (2000) menyebutkan bahwa hydrocooling dengan air 5 0 C dapat mengurangi susut bobot, kandungan klorofil Chinese kale selama penyimpanan sehingga dapat memperpanjang umur simpannya. 0.400 0.350 0.300 Susut Bobot (%) 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050-0 1 2 3 4 5 Pengamatan (hari) HC 5 menit tanpa klorin HC 15 menit tanpa klorin HC 5 menit, 2.5 ppm klorin HC 15 menit, 2.5 ppm klorin HC 5 menit, 5 ppm klorin HC 15 menit, 5 ppm klorin Gambar 16. Susut bobot pak choi (Brassica rapa var chinensis) selama penyimpanan pada berbagai perlakuan Gambar 16 menunjukkan bahwa pak choi yang di hydrocooling selama 5 menit dengan 2.5 ppm klorin memiliki susut bobot yang paling rendah namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, nilai susut bobot pada masing masing perlakuan adalah 0.29 % (5 mnt, 2.5 ppm klorin), 0.30 % (15 mnt, 2.5 ppm klorin), 0.32 % (5 mnt, 5 ppm klorin), 0.34 % (15 mnt, tanpa klorin), 0.34 % (15 mnt, 5 ppm klorin), dan 0.37 % (5 mnt, tanpa klorin). Thompson et al., (1998) mengemukakan bahwa waktu hydrocooling 0.1 sampai 1 jam untuk beberapa jenis sayuran dan buah-buahan mengakibatkan kehilangan bobot produk 0 sampai dengan 0.5%. 37

Muchtadi (1992) mengemukakan bahwa kehilangan bobot pada sayuran dan buah-buahan yang disimpan terutama disebabkan oleh kehilangan air sebagai akibat dari proses penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi. Air di bebaskan dalam bentuk uap air pada proses transpirasi dan respirasi melalui stomata, lenti sel, dan bagian jaringan tumbuhan lain yang berhubungan dengan sel epidermis. Menurut Winarno (2002) kehilangan air akibat penguapan produk yang dialami secara terus menerus akan mengakibatkan produk mengalami susut bobot sehingga akan mengurangi keindahan penampakan dan tingkat penerimaan konsumen karena produk akan layu. Laju penguapan air sangat dipengaruhi oleh perbedaan tekanan uap air antara produk dan lingkungan luar yang ditentukan oleh suhu dan RH, semakin tinggi suhu semakin besar kemampuan ruang penerima uap air dari produk. Kehilangan air bukan hanya mengurangi berat tetapi juga menyebabkan rupa bahan menjadi kurang menarik, tekstur jelek dan mutu menurun (Muchtadi, 1992). Selain itu juga dijelaskan bahwa komoditi yang berupa daun mempunyai tendensi untuk menguapkan air lebih cepat karena luas permukaannya yang tinggi disamping juga disebabkan sifat alami kulit luar, yaitu ada tidaknya lapisan lilin. Selain itu kehilangan bobot juga diakibatkan oleh hilangnya gas CO 2 hasil respirasi. 4.00 3.50 3.00 Kekerasan (N) 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 0 1 2 3 4 5 6 HC 5 menit tanpa klorin HC 5 menit, 2.5 ppm klorin HC 5 menit, 5 ppm klorin Hari Pengamatan HC 15 menit tanpa klorin HC 15 menit, 2.5 ppm klorin HC 15 menit, 5 ppm klorin Gambar 17. Perubahan tingkat kekerasan petiol pak choi (Brassica rapa var. chinensis) selama penyimpanan pada berbagai perlakuan 38

Gambar 17 menunjukkan terjadi fluktuasi kekerasan selama penyimpanan, namun secara umum terjadi peningkatan kekerasan pak choi pada semua kombinasi perlakuan. Peningkatan kekerasan ini seiring dengan meningkatnya kehilangan air yang dialami oleh pak choi. Muchtadi (1992) mengatakan tekstur (kekerasan) sayur-sayuran dipengaruhi oleh turgor dari sel-sel yang masih hidup, dimana jika isi (kandungan) sel berkurang maka sel akan menjadi lemas yang ditandai dengan layunya sayuran (tanaman). Dalam penelitian ini suhu penyimpanan yang tinggi (suhu ruang) juga mengakibatkan sayuran menjadi kehilangan cairan sehingga menjadi layu dan mengering. Disamping itu meningkatnya kekerasan pak choi selama penyimpanan mungkin disebabkan oleh karakteristik pak choi yang digunakan dalam penelitian ini, dimana pak choi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki bagian petiol berserat sehingga dengan kehilangan air menyebabkan tanaman layu dan liat. Perubahan warna merupakan salah satu indikator yang mudah dilihat untuk mengetahui telah terjadinya penurunan mutu pada sayuran daun seperti pak choi. Warna kuning yang terbentuk sejalan dengan penurunan mutu mengindikasikan telah terjadinya degradasi klorofil sebagai pigmen hijau pada daun. Pengaruh perlakuan lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap indeks warna L a b dan C pada awal dan akhir pengamatan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap indeks warna L a b dan C pak choi (Brassica rapa var chinensis) Perlakuan Indeks Warna Daun Waktu Klorin L a b C HC (ppm) Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir 0 42.0 57.9-15.7-14.0 22.0 32.5 27.1 35.5 5 menit 2.5 43.0 57.7-16.5-14.0 23.7 29.9 28.9 33.4 5 42.6 51.4-15.3-16.8 21.8 27.9 26.6 32.6 0 39.3 59.2-15.1-15.6 21.0 32.8 25.9 36.5 15 menit 2.5 44.2 56.6-15.4-15.3 21.8 32.6 26.7 36.1 5 44.4 54.0-15.8-14.6 22.6 28.0 27.6 31.8 Tabel 5 menunjukkan terjadinya perubahan nilai indeks warna daun pak choi selama penyimpanan, pada Tabel terlihat nilai L dan b cenderung meningkat, sedangkan nilai a dan C cenderung menurun. Peningkatan nilai L menunjukkan 39

