BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu atau keluarga berusaha memenuhi kebutuhannya dengan. menggunakan sumberdaya yang tersedia. Kebutuhan manusia dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 1. Tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga di DIY menurut wilayah tempat

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

BAB III METODE PENELITIAN. belum mampu memenuhi kebutuhan hidup sebagian besar petani di Indonesia. Hal

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2009

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. PTPN IV merupakan perseroan yang bergerak pada bidang usaha agroindustri.

TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2017

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

PENDAHULUAN Latar Belakang

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010

12 PESAN DASAR NUTRISI SEIMBANG

AGRIC Vol.22, No. 1, Juli 2010:67-74 PENDAHULUAN

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2013

BPSPROVINSI JAWATIMUR

BPSPROVINSI JAWATIMUR

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

BPSPROVINSI JAWATIMUR

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

BAB I PENDAHULUAN. Perkebunan mempunyai kedudukan yang penting di dalam pengembangan

I. PENDAHULUAN. dalam hal ekonomi rumah tangga mereka. Banyak petani padi sawah khususnya. di pedesaan yang masih berada dalam garis kemiskinan.

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN.

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

BADAN PUSAT STATISTIK

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2013

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013

KATA PENGANTAR. Jakarta, Oktober 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc.

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2014

BPS PROVINSI LAMPUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2016

Identifikasi Sumber Makanan Pokok untuk Meningkatkan Sistem Ketahanan Pangan Menggunakan Analisa Hirarki Process (AHP)

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc.

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BPSPROVINSI JAWATIMUR

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2013

BPSPROVINSI JAWATIMUR

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH SEPTEMBER 2016

BPS PROVINSI LAMPUNG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2016

KETAHANAN PANGAN PADA KELUARGA MISKIN DI DESA BANDAR KLIPPA KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan dan minuman (BKP, 2010). Pangan dikelompokkan menjadi sembilan kelompok yakni : 1) Padi- padian Terdiri dari beras, jagung, terigu 2) Makanan berpati atau umbi- umbian Terdiri dari kentang, wortel, ubi kayu, ubi jalar, sagu dan umbi- umbian lain 3) Pangan hewani dan tumbuhan Terdiri dari ikan, daging, susu, telur 4) Minyak dan lemak Terdiri dari minyak kelapa, minyak jagung, minyak kelapa sawit dan margarine 5) Buah dan biji berminyak Terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat 6) Kacang- kacang lainnya

Terdiri dari kacang tanah, kacang hijau, tahu dan tempe 7) Gula Terdiri dari gula pasir, gula merah dan gula lainnya 8) Sayur dan buah Adalah seluruh jenis sayur dan buah yang biasa dikonsumsi 9) Lain- lain Terdiri dari teh, kopi, bumbu makanan dan minuman beralkohol. (BKP, 2010). Kemiskinan Penentuan batas kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengacu pada kebutuhan minimal yang setara dengan kebutuhan energi sebesar 2.100 kalori per kapita per hari ditambah dengan pemenuhan kebutuhan minimum non-makanan. Patokan 2.100 kalori ditentukan berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi yang menyatakan bahwa hidup sehat rata- rata setiap orang harus mengkonsumsi makanan setara 2.100 kalori per kapita per hari (BPS, 2009). Konsep kemiskinan menurut Inpres nomor 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Program Raskin, dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengeluaran keluarga yang terdiri atas 4 anggota keluarga. 1) Golongan sangat miskin adalah mereka yang mengkonsumsi makanan senilai sampai dengan 1.900 kalori per hari, yang senilai dengan Rp.120.000,- per

minggu atau bila disetarakan dengan pengeluaran per bulannya adalah Rp.480.000,- per rumah tangga per bulan. 2) Golongan miskin adalah mereka yang mengkonsumsi makanan senilai sampai 2.100 kalori per hari, yang senilai dengan Rp.150.000,- per minggu atau bila disetarakan dengan pengeluaran per bulannya adalah Rp.600.000,- per rumah tangga per bulan. 3) Golongan hampir miskin yaitu mereka yang mengkonsumsi makanan senilai sampai dengan 2.300 kalori per hari, yang senilai sampai dengan Rp.175.000,- per minggu atau bila disetarakan dengan pengeluaran per bulannya adalah Rp.700.000,- per rumah tangga per bulan (Asa ad, 2007). Pengeluaran Rumah Tangga Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Tingkat pengeluaran terdiri atas dua kelompok, yaitu pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Tingkat kebutuhan/ permintaan (demand) terhadap kedua kelompok tersebut pada dasarnya berbeda- beda. Dalam kondisi pendapatan terbatas, kebutuhan makanan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan, maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makanan (BKP, 2010).

