HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Desa Ciparigi Wilayah Desa Ciparigi menurut data umum dan geografis merupakan salah satu desa di Kecamatan Sukadana, yang berbatasan dengan Kecamatan Cisaga dan Kecamatan Cijeungjing. Desa Ciparigi berbatasan pula dengan Desa Salakaria di sebelah utara, Desa Danasari di sebelah selatan, Desa Karanganyar di sebelah barat, dan Desa Bunter di sebelah timur. Luas Wilayah Desa Ciparigi adalah 843,361 Ha, dengan ketinggian wilayah Desa Ciparigi dari permukaan laut adalah 300 m. Memiliki curah hujan dengan hari terbanyak 99 hari dengan volume curah hujan per tahun 330 mm. Adapun jumlah dusun di Desa Ciaprigi adalah 6 dusun, yang terdiri dari 39 RT dan 12 RW dengan jumlah penduduk pada Mei 2011adalah1127 kepala keluarga. Sebaran penduduk Desa Ciaprigimenurut usia, menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Ciparigi termasuk usia 15 tahun ke atas (BKP 2009a). Desa Sukadana Desa Sukadana merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Sukadana yang berbatasan dengan Desa Margajaya di sebelah utara, Desa Margaharja di sebelah timur, Desa Salakaria di sebelah selatan, dan Desa Cipaku di sebelah barat. Luas wilayah Desa Sukadana adalah Ha, yang terdiri dari 8 dusun dengan 40 RT dan 19 RW dengan jumlah penduduk 1426 kepala keluarga pada Mei Ketinggian wilayah Desa Sukadana dari permukaan laut kurang lebih 500 m. Rata-rata curah hujan antra 2685 ml/thn. Sebaran penduduk berdasarkan usia menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk berusia 71 tahun ke atas (KPH Ciamis 2011). Karakteristik Penduduk Desa Ciparigi dan Sukadana Pendidikan Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan sebagian besar penduduk Desa Ciparigi adalah tamat SD (44,0%). Terdapat pula 31,6% penduduk dengan pendidikan tamat SLTP; 17,7% penduduk yang tamat SLTA; dan sebagian kecil penduduk yakni: 3,5% merupakan lulusan S1; 2,1% lulusan D1-D3; dan 1,1% tidak tamat SD (BKP 2009a). Adapun tingkat pendidikan pada sebagian besar penduduk Desa Sukadana (53,0%) adalah tamatan SLTA; 22,0% penduduk dengan pendidikan tidak tamat SD; 11,0% penduduk dengan pendidikan tamat SD; 8,0% penduduk merupakan tamat

2 31 SLTP; dan sebagian kecil diantaranya merupakan lulusan D1-D3 (5,0%); dan 2,0% merupakan lulusan S1-S2 (KPH Ciamis 2011). 60,0 53,0 50,0 44,0 40,0 31,6 30,0 20,0 10,0 0,0 1,1 22,1 Tidak tamat SD Tamat SD 11,0 Tamat SLTP 8,0 17,8 Tamat SLTA 2,5 0,6 1,0 2,0 2,0 1,4 1,1 0,5 0,0 0,5 D1 D2 D3 S1 S2 Ciparigi Sukadana Gambar 3Bagan sebaran penduduk Desa Ciparigi dan Desa Sukadana berdasakan tingkat pendidikan dalam persentase Rata-rata terbesar tingkat pendidikan penduduk Desa Ciparigi apabila dibandingkan dengan rata-rata terbesar tingkat pendidikan penduduk Desa Sukadana, diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk Desa Sukadana lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan penduduk Desa Ciparigi. Terdapat sebagian kecil penduduk Desa Sukadana yang memiliki tingkat pendidikan lulus S2, sedangkan di Desa Ciparigi tidak terdapat penduduk yang memiliki tingkat pendidikan S2. Penduduk yang tidak tamat SD lebih banyak terdapat di Desa Sukadana, dibandingkan di Desa Ciparigi. Pekerjaan Berdasarkan Gambar 4, dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk di Desa Ciparigi (51,1%) bekerja sebagai buruh tani. Terdapat pula (24,1%) penduduk yang bekerja sebagai petani; (11,3%) penduduk bekerja sebagai buruh non tani; pedagang (9,4%); dan diantaranya yakni (3,1%) penduduk bekerja sebagai PNS; dan sebagian kecil (0,8%) penduduk bekerja dibidang jasa. Tidak terdapat penduduk yang tidak memeiliki pekerjaan di Desa Ciparigi (BKP 2009a). Sebagian besar penduduk di Desa Sukadana (58,0%) bekerja sebagai buruh tani, dan terdapat pula (17,8%) yang bekerja dibidang jasa seperti tukang ojeg dan penjahit (KPH Ciamis 2011). Penduduk yang bekerja sebagai

3 32 petani di Desa Sukadana hanya (8,5%), dan terdapat (6,6%) pedagang; dan sebagian kecil pekerjaan penduduk yakni (3,1%) penduduk bekerja sebagai PNS/ABRI. Terdapat pula penduduk yang tidak bekerja yakni sebesar (6,0%). 60,0 50,0 51,1 58,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 24,2 8,5 9,5 6,6 11,3 0,0 0,8 17,8 6,1 3,1 3,1 0,0 Ciparigi Sukadana Gambar 4Sebaran penduduk Desa Ciparigi dan Desa Sukadana berdasarkan pekerjaan dalam persentase Perbandingan pekerjaan penduduk antara Desa Ciparigi dan Desa Sukadana menunjukkan bahwa, penduduk yang bekerja sebagai buruh tani, jasa, dan penduduk yang tidak bekerja lebih banyak terdapat di Desa Sukadana dibandingkan dengan penduduk Desa Ciparigi. Penduduk yang bekerja sebagai petani, pedagang, buruh non tani, dan PNS/ABRI pada kedua desa, lebih banyak terdapat di Desa Ciparigi dibandingkan dengan Desa Sukadana. Usia Ayah dan Ibu Karakteristik Keluarga Berdasarkan WNPG (2004) usia dewasa dikelompokan menjadi usia dewasa awal, dewasa sedang, dewasa lanjut, dan manula. Usia seseorang tergolong dewasa awal apabila seseorang tergolong berusia antara tahun, usia tergolong dewasa sedang apabila seseorang berusia antara tahun. Usia seseorang tergolong dewasa lanjut apabila usianya berada pada kisaran umur tahun, sedangkan usia seseorang tergolongmanula apabila berusia lebih dan atau sama dengan 65 tahun. Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar (42,9%) usia ayah pada keseluruhan contoh tergolong dewasa lanjut, dan terdapat (34,5%) contoh dengan usia ayah yang tergolong dewasa sedang.

4 33 Sebagian kecil (22,5%) contoh dengan usia ayah tergolong manula, dan tidak terdapat contoh dengan usia ayah yang tergolong dewasa awal. Adapun kisaran umur ayah pada keseluruhan contoh antara tahun dengan rata-rata usia 30,4±11,7 tahun. Tabel 3Sebaran contoh berdasarkan usia ayah Usia Ayah Penerima Bukan Penerima n % n % n % Dewasa awal (19-29 th) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Dewasa sedang (30-49 th) 18 42, , ,5 Dewasa Lanjut (50-64 th) 18 42, , ,9 Manula (>=65) 6 14, , , , , ,0 Rata-rata 50,4±11,0 57,4±11,5 30,4±11,7 Usia ayah pada kelompok penerima (42,9%) masing-masing tergolong usia dewasa sedang dan lanjut dan sebagian kecil (14,3%) tergolong manula. Rata-rata usia ayah pada kelompok penerima adalah 50,4±11,0 tahun. Usia ayah pada kelompok bukan penerima sebagian besar (42,9%) tergolong dewasa lanjut, terdapat (31,0%)keluarga dengan usia ayah yang tergolong manula. Sebagian kecil (26,2%) keluarga dengan usia ayah yang tergolong dewasa sedang. Adapun rata-rata usia ayah pada kelompok bukan penerima adalah 57,4±11,5 tahun. Persentase keluarga dengan usia ayah yang tergolong dewasa sedang lebih tinggi pada kelompok penerima dibandingkan kelompok bukan penerima, sedangkan persentase keluarga dengan usia ayah yang tergolong manula lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima. Persentase usia ayah yang tergolong dewasa lanjut antara kelompok penerima dan bukan penerima adalah sama. Adapun rata-rata usia ayah pada kelompok bukan penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok penerima program. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara usia ayah pada kelompok penerima dan bukan penerima program. Tabel 4Sebaran contoh berdasarkan usia ibu Usia Ibu Penerima Bukan Penerima n % n % n % Dewasa awal (19-29 th) 5 11,9 2 4,8 7 8,3 Dewasa sedang (30-49 th) 22 52, , ,6 Dewasa Lanjut (50-64 th) 14 33, , ,1 Manula (>=65) 1 2,4 4 9,5 5 6, , , ,0 Rata-rata 43,5±10,0 49,1±11,2 46,3±11,0