meningkatnya kecerahan daun pak choi. Penurunan nilai a menunjukkan warna hijau daun pak choi semakin berkurang, seiring dengan itu terjadi peningkatan nilai b yang berarti daun pak choi semakin kuning. Pada hari pertama pengamatan warna daun pak choi adalah hijau dengan rata-rata nilai a -15.6, nilai b 22.2, pada hari ke lima telah berubah dominan warna kuning dengan rata-rata nilai a -15.1.dan nilai b 30.6 (Gambar 18). Gambar 18 memperlihatkan pada kita bahwa terjadi penurunan mutu pak choi selama penyimpanan, dimana pada hari kelima warna daun pak choi berubah menjadi lebih kuning dan lebih cerah, pada kondisi ini pak choi sudah tidak layak lagi untuk dikonsumsi. B A Gambar 18. Warna daun pak choi pada awal (A) dan pada akhir pengamatan (B) Perubahan warna pada hasil tanaman dan sayuran merupakan proses yang umum menyertai terjadinya senescence dimana terjadi pembongkaran klorofil sehingga muncul warna-warna lain seperti kuning, merah jambu, dan merah tua (Kartasapoetra. 1994). Kader (1992) mengemukakan bahwa suhu penyimpanan adalah faktor utama yang mempenggaruhi terjadinya degradasi klorofil. Dalam penelitian ini penyimpanan pada suhu ruang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan warna pada pak choi, namun laju perubahan warna oleh perubahan suhu tidak bisa dilakukan karena tidak dilakukannya pengukuran parameter suhu ruang pada saat penelitian. 40

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) lama hydrocooling memperlihatkan pengaruh yang sangat nyata terhadap laju respirasi CO 2 pak choi sampai jam ke-48. Tapi tidak terjadi interaksi antara lama hydrocooling dengan konsentrasi klorin terhadap laju respirasi pak choi. Tabel 6 menyajikan pengaruh perlakuan hydrocooling dan klorin terhadap laju respirasi CO 2 pak choi sampai jam ke 60. Hasil Pengukuran konsentrasi CO 2 pak choi dapat dilihat pada Lampiran 3. Laju respirasi pak choi pada berbagai konsentrasi klorin dan lama hydrocooling dapat dilihat pada Gambar 19. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan hydrocooling 5 menit berbeda sangat nyata dengan hydrocooling selama 15 menit pada pengukuran 3 jam ke 12 dan 16, nyata pada 3 jam ke 4, 8 dan tidak nyata setelah pengukuran ke 20 (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa pada pengukuran 3 jam ke 20 (sekitar 60 jam setelah perlakuan) pak choi sudah mengalami penurunan mutu pada semua kombinasi perlakuan. Tabel 6 menunjukkan bahwa secara umum perlakuan hydrocooling 5 menit dengan berbagai konsentrasi klorin memiliki laju respirasi yang lebih rendah, dimana kombinasi perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin memiliki laju rerspirasi yang paling rendah dibanding dengan perlakuan yang lain. Tabel 6. Pengaruh lama hydrocooling dan konsentrasi klorin terhadap laju respirasi pak choi (Brassica rapa var chinensis) pada jam 12, 24, 36, 48 dan 60 Perlakuan Waktu HC Laju Respirasi CO 2 (ml/kg.jam) Klorin (ppm) 12 Jam 24 Jam 36 Jam 48 Jam 60 Jam 0 30.5 27.5 33.4 35.1 84.0 5 menit 2.5 46.1 43.1 45.0 54.4 126.3 5 51.2 45.4 49.4 50.9 64.3 0 57.4 49.7 56.6 62.9 126.7 15 menit 2.5 62.8 50.5 54.4 54.8 96.9 5 59.9 59.9 59.1 60.8 99.8 Pada Gambar 19 dapat kita lihat bahwa pada semua kombinasi perlakuan memperlihatkan produksi CO 2 yang cenderung terus menurun sampai 24 jam yang kemudian meningkat lagi. Terjadinya peningkatan produksi CO 2 setelah 24 jam dapat mungkin disebabkan oleh berbagai faktor, dimana menurut 41

Muchtadi (1992); Winarno (2002) respirasi dipengaruhi oleh faktor internal (tingkat perkembangan tanaman, komposisi kimia jaringan, ukuran produk, pelapisan alami dan jenis jaringan) dan faktor eksternal (suhu, etilen, ketersediaan oksigen, karbondioksida, senyawa pengatur tumbuh dan adanya luka). Peningkatan laju respirasi CO 2 mungkin disebabkan oleh pengaruh suhu penyimpanan, (suhu ruang). Hal ini dijelaskan oleh Kader (1985), suhu penyimpanan mempengaruhi laju respirasi. Penurunan suhu dapat menurunkan laju respirasi. Laju respirasi terendah terjadi pada jam ke 24 ( pengukuran 3 jam ke 8) pada perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin, dengan laju respirasi 27.5 ml CO 2 /kg.jam. Laju respirasi tertinggi terjadi pada hydrocooling 15 menit dengan 5 ppm klorin sebesar 59.9 ml CO 2 /kg.jam. 160 Laju respirasi CO2 (ml/kg.jam) 140 120 100 80 60 40 20 0 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Waktu (jam) HC 5 menit, tanpa klorin HC 15 menit, 5 ppm klorin HC 5 menit, 2.5 ppm klorin HC 15 menit, 2.5 ppm klorin HC 5 menit 5 ppm klorin HC 15 menit 5 ppm klorin Gambar 19. Laju respirasi pak choi pada berbagai perlakuan Laju respirasi dapat dianggap sebagai ukuran jalannya metabolisme, oleh karena itu sering dianggap sebagai potensi daya simpan sayuran dan buah-buahan setelah panen. Laju respirasi yang rendah biasanya disertai umur simpan yang panjang. Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin merupakan perlakuan terbaik karena dapat menurunkan laju respirasi dibandingkan dengan perlakuan lainnya yang cenderung menyebabkan terjadinya peningkatan laju respirasi bila dibandingkan dengan tanpa hydrocooling (Lampiran 3). Dimana dengan perlakuan hydrocooling 5 menit 42