Pergeseran komposisi dan pola pengeluaran tersebut terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan secara umum rendah, sedangkan elastisitas terhadap kebutuhan bukan makanan relatif tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan makanan, sedangkan sisa pendapatan dapat disimpan sebagai tabungan (saving) atau diinvestasikan (BKP, 2010). Uraian di atas dapat menjelaskan bahwa pola pengeluaran merupakan salah satu variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan (ekonomi penduduk), sedangkan pergeseran komposisi pengeluaran dapat mengindikasikan perubahan tingkat kesejahteraan penduduk (BKP, 2010). Pangsa atau Persentase Pengeluaran Pangan Yang dimaksud dengan pangsa atau persentase pengeluaran pangan pada tingkat rumah tangga adalah rasio pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga. Perhitungan pangsa atau persentase pengeluaran pangan pada tingkat rumah tangga menggunakan formula sebagai berikut : PF = Dimana : PF = Pangsa atau persentase pengeluaran pangan (%) PP = Pengeluaran untuk pangan rumah tangga (Rp/bulan) TP = Total pengeluaran rumah tangga (Rp/bulan) (Sinaga dan Nyak Ilham, 2002).

Dalam konteks analisis ketahanan pangan, pengetahuan tentang proporsi atau pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran pangan rumah tangga merupakan indikator ketahanan pangan rumah tangga yang sangat penting. Hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dengan total pengeluaran dikenal sebagai Hukum Working. Dalam hukum working menyatakan bahwa ketahanan pangan mempunyai hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran pangan. Hal ini berarti semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga, maka semakin rendah tingkat ketahanan pangan rumah tangga tersebut (Pakpahan, 1993). Apabila menggunakan indikator ekonomi, dengan kriteria apabila pangsa atau persentase pengeluaran pangan rendah ( 60 % pengeluaran total) maka kelompok rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga tahan pangan. Sementara itu apabila pangsa atau pengeluaran pangan tinggi (> 60 % pengeluaran total) maka kelompok rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga rawan (Purwantini, 1999). Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang mempunyai pangsa pengeluaran rendah dan cukup mengkonsumsi energi. Pangsa pengeluaran pangan rendah berarti kurang dari 60 % bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan. Dan ini mengindikasikan bahwa rumah tangga tahan pangan memiliki kemampuan untuk mencukupi konsumsi energi karena mempunyai akses yang tinggi secara ekonomi juga memiliki akses yang tinggi secara fisik. Rumah tangga rawan pangan adalah rumah tangga yang mempunyai pangsa pengeluaran tinggi dan kurang mengkonsumsi energi. Pangsa pengeluaran pangan

tinggi berarti lebih dari 60 % bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan. Ini mengindikasikan rendahnya pendapatan yang diterima oleh kelompok rumah tangga tersebut. Dengan rendahnya pendapatan yang dimiliki, rumah tangga rawan pangan dalam mengalokasikan pengeluaran pangannya tidak dapat memenuhi kecukupan energi (Purwaningsih, 2010). Yang dimaksud dengan akses secara fisik adalah: akses pangan yang dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan/ produksi pangan dan sarana infrastruktur seperti akses jalan, transportasi yang mendukung lancarnya distibusi pangan untuk menjamin pasokan pangan tersedia dengan cukup di mana saja dan di setiap waktu. Sedangkan yang dimaksud dengan akses secara ekonomi adalah akses pangan yang dipengaruhi oleh daya beli masyarakat terhadap pangan. Daya beli antara lain dipengaruhi oleh sumber mata pencaharian dan pendapatan (BKP, 2010). Beberapa faktor yang mempengaruhi pengeluaran pangan rumah tangga miskin antara lain: pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan ibu rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, lamanya berumah tangga/ umur perkawinan dan jumlah subsidi beras untuk keluarga miskin (raskin) yang diterima. 1) Pendapatan Rumah Tangga Adanya sifat keterbatasan sumberdaya keluarga atau pendapatan yang tersedia akan mempengaruhi adanya prioritas alokasi pengeluaran keluarga. Keluarga yang berpenghasilan rendah, sebagian besar pendapatannya digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan, sehingga persentase pengeluaran untuk pangan akan relatif besar. Akan tetapi karena kebutuhan pangan relatif terbatas, maka mulai pada tingkat pendapatan tertentu pertambahan pendapatan akan