5 34 Tabel 4 menunjukkan bahwa, sebagian besar (47,6%) usia ibu pada keseluruhan contoh tergolong dewasa sedang, dan terdapat (38,1%) contohdengan usia ibu yang tergolong dewasa lanjut. Terdapat pula (8,3%) contoh dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal, dan hanya sebagian kecil (5,6%) contoh dengan usia ibu yang tergolong manula. Adapun rata-rata usia ibu adalah 46,3±10,9 tahun dengan kisaran umur antara tahun. Usia ibu pada kelompok penerima program sebagian besar (52,4%) tergolong dewasa sedang, terdapat (33,3%)keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa lanjut. Terdapat pula (11,9%)keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal, dan sebagian kecil (2,4%) keluarga dengan usia ibu yang tergolong manula. Adapun rata-rata usia ibu pada kelompok penerima program adalah 43,5±10,0 tahun. Usia ibu pada kelompok bukan penerima program masing-masing (42,9%) tergolong usia dewasa sedang dan lanjut, terdapat (9,5%)keluarga dengan usia ibu yang tergolong manula dan sebagian kecil (4,8%) keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal. Adapun ratarata usia ibu pada kelompok bukan penerima program adalah 49,1±11,2tahun. Persentase keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal dan sedang lebih tinggi pada kelompok penerima apabila dibandingkan dengan kelompok bukan penerima program desa mandiri pangan. Hal tersebut berbeda pada persentase keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa lanjut dan manula yang lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program. Adapun rata-rata usia ibu pada kelompok bukan penerima lebih tinggi dibandingkan rata-rata usia ibu pada kelompok penerima program desa mandiri pangan. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara usia ibu pada kelompok penerima dan bukan penerima program. Pekerjaan Ayah Sebagian besar (38,1%) pekerjaan ayah pada keseluruhan contoh adalah buruh tani, dan terdapat (28,6%) contoh dengan pekerjaan sebagai petani. Sebagian kecil yakni (1,2%) merupakan persentase contoh dengan pekerjaan ayah sebagai PNS dan tidak bekerja. Menurut Nurmanaf et. al. (2004), Irawan et. al (2007), dan Kustiari et. al. (2008) dalam Susilowati et. al. (2010) pekerjaan dibidang pertanian lebih banyak di wilayah pedesaan. Adapun sektor pertanian menurut Nurmanaf et. al. (2004), Rusastra et. al (2005), Irawan et. al (2007), dan Kustiari et. al. (2008) dalam Susilowati et. al. (2010) pekerjaan disektor pertanian

6 35 lebih didominasi oleh tenaga kerja berumur tahun, sedangkan tenaga kerja muda lebih banyak bekerja diluar sektor pertanian. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini: Tabel 5Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah Jenis Pekerjaan Penerima Bukan Penerima n % n % n % Tidak bekerja 0 0,0 1 2,4 1 1,2 Petani 16 38,1 8 19, ,6 Pedagang 6 14,3 6 14, ,3 Buruh tani 14 33, , ,1 Buruh non tani 1 2,4 2 4,8 3 3,6 PNS/ABRI/Polisi 1 2,4 0 0,0 1 1,2 Jasa 2 4,8 4 9,5 6 7,1 Lainnya 2 4,8 3 7,1 5 6, , , Berdasarkan Tebel 5 dapat diketahui bahwa, sebagian besar (38,1%) ayah pada kelompok penerima bekerja sebagai petani, dan terdapat (33,3%)keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai buruh tani. Terdapat pula (14,3%)keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai pedagang, dan masing-masing (4,8%)keluarga dengan pekerjaan ayah dibidang jasa dan lainnya. Pekerjaan dibidang jasa seperti tukang ojeg, supir, penjahit, dan pembuat sumur sedangkan jenis pekerjaan lain diantaranya pemulung, ketua rukun warga, ketua rukun tetangga, dan juru tulis desa. Sebagian kecil (2,4%) masing-masing keluarga bekerja sebagai buruh non tani dan PNS. Tidak terdapat ayah dengan status pekerjaan tidak bekerja pada kelompok penerima program desa mandiri pangan. Sebagian besar (42,9%) pekerjaan ayah pada kelompok bukan penerima program adalah buruh tani. Terdapat sebanyak (19,1%) keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai petani, terdapat pula (14,3%)keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai pedagang, dan sebanyak (9,5%) bekerja dibidang jasa, serta (7,1%)keluarga dengan pekerjaan ayah dibidang lainnya. Terdapat (4,8%)keluarga dengan pekerjaan ayah yang sebagai buruh non tani, dan terdapat pula sebagian kecil (2,4%) keluarga degan status pekerjaan ayah yang tidak bekerja. Persentase keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai petani dan PNS lebih tinggi pada kelompok penerima program dibandingkan kelompok bukan penerima program, sedangkan persentase keluarga dengan pekerjaan ayah yang tidak bekerja, buruh tani, buruh non tani, jasa, dan lainnya lebih tinggi pada

7 36 kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program desa mandiri pangan. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara pekerjaan ayah pada kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Akses Pangan Akses pangan keluarga diartikan sebagai kemampuan suatu keluarga untuk memperoleh pangan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Adapun dalam mewujudkan hal tersebut akses pangan dipengaruhi oleh beberapa aspek diantaranya akses fisik, akses ekonomi, dan akses sosial (Departemen Pertanian 2008). Akses fisik bersifat kewilayahan karena dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan dan produksi pangan serta sarana dan prasarana infrastruktur dasar seperti akses jalan, pasar, dan transportasi yang mendukung lancarnya distribusi pangan. Hal tersebut diduga menjadi penyebab hasil uji reliabelitas terhadap akses fisik menjadi sama karena karakteristik kewilayahaan di kedua desa hampir sama, sehingga akses fisik tidak menjadi variabel yang diukur dalam penelitian ini. Akses pangan sosial antara lain dipengaruhi oleh pendidikan (Departemen Pertanian 2008). Hildawati (2008) menambahkan jumlah anggota keluarga dalam dimensi akses sosial. Menurut Departemen Pertanian (2008) akses pangan secara ekonomi ditentukan oleh banyaknya penduduk miskin dan daya beli terhadap pangan. Besar kecilnya penduduk miskin dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur melalui pengeluaran per kapita per bulan. Keragaan akses pangan dibagi menjadi tiga kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Semakin tinggi akses pangan suatu keluarga maka keluarga tersebut akan semakin mudah dalam nemperoleh pangan. Akses pangan secara sosial antara lain dipengaruhi oleh pendidikan (Departemen Pertanian 2008). Hildawati (2008) menambahkan jumlah anggota keluarga dalam dimensi akses sosial. Akses sosial adalah kemampuan keluarga untuk mendapatkan pangan agar mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang dilihat dari jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah dan ibu, serta pengetahuan gizi ibu. Akses pangan berdasarkan dimensi akses sosial dikatergorikan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi.