tanpa klorin ini telah mampu menurunkan laju respirasi pak choi rata-rata sebesar 11.3 ml CO 2 /kg.jam setelah 36 jam. Berdasarkan klasifikasi komoditi hortikultura berdasarkan laju respirasinya yang dikemukakan oleh Kader (1992), maka dalam penelitian ini pak choi memiliki tingkat laju respirasi tinggi sampai sangat tinggi. Dalam penelitian ini sayuran disimpan pada suhu ruang dan ini merupakan salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya peningkatan metabolisme pada jaringan tanaman yang ditandai dengan laju respirasi yang tinggi. Menurut Winarno (2002) laju respirasi dikendalikan oleh suhu, dimana pada setiap kenaikan suhu 10 0 C laju pernafasan meningkat dua atau tiga kali mengikuti Hukum Van t Hoffs, namun demikian proses pendinginan dan penyimpanan dingin tidak akan mampu memperbaiki mutu produk, hanya dapat mempertahankan saja sehingga dibutuhkan pengaturan suhu yang hati-hati selama penanganan dan distribusinya. Semakin cepat panas sensible (sensible heat atau field heat) dibuang segera setelah panen akan semakin baik, karena akan mengakibatkan semakin lama masa simpan dan masa pemasaran produk tersebut. Penilaian mutu produk pangan tidak cukup hanya berdasarkan analisis sifat-sifat objektifnya melainkan juga sifat-sifat indrawinya. Penilaian sifat indrawi penting bagi produk pangan untuk mengetahui apakah produk tersebut dapat diterima atau dikonsumsi oleh konsumen. Pengamatan atau pengukuran indrawi dilakukan dengan menggunakan kemampuan panca indra manusia (Soekarno dan Hubeis, 2000). Dalam penelitian ini digunakan skala mutu hedonik yang bertujuan untuk mengetahui respon konsumen terhadap sifat-sifat produk yang lebih spesifik meliputi warna daun, kekerasan petiole, aroma dan penilaian secara umum. Sidik ragam menunjukkan perlakuan lama hydrocooling dan klorin tidak berpengaruh nyata terhadap uji organoleptik warna, kekerasan, aroma dan penilaian umum 15 orang panelis (Lampiran 5). Respon 15 orang panelis terhadap warna daun, kekerasan petiole, aroma dan penilaian umum pak choi yang di hydrocooling dengan penambahan klorin dapat dilihat pada Gambar 20-23. 43

3.80 Skor Warna 3.70 3.60 3.50 3.40 3.30 3.20 3.40 3.53 3.47 3.53 3.60 3.47 3.10 3.00 0 2.5 5 Konsentrasi Klorin (ppm) 5 menit 15 menit Gambar 20. Skor penilaian warna daun pak choi pada berbagai perlakuan Berdasarkan rata-rata penilaian 15 orang panelis terhadap warna daun pak choi yang diberi perlakuan menunjukkan bahwa panelis menyukai warna daun pak choi. Skor rata-rata tertinggi berdasarkan penilaian panelis terhadap warna dan kesegaran daun pak choi adalah pada perlakuan hydrocooling 5 menit 5 ppm klorin, dengan skor rata-rata 3.6 disusul oleh perlakuan hydrocooling 15 menit tanpa klorin, hydrocooling 15 menit 2.5 ppm klorin, hydrocooling 5 menit 2.5 ppm klorin, hydrocooling 15 menit 5 ppm klorin, dan terakhir adalah hydrocooling 5 menit tanpa klorin dengan skor rata-rata secara berturut-turut 3.53, 3.53, 3.47, 3.47 dan 3.40. Kekerasan petiol pak choi dinilai berdasarkan kemudahan panelis dalam mematahkan petiol pak choi. Berdasarkan rata-rata penilaian 15 orang panelis terhadap kekerasan ini menunjukkan bahwa panelis memberi penilaian biasa-biasa saja sampai suka dengan nilai rata-rata 3.33 sampai 3.73 (Gambar 21). Skor ratarata tertinggi berdasarkan penilaian panelis terhadap kekerasan petiol pak choi adalah pada perlakuan hydrocooling 15 menit 2.5 ppm klorin, dengan skor ratarata 3.73 disusul oleh perlakuan hydrocooling 15 menit tanpa klorin, hydrocooling 5 menit 5 ppm klorin, hydrocooling 5 menit 2.5 ppm klorin, hydrocooling 15 menit 5 ppm klorin, dan terakhir adalah hydrocooling 5 menit tanpa klorin dengan skor rata-rata secara berturut-turut 3.60, 3.60, 3.53, 3.53, dan 3.33. 44

Skor Kekerasan 3.80 3.70 3.60 3.50 3.40 3.30 3.20 3.33 3.60 3.53 3.73 3.60 3.53 3.10 3.00 0 2.5 5 Konsentrasi Klorin (ppm) 5 menit 15 menit Gambar 21. Skor penilaian kekerasan petiol pak choi pada berbagai perlakuan Penilaian hedonik terhadap aroma pak choi setelah perlakuan hydrocooling dan penambahan klorin lebih ditujukan untuk pengaruh adanya aroma klorin pada pak choi. Dari uji yang diperoleh diketahui bahwa umunya panelis menyatakan tidak mencium aroma klorin pada pak choi setelah perlakuan, hal ini mungkin karena klorin yang diberikan konsentrasinya sangat rendah. Berdasarkan rata-rata penilaian 15 orang panelis menunjukkan umumnya panelis memberikan penilaian biasa-biasa saja sampai suka dengan skor rata-rata 3.2 3.6. Skor tertinggi adalah pada perlakuan hydrocooling selama 15 menit dengan penambahan 5 ppm klorin dan terendah hydrocooling 5 menit dengan penambahan 5 ppm klorin (Gambar 22). 3.80 3.70 3.60 3.53 3.53 3.47 3.47 3.60 Skor Aroma 3.50 3.40 3.30 3.20 3.20 3.10 3.00 0 2.5 5 Konsentrasi Klorin (ppm) 5 menit 15 menit Gambar 22. Skor penilaian aroma pak choi pada berbagai perlakuan 45

Skor Penilaian Umum 3.80 3.70 3.60 3.50 3.40 3.30 3.20 3.10 3.53 3.73 3.40 3.47 3.33 3.60 3.00 0 2.5 5 Konsentrasi Klorin (ppm) 5 menit 15 menit Gambar 23. Skor penilaian umum pak choi pada berbagai perlakuan Sedangkan untuk penilaian secara umum, berdasarkan rata-rata penilaian 15 orang panelis menunjukkan panelis dapat menerima pak choi pada berbagai perlakuan hydrocooling dan penambahan klorin. Pada Gambar 23 dapat dilihat umumnya rata-rata penilaian panelis biasa-biasa saja/netral sampai suka ( nilai 3.3 3.7 ), artinya secara organoleptik pak choi dapat diterima. Nilai tertinggi adalah perlakuan hydrocooling 15 menit tanpa klorin dengan skor 3.7 dan yang terendah adalah perlakuan hydrocooling 5 menit 5 ppm klorin dengan nilai 3.33. Dalam penelitian ini, berdasarkan uji organoleptik terhadap warna daun, kekerasan petiol, aroma, dan penilaian panelis secara umum memperlihatkan pola yang beragam, namun secara umum panelis masih bisa menerima sayuran pada berbagai kombinasi perlakuan. Hal ini terlihat dari skor penilaian yang berada antara 3 sampai dengan 4 yang berarti panelis memberikan penilaian netral/biasabiasa saja sampai suka terhadap pak choi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin dapat dipilih sebagai kombinasi perlakuan yang akan digunakan untuk tahap selanjutnya karena tidak berpengaruh nyata secara statistik dengan kombinasi perlakuan yang lain, selain itu dari penilaian terhadap aroma dan penilaian secara umum memiliki rata-rata skor penilaian yang menyatakan kesuakaan panelis terhadap pak choi dengan nilai 3.53 untuk masing-masing parameter. 46

Penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa waktu hydrocooling dan konsentrasi klorin terbaik untuk mempertahankan mutu pak choi adalah selama 5 menit tanpa klorin karena mempertahankan mutu pak choi lebih baik dibanding perlakuan yang lain, dimana terlihat pada nilai kandungan klorofil yang lebih tinggi dan laju respirasi yang lebih rendah, sedangkan untuk parameter lain lama hydrocooling dan klorin tidak memberikan pengaruh nyata. Berdasarkan hal tersebut maka dipilih perlakuan hydrocooling 5 menit tanpa klorin untuk digunakan pada tahap selanjutnya. Penelitian Tahap Kedua Pada simulasi pengangkutan pak choi digunakan tiga jenis kemasan yaitu kemasan plastik polietilen, kotak kardus dan keranjang plastik. Berat sayuran masing-masing kemasan rata-rata adalah sebesar 4 kg sampai dengan 4.5 kg, hal ini disesuaikan dengan keadaan dilapangan dimana petani sebagian besar menggunakan kemasan plastik polietilen dengan kapasitas 5 kg sampai 10 kg. Menurut Pantastico (1989) kemasan harus dapat melindungi komoditi dari kerusakan mekanis, memungkinkan pertukaran panas lapang dan panas respirasi, cukup kuat untuk menahan penanganan biasa dan penumpukan maksimum. Dari perlakuan jenis kemasan, penumpukan, dan lama penggetaran terhadap pak choi memberikan pengaruh yang beragam. Sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan perlakuan jenis kemasan berpengaruh nyata terhadap tingkat kerusakan mekanis, susut bobot sampai hari kelima pengamatan, dan umumnya berpengaruh pada laju respirasi O 2 dan CO 2 tapi tidak berpengaruh nyata terhadap indeks warna (L, a, b, C) dan kekerasan pak choi sampai hari keempat pengamatan. Perlakuan penumpukan secara umum memberikan pengaruh yang nyata sampai sangat nyata terhadap perubahan indeks warna (L, a, b, C), kekerasan, dan sangat nyata untuk susut bobot, laju respirasi O 2 dan CO 2 tapi tidak berpengaruh nyata untuk tingkat kerusakan mekanis pak choi, sedangkan perlakuan waktu penggetaran berpengaruh sangat nyata pada tingkat kerusakan mekanis pak choi namun tidak berpengaruh nyata untuk pengamatan yang lain. Dari sidik ragam (Lampiran 6) juga diketahui tidak ada interaksi ketiga faktor terhadap tingkat kerusakan mekanis, indeks warna (L, a, b, C), susut bobot, 47

kekerasan, dan laju respirasi CO 2, namun terdapat interaksi 2 faktor antara jenis kemasan dan penumpukan terhadap tingkat kerusakan mekanis, susut bobot, laju respirasi CO 2. Hampir untuk semua pengamatan tidak terjadi interaksi 2 faktor antara jenis kemasan dan waktu penggetaran ataupun faktor penumpukan dan waktu penggetaran kecuali untuk indeks warna b dan C hari keempat terjadi interaksi antara jenis kemasan dan waktu penggetaran. Tingkat Kerusakan Mekanis Uji Lanjut Duncan (Lampiran 7-8) memperlihatkan bahwa tingkat kerusakan mekanis dipengaruhi oleh jenis kemasan dan waktu penggetaran, semakin lama waktu penggetaran maka semakin tinggi tingkat kerusakan yang ditimbulkan yaitu rata-rata 14.1% untuk 1 jam penggetaran dan 19.11% pada penggetaran selama 2 jam. Hal ini menjelaskan pada kita jarak tempuh antara tempat produksi hingga tempat penanganan selanjutnya dalam hal ini packing house akan berpengaruh terhadap tingkat kerusakan pak choi bila tidak dilakukan penanganan yang baik, salah satunya dengan menggunakan kemasan yang bisa melindungi produk dari kerusakan mekanis selama pengangkutan. Hasil penelitian menunjukkan pak choi yang dikemas dengan karton mempunyai tingkat kerusakan yang paling rendah dibanding yang dikemas dengan plastik polietilen dan keranjang plastik, dimana kerusakan yang ditimbulkan secara berturut-turut adalah 13.12%, 17.11%, dan 19.6%. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kemasan memberikan pengaruh yang sangat besar pada tingkat kerusakan mekanis yang terjadi. Pada setiap lama simulasi transportasi (1 dan 2 jam), kemasan dengan kotak kardus memiliki tingkat kerusakan mekanis yang lebih rendah dibandingkan kemasan keranjang plastik dan kemasan plastik polietilen (Gambar 24). Pada Gambar terlihat bahwa kerusakan mekanis meningkat dengan meningkatnya waktu transportasi dan kemasan karton memiliki tingkat kerusakan yang lebih rendah yaitu 10.7% (1 jam simulasi transportasi) dan 15.6% (2 jam simulasi transportasi). Pengaruh kemasan tergantung dengan bahan atau materi bahan baku kemasan. Dimana penggunaan kardus jenis double wall dan tipe regular slotted container (Peleg, 1985) yang terbuat dari kertas dapat mengurangi benturan atau 48