dialokasikan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan nonpangan, sehingga pada kondisi tersebut persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun. Peningkatan pendapatan menyebabkan timbulnya kebutuhan- kebutuhan lain selain pangan, sementara pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam peningkatannya tidak sebesar pengeluaran nonpangan (Fatimah,1995). Hasil penelitian Oktavionita, 1989 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan yang berbeda akan menyebabkan alokasi pengeluaran yang berbeda, karena tingkat pengeluaran merupakan fungsi dari total pendapatan. Pada golongan berpendapatan rendah, persentase pengeluaran untuk pangan lebih besar dibandingkan pengeluaran lainnya, sedangkan pada golongan berpendapatan tinggi, persentase pengeluaran pangan lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran lainnya. Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60-80 % dari pendapatannya dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk makanan yang digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan untuk tiap 1 % perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga yang miskin dibandingkan pada rumah tangga kaya (Soekirman, 2000). Untuk komoditas pangan, peningkatan pendapatan tidak diikuti dengan peningkatan permintaan yang progresif. Hal ini sesuai dengan Hukum Engel, yang menyatakan bahwa semakin rendah pendapatan keluarga, maka semakin besar proporsi dari pendapatan tersebut yang dibelanjakan untuk makanan. (Sinaga dan Nyak Ilham, 2002).

2) Tingkat Pendidikan Ibu Rumah Tangga Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran. Seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang akan memberikan pendapatan relatif lebih tinggi pula. Oleh karenanya, orang yang berpendidikan tinggi akan mempunyai kemampuan untuk memiliki pangan lebih banyak dan lebih bermutu (Roedjito, dkk, 1988). Seorang ibu memiliki peranan besar dalam keluarga, dialah yang berbelanja pangan, mengatur menu keluarga, mendistribusikan makanan, dan lain- lain. Pendidikan ibu rumah tangga berkaitan dengan pengasuhan dan kesadaran dalam pemberian pangan kepada anak. Pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kesadaran seorang ibu rumah tangga untuk mencari informasi sebanyakbanyaknya dalam usaha mensejahterakan keluarganya, termasuk informasi tentang pangan dan pengetahuan gizi. Sebaliknya, ibu rumah tangga dengan pendidikan rendah, maka rata- rata pengetahuan gizi ibu rumah tangga ini pun rendah. Semakin tinggi pendidikan seorang ibu rumah tangga, maka semakin kecil persentase pengeluaran untuk pangan (Fatimah, 1995). 3) Jumlah Anggota Rumah Tangga Jumlah anggota rumah tangga akan mempengaruhi konsumsi. Rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga yang lebih besar cenderung mempunyai tingkat konsumsi yang tinggi. Jumlah anggota rumah tangga menentukan sampai batas tertentu jumlah pangan yang dikonsumsi, susunan isi keranjang pangan,

ukuran ruang rumah tempat tinggal, pengeluaran untuk pakaian, pendidikan, kesehatan dan rekreasi (Sicat dan Arndt, H., 1991). 4) Lamanya Berumah Tangga/ Umur Perkawinan Alokasi pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh lamanya berumah tangga/ umur perkawinan. Setiap tingkatan keluarga baik keluarga yang muda ataupun keluarga tua memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda- beda, baik pangan dan nonpangan.. Karena kebutuhan berbeda pada setiap tahapan rumah tangga, maka penggunaan/ alokasi pendapatan akan berbeda pula (Fatimah, 1995). 5) Jumlah Subsidi Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin) yang Diterima Mengingat pentingnya pemenuhan kebutuhan minimum bagi rakyat miskin sebagai salah satu langkah peningkatan ketahanan pangan, maka sejak tahun 2002 pemerintah melakukan kebijakan Beras Untuk Keluarga Miskin (RASKIN). Kebijakan RASKIN ini dianggap sebagai subsidi pangan terarah atau income transfer kepada keluarga miskin dalam bentuk beras. Alasan dilaksanakannya program ini adalah masih banyaknya masyarakat miskin yang masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan minimumnya yaitu makanan pokok. Orientasi RASKIN adalah lebih kepada bantuan kesejahteraan sosial bagi keluarga miskin.