8 37 Jumlah Anggota Keluarga Menurut Sukandar (2009) jumlah anggota keluarga adalah banyaknya anggota keluarga dalam sebuah keluarga yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama.berdasarkan jumlah anggota keluarga, suatu keluarga digolongkan menjadi keluarga besar, sedang, dan kecil (BKKBN 1998). Keluarga tergolong besar apabila jumlah anggota keluarga lebih dari sama dengan tujuh orang, apabila suatu keluarga berjumlah lima sampai enam orang, keluarga digolongkan menjadi keluarga sedang. Keluarga digolongkan sebagai keluarga kecil apabila jumlah anggota keluarga kurang dari sama dengan empat orang. Menurut Hildawati (2008) semakin kecil suatu keluarga maka semakin mudah akses pangan keluarga dalam memperoleh pangan. Hal tersebut dijelaskan oleh Sanjur (1982) bahwa jumlah anggota keluarga yang banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keuarga. Akses pangan dimensi akses sosial berdasarkan jumlah anggota keluarga dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan tergolong rendah apabila jumlah anggota keluarga tergolong besar, akses pangan tergolong sedang apabila jumlah anggota keluarga tergolong sedang, dan akses pangan tergolong tinggi apabila jumlah anggota keluarga kecil (Hildawati 2008). Tabel 6Sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga Jumlah Anggota Keluarga Penerima Program Bukan Penerima n % n % n % Keluarga Kecil: , , ,1 Keluarga Sedang: ,8 3 7,1 5 6,0 Keluarga Besar: 7 0 0,0 0 0,0 0 0, , , ,0 Rata-Rata 3,1±1,0 2,8±1,0 3,0±1,0 Tabel 6menunjukkan sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga, dapat diketahui bahwa sebagian besar (94,1%) keluarga dari keseluruhan contoh tergolong keluarga kecil dan sebagian kecil keluarga (6,0%) tergolong keluarga sedang. Tidak terdapat keluarga yang tergolong keluarga besar pada kedua kelompok. Rata-rata jumlah anggota keluarga pada keseluruhan contoh adalah 3,0±1,0 orang yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Adapun kisaran jumlah anggota keluarga antara 2-6 orang.

9 38 Berdasarkan Tabel 6dapat diketahui bahwa sebagian besar (95,4%) keluarga pada kelompok penerima program tergolong keluarga kecil, dan terdapat hanya sebagian kecil (4,8%) keluarga yang tergolong keluarga sedang. Adapun rata-rata jumlah anggota keluarga pada kelompok penerima adalah 3,1±1,0 orang. Begitupun halnya pada kelompok bukan penerima program, yang sebagian besar (92,9%) keluarga tergolong keluarga kecil dan terdapat hanya (7,1%) keluarga yang tergolong keluarga sedang. Adapun rata-rata jumlah anggota keluarga pada kelompok bukan penerima program adalah 2,8±1,0 orang. Persentase keluarga yang tergolong kecil pada kelompok penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan penerima, namun persentase keluarga dengan jumlah anggota keluarga sedang lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program desa mandiri pangan Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa, sebagian besar keluarga (94,1%) dari keseluruhan contoh tergolong memiliki akses pangan tinggi, dan (6,0%) tergolong akses pangan sedang. Akses pangan pada kelompok penerima sebagian besar (95,0%) tergolong akses pangan tinggi, dan terdapat hanya (4,8%) keluarga yang tergolong akses pangan sedang. Akses pangan pada kelompok bukan penerima sebagian besar (92,9%) tergolong akses pangan tinggi dan sebagian kecil (7,1%) tergolong akses pangan sedang. Tabel 7Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen jumlah anggota keluarga Bukan Penerima Akses Pangan Penerima n % n % n % Rendah 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Sedang 2 4,8 3 7,1 5 6,0 Tinggi 40 95, , , , , ,0 Persentase keluarga dengan akses pangan tinggi, lebih tinggi pada kelompok penerima dibandingkan kelompok bukan penerima program, sedangkan persentase keluarga dengan akses pangan sedang lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program desa mandiri pangan. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen jumlah anggota keluarga antara kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan.

10 39 Pendidikan Ayah dan Ibu Menurut BPS (2007) pendidikan dikelompokan menjadi pendidikan rendah, sedang, dan tinggi. Pendidikan rendah (tidak bersekolah dan atau belum tamat SD/sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/sederajat sampai tamat SLTP/sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/sederajat). Pendidikan ayah pada seluruh contoh sebagian besar (87,0%) adalah pendidikan sedang, sebanyak (9,2%) pendidikan ayah tergolong tinggi dan hanya (3,6%)ayah yang berpendidikan rendah. Rata-rata lama pendidikan ayah padakeseluruh contoh adalah 6,8±2,2 tahun dengan kisaran lamanya sekolah antara nol (tidak sekolah) sampai dengan 12 tahun. Tabel 8Sebaran contoh berdasarkan pendididkan ayah Bukan Penerima Pendidkan Ayah Penerima n % n % n % Rendah: < SD (< 6 tahun) 1 2,4 2 4,8 3 3,6 Sedang: tamat SD-SLTP (6-9 tahun) 35 83, , ,9 Tinggi: > SLTP (> 9 tahun) 6 14,3 2 4,8 8 9, , , Rata-rata 7,4±2,3 6,3±1,97 6,8±2,2 Pendidikan ayah pada kelompok penerima didominasi oleh pendidikan sedang (83,3%) serta terdapat pula keluarga denganpendidikan ayah yang tergolong tinggi (14,3%) dan hanya terdapat (2,4%)ayah yang berpendidikan rendah. Rata-rata lama pendidikan ayah kelompok penerima program adalah 7,4±2,3 tahun. Sebagian besar pendidikan ayah pada kelompok bukan penerima adalah pendidikan sedang (90,5%), dan hanya terdapat (4,8%)ayah dengan pendidikan rendah dan tinggi. Rata-rata lamanya pendidikan ayah pada kelompok bukan penerima program adalah 6,3±2,0 tahun. Persentase pendidikan ayah yang tergolong rendah dan sedang, lebih tinggi persentasenya pada kelompok bukan penerima program dibandingkan dengan kelompok penerima program. Persentase ayah yang berpendidikan tinggi, lebih tinggi terdapat pada kelompok penerima program dibandingkan kelompok bukan penerima program. Akses pangan secara sosial salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah seseorang memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik, sehingga akses pangan seseorang akan menjadi lebih baik pula. Akses pangan dimensi akses sosial berdasarkan pendidikan ayah dan ibu dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi (Departemen Pertanian 2008). Berdasarkan

11 40 Tabel9 dapat diketahui bahwa, sebagian besar (87,0%) keluarga pada keseluruhan contoh tergolong memiliki akses pangan sedang, terdapat (9,5%) keluarga dengan akses pangan tinggi dan sebagian kecil (3,6%) keluarga dengan akses pangan rendah. Tabel 9Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pendidikan ayah Akses Pangan Peneriama Bukan Penerima n % n % n % Rendah 1 2,4 2 4,8 3 3,6 Sedang 35 83, , ,9 Tinggi 6 14,3 2 4,8 8 9, , , ,0 Keluarga pada kelompok penerima sebagian besar tergolong memiliki akses pangan sedang (83,3%) dan (14,3%) keluarga yang tergolong akses tinggi, akses pangan tersebut digolongkan berdasarkan komponen pendidikan ayah. Akses pangan keluarga berdasarkan pendidikan ayah, pada kelompok bukan penerima sebagian besar tergolong sedang (90,5%) dan hanya (4,8%) keluarga masing-masing tergolong akses pangan tinggi dan rendah. Persentase keluarga yang memiliki akses pangan tinggi lebih tinggi pada kelompok penerima apabila dibandingkan dengan keluarga pada kelompok bukan penerima program. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan berdasarkan komponen pendidikan keluarga antara kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Menurut Kasryno (2000) dalam Departemen Pertanian (2010) tenaga kerja pertanian di wilayah pedesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD atau tidak tamat sekolah, hal tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya akses pangan. Nurmanaf et. al. (2004), Irawan et. al (2007), dan Kustiari et. al. (2008) dalam Departemen Pertanian (2010) menambahkan bahwa tamatan SD merupakan ciri dominan tenaga kerja di bidang pertanian dan di wilayah pedesaan. Tingkat pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang mampu mempengaruhi pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi keluarga, serta berpengaruh pula dalam memperoleh tambahan pendapatan dan pekerjaan. Menurut BPS (2007) pendidikan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu, pendidikan rendah (tidak bersekolah dan atau belum tamat SD/sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/sederajat sampai tamat