tekanan pada produk sehingga memberikan dampak yang berbeda bila dibandingkan dengan kemasan plastik polietilen dan keranjang plastik. 25.0 21.7 20.2 Kerusakan Mekanis (%) 20.0 15.0 10.0 5.0 17.4 10.7 14.1 15.6 0.0 1 jam 2 jam Lama Simulasi Transportasi (jam) Plastik PE Kotak Karton Keranjang Plastik Gambar 24. Persentase kerusakan mekanis pak choi berdasarkan jenis kemasan dan lama simulasi transportasi. Perlakuan penumpukan tidak memberikan dampak yang nyata terhadap tingkat kerusakan mekanis karena tidak berbeda nyata terhadap kerusakan yang ditimbulkan. Ini berkaitan erat dengan sifat dan karakteristik jenis kemasan yang digunakan, dan juga berkaitan erat dengan sifat dan karakteristik buah dan sayuran yang akan dikemas. Selain itu, jumlah tumpukan kemasan yang hanya 3 tumpukan belum menyebabkan sayuran yang berada pada kemasan tumpukan paling bawah menderita beban yang terlalu berat. Pantastico (1989), mengatakan bahwa pengemasan yang baik akan dapat melindungi produk segar dari pengaruh lingkungan (sinar matahari, kelembaban) dan pengaruh lainnya yang disebabkan oleh aktivitas selama penanganan dan pengangkutan produk hingga diterima oleh konsumen. Hal ini berarti jenis kemasan yang dipakai dalam penelitian ini dengan tinggi tumpukan 3 kemasan masih sesuai untuk pengangkutan pak choi dan belum menyebabkan kerusakan tekanan atau kompresi. Namun demikian perlu diperhatikan volume optimum untuk setiap kemasan khususnya kemasan kardus dan keranjang plastik, karena kondisi kemasan yang tidak terisi maksimal merupakan salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya kerusakan mekanis saat penggetaran karena produk bagian atas akan menerima dampak penggetaran yang lebih karena adanya ruang 49

diatas bahan sehingga selama pengangkutan bahan bagian atas akan terlemparlempar dan saling berbenturan. Dalam penelitian ini pak choi yang tidak ditumpuk memperlihatkan ratarata kerusakan mekanis yang lebih kecil dari yang ditumpuk walau perbedaannya tidak nyata, yaitu 16.9% untuk tanpa penumpukan, dan 16.3% untuk yang ditumpuk, ini ditandai dengan posisi sayuran dalam kemasan yang sudah tidak teratur lagi (Gambar 25), dengan kata lain sayuran yang dikemas dengan karton dan keranjang plastik mengalami kerusakan vibrasi akibat kemasan tidak penuh (under packing). ( A ) ( B ) Gambar 25. Kondisi sayuran pada kemasan yang tidak ditumpuk (A) dan yang ditumpuk 3 (B) dalam kemasan karton dan keranjang plastik setelah simulasi transportasi. Pengaruh dampak penumpukan terhadap tingkat kerusakan produk telah dilakukan oleh Tarwiyati (2007), dari penelitiannya diperoleh bahwa letak posisi tumpukan memberikan persentase kerusakan yang berbeda walaupun tidak nyata, 50

dimana posisi kemasan diatas cenderung menunjukkan terjadi persentase luas memar yang lebih kecil dibandingkan pada letak tumpukan ditengah dan dibawah terhadap kubis. Tingginya kerusakan mekanis dapat merugikan secara ekonomis karena jumlah komoditas yang dibuang atau rusak akan semakin banyak dan komoditas yang dapat dijual akan berkurang. Parameter yang menyatakan bahwa pak choi mengalami kerusakan mekanis adalah terdapatnya memar (bonyok) pada pak choi dan terdapatnya retak/patah pada petiol seperti terlihat pada Gambar 26. Disamping itu juga ditemui adanya pembusukan yang terlihat pada pangkal batang yang ditandai oleh jaringan yang lunak, namun angkanya sangat kecil. Dalam penelitian ini diketahui bahwa tingkat kerusakan mekanis yang dominan terjadi pada berbagai kombinasi perlakuan adalah memar (bonyok) bila dibandingkan dengan retak dan busuk yang nilainya sangat kecil. Perbandingan memar, retak, dan busuk yang ditimbulkan dari berbagai kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Pada Tabel terlihat bahwa kemasan karton memberikan tingkat kerusakan mekanis memar yang paling kecil disusul keranjang plastik dan plastik polietilen, rata-rata tingkat kerusakan mekanis berdasarkan jenis kemasan secara berturut-turut adalah 11.3%, 14.2%, dan 17%. Memar Retak/Patah Gambar 26. Memar dan retak pada pak choi Tingkat kerusakan mekanis pada berbagai kombinasi perlakuan jenis kemasan, penumpukan dan waktu penggetaran disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 menyajikan pengaruh jenis kemasan, penumpukan dan waktu penggetaran 51

terhadap tingkat kerusakan mekanis pak choi. Dari hasil pengukuran terlihat tingkat kerusakan mekanis yang paling tinggi dimiliki oleh pak choi yang dikemas dengan plastik polietilen, ditumpuk, dan digetarkan selama 2 jam yaitu sekitar 21.8%, sedangkan yang paling rendah adalah pada kemasan karton yang tidak ditumpuk dan digetarkan selama 1 jam dengan nilai 9.6%. Tingginya angka kerusakan mekanis pada kemasan polietilen disebabkan oleh karakteristik dari kemasan itu sendiri, dimana polietilen merupakan kemasan fleksibel sehingga kurang bisa melindungi produk dari dampak penggetaran dan penumpukan dalam simulasi transportasi yang dilakukan. Hal ini menjelaskan bahwa jarak tempuh, penumpukan, dan penggunaan kemasan sangat berpengaruh terhadap tingkat kerusakan pak choi selama transportasi darat. Tabel 7. Pengaruh jenis kemasan, penumpukan dan waktu penggetaran terhadap tingkat kerusakan mekanis pak choi (Brassica rapa var chinensis). Penumpukan Kemasan tidak ditumpuk Kemasan ditumpuk Lama Jenis Tingkat Kerusakan (%) Penggetaran Kemasan Memar Retak Busuk Total Plastik PE 14.6 2.9 1.3 18.8 1 jam Karton 8.2 0.8 0.6 9.6 K. Plastik 10.8 2.6 0.6 14.0 Plastik PE 19.9 1.1 0.6 21.6 2 jam Karton 13.3 1.4 0.6 15.3 K. Plastik 17.0 2.4 0.0 19.4 Plastik PE 14.8 0.7 0.6 16.1 1 jam Karton 9.9 1.9 0.0 11.8 K. Plastik 10.8 2.8 0.6 14.2 Plastik PE 18.6 2.2 1.1 21.8 2 jam Karton 13.9 1.6 0.4 15.9 K.Plastik 18.1 2.8 0.0 20.9 Pantastico (1989) menyebutkan ketahanan terhadap kerusakan mekanik ditentukan oleh bentuk susunan sel epidermal, tipe dan luas jaringan dasarnya dan susunan sistem berkas pengangkutannya. Memar terjadi sebagai reaksi terhadap beban tekanan dari getaran mesin, gesekan antar pak choi dan gesekan dengan kemasan. Tekanan tersebut menyebabkan penyempitan dinding sel menyebabkan air yang berada dalam sel terdesak keluar sehingga jaringan menjadi memar (rusak). 52