2.2. Landasan Teori Teori Konsumsi Keynes dalam bukunya yang berjudul The General Theory of Employment, Interest and Money memberikan perhatian besar terhadap hubungan antara konsumsi dan pendapatan. Lebih lanjut Keynes mengatakan bahwa ada pengeluaran konsumsi minimum yang harus dilakukan oleh masyarakat (outonomous consumption) dan pengeluaran konsumsi akan meningkat dengan bertambahnya penghasilan (Waluyo, D. E., 2002). Menurut Supriana (2008) dalam bukunya Ekonomi Makro menyebutkan bahwa konsumsi itu merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan. Penghasilan keluarga atau uang masuk sebagian besar dibelanjakan lagi, untuk membeli yang diperlukan untuk hidup. Dalam ilmu ekonomi dikatakan: dibelanjakan untuk dikonsumsi. Konsumsi tidak hanya mengenai makanan, tetapi mencakup pemakaian barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup (Gilarso, 1992). Teori konsumsi dengan menggunakan hipotesis pendapatan relatif dikemukakan oleh James Duesenberry dengan bukunya Income, Saving, and the Theory of Consummer Behavior, bermaksud merekonsiliasi hubungan yang tidak proporsional dan yang proporsional antara konsumsi dengan pendapatan dengan maksud agar diperoleh gambaran mengenai alasan sebab- sebab timbulnya perbedaan tersebut.

Di dalam teorinya, Duesenberry menggunakan dua asumsi yang digunakan untuk mengamati faktor- faktor yang dapat berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi seseorang. a) Selera rumah tangga atas barang konsumsi adalah Interdependen. Artinya, pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya (tetangga). Jadi faktor lingkungan dapat berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi. b) Pengeluaran konsumsi adalah Irreversible. Artinya, pola pengeluaran pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasilan mengalami penurunan. Di dalam hal ini dikatakan bahwa pengeluaran konsumsi seseorang dalam jangka pendek dapat dipengaruhi oleh besarnya pendapatan relatif. Pendapatan relatif disini adalah merupakan pendapatan tertinggi yang pernah dicapai oleh seseorang. Sebagai misal, apabila pendapatan seseorang mengalami kenaikan maka secara otomatis konsumsi juga mengalami kenaikan dengan proporsi tertentu, dan sebaliknya bila pendapatan mengalami penurunan maka akan diikuti juga oleh penurunan konsumsinya. Akan tetapi, proporsi penurunannya lebih kecil dibandingkan proporsi akibat kenaikan pendapatan tadi (Waluyo, D. E., 2002).

2.3. Kerangka Pemikiran Pengeluaran rumah tangga dibagi dua, yakni pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk nonpangan. Besar pangsa atau persentase pengeluaran untuk pangan dan nonpangan dapat dianalisis terhadap total pengeluaran pada rumah tangga tersebut. Dilihat dari besar pangsanya, yaitu jenis pengeluaran terhadap jumlah pengeluaran (pangan dan nonpangan), menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat ketahanan pangan suatu rumah tangga maka semakin besar pangsa pengeluaran pangan dan semakin kecil pangsa pengeluaran nonpangan. Pengeluaran pangan rumah tangga miskin dipengaruhi oleh beberapa faktor dan masing- masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa faktor tersebut antara lain seperti: pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan ibu rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, lamanya berumah tangga/ umur perkawinan dan jumlah subsidi beras untuk keluarga miskin (raskin) yang diterima. Untuk lebih jelasnya, kaitan antara faktor- faktor tersebut tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Rumah Tangga Miskin Faktor- Faktor: Pendapatan Rumah Tangga Tingkat Pendidikan Ibu Rumah Tangga Jumlah Anggota Rumah Tangga Lamanya Berumah Tangga/ Umur Perkawinan Jumlah Subsidi Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin) yang Diterima Total Pengeluaran Pengeluaran Pangan Pengeluaran Nonpangan Pangsa Pengeluaran Pangan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Keterangan : : Menyatakan Hubungan : Menyatakan Pengaruh Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

2.4. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah : 1) Rumah tangga miskin di daerah penelitian, memiliki pangsa atau persentase pengeluaran pangan tinggi (> 60% pengeluaran total) sehingga tergolong rumah tangga rawan pangan. 2) Faktor pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan ibu rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, lamanya berumah tangga/ umur perkawinan dan jumlah subsidi beras untuk keluarga miskin (raskin) yang diterima memiliki pengaruh yang nyata/ siginifikan terhadap pengeluaran pangan rumah tangga miskin di daerah penelitian.