12 41 SLTP/sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/sederajat). Pendidikan sebagian besar Ibu dari keseluruhan contoh adalah pendidikan sedang dengan (86,9%) terdapat (9,5%) pendidikan ibu yang tergolong tinggi, dan pendidikan ibu yang tergolong rendah hanya (3,6%). Rata-rata lama pendidikan ibu pada seluruh contoh adalah 6,5±1,9 tahun dengan kisaran lamanya sekolah antara nol (tidak sekolah) sampai dengan 12 tahun. Tabel 10Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ibu Bukan Peneriama Pendidkan Ibu Penerima n % n % n % Rendah: < SD (< 6 tahun) 1 2,4 0 0,0 3 3,6 Sedang: tamat SD-SLTP (6-9 tahun) 40 95, , ,9 Tinggi: > SLTP (> 9 tahun) 1 2,4 0 0,0 8 9, , , ,0 Rata-rata 6,7±1,8 6,3±2,0 6,5±2,0 Berdasarkan Tabel 10, diketahui bahwa sebagian besar pendidikan ibu pada kelompok penerima adalah pendidikan sedang (95,2%), sedangkan pendidikan rendah dan tinggi persentasenya sama yaitu (2,4%). Rata-rata lama pendidikan ibu pada kelompok penerima program adalah 6,7±1,8 tahun. Pendidikan ibu pada kelompok bukan penerima program seluruhnya tergolong berpendidikan sedang dengan rata-rata lamanya pendidikan adalah 6,3±2,0 tahun. Persentase pendidikan ibu yang tergolong rendah dan tinggi lebih banyak terdapat pada kelompok penerima program, dibandingkan dengan kelompok bukan penerima program. Persentase ibu yang berpendidikan sedang, lebih banyak terdapat pada kelompok bukan penerima program dibandingkan kelompok penerima program. Rata-rata lama pendidikan ayah lebih lama dibandingkan dengan ibu. Akses pangan secara sosial salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendididkan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah seseorang memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik, sehingga akses pangan seseorang akan menjadi lebih baik pula. Akses pangan dimensi akses sosial berdasarkan pendidikan ibu dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi (Departemen Pertanian 2008). Akses pangan berdasarkan pendidkan ibu sebagian besar keluarga contoh tergolong sedang (87,9%), dan terdapat keluarga dengan akses pangan tinggi sebesar (9,5%), sedangkan sebagian kecil (3,6%) akses pangan yang tergolong rendah.

13 42 Berdasarkan pendidikan ibu, akses pangan pada kelompok penerima sebagian besar tergolong sedang (95,3%), sedangkan sebagian kecilnya (2,4%) tergolong akses pangan rendah dan tinggi. Akses pangan keluarga pada kelompok bukan penerima seluruhnya (100,0%) tergolong sedang. Persentase akses pangan yang tergolong sedang pada kelompok bukan penerima lebih tinggi daripada kelompok penerima namun berbeda dengan akses pangan yang tergolong tinggi dan rendah, persentasenya lebih tinggi pada kelompok penerima. Hasil uji beda (Independent t-test) menunjukkan bahwa, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pendidikan ibu pada kelompok penerima dan bukan penerima program. Tabel 11Sebaran contoh berdasarkan akses pangan pendidikan ibu Bukan Peneriama Akses Pangan Penerima n % n % n % Rendah 1 2,4 0 0,0 3 3,6 Sedang 40 95, , ,9 Tinggi 1 2,4 0 0,0 8 9, , , ,0 Pengetahuan Gizi Ibu Menurut Sanjur (1982) pengetahuan gizi ibu merupakan pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, dan interaksi antara zat gizi terhadap staus gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi dikategorikan menjadi tiga kategori, yakni pengetahuan gizi rendah, sedang, dan tinggi. Pengetahuan gizi rendah apabila persentase jawaban benar terhadap seluruh pertanyaan kurang dari 60, sedangkan pengetahuan gizi yang sedang apabila persentase jawaban benar terhadap keseluruhan pertanyaan antara 60 sampai dengan 80. Pengetahuan gizi ibu tergolong tinggi apabila persentase jawaban benar terhadap seluruh pertanyaan lebih dari 80 (Khomsan 2000). Pengetahuan gizi ibu seluruh contoh 52,4% termasuk pengetahuan gizi sedang, dengan rata-rata skor 61,9±21,4. Tabel 12Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi ibu Pengetahuan Penerima Bukan penerima Gizi Ibu n % n % n % Rendah (<60) 15 35, , ,9 Sedang (60-80) 21 50, , ,4 Tinggi (>80) 6 14,3 3 7,1 9 10, , , ,0 Rata-rata 63,8±23,6 60,0±19,1 61,9±21,2 Berdasarkan Tabel 12, Pengetahuan gizi ibu pada kelompok penerima program sebagian besar (50,0%) tergolong sedang, dan terdapat

14 43 (35,7%)keluarga dengan pengetahuan gizi ibu yang tergolong rendah. Sebagian kecil (14,3%) keluarga tergolong memiliki pengetahuan gizi ibu yang tinggi. Ratarata skor pengetahuan gizi ibu pada kelompok penerima adalah 63,8±23,6. Pengetahuan gizi ibu pada kelompok bukan penerima program sebagian besar (54,8%) tergolong sedang, dan terdapat (38,1%) keluarga dengan pengetahuan gizi ibu yang tergolong rendah. Sebagian kecil (7,1%) keluarga tergolong memiliki pengetahuan gizi ibu yang tinggi. Rata-rata skor pengetahuan gizi ibu adalah 60,0±19,1. Persentase ibu yang memiliki pengetahuan gizi tinggi pada kelompok penerima lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok bukan penerima, sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan gizi ibu yang tergolong sedang dan rendah lebih banyak terdapat pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima. Khomsan (2002) menyatakan bahwa walaupun keluarga memiliki daya beli cukup dan pangan juga tersedia, namun bila pengetahuan pangan dan gizinya masih rendah maka akan sulit bagi keluarga untuk dapat memenuhi konsumsi pangannya baik secara kuantitas maupun kualitas. Menurut Susanto (1996) dalam Sihite (2010) pengetahuan gizi ibu diperoleh dari pendidikan formal/informal yang merupakan salah satu aspek sosial yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan dimensi akses pangan secara sosial. Semakin tinggi pengetahuan gizi, akses pangan akan semakin tinggi. Akses pangan dimensi akses sosial berdasarkan pengetahuan gizi dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa, akses pangan berdasarkan pengetahuan gizi ibu pada seluruh contoh tergolong sedang (52,4%), terdapat 36,9% keluarga dengan akses pangan rendah, dan sebagian kecil (10,7%) keluarga dengan akses pangan tinggi. Tabel 13Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu Pengetahuan Penerima Bukan penerima Gizi Ibu n % n % n % Rendah 15 35, , ,9 Sedang 21 50, , ,4 Tinggi 6 14,3 3 7,1 9 10, , , ,0 Rata-rata 63,8±23,6 60,0±19,1 61,9±21,2 Sebagian besar akses pangan kelompok penerima (50,0%) tergolong akses pangan sedang, terdapat (35,7%) keluarga dengan akses pangan rendah, dan sebagian kecil (14,3%) keluarga dengan akses pangan tinggi. Keluarga pada