Laju Respirasi Sidik ragam perlakuan jenis kemasan, penumpukan, dan waktu penggetaran terhadap laju respirasi disajikan pada Lampiran 6. Uji lanjut Duncan (Lampiran 10) menunjukkan bahwa perlakuan jenis kemasan keranjang plastik tidak berbeda nyata dengan jenis kemasan karton dan plastik polietilen pada 3 jam pertama pengukuran. Pada ketiga jenis kemasan, pak choi yang dikemas dengan plastik polietilen memiliki laju respirasi yang lebih rendah setelah 3 jam pertama pengamatan, dengan laju respirasi berturut-turut pada kemasan plastik polietilen sebesar 83.8 ml CO 2 /kg-jam, pada kemasan keranjang plastik sebesar 62.4 ml CO 2 /kg-jam, pada kemasan karton sebesar 62.8 ml CO 2 /kg-jam. Namun pada 3 jam ke 7 dan seterusnya sampai 3 jam ke 16 telah memperlihatkan hasil yang berbeda nyata, dimana pak choi yang dikemas dengan karton memiliki laju respirasi yang paling rendah diikuti oleh keranjang plastik dan plastik polietilen dengan laju respirasi secara berturut-turut adalah 62.0 ml CO 2 /kg-jam, 69.1ml CO 2 /kg-jam, dan 86.0 ml CO 2 /kg-jam. Hal ini membuktikan bahwa jenis kemasan yang digunakan untuk pengangkutan akan mempengaruhi laju respirasi pak choi. Uji lanjut Duncan (Lampiran 11) menunjukkan bahwa laju respirasi pada perlakuan ditumpuk dan tidak ditumpuk berbeda sangat nyata. Laju respirasi tertinggi terjadi pada perlakuan penumpukan dengan rata-rata laju respirasi setelah 3 jam pertama pengamatan adalah 69.5 ml CO 2 /kg-jam dan 52.0 ml CO 2 /kg-jam untuk perlakuan yang tidak ditumpuk. Sedangkan untuk perlakuan kemasan dan penumpukan kemasan selama simulasi transportasi (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan kemasan polietilen yang tidak ditumpuk memiliki laju respirasi yang paling rendah pada 3 jam pertama pengamatan, secara umum pada perlakuan yang tidak ditumpuk pak choi yang dikemas dengan keranjang plastik memiliki laju respirasi yang lebih rendah, hal ini mungkin disebabkan karena pada amplitudo dan frekwensi penggetaran yang sama sayuran mengalami guncangan yang lebih pada kemasan karton dan plastik polietilen. Setelah 21 jam dari hasil pengukuran terlihat kemasan polietilen memiliki laju respirasi yang lebih tinggi dari kemasan karton dan keranjang plastik. Sedangkan pada perlakuan yang ditumpuk, pak choi yang dikemas dengan karton memiliki laju respirasi yang lebih rendah dari kemasan keranjang plastik dan plastik polietilen. 53

Penelitian menunjukkan, kombinasi perlakuan jenis kemasan dan penumpukan berpengaruh nyata terhadap perubahan laju respirasi pak choi selama transportasi darat. Perubahan laju respirasi pak choi pada berbagai kombinasi perlakuan penumpukan kemasan setelah simulasi transportasi dapat dilihat pada Gambar 27 dan 28. Laju Respirasi CO2 (ml CO2/kg-jam) 250 200 150 100 50 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60 PE, Tidak Ditumpuk, 1 Jam Karton, Tidak Ditumpuk, 1 Jam Keranjang Plastik, Tidak Ditumpuk, 1 Jam Waktu (jam) PE, Tidak Ditumpuk, 2 Jam Karton, Tidak Ditumpuk, 2 Jam Keranjang Plastik, Tidak Ditumpuk, 2 Jam Gambar 27. Laju respirasi pak choi pada kemasan yang tidak ditumpuk pada berbagai kombinasi perlakuan setelah simulasi transportasi Gambar 28 memperlihatkan bahwa pak choi yang dengan perlakuan penumpukan selama transportasi memiliki laju respirasi yang lebih tinggi dari yang tidak ditumpuk (Gambar 27), pada gambar terlihat pada pengamatan setelah 48 jam perlakuan pak choi pada berbagai kombinasi perlakuan yang ditumpuk sudah mengalami penurunan mutu yang ditandai dengan pembusukan dan warna daun menjadi kuning. Laju Respirasi CO2 (ml CO2/kg-jam) 250 200 150 100 50 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57 60 PE, Ditumpuk, 1 Jam Karton, Ditumpuk, 1 Jam Keranjang Plastik, Ditumpuk, 1 Jam Waktu (jam) PE, Ditumpuk, 2 Jam Karton, Ditumpuk, 2 Jam Keranjang Plastik, Ditumpuk, 2 Jam Gambar 28. Laju respirasi pak choi pada kemasan yang ditumpuk 3 pada berbagai kombinasi perlakuan setelah simulasi transportasi 54