15 44 kelompok bukan penerima sebagian besar (54,8%) tergolong memiliki akses pangan sedang, terdapat (38,1%) keluarga dengan akses pangan rendah, dan hanya sebagian kecil (7,1%) keluarga dengan akses pangan tinggi. Persentase keluarga yang tergolong memiliki akses pangan yang tinggi pada kelompok penerima, lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok bukan penerima program. Akses pangan yang tergolong rendah persentasenya lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan pada kelompok penerima program. Hal tersebut diduga karena adanya informasi yang dapat menambah pengetahuan gizi ibu saat adanya program desa mandiri pangan, misalnya saat diadakannya pembinaan untuk sosialisasi gerakan makan beragam, bergizi, seimbang dan aman bagi Ibu hamil, menyusui, balita, dan anak sekolah. Hasil uji beda (Independent t-test) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu pada kelompok penerima dan bukan penerima. Menurut Departemen Pertanian (2008)akses pangan secara ekonomi ditentukan oleh banyaknya penduduk miskin dan daya beli terhadap pangan. Besar kecilnya penduduk miskin dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur melalui pengeluran per kapita per bulan. Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Menurut BPS (2008) data pengeluaran keluarga dapat diindikasikan sebagai pendapatan keluarga. Data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap.dikemukakan pula bahwa pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah, biasanya akan lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka, oleh karena itu, data pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya (Moho dan Wagner 1981 dalam Hildawati 2008). Pengeluaran keluarga dikelompokan menjadi pengeluaran pangan dan non pangan. Pengeluaran keluarga per kapita per bulan dihitung berdasarkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan seluruh anggota keluarga yakni kebutuhan pangan maupun non pangan dalam sebulan. Pengeluaran per kapita per bulan didapatkan dengan mengakumulasikan pengeluaran pangan dan nonpangan keluarga dengan pendekatan pengeluaran tahunan kemudian

16 45 dikonversikan dalam bulan. Setelah dikonversikan dalam bulan kemudian dibagi dengan banyaknya anggota keluarga. Tabel 14Rata-rata, minimal, dan maksimal pengeluaran keluarga contoh Statistik Rata-rata Min Max Sd Pengeluaran total Penerima , , , ,0 Bukan Penerima , , , , , , , ,0 Nasional*) , Pengeluaran Pangan Penerima , , , ,6 Bukan Penerima , , , , , , , ,2 Nasional*) , Pengeluaran non pangan Penerima , , , ,2 Bukan Penerima ,4 8987, , , ,9 8987, , ,1 Nasional*) , *) Data susenas 2010 diolah Rata-rata pengeluaran total nasional adalah sebesar Rp dengan rata-rata pengeluaran pangan dan non pangan berturut-turut adalah sebesar ,0 dan ,0 rupiah. Adapun rata-rata pengeluaran total keluarga per kapita per bulan seluruh contoh adalah ,6±158942,0 rupiah dengan kisaran pengeluaran antara , ,0 rupiah (Tabel 14). Rata-rata pengeluaran pangan dan non pangan pada seluruh contoh, berturut-turut adalah ,8±66880,2 dan ,9±112133,1 rupiah. Rata-rata pengeluaran pangan dan non pangan keluarga per kapita per bulan pada kelompok penerima berturut-turut ±70389,6 dan ,3±122950,2 rupiah. Adapun rata-rata total pengeluaran keluarga per kapita per bulan pada kelompok penerima adalah ,3±170417,0 rupiah. Rata-rata pengeluaran pangan dan non pangan pangan dan non pangan keluarga per kapita per bulan pada kelompok bukan penerima berturut-turut ,5±56831,1 dan ,4±74438,4 rupiah, dengan total pengeluaran per kapita per bulan adalah ,9±111110,2 rupiah. Rata-rata pengeluaran total, pangan, dan non pangan keluarga pada kelompok penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan penerima. Rata-rata pengeluaran total dan pengeluaran non pangan per kapita per bulan kelompok penerima lebih tinggi dibandingkan rata-rata pengeluaran total dan non pangan per kapita per bulan pada kelompok bukan penerima, total, dan nasional, berbeda halnya dengan rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan secara nasional yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata pengeluaran

17 46 pangan per kapita per bulan pada kelompok penerima, bukan penerima, dan total. Perbedaan rata-rata pendapatan yang diukur melalui pengeluaran antara kelompok penerima dan kelompok bukan penerima program mengindikasikan adannya dampak program Desa Mandiri Pangan dalam meningkatkan pendapatan. Hal tersebut sesuai dengan kajian Suryahadi (2007) dalam Bappenas (2007a) dampak suatu program dapat diketahui dengan melihat selisih indikator antara kelompok penerima dan bukan penerima program. Perbedaan pendapatan tersebut merupakan dampak yang diharapkan terjadi dalam suatu program, adapun perbedaan pendapatan antara kelompok penerima dan bukan penerima adalah Rp ,4 yang artinya dengan adanya program Desa Mandiri Pangan, keluarga penerima dapat memiliki rata-rata pendapatan per kapita per bulan Rp ,4 lebih tinggi dibandingkan rata-rata pendapatan per kapita per bulan keluarga yang tidak mendapatkan program Desa Mandiri Pangan. Pengeluaran pangan dikelompokan menjadi pengeluaran padi-padian (seperti beras, jagung, tepung terigu), umbi-umbian (seperti ubi jalar, singkong, kentang), ikan, daging, telur dan susu, minyak dan lemak (minyak kelapa, minyak goreng, dan mentega), sayur, buah, kacang-kacangan (tempe, tahu, dan kacang tanah), bahan minuman (gula pasir, gula merah, teh, kopi), bumbu-bumbuan (garam, kecap, saos, bumbu) dan lainnya (kerupuk, mie). Pengeluaran non pangan mencakup pengeluaran perumahan dan fasilitas keluarga (sewa/merawat rumah, PAM, listrik), barang dan jasa (alas kaki, bahan bakar, kebersihan dan kecantikan, rokok, transport selain anak, pendidikan, kesehatan), pakaian, barang tahan lama (sikat cuci, sapu), pajak dan asuransi (sumbangan, pajak, arisan, tabungan), serta keperluan pesta dan upacara (hiburan). Pengeluaran pangan keseluruhan contoh per kapita per bulan didominasi (44,7%) oleh pengeluaran padi-padian terutama beras, hal ini diduga karena beras merupakan pangan pokok sehingga proporsi pengeluaran untuk beras menjadi dominan (Ariani dan Purwantini 2002). Kondisi pengeluaran pangan secara nasional pun masih didominasi oleh pengeluaran padi-padian (25,0%). Persentase pengeluaran padi-padian pada keseluruhan contoh apabila dibandingkan dengan pengeluaran padi-padian secara nasional masih jauh lebih tinggi pada keseluruhan contoh. Pengeluaran non pangan sebagian besar contoh didominasi (73,5%) oleh pengeluaran barang dan jasa terutama