Gambar 28 juga menunjukkan bahwa pak choi yang ditumpuk memperlihatkan perubahan laju respirasi yang meningkat setelah 15 jam, hal ini menunjukkan pada kita bahwa terjadinya peningkatan reaksi metabolisme sel tanaman yang ditandai dengan meningkatnya produksi CO 2, untuk itu diperlukan penanganan yang tepat untuk mengurangi laju respirasi sehingga umur simpannya bisa lebih lama. Sedangkan pada perlakuan yang tidak ditumpuk memperlihatkan pola yang lebih seragam dimana tidak terjadi peningkatan laju respirasi yang tibatiba meningkat tinggi namun tetap perlu penanganan yang tepat untuk mempertahankan mutu dan kualitasnya. Hal ini menjelaskan pada kita bahwa tingginya laju respirasi bahan/pak choi selama transportasi darat lebih banyak dipengaruhi oleh penggunaan kemasan dan penanganan selama pengangkutannya. Salah satu penanganan yang bisa dilakukan adalah dengan penyimpanan dingin, karena menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), suhu yang rendah akan menghambat proses respirasi, aktivitas mikroorganisme, dan enzim. Kader (1985) mengemukakan bahwa suhu penyimpanan mempengaruhi laju respirasi, penurunan suhu dapat menekan laju respirasi dan transpirasi sehingga proses ini berjalan lambat. Pengaruh perlakuan kemasan, penumpukan kemasan dan waktu penggetaran terhadap laju respirasi CO 2 pak choi pada berbagai kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Pengaruh jenis kemasan, penumpukan dan waktu penggetaran terhadap laju respirasi pak choi (Brassica rapa var chinensis). Penumpukan Kemasan Tidak ditumpuk Ditumpuk Lama Jenis Laju Respirasi CO 2 (ml/kg-jam) Penggetaran Kemasan 12 jam 24 jam 36 jam 48 Jam Plastik PE 66.9 59.6 60.4 61.6 1 jam Karton 73.5 74.0 66.7 81.4 K. Plastik 70.3 59.9 69.0 75.8 Plastik PE 68.2 93.4 96.3 108.7 2 jam Karton 79.4 76.9 70.6 83.8 K. Plastik 73.5 63.8 76.5 105.3 Plastik PE 86.0 103.9 137.0 159.6 1 jam Karton 80.5 76.6 91.9 136.2 K. Plastik 88.2 99.3 116.7 183.7 Plastik PE 88.8 150.7 159.7 194.3 2 jam Karton 84.4 78.9 94.9 147.5 K. Plastik 83.0 90.3 117.7 219.8 55

Pada tabel 8 terlihat kemasan plastik polietilen yang digetarkan selama 1 jam dengan posisi kemasan tidak ditumpuk memiliki laju respirasi yang terendah sampai 48 jam, dan yang tertinggi adalah pada plastik polietilen yang ditumpuk dan digetarkan selama 2 jam. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi sayur dalam plastik polietilen, dimana kemasan polietilen disini tidak diberi perforasi sehingga agak kedap udara (efek modifikasi atmosfir) dan kondisi ini bisa menjadi pelindung produk terhadap getaran pada waktu simulasi transportasi untuk kemasan yang tidak ditumpuk, sedangkan untuk yang ditumpuk mengakibatkan sebaliknya karena karakteristik plastik polietilen yang tipis tidak bisa melindungi produk dari dampak tekananan (kompresi) akibat perlakuan penumpukan. Namun demikian secara umum kemasan karton memiliki laju respirasi yang lebih rendah dibandingkan penggunaan kemasan keranjang plastik dan plastik polietilen. Susut Bobot Berdasarkan sidik ragam (Lampiran 6), jenis kemasan dan penumpukan berpengaruh terhadap susut bobot sampai hari ketiga, begitu juga untuk interaksi keduanya. Sedangkan interaksi jenis kemasan dan waktu penggetaran berpengaruh hanya pada hari ke 3. Dari uji lanjut Duncan (Lampiran 13) secara umum menunjukkan, pak choi yang dikemas dengan plastik polietilen memiliki susut bobot yang paling rendah setelah simulasi transportasi dibanding dengan kemasan karton dan keranjang plastik yaitu secara berturut-turut 0.05%, 0.08%, dan 0.11%. Hal yang sama juga terjadi bila dikombinasikan dengan perlakuan penumpukan atau dengan lama penggetaran (Lampiran 14-15) yang berarti plastik polietilen mampu menekan susut bobot akibat penguapan, namun untuk hari kedua dan seterusnya terlihat pak choi yang dikemas dengan keranjang plastik memiliki susut bobot tertinggi diikuti oleh plastik polietilen dan karton. Kondisi ini menunjukkan bahwa susut bobot pada hari kedua dan seterusnya lebih dipengaruhi oleh meningkatnya laju respirasi yang dipicu oleh kerusakan mekanis akibat ditransportasi. Muchtadi (1992); Winarno (2002) menjelaskan kerusakan mekanis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehilangan air pada buah dan 56

sayuran dibanding luas/volume dan terdapatnya lapisan alami permukaan buah dan sayuran. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa susut bobot akibat respirasi dan transpirasi dapat ditekan dengan penggunaan kemasan yang tepat disamping dengan cara menaikkan RH, menurunkan suhu, serta mengurangi gerakan udara diruang penyimpanan. Penelitian menunjukkan susut bobot pak choi cenderung meningkat setiap harinya (Gambar 29 dan 30). Dari Gambar terlihat secara umum susut bobot pak choi yang dikemas dengan kemasan plastik polietilen, karton dan keranjang serta dilakukan penggetaran selama 1 jam dan 2 jam menunjukkan bahwa penyusutan akibat perlakuan penumpukan lebih tinggi dari pada yang tidak ditumpuk yaitu rata-rata 0.10% pada hari pertama dan meningkat sampai 0.35% pada hari keempat, sedangkan untuk yang tidak ditumpuk rata-rata 0.06% pada hari pertama dan 0.26% pada hari keempat (Lampiran 16). 0.50 0.40 Susut Bobot (%) 0.30 0.20 0.10 0.00 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Pengamatan (hari) PE, Tidak Ditumpuk, 1 Jam Karton, Tidak Ditumpuk, 1 Jam Keranjang Plastik, Tidak Ditumpuk, 1 Jam PE, Tidak Ditumpuk, 2 Jam Karton, Tidak Ditumpuk, 2 Jam Keranjang Plastik, Tidak Ditumpuk, 2 Jam Gambar 29. Perubahan susut bobot pak choi pada berbagai perlakuan kemasan yang tidak ditumpuk setelah simulasi transportasi 57

0.50 0.40 Susut Bobot (%) 0.30 0.20 0.10 0.00 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Pengamatan (hari) PE, Ditumpuk, 1 Jam Karton, Ditumpuk, 1 Jam Keranjang Plastik, Ditumpuk, 1 Jam PE, Ditumpuk, 2 Jam Karton, Ditumpuk, 2 Jam Keranjang Plastik, Ditumpuk, 2 Jam Gambar 30. Perubahan susut bobot pak choi pada berbagai perlakuan kemasan yang ditumpuk setelah simulasi transportasi Kekerasan Tingkat kekerasan adalah salah satu parameter yang biasa digunakan untuk menguji terjadikan perubahan mutu pada buah dan sayuran. Tingkat kekerasan yang berubah disebabkan karena komposisi dinding sel berubah (Winarno, 2002). Kekerasan sayuran pak choi dalam penelitian ini sangat dipengaruhi oleh penumpukan selama transportasi. Pengamatan selama 4 hari penyimpanan menunjukkan bahwa sayuran yang tidak ditumpuk memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi (Gambar 31). 5.00 4.50 4.00 Kekerasan (N) 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1 2 3 4 Pengamatan (hari) PE, Tidak Ditumpuk, 1 Jam Karton, Tidak Ditumpuk, 1 Jam Keranjang Plastik, Tidak Ditumpuk, 1 Jam PE, Tidak Ditumpuk, 2 Jam Karton, Tidak Ditumpuk, 2 Jam Keranjang Plastik, Tidak Ditumpuk, 2 Jam Gambar 31. Perubahan tingkat kekerasan pak choi kemasan yang tidak ditumpuk pada berbagai kombinasi perlakuan setelah simulasi transportasi 58

5.00 4.50 Kekerasan (kg-force) 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1 2 3 4 Pengamatan (hari) P E, Ditumpuk, 1 Jam Karto n, Ditumpuk, 1 Jam Keranjang Plastik, Ditumpuk, 1 Jam P E, Ditumpuk, 2 Jam Karton, Ditumpuk, 2 Jam Keranjang Plastik, Ditumpuk, 2 Jam Gambar 32. Perubahan tingkat kekerasan pak choi kemasan yang ditumpuk pada berbagai kombinasi perlakuan setelah simulasi tranportasi Gambar 31 dan 32 menunjukkan bahwa kekerasan petiol pak choi cendrung mengalami penurunan selama penyimpanan. Pada Gambar terlihat pak choi pada berbagai kombinasi perlakuan yang tidak ditumpuk mengalami laju penurunan yang lebih cepat dari yang ditumpuk. Fenomena ini erat kaitannya dengan tingkat kerusakan mekanis karena vibrasi yang disebabkan oleh under packing, dimana pak choi mengalami akibat penggetaran lebih dari yang ditumpuk, hal ini memicu metabolisme sel menjadi lebih cepat. Namun secara umum perlakuan penumpukan memiliki kekerasan lebih rendah dari yang tidak ditumpuk. Dalam penelitian ini sayuran pada berbagai kombinasi perlakuan sudah sangat menurun mutunya pada hari keempat, karena rata-rata daunnya sayuran sudah berwarna kuning. Secara umum rata-rata kekerasan pak choi pada berbagai kombinasi perlakuan yang tidak ditumpuk menurun dari 4.21 N pada hari pertama pengamatan menjadi 2.25 N pada hari keempat, sedangkan untuk yang ditumpuk mengalami penurunan dari 2.94 N pada hari pertama turun sampai angka 1.96 N pada hari keempat (Lampiran 17). Penurunan tingkat kekerasan ini terjadi seiring dengan penurunan kadar air pada pak choi yang ditandai dengan meningkatnya susut bobot. Pada Gambar 31 dan 32 juga terlihat umumnya pada beberapa kombinasi perlakuan terjadi peningkatan kekerasan pada hari ketiga, hal ini kemungkinan karena pengaruh metode destruktif yang digunakan dimana sampel 59

yang diukur berbeda setiap harinya. Pada saat yang sama peningkatan susut bobot juga agak menurun. Penurunan tingkat kekerasan selama proses penyimpanan sayuran disebabkan terjadinya perubahan komposisi dinding sel akibat perubahan turgor sel sehingga sayuran menjadi lunak (Muchtadi, 1989; Winarno, 2002). Menurut Tarwiyati (2007) bahwa perhitungan parameter kekerasan yang bersifat dekstruktif belum tepat digunakan untuk pengujian simulasi transportasi sampai dengan 5 jam, sehingga perlu dipertimbangkan untuk pengujian tingkat kekerasan produk dengan metode non-dekstruktif karena belum bisa memberikan pola penurunan yang jelas. Warna Daun Tanda penurunan mutu yang paling sesuai dan mudah digunakan untuk sayuran daun seperti pak choi adalah perubahan warna daun. Nilai L menunjukkan kecerahan (lightness) sampel yang bergerak dari 0 sampai 100, nilai (a) menunjukkan warna kromatik campuran merah hijau yang nilainya bergerak dari positif (0 sampai 60) untuk warna merah sampai negatif (0 sampai 60) untuk warna hijau, dan nilai (b) menunjukkan warna kromatik campuran biru kuning yang nilainya bergerak dari positif (0 sampai 60) untuk warna kuning sampai negatif (0 sampai 60) untuk warna biru. Selama penyimpanan, kecerahan (nilai L) daun pak choi cenderung meningkat, demikian pula nilai a dan b daun pak choi semakin menurun selama penyimpanan. Peningkatan nilai a menunjukkan bahwa warna hijau daun pak choi semakin berkurang, dan peningkatan nilai b menunjukkan bahwa warna kuning daun pak choi semakin meningkat, sehingga daun berwarna kuning. Sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa penumpukan berpengaruh terhadap nilai L a b daun pak choi. Pengaruh berbagai perlakuan terhadap nilai L a b daun Pak choi disajikan pada Lampiran 18-23. Perlakuan penumpukan dalam penelitian ini memberikan perubahan yang lebih cepat pada indeks nilai L a b selama penyimpanan dibanding yang tidak ditumpuk, hal ini terjadi karena meningkatnya metabolisme sel tanaman karena pengaruh pengangkutan yang 60

dipengaruhi oleh jenis kemasan, jarak tempuh dan penanganan selama panen dan pasca panen. Dalam penelitian ini pengangkutan tanaman pak choi dengan menggunakan jenis kemasan plastik polietilen, kotak karton, dan keranjang plastik dan perlakuan penumpukan dengan penggetaran yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda juga terhadap penurunan mutu pak choi bila dilihat dari perubahan warna yang terjadi selama penyimpanan pada suhu ruang (Tabel 9). Perubahan warna daun pak choi pada awal pengamatan dan akhir pengamatan dapat dilihat pada Gambar 33 dan 34. B A Gambar 33. Warna daun pak choi pada awal (A) dan pada akhir pengamatan (B) perlakuan kemasan yang tidak ditumpuk setelah simulasi transportasi Pada hari pertama pengamatan warna daun pak choi adalah hijau dengan rata-rata nilai a -13.9, nilai b 19.3, pada hari ke lima telah berubah dominan warna kuning dengan rata-rata nilai a -8.0.dan nilai b 33.8 (Gambar 33). Sedangkan untuk perlakuan penumpukan terjadi perubahan dari nilai a -16.0, nilai b 24.1 pada awal, menjadi rata-rata nilai a-11.5.dan nilai b 36.6 pada hari ke lima (Gambar 34). 61