18 47 pengeluaran rokok, begitupun jenis peneluaran non pangan secara nasional yang didominasi pula oleh pengeluaran barang dan jasa (42,6%). Tabel 15Persentase pengeluaran keluarga contoh Penerima Bukan Penerima Nas*) Persentase Persentase Persentase Persentase Jenis Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran (%) (%) (%) (%) sub sub sub sub total total total total total Pangan Padi-padian 44,4 21,1 50,9 30,7 44,7 23,8 23,0 13,1 Umbiumbian 0,7 0,3 0,8 0,5 0,7 0,4 1,5 0,8 Ikan 2,9 1,4 4,8 2,9 5,0 2,7 10,3 5,4 Daging 4,9 2,3 2,2 1,3 3,4 1,8 3,7 2,0 Telur & Susu 5,3 2,5 4,3 2,6 4,6 2,4 5,5 2,9 Minyak & Lemak 5,6 2,7 5,0 3,0 5,0 2,7 4,8 2,5 Sayur 2,1 1,0 2,0 1,2 2,0 1,0 9,7 5,1 Buah 1,7 0,8 0,8 0,5 1,2 0,7 5,1 2,7 Kacang- Kacangan 5,3 2,5 7,6 4,6 6,0 3,2 3,0 1,6 Bahan minuman 8,4 4,0 12,6 7,6 9,7 5,2 5,8 3,1 Bumbubumbuan 6,5 3,1 5,6 3,4 5,8 3,0 2,6 1,4 Makan & Minuman 11,3 5,4 4,0 2,5 7,5 4,0 2,9 1,5 jadi Lainnya 4,4 2,1 4,8 2,9 4,3 2,3 20,0 10,5 Sub 100,0 47,5 100,0 60,29 100,0 53,3 100,0 52,5 Non Pangan Perumahan & Fasilitas 6,9 3,6 8,0 3,2 7,0 3,3 34,1 16,2 RT Barang & Jasa 75,8 39,8 77,0 30,6 73,5 34,4 42,6 20,2 Pakaian 3,6 1,9 3,7 1,5 3,5 1,6 7,5 3,6 Barang tahan lama 0,4 0,2 0,5 0,2 0,4 0,2 10,9 5,2 Pajak & Asuransi 16,4 8,6 14,5 5,8 15,2 7,1 2,0 0,9 Keperluan Pesta & 0,5 0,3 0,1 0,0 0,4 0,2 3,0 1,4 Upacara Sub 100,0 52,5 100,0 39,7 100,0 46,7 100,0 47,5 TOTAL 100,0 100,0 100,0 100,0 *) Data susenas 2010 diolah Pengeluaran keluarga per kapita per bulan pada kelompok penerima program didominasi oleh pengeluaran non pangan (52,5%) dan sebesar

19 48 (47,5%)merupakan pengeluaran pangan, hal tersebut berbeda dengan persentase pengeluaran secara nasional yang persentase pengeluarannya lebih tinggi untuk pangan (55,2%). Pengeluaran non pangan pada kelompok penerima didominasi oleh pengeluaran barang dan jasa (75,8%) terutama rokok, apabila dibandingkan dengan persentase pengeluaran barang dan jasa secara nasional (33,2%), pengeluaran barang dan jasa pada kelompok penerima lebih tinggi. Pengeluaran pangan kelompok penerima didominasi oleh pengeluaran padipadian yakni (44,4%) dari total pengeluaran pangan, apabila dibandingkan dengan pengeluaran padi-padian secara nasional (25,0%), pengeluaran kelompok penerima terhadap padi-padian lebih tinggi. Hal ini diduga karena meskipun kelompok penerima sebagain besar merupakan petani dimana menurut Susilowati et. al. (2010) petani merupakan pemilik lahan, namun lahan yang dimiliki terutama sawah tersebut tidak mampu menghasilkan beras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal tersebut didukung oleh hasil kajian (Ariani dan Purwantini 2002) penduduk masih lebih mengutamakan konsumsi beras dibandingkan konsumsi pangan lainnya. Persentase pengeluaran pangan pada kelompok penerima program lebih rendah apabila dibandingkan dengan persentase pengeluaran pangan per kapita per bulan secara nasional (51,4%) (BKP 2011). Pengeluaran keluarga per kapita per bulan pada kelompok bukan penerima program didominasi oleh pengeluaran pangan yakni (60,3%) dan pengeluaran non pangan (39,7%). Persentase pengeluaran pangan pada kelompok bukan penerima lebih tinggi dibandingkan pengeluaran pangan secara nasional. Hal ini berkaitan pula dengan persentase pengeluaran padi-padian yang cukup tinggi (50,9%) apabila dibandingkan dengan pengeluaran padipadian secara nasional dan pada kelompok penerima, tingginya persentase pengeluaran padi-padian diduga karena sebagian besar ayah pada kelompok penerima bekerja sebagai buruh tani yang diduga tidak memiliki lahan untuk menanam padi. Hal tersebut diduga menjadi alasan besarnya pengeluaran padipadian terutama beras. Persentase pengeluaran non pangan sebagian besar didominasi oleh pengeluaran barang dan jasa (76,9%) terutama rokok. Persentase pengeluaran non pangan per kapita per bulan pada kelompok penerima lebih rendah, apabila dibandingkan dengan persentase pengeluaran non pangan secara nasional (46,7%).

20 49 Rata-rata pengeluaran total keluarga per kapita per bulan pada kelompok penerima adalah ,3±170417,0 rupiah dengan persentase pengeluaran pangan (47,5%). Rata-rata total pengeluaran pada kelompok bukan penerima program (239960,9±111110,2 rupiah) dengan persentase pengeluaran pangan (60,3%). Adapun persentase pengeluaran pangan pada kelompok penerima lebih rendah dibandingkan dengan persentase pengeluaran pangan pada kelompok bukan penerima program. Hal tersebut sesuai dengan hasil data SUSENAS dalam (Purwantini dan Ariani 2008) bahwa semakin tinggi pengeluaran total keluarga makan persentase pengeluaran pangan akan semakin kecil. Hasil kajian Sudaryanto et. al. (1999) menyatakan bahwa tingkat pendapatan berhubungan negatif dengan persentase pengeluaran pangan, apabila pendapatannya semakin tinggi maka semakin rendah pula persentase pengeluaran untuk pangan. Tabel 16Perbandingan persentase pengeluaran pada kelompok penerima setahun sesudah adanya program dan kondisi saat ini Pengeluaran (Rp) Persentase (%) Jenis Setahun Setahun Pengeluaran Sesudah Nas**) Sesudah Nas**) Setelah Setelah Pangan 70354, ,3 47,5 52,5 Non Pangan 81679, , ,7 52,5 47, , , ,0 100,0 100,0 *) Setahun setelah adanya program DEMAPAN data sekunder BKP diolah **) Data susenas 2010 diolah Perbandingan pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok penerima setahun setelah adanya program dengan kondisi saat ini dapat dilihat pada Tabel 16. Diketahui bahwa setahun setelah adanya program desa mandiri pangan, rata-rata pengeluaran total per kapita per bulan lebih rendah dibandingkan dengan kondisi saat ini. Adapun rata-rata persentase pengeluaran pangan setahun setelah adanya program pada kelompok penerima lebih rendah dibandingkan kondisi saat ini. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dengan meningkatnya pengeluaran, persentase pengeluaran pangan cenderung tidak menjadi lebih rendah, hal tersebut berbeda dengan Hukum Engle yang menyatakan semakin tingginya pendapatan (pengeluaran) suatu keluarga maka persentase pengeluaran untuk pangan akan semakin kecil. Hasil tersebut meskipun berbeda dengan Hukum Engle namun sesuai dengan hasil analisis PATANAS yakni dengan semakin tingginya pengeluaran keluarga maka persentase pengeluaran pangan tidak selalu lebih kecil. Menurut Kusharti et. al. (2008) dan Susilowati et. al. (2009) dalam Susilowati et. al (2010) faktor yang

21 50 mempengaruhi kecenderungan pangeluaran pangan yang meningkat tidak diikuti dengan kecilnya persentase pengeluaran pangan salah satunya karena adanya perubahan selera makan masyarakat, sehingga apabila dihubungkan dengan hasil penelitian diduga pada kelompok penerima terjadi perubahan selera terhadap makanan setahun setelah adanya program dengan kondisi saat ini. Akses pangan secara ekonomi ditentukan oleh banyaknya penduduk miskin. Besar kecilnya penduduk miskin dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan (Departemen Pertanian 2008). Menurut BPS (2008) data pengeluaran keluarga dapat diindikasikan sebagai pendapatan keluarga. Data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap.semakin tinggi persentase penduduk miskin maka semakin rendah akses pangan penduduk di wilayah tersebut. Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan Kabupaten Ciamis adalah Rp (BPS 2010). Pengeluaran per kapita per bulan apabila semakin berada diatas garis kemiskinan maka semakin tinggi pula kemampuan suatu keluarga dalam mengakses pangan. Pengeluaran keluarga sebagai pendekatan pendapatan keluarga dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Penggolongan tersebut didasarkan pada konsep Irawan dan Romdiati dalam WNPG (2000) yang mengklasifikasikan penduduk miskin berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan, apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka akses pangan rendah. Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis kemiskinan maka tergolong tidak miskin, atau akses pangan sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20% garis kemiskinan maka dikatakan tidak miskin, dan apabila lebih tinggi diatas garis kemiskinan maka digolongkan menjadi akses pangan tinggi. Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar (61,9%) keseluruhan contoh tergolong memiliki akses pangan tinggi, terdapat (28,6%) keluarga yang tergolong akses pangan rendah, dan sebagian kecil (9,5%) keluarga yang tergolong akses pangan sedang. Keluarga pada kelompok penerima sebagain besar (78,6%) tergolong memiliki akses pangan tinggi, terdapat (16,7%) keluarga yang tergolong memiliki akses pangan rendah, dan sebagian kecil (4,8%) keluarga yang tergolong memiliki akses pangan sedang. Keluarga pada kelompok bukan penerima sebagian besar (45,2%) tergolong memiliki akses

22 51 pangan yang tinggi, dan terdapat (40,5%) keluarga yang tergolong memiliki akses pangan rendah yang merupakan persentase terbesar kedua. Sebagian kecil (14,3%) keluarga tergolong memiliki akses pangan sedang. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa persentase keluarga dengan akses pangan tinggi lebih besar pada kelompok penerima, sedangkan persentase keluarga yang tergolong memiliki akses pangan rendah dan sedang, lebih tinggi pada kelompok bukan penerima program dibandingkan kelompok penerima program. Masih terdapatnya keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok penerima program mengindikasikan bahwa tidak sepenuhnya program desa mandiri pangan tersebut mampu meningkatkan pendapatan keluarga penerima program, namun tingginya akses pangan pada kelompok penerima diduga karena rendahnya persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan pada kelompok penerima dibandingkan kelompok bukan penerima program, sehingga daya beli keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan lebih mudah pada kelompok penerima program. Hal tersebut terlihat dari tingginya pendapatan yang diukur melalui pendekatan pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok penerima dibandingkan kelompok bukan penerima program. Perbedaan tersebut diduga karena adanya program desa mandiri pangan yang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penyaluran bantuan dibidang pertanian seperti penyaluran bantuan dana sosial, pemberian domba pada kelompok, penanaman pohon pisang sepuluh per kepala keluarga. Tabel 17Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan Akses Pangan Penerima Bukan Penerima n % n % n % Rendah (<GK) 7 16, , ,6 Sedang (GK-20%GK) 2 4,8 6 14,3 8 9,5 Tinggi (>20%GK) 33 78, , , , , ,0 Rata-rata ,3±170417, ,9±111110, ,6±158942,0 Pengeluaran Pangan Per Kapita Per Bulan Akses pangan secara ekonomi diartikan sebagai kemampuan suatu keluarga dalam membeli pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pengeluaran pangan sebagai pendekatan daya beli terhadap pangan seperti yang dijelaskan menurut Departemen Pertanian (2008) bahwa akses pangan termasuk didalamnya daya beli terhadap pangan. Kemampuan membeli pangan

23 52 terutama kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Akses pangan akan semakin tinggi apabila pengeluaran pangan pun tinggi, sehingga akses pangan dikategorikan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Pengeluaran pangan semakin tinggi apabila pengeluaran tersebut berada semakin jauh diatas garis kemiskinan makanan, sebagai pemenuhan kebutuhan minimum. Pengkategorian tersebut didasarkan melaluipendekatan seperti halnya pengeluaran per kapita per bulan, dimana akses pangan tinggi apabila jarak antara pengeluaran dengan garis kemiskinan makanan lebih dari 20%. Akses pangan tergolong sedang apabila jarak antara pengeluaran pangan dengan garis kemiskinan makanan antara satu samapai dengan 20% dari garis kemiskinan makanan. Akses pangan tergolong rendah apabila pengeluaran pangan dibawah garis kemiskinan makanan. Garis kemiskinan makanan yang digunakan adalah garis kemiskinan makanan Kabupaten Ciamis yaitu Rp Tabel 18Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pengeluaran pangan Akses Pangan Penerima Bukan Penerima n % n % n % Rendah(<20% GKM) 6 14, , ,4 Sedang (20-120% GKM) 6 14, , ,2 Tinggi (>120% GKM) 30 71, , , , , ,0 Rata-rata ,0±70389, ,0±66880, ,8±66880,2 Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa, sebagian besar (58,3%) keseluruhan contoh tergolong memiliki akses pangan tinggi, terdapat (21,4%) keluarga yang tergolong memiliki akses pangan rendah, serta sebagian kecil (20,2%) keluarga yang tergolong memiliki akses pangan sedang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar keluarga dari keseluruhan contoh mampu memenuhi kebutuhan minimum makanan yang ditunjukan dengan ratarata pengeluaran pangan keseluruhan contoh berada diatas garis kemiskinan makanan. Rata-rata contoh lebih mengutamkan konsumsi pangan dibandingkan non pangan. Sebagian besar keluarga pada kelompok penerima tergolong memiliki akses pangan tinggi (71,4%), dan masih terdapat keluarga yang tergolong

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 05/01/33/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 4,562 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012 No. 05/01/33/Th. VII, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 4,863 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015 No. 66/09/33/Th. IX, 15 ember 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 4,577 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 07/01/62/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014 No. 05/01/17/IX, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014 - JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 316,50 RIBU ORANG - TREN KEMISKINAN SEPTEMBER 2014 MENURUN DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013 No. 05/01/33/Th. VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 MENCAPAI 4,705 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014 No. 40/07/33/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 4,836 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013 No. 07/07/62/Th. VII, 1 Juli 2013 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014 No. 06/01/51/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 195,95 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 05/01/61/Th. XVI, 2 Januari 2013 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT JANUARI 2013 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2011

TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2011 BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 37/08/61/Th. XIV, 5 Agustus 2011 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2011 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2007

TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2007 BADAN PUSAT STATISTIK No. 38/07/Th. X, 2 Juli 2007 TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2007 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 SEBANYAK 154,20 RIBU JIWA Persentase penduduk

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 05/01/61/Th. XV, 2 Januari 2012 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT SEPTEMBER 2011 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2013 No. 07/01/62/Th. VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014 No. 07/07/62/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016 No. 07/01/62/Th. XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 125/07/21/Th. III, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA Data pola konsumsi rumah tangga miskin didapatkan dari data pengeluaran Susenas Panel Modul Konsumsi yang terdiri atas dua kelompok, yaitu data pengeluaran

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2016 No. 49/07/33/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2016 MENCAPAI 4,507JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 58/07/64/Th.XX, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA MARET TAHUN 2017 R I N G K A S A N Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Utara pada Maret 2017 sebanyak

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016 No. 07/07/62/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2014 No. 45/07/51/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 185,20 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2009

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2009 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 26/07/31/Th XI, 1 Juli 2009 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di DKI Jakarta pada bulan Maret

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No 07/01/21/Th. XII, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2016 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2017 No. 06/07/62/Th. XI, 17 Juli 2017 1. PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2010 MENCAPAI 31,02 JUTA Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 59/07/64/Th.XIX, 18 Juli 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA MARET TAHUN 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2016 PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2016 No. 06/01/51/Th. XI, 3 Januari 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 MENCAPAI 174.94 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2013 No. 05/01/51/Th. VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 MENCAPAI 186,53 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 05/01/61/Th. XVIII, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT JANUARI 2015 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2016 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2016 No. 05/01/33/Th. XI, 3 Januari 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 MENCAPAI 13,19 PERSEN Pada bulan ember 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2015 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2015 No. 05/01/33/Th. X, 4 Januari 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 13,32 PERSEN Pada bulan ember 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 43/09/61/Th. XIII, 1 September 2010 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2010 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2008

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2008 BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 6/07/33/Th. II/1 Juli 2008 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2008 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Tengah pada

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 05/09/53/Th.XVIII, 15 Sept 2015 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 1.159,84 RIBU ORANG (22,61PERSEN) Jumlah penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2009 BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 6/07/33/Th. III/1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2009 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Tengah pada

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2016 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 57/07/21/Th. XI, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2016 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 06/01/21/Th.VII, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2011 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 06/01/21/Th X, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2014 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 40/7/61/Th. XVII, 1 Juli 2014 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2014 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 08/01/64/Th.XX, 3 Januari 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA SEPTEMBER TAHUN 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 07/01/64/Th.XIX, 4 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA SEPTEMBER TAHUN 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015

TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015 No. 06/01/51/Th. X, 4 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015 Terjadi kenaikan persentase penduduk miskin di Bali pada September 2015 jika dibandingkan dengan 2015. Tingkat kemiskinan pada

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 04/01/64/Th.XVIII, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN TIMUR SEPTEMBER TAHUN 2014 * SEPTEMBER 2014 : 6,31% TURUN 0,11% DARI MARET 2014

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2016 No. 47/07/51/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2016 MENCAPAI 178.18 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 21/07/31/Th. XII, 1 Juli 2010 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di DKI Jakarta

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2017 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2017 No. 47/07/33/Th. XI, 17 Juli 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 13,01 PERSEN Pada bulan 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 05 /01/32/Th. XVII, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Barat pada bulan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN.

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN. No. 55/09/17/Th.IX, 15 September 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET 2016 No. 08/07/18/TH.VIII, 18 Juli 2016 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2016 mencapai

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2017 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU Nomor 51/07/21/Th. XII, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2017 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 38/07/61/Th. XV, 2 Juli 2012 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2012 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010 BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 34/07/33/Th. IV, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

BPSPROVINSI JAWATIMUR

BPSPROVINSI JAWATIMUR BPSPROVINSI JAWATIMUR No. 06/01/35/Th.XIII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TIMUR SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur pada bulan September 2014 dibandingkan turun sebesar

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.57/07/64/Th.XX,17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN TIMUR MARET TAHUN 2017 R I N G K A S A N Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Timur pada Maret 2017 sebanyak

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 No. 05/01/82/Th. XVI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2016 SEBANYAK 76,40 RIBU ORANG ATAU SEBESAR 6,41 PERSEN Jumlah

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 39/07/61/Th. XVI, 1 Juli 2012 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2013 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Teknik Penarikan Contoh

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Teknik Penarikan Contoh METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian evaluasi dengan studi cross sectional. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara purposive yakni Desa Ciparigi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.58/07/64/Th.XIX, 18 Juli 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN TIMUR MARET TAHUN 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 SEBESAR 9,38 PERSEN No. 39/07/73/Th. XI, 17 Juli 2017 Penduduk miskin di Sulawesi Selatan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2016 No. 08/07/18/TH.IX, 3 Januari 2017 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2016

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2013 No. 04/01/36/Th.VIII, 2 Januari 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 MENCAPAI 682,71 RIBU ORANG Pada bulan September 2013, jumlah penduduk miskin

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2017

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2017 No. 46/07/51/Th. X, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2017 Terjadi kenaikan persentase penduduk miskin di Bali pada 2017 jika dibandingkan dengan September 2016. Tingkat kemiskinan pada 2017

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 05/07/53/Th.XX, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR Maret 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN Maret 2017 MENCAPAI 1.150,79 RIBU ORANG (21,85 PERSEN) Jumlah penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2015 PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2015 No. 63/09/51/Th. IX, 15 September 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 196,71 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 64 /09/52/TH.IX, 15 SEPTEMBER 2015 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 823,89 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin di Nusa

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2014 B P S P R O V I N S I A C E H No. 31/07/Th.XVII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 881 RIBU ORANG RINGKASAN Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2011 MENCAPAI 29,89 JUTA ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2014 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 40/07/76/Th.VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 SEBANYAK 153,9 RIBU JIWA Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 39/07/16/ Th. XIX, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA SELATAN MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN KEADAAN MARET 2017 MENCAPAI 13,19 PERSEN Keadaan Maret

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 05/01/53/Th.XX, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR September 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN September 2016 MENCAPAI 1.150,08 RIBU ORANG (22,01 PERSEN) Jumlah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2016 BADAN PUSAT STATISTIK No. 47/07/52/TH.X, 18 JULI 2016 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2016 MENCAPAI 804,44 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin di Nusa Tenggara

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2015

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2015 No. 05/01/17/Th. X, 4 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2015 - JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 322,83 RIBU ORANG (17,16 PERSEN) - TREN KEMISKINAN SEPTEMBER 2015

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 05/01/16 Th. XIX, 03 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA SELATAN SEPTEMBER 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 MENCAPAI 13,39 PERSEN Pada bulan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 BADAN PUSAT STATISTIK No. 45 /07/52/TH.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 793,78 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin di Nusa Tenggara

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2016 No. 05/01/Th. XX, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 SEBESAR 10,70 PERSEN Pada bulan September 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR SEPTEMBER 2015 B A D A N P U S A T S T A T I S T I K No. 05/01/53/Th.XIX, 4 Jan 2016 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR SEPTEMBER 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 1.160,53 RIBU ORANG (22,58 PERSEN)

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 66/09/64/Th.XVIII,15 September 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA MARET TAHUN 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah

Lebih terperinci

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014 No. 05/01/75/Th.IX, 2 Januari 2015 KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014 Pada September 2014 persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo sebesar 17,41 persen. Angka ini turun dibandingkan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT SEPTEMBER 2016 BADAN PUSAT STATISTIK No. 05 /01/52/Th. XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 MENCAPAI 786,58 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin

Lebih terperinci

BPSPROVINSI JAWATIMUR

BPSPROVINSI JAWATIMUR BPSPROVINSI JAWATIMUR No. 64/09/35/Th.XIII, 15 September 2015 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TIMUR MARET 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur pada bulan dibandingkan September 2014 naik sebesar

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015 No. 05/01/36/Th.X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 690,67 RIBU ORANG Pada bulan ember 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 06/01/21/Th.VIII, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2012 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014 No. 31/07/36/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 622,84 RIBU ORANG Pada bulan Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 28,59 JUTA ORANG Pada bulan September 2012, jumlah penduduk

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017 Tingkat Kemiskinan di DKI Jakarta Maret 2017 No. 35/07/31/Th.XIX, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017 Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2017 sebesar 389,69 ribu

Lebih terperinci

KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016

KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016 No. 05/01/17/XI, 3 Januari 2017 KEMISKINAN PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 MENCAPAI 325.600 ORANG (17,03 PERSEN) PERSENTASE KEMISKINAN SEPTEMBER 2016 TURUN JIKA DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH SEPTEMBER 2016 B P S P R O V I N S I A C E H No.04/01/Th.XX, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH SEPTEMBER 2016 Jumlah Penduduk Miskin Mencapai 841 Ribu Orang RINGKASAN Pada September 2016, jumlah penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2015 B P S P R O V I N S I A C E H No. 46/09/TH.XVIII, 15 September 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN Maret 2015 MENCAPAI 851 RIBU ORANG RINGKASAN Pada Maret 2015, jumlah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015 No. 44/09/36/Th. IX, 15 September 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 702,40 RIBU ORANG Pada bulan 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.07/01/64/Th.XX, 3 Januari 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN TIMUR SEPTEMBER TAHUN 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 65/09/64/Th.XVIII,15 September 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN TIMUR MARET TAHUN 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017 No.38/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 8,19 PERSEN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN 38/07/Th. XX, 17 JULI 2017 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan Maret 2017

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011 No. 07/01/62/Th. VI, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2015 No. 05/01/15/Th X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 311,56 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Amang (1993), Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional

Lebih terperinci